Rabu, 22 Juli 2009

MEREKONSTRUKSI SISTEM EKONOMI DAN PERBANKAN
(Kajian Pespektif Ekonomi Islam)
Oleh: MOH SUBHAN

Abstrak

Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of rationality (kekuatan rasionalitas). Pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas berdampak pada tergusurnya nilai-nilai dan aspek-aspek subyektif seperti nilai etika dan moral spiritual yang bersifat teologis. Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri secara terpisah dari ekonomi, tidak memilki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya benar-benar menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai (value free) yang pada gilirannya membuat manusia tidak lagi berpijak pada nilai-nilai kebenaran yang sejati. Ekonomi selanjutnya ditegakkan di atas sebuah sendi yang rapuh, yang mengabaikan aspek spiritual dan hanya berorientasi pada aspek material (materiel oriented).
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini muncul sistem ekonomi dan perbankan syariah yang mewarnai perkembangan realitas ekonomi dan perbankan modern bahkan memperoleh apresiasi yang semakin luas, tidak saja dari lingkungan negara yang mayoritas masyarakatnya Islam, tetapi juga dari negara-negara yang masyarakat Islamnya minoritas. Kemunculan sistem ekonomi dan perbankan syari’ah bagi para proponennya diharapkan mampu mengembalikan aktivitas ekonomi dan bisnis manusia pada sentrum yang sesungguhnya, yang mencerminkan jati dirinya sebagai makhluk teomorfosis dengan tegaknya nilai-nilai humanis dan trasedental. Dalam sistem ekonomi dan perbankan syariah aspek material dan spiritual bersifat mutually inclusive. Sistem ekonomi dan perbankan syariah melihat realitas objektif, realis dan realitas subjektif yang didasarkan pada nominalisme sebagai ko-eksistensi, bukan dikotomi.


A. Pendahuluan
Revolusi industri dengan ekonomi sosialisme dan kapitalismenya telah menempatkan nilai-nilai agama sebagai variabel lain yang tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam konteks ekonomi dan bisnis telah memberikan kontribusi besar bagi muncul dan merebaknya gaya hidup (life style) materialis dan sekuleris, budaya hedonistik dan individualistik, sikap hidup egoisme dan permissivism serta kemiskinan menjamur di tengah kemakmuran.
Sejumlah fenomena tersebut telah turut memberikan andil besar bagi terbukanya nurani ilmuwan, terutama ekonom tentang betapa berbahayanya memisahkan nilai keagamaan dari konteks ekonomi. Dengan kata lain, para ekonom dengan hasil kajiannya menempatkan kembali pentingnya penyatuan nilai agama dengan ekonomi.
Hancurnya sistem ekonomi sosialis beberapa waktu lalu seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sejumlah negara komunis lainnya di penghujung tahun 80-an, dan terjadiya krisis ekonomi secara estafet mulai tahun 1866 dan 1890, 1929, 1985, 1987, 1998, 2000 dan terjadinya krisis finansial global (global financial crisis) baru-baru ini – 2008- di Amerika Serikat dan merembet ke negara-negara maju Eropah lainnya, semakin menunjukkan akan kelemahan dan kebobrokan sistem kapitalisme.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi Mereka mulai mencari formula ekonomi yang mengakomodasikan kepentingan material dan spiritual manusia. Suatu format yang menempatkan hubungan segitiga, antara manusia, tuhan dan alam secara harmonis. Format ekonomi dan bisnis yang memasukkan aspek nilai-nilai etika yang bersumber dari agama disadari sebagai suatu yang sangat mendasar, yang harus ditempatkan dalam kerangka kajian dan aksi ekonomi sehingga melahirkan teori dan praktek ekonomi yang berkarakter relegius, bermoral dan humanis.
Sejalan dengan hal tersebut, Anthony Gidden dalam bukunya “The Thrid Way (alternatif ketiga)” menyatakan dunia seyogyanya mencari jalan ketiga dari pergumulan sistem kakap dunia yakni kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga tersebut, bagi Gidden terdapat dalam konsepsi Islam.
Oleh karena itu, kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan (wallfare) yang berkeadilan, maka menjadi sebuah keniscayaan bagi umat manusia untuk merubah ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas, dalam hal ini ekonomi Islam patut untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam merealisasikan kesejahteraan manusia secara universal.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics” Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan.
Dengan demikian, munculnya ekonomi Islam tidak lahir dari kevakuman realitas sosial dan ekonomi. Kemunculannya merupakan refleksi kesadaran diri individu dan para proponennya dalam menerjemahkan visi kekhalifahannya, yaitu meluruskan kembali penyimpangan sosial ekonomi yang terjadi akibat kesalahan ontologi dan epistemologi ekonomi modern dan mengeliminasi cacat nilai dalam praktik ekonomi dan bisnis modern. Dalam perkembangannya Sejumlah pusat keuangan internasional mulai memperkenalkan pelayanan dan produk syariah, termasuk di London dan Singapura. Prancis yang notabene negara non muslim berencana mengikuti jejak Inggris yang berusaha menjadi pusat keuangan syariah di daratan Eropa. Sistem keuangan yang tak terkena dampak besar krisis subprime mortgage telah menarik perhatian dunia, termasuk Prancis, untuk menggelutinya. Bahkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mulai mempelajari keuangan syariah untuk melihat bagaimana hal itu dapat membentuk kembali sistem keuangan Barat. Sekretaris Jenderal General Council for Islamic Banks and Financial Institutions, Ezzedine Khoja, mengatakan para ahli finansial terus mencari model keuangan yang aman sebagai solusi di masa depan. Dan, sejak sistem keuangan syariah diperkenalkan kembali pada 1975, industri ini berkembang pesat. Saat ini terdapat lebih dari 400 bank syariah yang beroperasi penuh dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS.
Sementara perkembangan perbankan syariah di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan disahkannya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka Perbankan Syariah telah berkembang dengan pesatnya. Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini terdapat 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. Bahkan diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun 2009 masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Sehingga paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.
Industri Perbankan Syariah Indonesia sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga), jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah sektor perekonomian yang dibiayai.

B. Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional
Pendekatan ekonomi konvensional yang berlebihan terhadap pemenuhan kepentingan pribadi (self interest), memang telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian dunia. Tetapi dibalik keberhasilan ini, sesungguhnya ekonomi konvensional gagal dalam mewujudkan aktualisasi visi sosial dan tujuan normatif lahirnya ilmu ekonomi. Hal itu kemudian juga menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang diistilahkan oleh Fukuyama “kekacauan yang besar (the great disruption)”.
Kekacauan ini diantaranya berkaitan dengan runtuhnya sistem keluarga. Dalam konsepsi kapitalis, mengasuh dan merawat anak, diyakini membutuhkan pengorbanan yang besar yang dianggap sebagai suatu kerugian dalam ukuran materialis dan hedonis. Mentalitas pasar yang mendorong untuk memenuhi kepuasan/kepentingan pribadi yang telah disuntikan kedalam keluarga, menyebabkan para orang tua tidak mampu untuk berhubungan baik satu sama lainnya. Terjadi peningkatan hubungan seks bebas, perceraian, dan keluarga dengan orang tua tunggal (single parents) menimbulkan penderitaan emosional dan keringnya nila-nilai spiritual pada jiwa anak-anak. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas manusia dan keruntuhan kontrol sosial. Kenakalan remaja dan anomie yang semakin meningkat, menjadi ancaman serius bagi upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat dunia.
Hal ini menjadi semakin buruk, ketika sejumlah proporsi signifikan dalam masyarakat terperangkap kegananasan roda kemiskinan, hidup dalam penderitaan di kota-kota besar, tingkat pengangguran yang kronis dan kriminalitas yang tinggi. Realitas ini merebak dan telah menjangkiti hampir seluruh negeri, termasuk negera Indonesia.
Tren atau kecenderungan kemiskinan juga mengarah menjadi semakin buruk. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 U$ (kurs rupiah Rp. 11.145) terus bertambah terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah angka kemiskinan menurut data BPS berfluktuasi., periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin mencapai 38,70 juta orang, tahun 2006 jumlah penduduk miskin naik cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen). Dan, pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 37,17 juta orang (16,58 %) dari populasi. Berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta. Namun beberapa bulan terakhir tahun 2007 akibat harga minyak mentah dunia melonjak drastis bahkan mendekati angka 100 dolar per barel telah menambah jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Sehingga pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta (17,75%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah ± 222 juta jiwa.
Kekacauan ekonomi juga terjadi secara global akibat “globalisasi ekonomi” yang tidak adil. Globalisasi ekonomi hanya menguntungkan perusahaan multinasional (Multi National Corporations/MNCs). Globalisasi sebagian besar merupakan cerita bagaimana perusahaan multinasional mengambil alih peran negara dalam menentukan jalannya perekonomian dunia. Globalisasi ekonomi dan berbagai peraturan birokrasi global telah membuat korporasi-korporasi multinasional mampu bergabung menjadi satu, menyuarakan satu kepentingan. Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 % aktivitas perekonomian global. Sementara itu 500 korporasi papan atas memegang 70 % perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 % hasil industri dunia. Hal ini memang diharapkan dan sejalan dengan visi dari sistem kapitalis yang berparadigma pasar (market mechanism paradigm), yang menyerahkan jalannya ekonomi sepenuhnya kepada pasar. Pemerintah hanya akan turut campur ketika pasar diganggu oleh interupsi luar (externalities) atau kegagalan pasar (market failures). Padahal externalities atau market failures sangat bias standarnya. Globalisasi dianggap memberikan efek efisien kepada proses perdagangan dunia, meski sesungguhnya hanya menguntungkan kapitalis global sebagai pemilik MNCs. Dampaknya adalah penghisapan atau akumulasi kekayaan hanya untuk segelintir orang dan meninggalkan kemiskinan yang meluas. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip al-Qur’an:
………..      
…………., supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Kekacauan juga terindikasi pada kesenjangan pertumbuhan pasar uang (money market) dan pasar obligasi (bond market) berikut pasar sekundernya (secondary market) yang begitu cepat, hingga pertumbuhannya melampaui pertumbuhan perdagangan di sektor riel. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di pasar ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Berdasarkan data World Bank menunjukan volume transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya mencapai 500 triliun dolar AS, sedangkan volume transaksi yang terjadi di sektor ril hanya 6 triliun dolar AS dalam satu tahun. Besarnya volume pasar uang dan pasar derivatif adalah cerminan akumulasi kekayaan para ‘kapitalis global’. Dan ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang sangat berbahaya. Sistem kredit atau sistem hutang juga telah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Mekanisme bunga (interest rate) yang juga menggurita bersama sistem hutang ini, kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis. Kebangkrutan ekonomi sedang menghantui berbagai negara termasuk Indonesia bahkan juga perorangan akibat perangkap sistem bunga tersebut.
Berbagai akses yang sangat menghawatirkan akibat mal praktek ekonomi konvensional sebagaimana terurai di atas telah memunculkan kesadaran dari sejumlah kalangan perlunya mendekonstruksi ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Oleh karena itu perlu dicanangkan sebuah premis baru bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka ajaran Islam dan ilmu ekonomi pembangunan Islami berakar pada kerangka nilai yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan titik rujukan yang paling mendasar. Premis kedua dalam pendekatan ini menolak sikap imitatif.
Model kapitalis maupun sosialis serta derivasinya bukan merupakan ideal type, kendatipun kita juga dapat mengumpulkan sumber-sumber yang bermanfaat untuk diadaptasikan atau diintegrasikan dalam kerangka Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai normatif yang ada. Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat (negara-negara kapitalis, sosialis dan penganut derivasinya) banyak dipengaruhi oleh karakteristik unik, masalah spesifik, nilai eksplisit dan implisit serta infrastruktur sosial-politik-ekonomi yang khas dari kazanah peradabannya. Sehingga akan terjadi kesulitan besar dan bahkan cenderung kontraproduktif ketika dipaksakan untuk diadopsi secara penuh, hal ini disebabkan adanya perbedaan mendasar yang membentuk bangunan kemasyarakatan dari masing-masing peradaban. Pendekatan Islam haruslah jelas-jelas bersifat ideologis dan berorientasi pada nilai-nilainya. Konsep pembangunan senantiasa terikat oleh kondisi budaya, sosial dan politik setempat.
Pembangunan dalam Islam mempunyai pengertian khusus dan unik. Beberapa aspek pembangunan seperti keadilan sosial dan hak asasi (social justice and human rights), mempunyai persamaan dengan konsep barat, meskipun banyak perbedaan dan memiliki dasar pokoknya yang berbeda. Harus diakui bahwa proyek ilmu ekonomi Islam dan Islamisasi ilmu ekonomi telah menjadi obor terdepan bagi proyek Islamisasi ilmu. Bahkan para penggiat perbankan dan keuangan Islam juga telah berhasil mengukuhkan terwujudnya sistem keuangan Islam secara global dan diakui eksistensinya dalam percaturan ekonomi di dunia dewasa ini.
Keberadaan sistem ekonomi Islam merupakan konsekuensi dari pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Worldview Islam yang menjadi dasar ini oleh para Ulama dan Cendekiawan muslim disebut dengan berbagai istilah; Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islami (Islamic Vision), Mohammad Atif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle), sedangkan Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview). Meskipun secara istilah terjadi perbedaan penyebutan tetapi secara esensi terdapat kesamaan keyakinan para Ulama’ dan Cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup (worldview) seorang muslim haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur semua sisi kehidupannya yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akherat.
Worldview ini lahir dari adanya konsep-konsep Islam yang mengkristal menjadi kerangka berfikir (mental framework). Islam pada hakekatnya merupakan panduan pokok bagi manusia untuk hidup dan kehidupannya, baik itu aktifitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Islam memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan beberapa aturan spesifik dalam pengaturan detil hidup dan kehidupan manusia. Islam mengatur hidup manusia dengan kefitrahannya sebagai individu (hamba Allah SWT) dan menjaga keharmonisan interaksinya dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dalam aktifitas kehidupan manusia, beberapa aspek aktifitas tersebut memiliki sistemnya sendiri-sendiri, misalnya aspek ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya. Islam yang diyakini sebagai sistem yang integratif dan konprehensip tentu memiliki formulasinya sendiri dalam aspek-aspek tersebut. Sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem politik Islam dan sistem sosial-budaya Islam merupakan bentuk sistem yang spesifik dari konsep Islam sebagai sistem kehidupan.
Worldview Islam memberikan pijakan bahwa bahwa umat manusia adalah ciptaan Allah, dan seluruh sumber kehidupan (resources) yang tersedia adalah amanah-Nya, maka secara otomatis manusia memiliki hubungan persaudaraan yang alamiah dan mereka juga harus bertanggungjawab kepada-Nya. Oleh karena itu manusia tidak secara mutlak bebas untuk melakukan apa saja, akan tetapi mereka diharapkan untuk menggunakan sumber daya yang terbatas (limited resources) dan berinteraksi antara satu dengan lainnya serta membangun lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mendukung usaha perwujudan kesejahteraan bersama (mutual welfare) setiap individu, tanpa melihat apakah status social, ras dan agama. Manusia juga diharapkan untuk tidak saja menjamin pencapaian tujuan materi, akan tetapi juga tujuan spiritual dan kemanusiaan.
Islam menekankan pembanguan ‘insan seutuhnya’ (human development) menuju puncak kehidupan yang seindah-indahnya (fi ahsani taqwiin). Pembangunan mendasarkan diri pada konsep tazkiyah an-nafs dengan titik tumpu pada penyempurnaan akhlak dan kepribadian. Karena pribadi adalah bagian penting dalam pembentukan peradaban. Asas ketenangan (internal harmony) merupakan hasil dari proses tazkiyah. Ibnu Khaldun pernah melukiskan betapa agama dapat menghasilkan transformasi social (social transformation). Dan sebaliknya manakala sebuah komunitas masyarakat terjebak pada kesenangan dan kemewahan maka akan lahir babak kehancuran dari peradaban (the decay of civilization). Dengan konsep tazkiah ini maka diharapkan terbentuk: konsep pembangunan Islami yang memiliki sifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material; fokus usaha dengan jantung pembangunan itu sendiri adalah manusia; pembangunan ekonomi adalah aktifitas yang multidimensional; pembangunan ekonomi menimbulkan sejumlah perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif; dan adanya prinsip sosial Islam yang dinamis untuk pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan ini dilaksanakan dengan semangat keadilan.
Kebijakan pembangunan Islami yang ideal harus berorientasi untuk meningkatkan tingkat spiritual masyarakat Islam dan meminimalisasi kerusakan moral, memenuhi kewajibannya untuk kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas sumber daya yang tersedia; dan menjamin keadilan distributif dan memberantas praktik eksploitasi. Sebuah doktirn yang melekat dan menyatu dalam kepribadian masyarakat (built-in in-doctrination). Kesejahteraan individu dalam masyarakat Islam dapat terealisasi bila ada iklim yang cocok bagi pelaksanaan nilai-nilai spiritual Islam secara keseluruhan untuk individu maupun masyarakat.
C. Konstribusi Ekonomi Islam untuk Ekonomi Modern
Dalam tiga dekade belakangan ini, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop. Puluhan para doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syari’ah, tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut.
Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.
Karena itu adalah logis, bila Adiwarman Azwar karim, mengatakan bahwa teori-teori ekonomi modern yang saat ini dipelajari di seluruh dunia, merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Barat yang melakukan plagiat tanpa menyebut rujukan yang berasal dari kitab-kitab klasik tentang ekonomi Islam.
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, dalam bukunya Muslim Economic Thingking atau dalam artikelnya History of Islamic Economics Thought belum menjelaskan adanya benang merah antara pemikiran ekonomi Islam yang demikian maju dengan kebangkitan pemikiran ekonomi Barat. Karena itu tulisan ini perlu menunjukkan adanya benang merah tersebut.
Joseph Schumpeter dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages (jaman kegelapan). Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis, The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the Eoropeans has been recorded in the history of thought of these disciplines. It took a variaty of forms. First, during the late elevent and early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned Arabic and made studies and brought what they could of the newly acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa who traveled and studied in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he wrote his book Liber Abaci in 1202.
Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa pada abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African dan Delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Eropah. Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa, belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia juga belajar aritmatika dan matematikanya al-Khawarizmi. Sekembalinya dari Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.
Sejarah juga mencatat bahwa ilmuwan terkemuka Raymond Lily (1223-1315 M), belajar di universitas Islam. Sepulangnya ke Erofa ia banyak menulis tentang kekayaan khazanah keilmuan Islam dan selanjutnya mendirikan The Council of Vienna (1311) dengan lima buah fakultas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai mata kuliah utama. Dengan pengusaan bahasa Arab, mereka menerjemahkan karya-kaarya Islam ke bahasa latin.
Salah satu materi yang diterjemahkan adalah berkenaan dengan ilmu ekonomi Islam. Beberapa penerjemah tersebut antara lain, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gusdislavi, Adelard Bath, Constantine the African, John of Seville, Williem of Luna Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch. Alfred of Sareshel dan banyak lagi deretan penerjemah Barat yang tak bisa disebutkan di sini. Tapi, beberapa penerjemah Yahudi perlu juga dipaparkan. Mereka antara lain, Jacob of Anatolio, Jacon ben Macher, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Salomon, Shem Tob ben Isac of Tortosa, Salomon Ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahoyah Gracian, Faraj ben Salim dan Yacub ben Abbob Marie.
Karya-karya intelektual muslim yang diterjemahkan adalah karya-karya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, Al-Khawarizmi, Ibnu Haytam, Ibnu Hazam, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, Ar-Razi, Abu ‘Ubaid, Ibnu Khaldun, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya.
Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, Pertama, penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles tentang ekonomi. Kedua, towering achievement (capaian hebat) St.Thomas Aquinas. Scumpeter menulis dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi yang berjasa menjembatani pemikiran Aristoteles ke St. Thomas. Artinya, tanpa peranan Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi, St.Thomas tak pernah mengetahui konsep konsep Aristoteles. Karena itu tidak aneh, jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarawan menduga St.Thomas mencuri ide-ide itu dari ekonomi Islam.
Dugaan kuat itu sesuai dengan analisa Capleston dalam bukunya “A History of Medieval Philosofy”, New York, 1972, “Fakta bahwa St.Thomas Aquinas memetik ide dan dorongan dari sumber-sumber yang beragam, cenderung menunjukkan bahwa ia bersifat eklektif dan kurang orisinil. Sebab kalau kita melihat doktrin dan teorinya, ia sering mengatakan, “ini sudah disebut Ibnu Sina” (Avicenna), atau “ini berasal langsung dari Aristoteles. Berdasarkan realitas ini kita dapat mengatakan bahwa tak ada sesungguhnya yang orisinil atau istimewa dari St. Thomas tersebut. Berkaitan dengan itu Harris dalam bukunya “The Humanities”, 1959, menulis, “Tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Thomas Aquinas dan pemikiran filsafatnya tak bisa dipahami”
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)

Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.

Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith, yang dikenal sebagai bapak. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah saw, dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
Selanjutnya ilmuwan Barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya mata uang tembaga akan menendang keluar mata uang emas dan perak. Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise.
St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi. St. Thomas juga belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Gazhali. Teori pareto optimum diambil dari kitab Nahjul balaghah, karya Imam Ali. Bar Hebraeus, pendeta Syriac Jacobite Church menyalin beberapa bab dari kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Gahazali. Pendeta Spanyol Ordo Dominican bernama Raymond Martini, menyalin banyak bab dari Tahafut al-Falasifa, dan Ihya al-Ghazali. Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya karya Abu ‘Ubaid (838). Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an dengan nama anjak piutang.
Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudallah al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja.
Indikasi-indikasi lain yang menunjukkan pengaruh ekonomi Islam terhadap ekonomi modern ialah diadopsinya kata kredit yang dalam ekonomi konvensional dikatakan berasal dari credo (pinjaman atas dasar kepercayaan). Credo sebenarnya berasal dari bahasa Arab “qa-ra-do” yang secara fikih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan.
Paparan di atas menunjukkan peran ilmuwan muslim sangat signifikan terhadap kebangkitan intelektualisme Eropa, termasuk dalam pemikiran ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Ah Shadr, Islam and Scholl and Economic, Edisi terjamah, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002
Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasinya Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008
M. Umar Chapra, “The Future of Economics; an Islamic Perspective”, Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2001
Danah Zohar dan Ian Marshall, Spritual Capital Memberdayakan SC di Dunia Bisnis, Terj. Helmi Mustofa, Bandung Mizan,
Triyuwono, Teori Akutansi Berhadapan Nilai-nilai Keislaman, Ulumul Qur’an No. 5 Vo. VI, 1996
Republika, 6/1/2009
Antara, 21/12/2008
Robert Kaplan dalam The Atlantik Montly, 1997 sebagaimana dikutip laporan special IPG
Khursid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, dalam Ainur R. Sophian (Ed), “Etika Ekonomi Politik; Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam”, Surabaya: Risalah Gusti, 1997
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
17 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 16
Anwar Ibrahim, Islam dan Pembangunan Ekonomi Umma, dalam Ainur R. Sophian (Ed) Ibid, hal. 63
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003.
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995
Lihat Adiwarman Azwar Karim, “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro”, The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002, hal. 19 – 22.
Muhammad Arif, “Towards the Syari’ah Paradigm of Islamic Economics: The beginning of Scientific Revolution”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 4, July 1985.
Lihat paper Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, dalam buku “Philosophy and Economic Theory”, yang dieditori oleh Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), hal. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, “Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” (London, 1881).
Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Jakarta: Rabbani Press, 1995.
pemikiran John Hicks dalam Steven Pressman, “Fifty Major Economists”. Edisi terj. “Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 196-202











Tidak ada komentar: