Minggu, 12 Juli 2009

TESISQU

BAB II
KONSEP WAKAF DALAM ISLAM

A. Landasan Teori Wakaf dalam Islam
1. Pengertian dan sejarah wakaf
Kata wakaf merupakan bentuk maşdar / gerund dari وقف, yang diartikan dengan الحبس(menahan/detention). Sebagaimana pendapat Louis Ma’luf :
َوقَفَ يَقِفَ وَقْفًًا = حَبَسَ يَحْبِسُ حَبَسًا
َوقَفَ الشيء = حَسِبَهُ فِى سَبِيْلِ الله.
“mewakafkan sesuatu berarti menahannya di jalan Allah”.
Dengan demikian pengertian wakaf, secara bahasa adalah menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk ditahan.
Fuqahā (ahli fiqh) berbeda pendapat dalam memberikan pengertian wakaf secara shar’i. Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pandangan di antara mereka tentang barang yang bisa diwakafkan dan yang tidak bisa, perbedaan persepsi dalam tatacara pelaksanaan wakaf, kelanggengan barang tersebut setelah diwakafkan, dan sebagainya.
Beberapa definisi tersebut adalah :

a. Wakaf adalah menahan harta benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan berşadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Ini adalah pandangan Imam Abu Hanifah.
Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (waqīf) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.

b. Wakaf adalah menahan harta untuk bisa dimanfaatkan dalam segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Definisi ini dipegang oleh madzhab Syafi’i dan Hanbali. Sebagian mereka meringkas definisi ini dengan satu kalimat ringkas, yaitu menahan pokok hartanya dan mengalirkan manfaatnya.

c. Wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu harta, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya meski hanya perkiraan. Definisi ini dikeluarkan oleh Ibnu Arafah dan mayoritas fuqaha madzhab Malikiyah. Berdasarkan definisi ini, maka pemberian bisa dalam arti şadaqah ataupun hibah.
Dari berbagai definisi di atas, kita dapat mengatakan bahwa wakaf adalah perbuatan wakif menyerahkan sebagian harta benda miliknya dengan mempertahankan wujud aktivanya (sesuatu yang substansi), dan memanfaatkan hasilnya sesuai dengan keinginan wakif. Dengan demikian, wakaf berarti proses legal oleh seseorang yang melakukan amal dengan memberikan harta (tetap atau bergerak) baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, untuk kepentingan umum maupun khusus.
Dalam catatan sejarah Islam, wakaf telah dipraktekkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam arti bentuk wakaf masih berupa benda-benda tidak bergerak, seperti tanah ladang atau perkebunan, maupun wakaf produktif berupa wakaf uang atau cash waqf.
Dalam kitab Irsyadus Sari karangan Ibnu Hajar Al-Asqalanī diterangkan bahwa perwakafan itu sudah ada pada permulaan Islam, yaitu ketika Rasulullah saw, akan mendirikan masjid yang luas dan beliau bermaksud untuk membeli tanah atau kebun kepunyaan orang Bani Najjar. Orang Bani Najjar tidak mau menerima uang pembayaran itu dan mereka dengan suka rela memberikan kebun tersebut kepada Nabi. Tetapi nabi tetap membayar harga tanah itu sebesar 10 dinar karena beliau tahu bahwa tanah itu milik dua anak yatim. Tanah tersebut oleh Nabi akhirnya diwakafkan untuk membangun masjid sekaligus sebagai contoh agar diikuti oleh para sahabatnya. Perbuatan Nabi ini merupakan wakaf pertama kali dalam Islam. Perbuatan Nabi ini disambut hangat di kalangan sahabat dan ‘Umar bin Khaţţāb merupakan sahabat yang pertama mengikutinya. Setelah ‘Umar mewakafkan asset tanah yang dicintainya, kemudian diikuti oleh para shahabat yang lain, seperti: ‘Uthmān bin Affan, Ali bin Abī Ţālib, Zubair bin ‘Awwam, Amru bin Aş, Abdullāh bin ‘Umar, Zaid bin Ţābit dan lain sebagainya.
Sedangkan cash waqf (wakaf tunai) belum muncul pada masa itu. Wakaf tunai baru dikenal pada awal abad kedua hijriyah, ketika Imam al-Zuhri, memfatwakan dan menganjurkan wakaf dalam bentuk uang dinar dan dirham untuk membangun sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Caranya dengan menginvestasikan uang tersebut, dan menyalurkan keuntungannya untuk kepentingan ummat.
Munculnya kajian wakaf tunai dalam fiqih klasik tidak terlepas dari ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) oleh para fuqaha yang dalam pandangan Umar Chapra bermuara pada Al-Maşālih Al-Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
Istilah wakaf tunai tersebut kembali ‎dipopulerkan oleh MA Mannan, melalui ‎pendirian Social Investment Bank Limited (SIBL), yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate. Gagasan MA Manan ini telah memberikan kombinasi alternatif solusi dalam mengatasi krisis kesejahteraan di Bangladesh. Akhirnya negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara termasuk negaara Indonesia merespon positip gagasan cemerlang MA Manan tersebut. MUI sebagai lembaga fatwa di Indonesia merespon keberadaan wakaf tunai sebagai asset produktif yang diharapkan mampu memberikan solusi alternatif dalam meningkatkan keuangan umat dan negara. Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Pemerintah pun akhirnya membuat kebijakan dengan mengeluarkan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, sebagai perangkat hukum yang mengatur penghimpunan, pengelolaan, dan perlindungan harta wakaf tunai. Departemen Agama mulai tahun 2005 melalui Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf telah membuat panduan-panduan pengelolaan wakaf tunai di Indonesia.
Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang lebih luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, dan pemanfaatan cash waqf (wakaf tunai) dapat bervariatif, tidak hanya terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas menunjukkan adanya suatu perubahan revolusioner, dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda (multiplier effect).

2. Dasar hukum pensyariatan wakaf
Wakaf merupakan amal kebajikan yang dianjurkan (al-tabarru’at al-mandubah) oleh agama. Amalan wakaf sudah ada sejak Rasulullah, perbuatan ini dibenarkan dan dilegalisasi Rasulullah dan diteruskan oleh para sahabat serta generasi sesudahnya.
Ajaran wakaf tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Qurān dan hadīth, tetapi keberadaannya diilhami dari pemahaman ayat-ayat al-Qurān dan hadīth. Tidak adanya ketentuan yang tegas inilah akhirnya menimbulkan perselisihan di antara para fuqaha, namun dengan berjalannya waktu maka sejumlah peraturan yang menetapkan kriteria wakaf dan syarat-syarat pembuatannya telah disepakati oleh mazhab-mazhab hukum Islam. Peratuan-peraturan itu disusun untuk menjaga kriteria wakaf yang tepat dan suci dan untuk memastikan bahwa mereka yang berwakaf adalah dermawan yang jujur dan ihlas. Seumpama, ditetapkan bahwa seorang pemberi wakaf harus dewasa dan sehat secara jasmani dan rohani.
Di antara ayat-ayat al-Qurān dan hadīth yang dipahami berkaitan dengan penshariatan ajaran wakaf, adalah:
(الــ عمران: 92)
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
( البقرة: 261 )
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
Sedangkan landasan dari hadīth, adalah:
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم: اذا مات الا نسان ان قطع عنه عمله الا من ثلا ثة الا من صدقة جا رية او علم ينتفع به او ولد صا لح يد عو له )رواه مسلم(
Dari Abū Hurairah ra bahwasannya Rasūlullāh saw bersabda: Apabila manusia telah mati, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu şadaqah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan atau anak yang şaleh yang mendoakannya.”
Hadīth yang lebih tegas menjelaskan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada ‘Umar bin Khaţţāb untuk menşadaqahkan tanahnya yang ada di Khaibar.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يستأمره فيها فَقَالَ يارسول الله اني أَصَبْتُ أَرْضًا بخيبر لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي منه فَما تَأْمُرُني بِهِ ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَافِي الْفُقَرَاء وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ عَلَى أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيه) رواه مسلم)
Dari Ibnu 'Umar ra. berkata, bahwa sahabat ‘Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu ia menghadap Rasūlullāh saw untuk memohon petunjuk. ‘Umar berkata: Ya Rasūlullāh ! Saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasūlullāh menjawab: Apabila engkau mau, maka tahanlah zat (asal) bendanya dan şadaqahkanlah hasilnya (manfaatnya)”. Kemudian ‘Umar melakukan şadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menyalurkan hasil tanah itu bagi orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, orang-orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan (ibnu sabil) dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasilnya dalam batas kewajaran atau makan dengan tidak menumpuk harta.
Dari beberapa ayat dan hadīth di atas, tidak satupun yang menyebutkan ajaran wakaf dengan jelas dan tegas. Oleh karena itu, ajaran wakaf diposisikan termasuk pada wilayah ijtihadi.
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuhu” menjelaskan, tidak ada larangan berwakaf dengan harta bergerak (mal al-manqul), asalkan barang tersebut bermanfaat. Dari manfaat barang inilah masyarakat dapat menikmati harta wakaf tersebut. Jadi, uang yang diwakafkan dinvestasikan pada sektor yang menguntungkan dan keuntungan tersebut yang akan dinikmati oleh masyarakat atau digunakan untuk biaya operasional harta wakaf yang sudah ada atau untuk membeli harta wakaf baru.
3. Rukun dan syarat wakaf tunai
Wakaf merupakan salah satu bentuk transaksi. Oleh karena itu, wakaf dinyatakan sah, apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun wakaf ada empat, yaitu:
a. Orang yang berwakaf (wāqif)
b. Harta yang diwakafkan (mauquf)
c. Penerima / tujuan wakaf (mauquf alaih)
d. Pernyataan berwakaf (şīghat).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam wakaf, sehingga amalan wakaf menjadi sah, adalah:
a. Waqif harus mempunyai kemampuan atau kecakapan bertabarru’. Artinya waqif adalah orang yang berakal, dewasa, merdeka, kemauan sendiri dan tidak dalam tanggungan karena bodoh atau boros.
b. Harta yang diwakafkan harus memenuhi syarat, yaitu; bernilai atau berharga , hak milik wakif, jelas dan tidak dalam sengketa. Harta wakaf bisa berbentuk benda tetap (fixed asset) atau benda bergerak.
c. Maukuf ‘alaih yaitu orang atau badan hukum atau tempat-tempat ibadah yang berhak menerima harta wakaf. Syarat yang harus dipenuhi maukuf ‘alaih adalah harus dinyatakan secara tegas dan jelas untuk siapa dan ditujukan untuk apa wakaf tersebut. Tujuan wakaf harus berorientasi pada ibadah, sasaran wakaf harus jelas dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat, membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat. Menurut Abu Yahya Zakaria, menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.
d. Sighat / ikrar wakaf. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya. Pernyataan ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilkan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri, dan untuk menghindari kemungkinan terjadinya sengketa di kemudian hari. Karena itu, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjual belikan, atau pun diwariskan.
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 17 UU No. 41 tahun 2004, bahwa (1). Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzīr di hadapan PPAIW dengan disaksikan 2 orang saksi. Pasal 21 (1), ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Pasal 21 (2), Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. nama dan identitas wakif, b. nama dan identitas nadzīr, c. data dan keterangan harta benda wakaf, d. peruntukan harta benda wakaf, e. jangka waktu wakaf.
Wakaf diyakini sebagai salah satu asset yang sangat bernilai dalam mengembangkan dan mendorong kemajuan perekonomian umat dan bangsa. Oleh karena itu, harta wakaf harus dikelola secara professional. Profesionalitas merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh pengelola wakaf (nadzīr). Sebab asset wakaf merupakan amanah Allah yang berada pada tangan nadzīr, sehingga nadzīr harus benar-benar bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nadzīr terhadap harta wakaf harus selalu dalam pertimbangan kontinuitas manfaat wakaf. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif sangat tergantung kepada nadzīr, karena di tangan nadzīrlah harta wakaf dapat terjamin kesinambungannya. Begitu pentingnya kedudukan nadzīr dalam perwakafan, maka pada diri nadzīr harus terdapat beberapa persyaratan, yaitu : baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), dan professional di bidangnya (mempunyai keahlian dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf) dengan baik.
Menurut Manşūr bin Yūnus Al-Bahutī dalam kitab Syarh Muntaha al-Adāb dijelaskan, bahwa tugas nadzīr adalah memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya, menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan.”
Sementara menurut Dr. Idris Khalīfah, ketua Forum Ilmiyah di Teţwan Maghribi, dalam hasil penelitiannya yang berjudul ‘Istithmār Mawārid al-Awqāf’ membeberkan sepuluh tugas nadzīr, yaitu:
a. Memelihara harta wakaf
b. Mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar sehingga tidak mendatangkan manfaat.
c. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara’.
d. Membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tepat waktu.
e. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf itu sendiri.
f. Memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat.
g. Mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti bangunan dan tanah, dengan sewa pasaran.
h. Menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilannya.
i. Nadzīr bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang disebabkan kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan dari jabatannya itu.
4. Manfaat dan tujuan wakaf tunai
Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang membedakan dengan şadaqah lainnya adalah ketika wakaf ditunaikan, terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah/ umum yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan. Wakaf akan valid sebagai amal jariyah setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan hasilnya dipergunakan untuk kemaslahatan umat. Wakaf tidak akan bernilai amal jariyah, sampai wakaf tersebut benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Al-Dahlawi dalam kitabnya ”Hujatullah Al-Balīghah” mengatakan:
”bahwa keistimewaan wakaf dibanding dengan şadaqah lainnya, adalah dalam wakaf ada sejumlah manfaat dan maşlahat yang tidak diperoleh dalam şadaqah-şadaqah lainnya, karena manusia terkadang menginfaqkan banyak hartanya fī sabilillah kemudian habis, pada saat yang sama di sana masih terdapat fakir-miskin yang membutuhkan bantuan, sebagian fakir-miskin yang lain terbengkelai urusannya, maka tidak ada yang lebih baik dan lebih manfaat untuk seluruh masyarakat selain menahan sesuatu harta dan mengalirkan manfaat/hasilnya (wakaf) untuk fakir-miskin dan ibnu sabil”.
Sedangkan tujuan wakaf yang esensial adalah taqarrub (mendekatkan diri pada Allah dalam rangka beribadah). Karena sifatnya yang demikian, maka sasaran wakaf harus jelas dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Oleh karena itu, wakaf tidak boleh diberikan kepada pelaku maksiat. Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf menghendaki agar harta wakaf itu dikembangkan dan dikelola secara maksimal, tidak hanya dikonsumsi atau dipendam tanpa hasil. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati dan bermanfaat bagi orang lain, akan semakin besar pula pahala yang mengalir kepada pihak wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi hukum fikih, pengembangan harta wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelolanya (nadzīr). Oleh karena substansi esensial wakaf adalah suatu sistemasi upaya pengakumulasian dana dari masyarakat yang hasil pengembangan dan pengelolaannya untuk masyarakat, maka harta wakaf dilarang untuk dijual, diwariskan, dihibahkan, dialihkan dan dijadikan jaminan. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif terhadap perubahan status harta wakaf dari milik umum (public property) menjadi milik pribadi (individual property). Sehingga wakaf akan tetap selamanya menjadi sumber dana masyarakat secara umum.
Berdasarkan bukti sejarah, keberadaan wakaf telah berperan penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah lembaga pendidikan, pondok pesantren maupun masjid di Indonesia banyak ditopang keberadaan dan keberlangsungannya oleh wakaf, meskipun wakaf pada masa lalu umumnya berupa properti seperti tanah dan bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para ulama bahwa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai (cash waqf).
Wakaf tunai memiliki peran yang besar dalam pengembangan perekonomian umat. Wakaf tunai juga dinilai menjadi jalan alternatif untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi di daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat menopang dan menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi di daerah sehingga wakaf tunai mampu meningkatkan daya saing perekonomian daerah, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing bangsa melalui pengembangan wakaf tunai di daerah. Dana wakaf bisa digunakan untuk untuk mendukung berbagai aktivitas, baik pengadaan social good maupun private good, termasuk pengembangan usaha produktif pengusaha kecil/UMKM), memperbanyak asset yang dapat difungsikan publik, mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, perkebunan, atau apa saja yang bernilai ekonomis. Jadi secara bersamaan wakaf tunai dapat meningkatkan sektor usaha riil kaum lemah di samping mampu menopang keuangan pemerintah daerah.
Prof Dr MA Mannan melalui pendirian Social Investment Bank Limited (SIBL) yang dikemas dalam mekanisme instrument cash waqf certificate telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan di Bangladesh. Di Indonesia sendiri, Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur sebagai salah satu contoh lembaga yang dibiayai dari wakaf. Demikian halnya Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa Republika. Lembaga otonom Dompet Dhuafa Republika ini memberikan fasilitas permanen untuk kaum dhuafa (kaum lemah/miskin) di gedung berlantai empat, lengkap dengan operasional medis 24 jam dan mobile-service. Lembaga ini juga memberikan pembiayaan dan pendanaan dalam rangka peningkatan usaha produktif kelompok miskin.

B. Pengembangan dan Manajemen Pengelolaan Wakaf Tunai
1. Pengaturan wakaf di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
Suatu hal yang banyak diyakini kalangan ekonom dan bisnisman bahwa aktivitas ekonomi/bisnis dan aktivitas yang bersifat sosial merupakan sesuatu yang berbeda, yang tidak terkait antara satu dengan yang lain. Tujuan berbisnis adalah untuk memberikan kesejahteraan dan pencapaian kejayaan pada kehidupan yang bersifat keduniaan dan jauh dari aspek religius. Sedang aktivitas sosial dianggap lebih cenderung kepada tuntutan untuk menegakkan norma-norma bermasyarakat, yang memiliki pencapaian akhir pada pemenuhan kebutuhan akhirat.
Pendapat di atas mungkin benar jika ditujukan kepada agama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang mendikotomi antara urusan ibadah keagamaan dengan urusan berekonomi, yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang bersifat keduniaan. Tetapi hal ini akan berbeda dengan Islam yang melihat bahwa aqidah, syari’ah dan mu’amalah serta akhlak merupakan satu mata rantai yang tidak akan terpisahkan dari sistem Islam itu sendiri. Hubungan diantaranya terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem yang integral dan komprehensif. Islam tidak hanya menuntut umatnya untuk sekedar menjalankan ibadah ritual ansich, ibadah yang hanya berorientasi pada akhirat saja, atau hanya bertujuan pada penciptaan hubungan kepada sang Khaliq (mu’amalat ma’al khaliq). Tetapi, Islam juga mengatur adanya ketentuan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, sebagai bentuk proses untuk pencapaian tujuan akhiratnya. Antara kegiatan yang bersifat duniawi dan kegiatan yang bersifat ukhrawi dapat berjalan bersamaan melingkupi dalam satu kegiatan. Islam memberikan fasilitas hal tersebut pada suatu instrumen diantaranya adalah zakat, infaq, shadaqah dan wakaf, yang memiliki dua unsur penciptaan hubungan, yaitu hubungan kepada sang khaliq (mu’amalat ma’al khaliq), dan hubungan kepada sesama manusia (mu’amalat ma’an nas).
Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang banyak mendapat perhatian para cendikiawan dan ulama adalah cash waqf (wakaf tunai). Wakaf tunai merupakan pemberian dalam bentuk sesuatu yang bisa dikembangkan atau digulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Bentuknya bisa berupa uang, surat berharga, giro, saham atau barang-barang lain yang diperbolehkan oleh shara’ dan undang-undang.
Wakaf tunai dipandang sebagai salah satu pilihan yang tepat untuk menjadikan wakaf mencapai hasil lebih maksimal. Karena dalam wakaf ini, uang tidak hanya dijadikan sebagai alat tukar menukar saja. Lebih dari itu uang dijadikam sebagai alat komoditi yang siap menghasilkan dan berguna untuk pengembangan aktivitas perekonomian lainnya.
Secara ekonomi, wakaf tunai sangat besar potensinya untuk dikembangkan di Indonesia, karena model wakaf tunai ini daya jangkau serta mobilisasinya akan jauh lebih merata di tengah-tengah masyarakat dibandingkan dengan model wakaf tradisional dalam bentuk harta tetap yang biasanya hanya dilakukan oleh keluarga yang terbilang mampu (kaya) saja. Pengelolaan dana wakaf uang sebagai alat investasi menjadi menarik, karena faedah atau keuntungan atas investasi tersebut dalam bentuk keuntungan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja; baik lokal, regional maupun internasional. Hal ini dimungkinkan karena investasi berupa uang (cash) dapat dialihkan kemana saja dan dilakukan di mana saja tanpa batas teritorial. Hal inilah yang diharapkan mampu meningkatkan keharmonisan antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Isu kesejahteraan sosial yang diusung oleh wacana wakaf uang memunculkan akar dan substansi masalah sosial, berupa keadilan ekonomi yang ternyata gagal dimanivestasikan oleh teori kapitalis dan sekuleris.
Model wakaf tunai dianggap tepat memberikan jawaban yang menjanjikan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Wakaf tunai memiliki potensi besar untuk menjadi sumber pendanaan bagi pemerintah daerah guna mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah pusat. Wakaf tunai sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang dikelola secara profesional dan amanah di tengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik dan sindrom capital flight .
Kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai wakaf uang ditandai dengan munculnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010. Dalam usaha memaksimalkan pengelolaan zakat dan wakaf, Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan No. 1 Tahun 2001 pasal 226 tentang kedudukan, tugas, fungsi, otoritas, susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama, dan menegaskan bahwa Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji (BMIPH) di bidang pengembangan zakat dan wakaf.
Dalam melaksanakan tugas pokok itu Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis di bidang pengembangan zakat dan wakaf;
b Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengembangan zakat dan wakaf;
c. Pengembangan dan pemberdayaan zakat dan wakaf;
d. Pembinaan organisasi dan ketatalaksanaan badan amil zakat, lembaga amil zakat dan nadzīr wakaf;
e. Pembinaan pelayanan yang meliputi informasi, perizinan dan sertifikasi;
f. Pelakasanaan pengendalian evaluasi dan pelaporan;
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat
Dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan zakat dan wakaf Departemen Agama menetapkan beberapa program yang harus dilaksanakan oleh Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, yaitu:
a. Program motivasi dan sosialisasi zakat dan wakaf;
b. Program pemberdayaan lembaga pengelola zakat dan wakaf;
c. Program pemberdayan masyarakat dan peningkatan SDM.
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran undang-undang wakaf ini menjadi momentum bagi pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), yaitu melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar selaras dengan semangat undang-undang tersebut. Salah satu regulasi baru dalam undang-undang wakaf tersebut adalah wakaf tunai. Wakaf tunai membuka peluang bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.

2. Potensi wakaf tunai di Indonesia
Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Potensi wakaf terutama wakaf tunai dapat digunakan sebagai alternatif pendanaan ummat Islam dalam rangka menuju kemandirian finansial yang bermuara pada kemaslahatan umat. Umat Islam di Indonesia telah akrab dengan kata wakaf, akan tetapi, keakraban tersebut tidak membuat mereka mengerti benar tentang wakaf. Hingga kini, sebagian besar ummat Islam masih beranggapan bahwa wakaf hanyalah berupa tanah, masjid dan kuburan. Padahal wakaf telah mengalami perkembangan, dan tampil dalam wujud lain, yaitu wakaf produktif atau wakaf tunai.
Bagi umat Islam Indonesia, wacana wakaf tunai memang masih relatif baru. Hal ini bisa dilihat dari peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru memfatwakannya pertengahan Mei 2002. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf tunai, yang berisi:
a. Wakaf uang (cash wakaf/wakaf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Sedangkan pemerintah baru mengeluarkan peraturan tentang wakaf tunai pada tahun 2004. Selama ini, wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada tanah dan bangunan yang ditujukan untuk membangun tempat ibadah, rumah sakit dan lembaga pendidikan.
Wakaf tunai di Indonesia diperkirakan berpotensi cukup besar. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini akan sangat acceptable, sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia. Dari perspektif teori ekonomi makro, instrumen wakaf bisa dimasukkan ke dalam instrumen fiskal, atau bisa dimasukkan ke dalam kategori investasi jika pengeluaran untuk wakaf tidak dikelola oleh pemerintah tetapi oleh swasta. Demikian besarnya potensi wakaf tunai di Indonesia, perlu diimbangi dengan manajemen yang amanah, professional dan penuh komitmen. Apabila dana wakaf tunai ini dikelola dengan menejemen yang professional, amanah dan komitemen tentu akan mampu melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri kepada lembaga-lembaga kreditor multilateral dan melepaskan ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pendanaannya pada pemerintah pusat, karena dana wakaf tunai telah mampu melengkapi penerimaan pemerintah di samping pajak, dan pendapatan lainnya. Melalui berbagai pemikiran dan kajian, peran wakaf tunai tidak hanya melepaskan ketergantungan ekonomi pemerintah dari lembaga-lembaga kreditor multilateral semata, akan tetapi instrumen ini juga mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.
Jika ditelaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi wakaf di Indonesia sangat besar, terutama wakaf tunai yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk menambah kas keuangan pemerintah. Wakaf tunai tidak hanya memberi kesempatan beramal pada orang-orang kaya saja. Wakaf tunai akan memperbesar kesempatan bagi siapapun untuk berwakaf, tanpa harus menunggu mereka sampai menjadi saudagar kaya atau tuan tanah, karena wakaf tunai jumlahnya bisa bervariatif. Sedangkan wakaf dalam bentuk tanah atau bangunan membutuhkan dana besar dan hanya beberapa orang saja yang mampu menunaikannya, sedangkan wakaf tunai mampu menjangkau lapisan masyarakat menengah. Perolehan wakaf tunai pun bisa menjadi lebih besar.
Wakaf uang dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.
Uang sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan memberlakukan sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa waqīf dapat secara fleksibel mengalokasikan (tasharufkan) hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena waqīf tidak memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif.

3. Manajemen pengelolaan wakaf tunai
Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan dan memperdayakan potensi yang ada di daerah. Oleh karena itu dibutuhkan suatu visi kedaerahan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masih banyak potensi daerah yang belum dikelola dan dikembangkan dengan optimal, diantaranya adalah wakaf tunai.
Wakaf yang disyariatkan dalam Islam memiliki dua dimensi manfaat, pertama dimensi religi, yaitu wakaf merupakan suatu amal jariyah yang menjadi anjuran agama dan perlu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakaf dianggap sebagai amal jariyah, maka terdapat konsekuensi bahwa harta tersebut harus dikelola secara baik sehingga manfaatnya dapat dinikmati untuk selamanya. Kedua dimensi sosial ekonomi, yaitu kegiatan wakaf melalui şadaqah para dermawan memiliki peran yang besar dalam menumbuhkan dan mengembangan perekonomian umat. Wakaf tunai juga dinilai menjadi jalan alternatif untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi di daerah.
Pengelolaan dana wakaf harus disadari merupakan pengelolaan dana publik yang manfaatnya pun akan disalurkan kembali kepada publik. Oleh karena itu, tidak saja pengelolaaannya yang harus dilakukan secara profesional, akan tetapi budaya transparansi serta akuntabilitas merupakan faktor yang harus diwujudkan. Pentingnya budaya ini ditegakkan karena di satu sisi hak wakif atas aset (wakaf tunai) telah hilang, sehingga dengan adanya budaya pengelolaan yang profesional, transparansi serta akuntabilitas, maka beberapa hak wakif seperti :
a. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
c. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; sedikit banyak akan dapat dipenuhi.
Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf tunai dalam rangka menopang pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf tunai. Seluruh komponen umat agar terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf tunai pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fikih wakaf yang progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab Syafi'i.
Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan ‎memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan.
Pada masa dinasti Umayyah terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan "Şadrul Wuqūf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Faţimiyah.
Kedua, tindakan riil operasional wakaf uang melalui pilot project (proyek percontohan), misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat ‎dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Ketiga, pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang menejemen pengelolaan wakaf tunai. Hal ini penting, karena wakaf merupakan asset publik yang harus dikelola dan dikembangkan secara professional agar wakaf menjadi sumber dana yang produktif bagi umat dan negara. Oleh karena itu maka tenaga pengelola wakaf (nadzīr) harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan. Apabila nadzīr tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, maka qadhi (pemerintah) wajib menggantinya.

C. Keuangan daerah
1. Pengertian anggaran
Anggaran dapat diartikan sebagai rencana keuangan daerah selama satu tahun tentang pengeluaran dan sumber pendapatannya. Secara konsep , anggaran berarti dokumen perencanaan yang memuat kesepakatan antara eksekutif dan legeslatif dalam bidang keuangan. Sebuah rencana keuangan daerah yang baik adalah ketika anggaran tersebut dapat memenuhi aspirasi masyarakat daerah setempat.
Selanjutnya rencana anggaran ini dirumuskan dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Oleh karena itu pengertian keuangan daerah selalu terkait dengan APBD. APBD adalah rencana keuangan tahunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.

2. Keuangan daerah dan prinsip pengelolaannya
Pencanangan otonomi daerah (otoda) sejak 2001 lalu, tentu tidak serta merta berjalan mulus dan lancar sebagaimana keinginan semua pihak. Keberhasilan otoda tergantung pada kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPRD dan segenap masyarakat untuk bersama-sama bekerja keras, disiplin dan berperilaku yang sesuai dengan norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mendukung penyelenggaraan otoda diperlukan adanya kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah serta proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah, yang meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), penerimaan sumber daya alam (SDA), dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Dana pembangunan tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, mengingat tujuan masing-masing sumber dana tersebut pada dasarnya saling mengisi dan melengkapi.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini, prinsip dasar pengelolaan keuangan daerah mengalami perubahan paradigma. Paradigma pengelolaan keuangan daerah (APBD) mengikuti paradigma yang berkembang dalam pengelolaan keuangan modern yang applicable (dapat diterapkan) oleh pemda. Perubahan paradigma ini seiring dengan pencanangan konsep good governance dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun pemerintaha daerah.
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan daerah meliputi:
a. Transparansi, yakni seluruh informasi dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentang keuangan daerah harus dapat diakses publik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui sasaran, hasil, manfaat dan dampak yang ditimbulkan oleh anggaran yang dialokasikan. Pemda sebagai pengelola dana publik dan pembuat kebijakan publik harus dapat menyediakan informasi tentang perkembangan keuangan daerah.
b. Efesiensi, pengelolaan keuangan daerah harus didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap pengeluaran anggaran daerah harus diupayakan se-efesien mungkin untuk menghasilkan output yang memadai. Penghematan sangat diperlukan dalam rangka mencapai efisiensi. Dengan anggaran yang ada pemda harus harus mampu mencapai standar pelayanan minimal sesuai dengan proporsi biaya yang sudah ditetapkan.
c. Akuntabel, yakni dalam pengelolaan keuangan daerah dituntut adanya pertanggungjawaban secara komprehensif yang mencakup aspek kebijakan dan penggunaan anggaran kepada publik. Pertanggungjawaban publik bisa dilakukan melali pertanggungjawaban secara institusional kepada DPRD. Pertanggungjawaban public merupakan keharusan dalam upaya perwujudan good governance.
d. Partisipatif, bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah keterlibatan publik secara langsung maupun tidak langsung harus dapat dijamin dalam bentuk masukan atau kritikan yang konstruktif terhadap cara-cara pengelolaan keuangan yang benar. Di samping itu, kebijakan pembangunan dalam anggaran daerah harus mengakomodasi aspirasi publik dan melibatkan secara langsung dalam proses pembangunan.
e. Prediktabilitas, yakni dapat memperkirakan alokasi keuangan untuk rencana kegiatan satu masa ke depan, prinsip ini mendukung terwujudnya efektivitas dan efisiensi anggaran.
Kelima prinsip di atas harus tercermin dalam setiap implementasi kebijakan pengeloaan keuangan daerah. Apakah itu dalam konteks penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), proses penetapan APBD, palaksanaan APBD, dan pertanggungjawaban APBD.
APBD adalah dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Dalam proses perencanaan atau penyusunan APBD, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kinerja (performance budget). Performance budget merupakan suatu sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang beorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja dari organisasi pemerintahan.
Di era otonomi daerah, pengelolaan keuangan sepenuhnya merupakan hak dan wewenang pemerintah daerah, walaupun terdapat sumber pendapatan daerah dalam APBD yang berasal dari pemerintah pusat, seperti dana perimbangan (dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus –DAK- dan Dana Alokasi Umum –DAU-). Oleh sebab itu, pengelolaan dana perimbangan juga menjadi wewenang pemerintah daerah.
3. Sumber pendapatan daerah
Menurut undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber pendapatan daerah, terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Darah (PAD), terdiri dari:
1) Pajak daerah
2) Retribusi daerah
3) Bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD)
4) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
b. Dana perimbangan, yang terdiri dari:
1) Dana bagi hasil
2) Dana alokasi umum
3) Dana alokasi khusus
c. Pinjaman daerah
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dari tahun ke-tahun pendapatan mengenai PAD di setiap daerah baik propensi, kabupaten maupun kotamadya tidak banyak berubah, hanya seputar pajak daerah, retribusi, dan laba dari Badan Umum Milik Daerah (BUMD), dan itupun sangat rendah. Sehingga pemerintah daerah masih banyak bergantung pada pemerintah pusat. Rendahnya PAD bukan disebabkan karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan karena kebijakan pemerintah pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan potensial dikuasai oleh pemerintah pusat.
Harapan di era otonomi untuk mencapai kemandirin daerah ternyata masih merupakan mimpi indah yang masih harus dibangun kembali oleh bangsa Indonesia. Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti kebingungan dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk mendekatkan pelayanan kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi sebaliknya. Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam maupun sumber daya manusia, otonomi benar-benar menjadi arena pembuktian bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir sebagian besar daerah di Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi mereka.
Sebagai contohnya adalah penerapan UU No.34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang pada pelaksanaannya belum membawa perubahan signifikan terhadap peningkatan PAD. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kemampuan dalam strategi koleksi dan memetakan potensi pajak dan retribusi daerah. Teknik yang digunakan juga sering tidak realistis yakni hanya didasarkan pada keinginan untuk senantiasa menaikkan pajak dan retribusi tanpa melihat aspek lain yang mempengaruhi keputusan tersebut.

0o0

Tidak ada komentar: