Kamis, 24 September 2009

Manajemen pendidikan



MANAJEMEN PENDIDIKAN


A. KONSEP MANAJEMEN PENDIDIKAN
Dalam rangka membantu meningkatkan kualitas pendidikan, para pengelola pendidikan dituntut untuk memperkaya wawasan pengetahuan, kemampuan yang relevan dengan pekerjaannya. Sehingga informasi dan pemahaman tentang pengelolaan (manajemen) pendidikan mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Pembahasan tentang manajemen yang dipandang sebagai suatu ilmu, telah berkembang sejak awal abad ke-19 dengan terlihatnya fungsi-fungsi pokok dalam manajemen yaitu planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), leading (pimpinan), dan controlling (pengawasan).[1] Selanjutnya dengan melihat manajemen sebagai suatu teori (ilmu), dalam paparan tulisan berikut ini akan diuraikan baik pada tahapan konsep atau teori maupun implementasinya dalam kegiatan pendidikan.
  1. Definisi Manajemen
Secara bahasa, kata manajemen berasal dari bahasa Latin, yaitu kata manus yang memiliki arti tangan dan kata agere yang berarti melakukan. Penggabungan dari dua kata ini menjadi kata managere. Kata ini kemudian diadopsi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris to managere (kata kerja), management (kata benda), manager (pelaku/subyek). Kata ini juga kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.[2]
Definisi manajemen banyak muncul dari para ahli, namun tidak ada satu kesepakatan tunggal. Namun demikian, esensi manajemen dapat dipandang, baik sebagai proses (fungsi) maupun sebagai tugas (task). Manajemen menurut Stoner adalah seni melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain (the art of getting things done through people). Selanjutnya Stoner mengatakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Jadi, dapat diartikan bahwa manajemen ialah suatu pengelolaan sumber daya melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian serta pengontrolan untuk mencapai tujuan.[3]
Dengan demikian manajemen berarti upaya organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang meliputi planning, organizing, actuating, controlling dengan memberdayakan sumber daya (potensi) yang dimilikinya secara efektif dan efisien.
  1. Manajemen Pendidikan
Definisi pendidikan berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Pasal 1 ayat (1), adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Menjadikan manajemen pendidikan sebagai suatu seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan adalah bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Efektif artinya tingkat keberhasilan pencapaian tujuan (outcomes) dengan cara melakukan pekerjaan yang benar (do the right things) sedangkan efisien adalah proses penghematan sumber daya dengan cara melakukan pekerjaan dengan benar.[4]
Pengertian Manajemen pendidikan berarti seni dan ilmu dalam mengelola sumber daya institusi pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkannya secara efektif dan efisien dengan menggunakan prinsip dan fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Ruang lingkup manajemen pendidikan di Indonesia berdasarkan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ada beberapa versi. Dilihat dari susunan bab UU ini, ruang lingkup manajemen pendidikan di Indonesia merupakan representasi dari 22 bab dan 77 pasal yang ada di UU Sisdiknas ini, yaitu
a.       Ketentuan umum ( 1  )
b.      Dasar, fungsi, dan tujuan ( 2 – 3 )
c.       Prinsip penyelenggaraan pendidikan ( 4 )
d.      Hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah
(5 11)
e.       Peserta didik ( 12 )
f.        Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan ( 13 – 32 )
g.       Bahasa pengantar ( 33 )
h.       Wajib belajar ( 34 )
i.         Standar nasional pendidikan ( 35 )
j.        Kurikulum ( 36 – 38 )
k.      Pendidik dan tenaga kependidikan ( 39 – 44 )
l.         Sarana dan prasarana pendidikan ( (45)
m.     Pendanaan pendidikan ( 46 – 49 ) )
n.       Pengelolaan pendidikan ( 50 – 53 )
o.      Peran serta masyarakat ( 54 – 56 )
p.      Dalam pendidikan (57 – 61 )
q.      Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi ( 62 – 63 )
r.        Pendirian satuan pendidikan ( 64 - 65 )
s.       Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain ( 66 )
t.        Pengawasan ( 67 – 71 )
u.       Ketentuan pidana ( 72 – 74 )
v.       Ketentuan peralihan (75 – 77)

Namun, secara umum menurut Sugiyono terdapat empat ruang lingkup manajemen pendidikan Indonesia menurut UU Sisdiknas, yaitu manajemen pendidikan tingkat nasional, tingkat regional, tingkat lokal, dan tingkat institusional. Empat ruang lingkup ini sebagai berikut[5]:
a.       Manajemen Pendidikan Tingkat Nasional
b.      Manajemen Pendidikan Pada Tingkat Regional
c.       Manajemen Pendidikan Pada Tingkat Lokal
d.      Manajemen Pendidikan Tingkat Institusional
  1. Unsur-Unsur  Pokok Dalam Manajemen
Unsur-unsur kegiatan pokok manajemen adalah tugas-tugas pokok atau kegiatan pokok yang harus dijalankan oleh setiap orang yang mempunyai tanggung jawab untuk memimpin suatu kegiatan. Peranan manajemen dalam proses pembelajaran pada intinya adalah bagaimana melakukan  perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian ( controlling).
a.      Perencanaan
      Perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Secara umum pada dasarnya tujuan perencanaan adalah sebagai pedoman untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.[6] Perlunya perencanaan dimaksudkan agar dapat dicapai perbaikan dalam kegiatan. Upaya perbaikan ini dilakukan dengan asumsi untuk memperbaiki kualitas kegiatan  perlu diawali dengan perencanaan yang diwujudkan dengan adanya desain. Secara umum langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam perencanaan adalah:
1)      Penentuan tujuan kegiatan secara lengkap dan jelas. Tujuan merupakan suatu keharusan bagi perencanaan, apabila tujuan itu banyak, maka yang dipilih adalah yang memudahkan dalam pencapaiannya. Sekala prioritas perlu ditetapkan dengan pertimbangan ini.
2)      Perumusan kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan adalah memperhatikan dan menyesuaikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan faktor-faktor lingkungan apabila tujuan tercapai.
3)      Melakukan analisis  serta penetapan cara dan sarana untuk mencapai tujuan dalam kerangka kebijaksanaan yang telah dirumuskan.
4)      Penunjukan orang-orang yang akan menerima tanggung jawab kebijaksanaan.
5)      Penentuan sistem pengendalian yang memungkinkan pengukuran dan perbandingan apa yang harus dicapai, dengan apa yang tercapai, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan pelaku.
b.      Pengorganisasian
      Pengorganisasian dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu satu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Asas-asas dalam pengorganisasian:
1)      Asas pembagian tugas, Asas ini menentukan agar dalam proses kegiatan organisasi perlu adanya perumusan tugas yang jelas bagi setiap pelaksana, hal ini dilakukan untuk menghindari duplikasi, benturan dan kekaburan
2)      Asas koordinasi, Asas ini menekankan peningkatan kewajiban koordinasi yang mantap dalam melaksanakan tugas.
3)      Asas keluwesan, Asas ini menghendaki agar dalam setiap kegiatan yang dilakukan selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan dunia pendidikan.
4)      Asas keseimbangan, Asas keseimbangan mengharuskan adanya institusionalisasi dalam pelaksanaan, dalam arti bahwa setiap tugas-tugas yang telah disepakati harus berjalan secara terus-menerus sesuai dengan kebijaksanaan dan program yang telah ditetapkan.
5)      Asas kejelasan dan pembangunan, Dalam asas ini diatur agar setiap unit organisasi dalam proses pembelajaran memiliki kejelasan tugas dan fungsinya dengan adanya penggambaran organisasinya dalam bentuk bagan.
c.       Pengarahan
      Dalam proses kegiatan suatu organisasi terkait di dalamnya beberapa unsur yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga diperlukan adanya kesatuan perintah untuk menyelaraskan langkah dan tindakan yang dilakukan. Pengarahan dalam kegiatan ini dilakukan oleh seorang top menejer. Proses pengarahan juga merupakan pelaksanaan kerja nyata untuk membimbing bawahan dalam rangka mencapai tujuan. Karena dengan pengarahan yang jelas, setiap fihak yang bertanggung jawab dalam setiap aktivitas dan memahami tugas dan kewajiban yang diembannya.
d.      Pengendalian
Tahapan manajemen yang terakhir dalam pembelajaran adalah proses pengendalian. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengendalikan semua unsur-unsur yang terkait dalam unsur organisasi agar konsisten terhadap prinsip-prinsip kegiatan  yang telah ditetapkan. Pengendalian juga dimaksudkan agar pihak-pihak yang bertanggung jawab mentaati peraturan-peraturan yang ada. Dalam kegiatan pengendalian tercakup di dalamnya proses pengawasan. Fungsi pengawasan ini sangat erat kaitannya dengan fungsi perencanaan. Bisa juga dikatakan bahwa fungsi pengawasan dan perencanaan seperti kedua sisi gunting.[7] Pengertian pengawasan pada umumnya adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan dalam organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Pengawasan merupakan kegiatan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian dan pengawasan antara lain :


1)      Obyektif dan menghasilkan fakta
2)      Pengawasan harus bersikap obyektif didasarkan atas fakta yang diperoleh di lapangan. fakta juga merupakan kejadian yang ditemukan dalam proses kegiatan.
3)      Pengawasan harus berpangkal dari keputusan pimpinan
4)      Preventif, Pengawasan harus bersifat mencegah sedapat mungkin jangan sampai terjadi penyimpangan atau kesalahan dari tujuan yang ditetapkan.
5)      Pengawasan bukan tujuan
6)      Efisiensi
7)      Apa yang salah, Pengawasan harus ditujukan untuk mencari penyebab terjadinya penyimpangan, kesalahan serta menemukan jalan untuk memecahkan permasalahan.
8)      Hasil yang diperoleh dari pengawasan harus diikuti dengan tindakan yang tepat
      Semua fungsi manajemen dalam penerapan proses kegiatan suatu organisasi adalah merupakan suatu tahapan yang saling berkaitan satu sama lain. Praktek manajemen adalah merupakan kegiatan yang sangat kompleks, terjadi saling mempengaruhi dan kombinasi antara berbagai elemen. Oleh karena itu dalam prakteknya seorang menejer dituntut untuk memperhatikan berbagai  pertimbangan pada saat menerapkan suatu peraturan yang telah ditetapkan.
B. KONSEP MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU DALAM PENDIDIKAN
Mutu pendidikan, sebagai satu pilar pengembangan sumber daya manusia sangat penting maknanya bagi pembangunan nasional. Bahkan dapat dikatakan masa depan bangsa terletak pada keberadaan pendidikan yang berkualitas pada masa kini, pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang berkualitas. Karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan titik strategi dalam upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas.[8]          Manajemen peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada lembaga itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan tehnik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif dan kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen lembaga pendidikan untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi guna memenuhi kebutuhan peserta didik.
1.      Konsep Mutu
a.       Pengertian Mutu
Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang dikemukakan oleh W. Edward Deming, salah seorang pioner kualitas menyatakan bahwa  kualitas itu memiliki banyak kriteria  yang selalu berubah. Deming mengatakan mutu  adalah a predictable degree of unifornity and dependability at a low cost suited to market.  Sedangkan Joseph Juran mengatakan fitness for use, as judged by the user, Philip B. Crosby mengatakan conformance to requirements , dan Armand V. Feigenbaum mengatakan full customer satisfaction.[9]
Definisi kualitas yang diterima secara umum mencakup elemen-elemen berikut: 1)  mempertemukan  harapan pelanggan (customer), 2) menyangkut aspek produk, servis, orang, proses dan lingkungan, dan 3) kriteria yang selalu berkembang yang berarti bahwa sebuah produk sekarang termasuk berkualitas, tetapi di lain waktu mungkin tidak lagi berkualitas. Jadi, kualitas adalah sesuatu yang dinamis yang selalu diasosiasikan dengan produk, servis, orang, proses, dan lingkungan.[10]
Menurut Edward Sallis, kualitas itu memang sesuatu yang tarik menarik antara sebagai konsep yang absolut dan relatif. Namun, ia menegaskan bahwa kualitas  sekarang ini lebih digunakan sebagai konsep yang absolut. Karena itu, kualitas mempunyai kesamaan arti dengan kebaikan, keindahan, dan kebenaran; atau keserasian  yang tidak ada kompromi. Standar kualitas itu  meliputi dua, yaitu; kualitas yang didasarkan pada standar produk/jasa; dan kualitas yang didasarkan pada pelanggan (customer). Kualitas yang didasarkan pada produk/jasa, memiliki beberapa kualifikasi[11]:: 1) sesuai dengan spesifikasi, 2) sesuai dengan maksud dan kegunaannya, 3) tidak salah atau cacat, dan 4) benar pada saat awal dan selamanya. Sementara itu, kualitas yang didasarkan pada customer, mempunyai kualifikasi; 1) memuaskan pelanggan (customer satisfaction), 2) melebihi harapan pelanggan, dan 3) mencerahkan pelanggan.[12]
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu (quality) adalah sebuah metodologi, tentang (ukuran) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunaannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.
b.      Model Mutu Deming dan Philips Crosby
Deming melihat bahwa masalah mutu terletak pada masalah manajemen. Masalah utama dalam dunia industri adalah kegagalan manajemen senior dalam menyusun perencanaan ke depan. Biasanya, perencanaan tersebut bukan merupakan serangkaian langkah untuk menerapkan mutu, tapi lebih merupakan desakan serius terhadap manajemen tentang ‘apa yang harus dan tidak boleh dilakukan’ agar organisasi berhasil dengan baik. Deming menawarkan 14 poin penting tentang mutu, yaitu:
1)      Ciptakan sebuah usaha peningkatan produk dan jasa, dengan tujuan agar bisa kompetitif dan tetap berjalan serta menyediakan lowongan pekerjaan.
2)      Adopsi falsafah baru. Sebuah organisasi tidak akan mampu bersaing jika mereka terus mempertahankan penundaan waktu, kesalahan, bahan-bahan cacat dan produk yang jelek.
3)      Hindari ketergantungan pada inspeksi massa untuk mencapai mutu. Inspeksi tidak akan meningkatkan atau menjamin mutu. Anda tidak dapat menginspeksi mutu dalam produk.
4)      Ahiri  praktek menghargai bisnis dengan harga. Metode yang ditawarkan mutu  terpadu adalah mengembangkan hubungan dekat dan berjangka panjang dengan pensuplai, dan sebaiknya pensuplai tunggal, dan bekerjasama dengan mereka dalam mutu komponen.
5)      Tingkatkan secara konstan sistem produksi dan jasa, untuk meningkatkan mutu dan produktivitas, dan selanjutnya turunkan biaya secara konstan. Ini merupakan tugas manajemen untuk mengarahkan proses peningkatan dan menjamin bahwa ada proses perbaikan yang berkelanjutan.
6)      Lembagakan pelatihan kerja. Pemborosan terbesar dalam sebuah organisasi adalah kekeliruan menggunakan keahlian orang-orangnya secara tepat. Pelatihan adalah alat kuat dan tepat untuk perbaikan mutu.
7)      Lembagakan kepemimpinan. Makna dari hal tersebut adalah berubah dari manajemen tradisional yang selalu memperhatikan hasil indikator prestasi, spesifikasi dan penilaian menuju peranan kepemimpinan yang mendorong peningkatan proses produksi barang dan jasa yang lebih baik.
8)      Hilangkan rasa takut, agar setiap orang dapat bekerja secara efektif. Keamanan adalah basis motivasi yang dibutuhkan para pegawai. Deming yakin bahwa pada hakikatnya setiap orang ingin melakukan kerja dengan baik asalkan mereka bekerja dalam lingkungan yang mampu mendorong semangat mereka.
9)      Uraikan kendala-kendala antara departemen. Orang dalam departemen yang berbeda harus dapat bekerja bersama sebagai sebuah tim.
10)  Hapuskan slogan, desakan, dan target, serta tingkatkan produktifitas tanpa menambah beban kerja. Tekanan untuk bekerja giat merepresentasikan sebuah pemaksaan kerja oleh seorang manajer.
11)  Hapuskan standar kerja yang menggunakan quota numerik. Mutu tidak dapat diukur dengan hanya mengkonsentrasikan pada hasil proses. Bekerja untuk mengejar quota numerik sering menyebabkan terjadinya pemotongan dan penyusutan mutu.
12)  Hilangkan kendala-kendala yang merampas kebanggaan karyawan atas keahliannya.  Hal ini perlu dilakukan dengan menghilangkan sistem penilaian dan penghitungan jasa.
13)  Lembagakan aneka program pendidikan yang meningkatkan semangat dan peningkatan kualitas kerja. Semakin tahu, orang akan semakin giat bekerja.
14)  Tempatkan setiap orang dalam tim kerja agar dapat melakukan transformasi. Transformasi menuju sebuah kultur mutu adalah tugas setiap orang, ia juga merupakan tugas terpenting dari manajemen.
14 Poin Deming tersebut merupakan kombinasi filsafat baru tentang mutu dan seruan terhadap manajemen untuk merubah pendekatannya. Dia mengkombinasikan konsep tersebut mulai dari wawasan psikologis sampai pada kendala-kendala dalam mengadopsi kultur mutu (quality culture). Pendekatan mencegah lebih baik dari pada mengobati, merupakan kontribusi unik Deming dalam memahami bagaimana cara menjamin pengembangan mutu.
Sebagaimana halnya Deming dalam konsep mutunya, Philip Crosby pun menerapkan 14 langkah dalam meraih mutu, yaitu:
 langkah pertama yang mendasar dalam sebuah program mutu, adalah komitmen manajemen (management commitment). Hal ini adalah hal yang krusial menuju sukses dan merupakan poin yang disepakati oleh semua para ahli mutu. Inisiatif mutu harus diarahkan dan dipimpin oleh manajemen senior. Crosby menandaskan bahwa komitmen ini harus dikomunikasikan dalam sebuah statemen kebijakan mutu, yang harus singkat, jelas, dan dapat dicapai. Langkah kedua adalah membangun tim peningkatan mutu (quality improvement team) diatas dasar komitmen. Karena setiap fungsi dalam organisasi menjadi konstributor potensial bagi kerusakan dan kegagalan mutu, maka setiap bagian organisasi harus berpartisipasi dalam upaya peningkatan mutu. Tim peningkatan mutu memiliki tugas mengatur dan mengarahkan program yang akan diimplementasikan melalui organisasi. Tim ini tidak melakukan seluruh kerja mutu. Tugas penting dari tim peningkatan mutu adalah untuk menentukan bagaimana menspesifikasikan kegagalan dan peningkatan mutu.
 Langkah  ketiga, Pengukuran mutu (quality measurement). Hal ini dibutuhkan untuk mengukur ketidak-sesuaian yang saat ini atau yang akan muncul, dengan cara evaluasi dan perbaikan. Bentuk-bentuk pengukuran ini berbeda antara organisasi produksi dan organisasi pelayanan, dan bentuk-bentuk tersebut bergantung pada data inspeksi, laporan pemeriksaan, data statistik, dan data umpan-balik dari pelanggan. Kontributor utama terhadap pengukuran mutu diberikan dalam langkah keempat dengan mengukur Biaya mutu (the cost of quality). Biaya mutu terdiri dari biaya kesalahan, biaya kerja ulang, biaya pembongkaran, biaya inspeksi, dan biaya pemeriksaan. Mengidentifikasi biaya mutu dan memberikan perhatian yang lebih terhadapnya adalah hal yang penting untuk dilakukan.
Langkah kelima adalah Membangun kesadaran mutu (quality awareness). Yaitu langkah untuk menumbuhkan kesadaran setiap orang dalam organisasi tentang biaya mutu (the cost of quality) dan keharusan untuk mengimplementasikan program yang dicanangkan tim peningkatan mutu (quality improvement team). Dia berpendapat bahwa kesadaran mutu harus menjadi kunci dasar dan dihubungkan dengan urutan peristiwa yang konstan. Ketika kesadaran mutu ini berhasil ditumbuhkan, maka langkah keenam bisa diterapkan, yaitu Kegiatan perbaikan (corrective actions). Para pengawas harus bekerjasama dengan para staf untuk memperbaiki mutu yang rendah.
Salah satu cara untuk menyoroti proses peningkatan mutu adalah melalui langkah ketujuh, Perencanaan Tanpa Cacat (Zero Defects Planning). Dia berpendapat bahwa program tanpa cacat harus diperkenalkan dan dipimpin oleh tim peningkatan mutu yang juga bertanggung jawab terhadap implementasinya. Crosby berpendapat bahwa seluruh staf harus menandatangani kontrak formal untuk mewujudkan tanpa cacat dalam tugas dan kerja mereka.
Langkah kedelapan menekankan perlunya Pelatihan Pengawas (Supervisor Training). Pelatihan ini adalah penting bagi para manajer agar mereka memahami peranan mereka dalam proses peningkatan mutu dan pelatihan ini bisa dilakukan melalui program pelatihan formal. Pelatihan ini juga penting bagi para staf yang melaksanakan peranan manajemen menengah.  Selanjutnya, langkah kesembilan adalah menyelenggarakan Hari tanpa cacat (zero defects day). Ini adalah kegiatan sehari penuh yang memperkenalkan ide tanpa cacat. Pada dasarnya, ini adalah sebuah pesta untuk menyoroti dan merasakan penerapan metode tanpa cacat dan untuk menekankan komitmen manajemen terhadap metode tersebut.
Langkah kesepuluh adalah Penyusunan tujuan (goal setting). Begitu kontrak kerja untuk melaksanakan tanpa cacat telah dibuat dan ide-die tersebut telah diluncurkan dalam hari tanpa cacat, maka adalah sangat penting untuk merencanakan aksi yang lengkap. Tujuan yang hendak dituju oleh tim harus spesifik dan terukur.
Pada akhirnya, Penyusunan tujuan ini mengantarkan pada langkah kesebelas, yaitu Penghapusan sebab kesalahan (error-cause removal). Langkah ini harus dimaksudkan agar para staf dapat mengkomunikasikan kepada manajemen tentang situasi-situasi tertentu yang mempersulit implementasi metode tanpa cacat. Hal ini dapat diraih dengan mendesain sebuah bentuk standar yang sesuai dengan garis manajemen.
Penting untuk memberikan apresiasi kepada mereka yang berpartisipasi dalam latihan-latihan peningkatan mutu, Crosby menyatakan hal tersebut dalam langkah keduabelas, yaitu Pengakuan (Recognition). Menurutnya, orang-orang tidak bekerja untuk uang, karena pada saat gaji mereka sudah stabil, ada sebuah hal yang lebih penting bagi mereka. Dan hal tersebut adalah penghargaan terhadap prestasi dan kontribusi mereka. Crosby berpendapat bahwa penghargaan tersebut harus dihubungkan dengan rancangan tujuan. Penghargaan tersebut bisa berupa hadiah atau sertifikat. Yang penting adalah pengakuan, bukan uang.
Langkah ketigabelas mendirikan dewan-dewan mutu (quality councils). Bagian dari peran Dewan Mutu adalah mengawasi efektifitas program dan menjamin bahwa proses peningkatan tersebut terus berlanjut. Sebagaimana ditekankan Crosby dalam langkah keempatbelas, Lakukan lagi (do it over again). Program mutu adalah proses yang tidak pernah berakhir. Ketika tujuan program telah tercapai, maka program tersebut harus dimulai lagi.
2.      Total Quality Management Sebagai Konsep Peningkatan Mutu Pendidikan
a.       Pengertian Total Quality Management
‘Total’ mempunyai konotasi seluruh system, yaitu seluruh input, seluruh proses, dan seluruh customer. Sedangkan quality berarti karakteristik sesuatu yang memenuhi kebutuhan customer dan ‘management’ berarti proses untuk menghasilkan ouput secara baik, dan menghasilkan outcome sesuai kebutuhan customer.[13]
Edward Sallis[14] menyatakan bahwa Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus-menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang
Senada dengan pengertian ini, Husaini Usman menyatakan bahwa TQM adalah budaya peningkatan mutu pendidikan secara terus menerus, fokus pada pelanggan sekolah demi kepuasan jangka panjangnya, dan partisipasi warga sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah.[15]
TQM merupakan suatu pendekatan sistematis terhadap perencanaan dan manajemen aktivitas, yang memiliki motto:  Do the right think, first time, every time, yaitu “kerjakan sesuatu yang benar dengan benar, sejak pertama kali, setiap waktu[16] TQM merupakan pendekatan system secara menyeluruh (bukan suatu bidang atau program terpisah) dan merupakan bagian terpadu strategi tingkat tinggi. System ini bekerja secara horizontal menembus fungsi dan departemen, melibatkan semua karyawan dari atas sampai bawah, meluas ke hulu dan ke hilir, mencakup mata rantai pemasok dan customer. [17]
Program-program TQM tidak harus menggunakan nama TQM, beberapa organisasi memasukkan filosofi TQM dengan menggunakan nama yang mereka pilih. Boots the Chemist menyebut program mutunya dengan “Assured Shopping”. American Express menggunakan istilah AEQL, American Express Quality Leadership. Organisasi ini lebih menekankan ‘kepemimpinan (leadership)’ dan bukan ‘manajemen’. Total Quality Control, Total Quality Service, Continous Improvement, Strategic Quality Management, Systematic Improvement, Quality First, Quality Initiatives, Service Quality adalah sebagian dari beberapa nama yang digunakan beberapa institusi, yaitu TQM. Misalnya, jika sekolah tertentu merasa lebih baik memberi nama “Pupils First” atau “The School Improvement Program”, maka itu adalah kebebasan mereka. Yang terpenting bukanlah nama, tapi yang terpenting adalah pengaruh dari program mutu tersebut terhadap kultur sekolah. Pelajar dan orang tua akan tertarik pada perubahan yang diciptakan oleh sekolah, bukan pada namanya.[18]
b.      Unsur-Unsur Kunci Total Quality Management
1). Focus pada pelanggan
Pada saat mendengar kata pelanggan, kebanyakan orang mengasosiasikannya dengan pembeli,[19] sehingga pengertian ini menjadi sempit. Kata pelanggan memiliki arti yang jauh lebih luas karena mencakup mereka yang memperoleh manfaat dari suatu kegiatan baik produksi maupun jasa. Vincent Gaspersz mendefinisikan bahwa pelanggan adalah semua orang yang menuntut perusahaan atau organisasi untuk memenuhi suatu standar kualitas tertentu, dan karena itu akan memberikan pengaruh pada performansi pada perusahaan atau organisasi tersebut.[20]
Dalam konteks pendidikan, istilah pelanggan sering diperdebatkan.[21] Terlepas dari perdebatan tersebut pengertian pelanggan pendidikan adalah mereka yang memperoleh manfaat dari produk atau jasa pendidikan yang telah disajikan,[22] meliputi; peserta didik, orang tua, guru, pengusaha, dan pemerintah.
Berdasarkan keterlibatannya, pelanggan dalam pendidikan dapat dikategorikan atas pelanggan internal dan eksternal.[23] Pelanggan internal (internal customer) adalah orang yang berada di dalam lembaga pendidikan dan memiliki pengaruh pada performansi. Termasuk pelanggan internal adalah pimpinan sekolah, guru dan staff pendukung. Di samping sebagai pelanggan internal, mereka yang berada di dalam institusi juga turut memberikan pelayanan jasa bagi para koleganya. Hubungan internal yang kurang baik akan menghalangi perkembangan institusi dan akhirnya akan membuat pelanggan eksternal menderita.
Sedangkan pelanggan eksternal (external customer) adalah orang yang memakai akhir produk pendidikan dan sering disebut sebagai pelanggan nyata (real customer). Pelanggan eksternal dibagi menjadi tiga yaitu: eksternal primer sebagai kelompok sasaran utama (pelajar), eksternal sekunder orangtua murid, pejabat pemerintah, pemilik lapangan kerja, dan eksternal teritorial yaitu pihak lain yang memanfaatkan hasil pendidikan seperti pasar kerja, pemerintah dan masyarakat.
2). Obsesi terhadap mutu
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, pelanggan internal dan eksternal menentukan mutu. Dengan mutu tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi yang diinginkan pelanggan yang berarti bahwa semua karyawan berusaha melaksanakan setiap aspek pekerjaannya. Apabila suatu organisasi terobsesi dengan mutu maka berlaku prinsip good enough is never good enough.[24]
3). Pendekatan ilmiah
Pendekatan ilmiah adalah salah satu konsep fundamental yang memisahkan pendekatan mutu total dari cara-cara lain dalam menjalankan bisnis. Peter Scholtes menggambarkan pendekatan ilmiah sebagai mengambil keputusan berdasarkan data, mencari sebab akar dari masalah, dan mencari jalan keluar permanen dan bukannya bersandar pada perbaikan-perbaikan yang cepat.[25] Pendekatan ini sangat diperlukan terutama untuk mendesain pekerjaan, dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang didesain tersebut. Dengan demikian, data lapangan sangat diperlukan dalam menyusun patok duga, memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan.[26]
Peter Scholtes memberi strategi untuk melakukan pendekatan ilmiah terhadap pekerjaan menetapkan mutu total : (a) Kumpulkan data yang berarti, (b) Identifikasi sebab akar dari masalah, (c) Kembangkan jalan keluar yang tepat, (d) Rencanakan dan buatlah perubahan.
4). Komitmen jangka panjang
Manajemen mutu terpadu pendidikan merupakan paradigma baru, untuk dibutuhkan budaya sekolah yang baru pula. Komitmen jangka panjang sangat diperlukan guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan baik.[27]


5). Kerjasama tim (team work)
Kerja tim dalam suatu organisasi merupakan komponen penting dari implementasi TQM, hal tersebut dikarenakan kerja tim akan meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki komunikasi dan mengembangkan kemandirian.[28]
Peningkatan mutu digerakkan oleh sekelompok tim yang didesain untuk menyelesaikan suatu masalah, meningkatkan proses yang sudah ada atau merancang sebuah proses baru. Perincian tugas dan pengaturannya akan mempermudah pencapaian sukses. Meskipun gagal, dengan adanya perincian tugas tersebut maka tidak akan merendahkan kredibilitas keseluruhan proses. Rangkaian proyek atau kegiatan yang sekecil apapun bila sukses dapat menjadi modal untuk mendapatkan kesuksesan yang lebih besar. Meskipun demikian proyek-proyek tersebut harus memiliki tujuan umum, sehingga ada koherensi dan arah yang jelas dengan hasil akhir yang dituju, yakni manfaat bagi pelanggan baik eksternal maupun internal. Sebagai langkah awal, tim harus dilatih tentang cara menggunakan pendekatan-pendekatan metodik dan menemukan solusi yang baku dan berjangka panjang. Dalam organisasi yang dikelola secara tradisional sering tercipta persaingan antar guru. Akan tetapi, persaingan internal ini, cenderung hanya menghabiskan energi saja, yang pada gilirannya tidak meningkatkan daya saing eksternal. Sebaliknya, organisasi TQM menerapkan kerjasama tim, kemitraan dijalin dan dibina, baik antar warga sekolah maupun luar sekolah.[29]
6). Perbaikan system yang berkesinambungan
TQM adalah sebuah pendekatan praktis, namun strategis, dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan dan kliennya. Tujuannya adalah untuk mencari hasil yang lebih baik. TQM bukan merupakan sekumpulan slogan, namun merupakan suatu pendekatan sistematis dan hati-hati untuk mencapai tingkatan kualitas yang tepat dengan cara konsisten dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. TQM dapat dipahami sebagai filosofi perbaikan tanpa henti hingga tujuan organisasi dapat dicapai dan dengan melibatkan segenap komponen dalam organisasi.[30]
Ahli mutu Peter R. Scholtes merekomendasikan lima kegiatan yang dianggap penting bagi perbaikan terus menerus:
a)      Peliharalah komunikasi, komunikasi dalam perbaikan mutu adalah suatu keharusan, adalah penting untuk berbagi informasi sebelum, selama, sesudah mencoba melakukan perbaikan.
b)      Perbaikilah masalah-masalah yang jelas,
c)      Lihatlah ke hulu. Carilah kasus  bukan gejalanya. Ini merupakan poin yang sulit dilakukan dengan orang yang biasa melihat sepintas pada suatu situasi dan memadamkan api secepat mungkin tanpa mengambil waktu untuk menentukan apa penyebabnya.
d)      Dokumentasikan masalah dan kemajuan
e)      Pantaulah perubahan,
Perbaikan mutu tidak hanya sekedar terjadi, hal itu harus ditangani secara sistemik, langkah demi langkah. Supaya sebuah organisasi bisa melakukan perbaikan secara terus menerus, maka harus ada penstrukturan secara tepat. Pelopor mutu Josep Juran menyebut ini ” mobilisasi perbaikan mutu” langkah-langkahnya sebagai berikut:
a)      Bentuklah dewan mutu. Dewan mutu memiliki tanggung jawab untuk perbaikan terus menerus. Menurut Juran, tanggung jawab utama dewan ini adalah meluncurkan, mengkoordinasikan dan melembagakan perbaikan mutu tahunan. Adalah penting bahwa keanggotaan melibatkan para pengambil keputusan tingkat eksekutif.
b)      Kembangkanlah satu pernyataan tanggung jawab. Dalam hal ini semua anggota dewan mutu serta karyawan memahami tanggung jawab dewan. Tanggungjawab yang hendaknya ditetapkan meliputi: 1). Rumusan kebijakan berkaitan dengan mutu; 2) Menentukan tolak ukur (bechmark); 3). Membangun tim dan proses seleksi proyek; 4) Memberikan sumber daya yang diperlukan; 5), Implementasi proyek; 6) Menetapkan ukuran mutu untuk memantau kemajuan dan menangani upaya pemantauan; 7). Mengimplementasikan suatu imbalan yang memadai dan program pengakuan.
c)      Membangun infrastruktur yang diperlukan, misalnya subkomite dewan yang bertanggungjawab atas `tugas-tugas` khusus, tim perbaikan proyek, menejer perbaikan mutu, program pelatihan mutu, dan proses perbaikan yang terstruktur.
7). Pendidikan dan pelatihan
Pendidikan dan pelatihan adalah fundamental bagi TQM karena menggambarkan cara terbaik untuk memperbaiki orang secara terus menerus. Menurut Scholtes:
Dalam sebuah organisasi setiap orang terus menerus belajar, manajemen mendorong karyawan untuk terus meningkatkan tingkat keterampilan teknis mereka dan keahlian profesional mereka. Orang mendapatkan suatu penguasaan yang semakin besar atas pekerjaan mereka dan belajar untuk memperluas kemampuan mereka.

Melalui pendidikan dan pelatihan itulah orang yang tahu bagaimana bekerja keras, juga bagaimana bekerja secara cerdik.[31]
8). Kebebasan yang terkendali
Ketertiban dan pemberdayaan guru dan staf tata usaha dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah sangat penting karena dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat serta dapat memperkaya wawasan dan pandangan dalam suatu keputusan. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil pengendalian yang terencana. Pengendalian dilakukan terhadap metode pelaksanaan setiap proses, dalam hal ini karyawan yang melakukan standarisasi proses dan mereka pula yang berusaha mencari cara untuk meyakinkan setiap orang agar bersedia mengikuti prosedur tersebut.[32]
9). Kesatuan tujuan
Agar TQM dapat diterapkan dengan baik maka sekolah harus memiliki kesatuan tujuan yang jelas. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Akan tetapi, kesatuan tujuan ini tidak berarti harus selalu ada persetujuan antara pihak kepala sekolah dengan guru dan staf tata usaha mengenai upah dan kondisi kerja.[33]
10). Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan (Guru dan staf tata usaha)
Keterlibatan guru dan staf tata usaha merupakan hal yang paling penting dalam penerapan TQM. Usaha dalam melibatkan mereka mempunyai manfaat: 1). Dapat menerapkan keputusan yang baik dan perbaikan yang lebih efektif mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja, 2). Meningkatkan “rasa memiliki” dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang yang harus melaksanakan.[34] Melibatkan karyawan dalam keputusan-keputusan yang diambil sehubungan dengan pekerjaan mereka adalah satu prinsip yang fundamental dari manajemen yang baik[35].
 Menurut Dr. Isobel Pfeiffer dan Dr. Jane Dunlop dari Universitas Georgia:
Pemberian wewenang merupakan kunci bagi motivasi dan produktivitas, seorang karyawan yang merasa dia itu bernilai dan dapat memberi kontribusi, siap untuk membantu dan bertumbuh dalam tugas. Pemberian wewenang membuat orang mampu untuk berkembang secara pribadi dan profesional sehingga sumbangnya di tempat kerja itu dimaksimalkan.


c.       Mutu Pendidikan Dalam Total Quality Management
Total Quality Management, atau sering disebut pelaksanaan menejemen mutu total di sekolah saat ini dipandang cukup relevan dan signifikan seiring dengan pelaksanaan UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dan UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional serta kehadiran Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Di dalam Standar Isi termuat tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pemberlakuan dan pemberian kewenangan sekolah/satuan pendidikan untuk merancang, menyusun, melaksanakan kurikulum yang dibuat secara bersama-sama dengan warga sekolah dan stakeholders sebagai salah satu wujud pemberian otonomi sekolah dalam penerapan School Based Management.
Upaya pendekatan mutu dalam suatu lembaga pendidikan belum menghasilkan keberhasilan yang cukup tinggi disebabkan karena: (1) tidak memusatkan pada proses pembelajaran yang terfokus untuk ketercapaian tujuan-tujuan yang harus dicapai, (2) lebih mementingkan produk/prestasi/lulusan berupa hasil evaluasi yang berupa angka-angka yang ternyata kurang tepat, (3) kurang kepedulian tenaga kependidikan dalam proses pembelajaran untuk perbaikan-perbaikan melalui pengamatan terus-menerus agar memberikan jaminan mutu dalam mem-buahkan hasil jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Untuk itu diperlukan pengelolaan lembaga dengan pendekatan mutu secara menyeluruh atau terpadu (total quality management) yang menekankan kepada 5 (lima) sasaran mutu pada pendidikan, yaitu: (1) mutu lulusan/produk, (2) proses, (3) layanan, (4) sumber daya tenaga pendidik/kependidikan dan (5) lingkungan tempat pendidikan.[36]

1.      Mutu proses pembelajaran
Pendidikan sebagai suatu sistem, tidak lain adalah merupakan suatu totalitas fungsional terarah pada satu tujuan. Setiap subsistem yang ada dalam sistem tersusun dan tidak dapat dipisahkan dari rangkaian unsur-unsur atau komponen-komponen yang berhubungan secara dinamis dalam suatu kesatuan. Proses pembelajaran sebagai salah satu unsur dalam dunia pendidikan bisa dikatakan merupakan unsur penting dalam dunia pendidikan. Karena melalui hasil proses pembelajaran inilah dapat diukur berhasil atau tidaknya suatu kegiatan program pendidikan.
Sekolah merupakan tempat belajar yang memberikan layanan pembelajaran yang bermutu melalui strategi pembelajaran yang bervariasi, penilaian kontinu dengan follow up yang cepat dan tepat, mendorong partisipasi siswa dalam pembelajaran, serta memperhatikan kehadiran siswa, pelaksanaan tugas siswa.[37] Layanan pembelajaran merupakan aspek utama organisasi sekolah. Sekolah yang efektif senantiasa responsive dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan yang kompleks dan penuh ketidakpastian. Espejo mengungkapkan bahwa “the competitif landscape is changing and new models of competitivenes are need to deal with the chalengges a head”.
Dinyatakan bahwa organisasi harus mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dalam memberikan kualitas produk dan jasa kepada pelanggannya dalam era kompetisi yang semakin baik. Layanan pembelajaran merupakan urusan utama sekolah yang menjadi patokan, terjadi atau tidaknya perubahan kemampuan siswa sebagai representasi dari upaya yang dilakukan guru dan manajemen sekolah. Oleh karena itu, layanan pembelajaran sekolah efektif ditujukan pada penciptaan sekolah sebagai organisasi pembelajar (learning organization).[38] Proses pendidikan yang bermutu apabila mampu menciptakan suasana yang PAKEMB (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Menyenangkan, dan Bermakna).
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan[39]:
a)      Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layanan yang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
b)      Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat” sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali, sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa .
c)      Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
d)      Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg / tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal;
e)      Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat ) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap di dalam dunia kerja
Berdasarkan uraian di atas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu di lingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork) yang saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals)  akan tercipta dengan baik.

2.      Mutu layanan sekolah
Dewasa ini jasa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu dekade terahir. Keberhasilan jasa pendidikan ditentukan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa pendidikan siswa.[40]
Mutu layanan, tidak hanya menyangkut saat pelaksanaan layanan proses pembelajaran, tetapi juga layanan tat kala siswa berurusan dengan administrasi, dan bimbingan siswa. Mutu layanan termasuk kecepatan yang harus dilakukan oleh guru, nilai-nilai bimbingan dsb, sehingga menghasilkan image dan persuasif positif pada mahasiswa/siswa dan tidak menimbulkan kekecewaan bagi setiap mahasiswa/siswa dan dosen/guru.[41]
Fokus dari kualitas adalah pada kepuasan pelanggan, sehingga kepuasan mereka merupakan misi yang harus diwujudkan apabila lembaga pendidikan dan kegiatan-kegiatannya ingin diterima dan berkembang di masyarakat. Pada dasarnya kepuasan pelanggan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi.
Menurut Zeithaml et al dalam penelitiannya,[42] kepuasan pelanggan dalam bisnis pelayanan jasa dapat diukur dari kesenjangan antara harapan dan persepsi pelanggan tentang pelayanan yang akan diterima. Harapan pelanggan mempunyai dua pengertian. Pertama, apa yang pelanggan yakini akan terjadi pada saat layanan disampaikan. Kedua, apa yang diinginkan pelanggan untuk terjadi (harapan). Persepsi adalah apa yang dilihat atau dialami setelah memasuki lingkungan yang diharapkan memberi sesuatu padanya. Secara tradisional pengertian kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan merupakan perbedaan antara harapan dan kinerja yang dirasakan (perceived performance).
Kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua variabel kognitif yakni harapan pada saat sebelum pembelian yaitu keyakinan tentang kinerja yang diantisipasi dari suatu produk jasa dan yaitu perbedaan antara perbedaan pra-pembelian dan persepsi dari purna-pembelian.[43]
Kottler mendefinisikan kepuasan pelanggan adalah kepuasan yang dirasakan oleh konsumen setelah membandingkan antara harapan dengan kenyataan yang ada.[44] Hal senada juga disampaikan Day dalam Tjiptono mengatakan: “Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya atau harapan kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.”[45]
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kepuasan siswa, orangtua, atau pemakai jasa adalah perbandingan antara harapan yang diinginkan para siswa/orangtua pada saat mereka mendaftar (mendaftarkan anak) menjadi siswa sekolah tertentu,  dengan apa yang mereka rasakan setelah mengikuti pelajaran (persepsi). Persepsi adalah situasi yang dihadapi setelah mengikuti atau menyelesaikan suatu tahapan pembelajaran sehingga mereka benar-benar memahami apa yang dihadapinya. Apabila dilihat dari sudut pemakai jasa pelayanan pendidikan, maka harapan adalah keinginan untuk mendapatkan lulusan yang siap memasuki dunia mereka sedangkan persepsi adalah apa yang dilihat, dialami atas hasil kerja keluaran pendidikan.
Untuk mengetahui kepuasan pelanggan dapat diukur dengan berbagai metode, di antaranya yaitu:[46]
a)      Sistem keluhan dan saran. Lembaga pendidikan memberikan kesempatan kepada pelanggannya untuk menyampaikan keluhan dan saran.
b)      Ghost shopping. Yaitu mempekerjakan orang untuk berperan sebagai pengguna potensial, kemudian melaporkan temuannya tentang kekuatan dan kelemahannya hasil produksinya.
c)      Lost customer analysis. Yaitu organisasi menghubungi pelanggan yang telah drop out atau  pindah pada organisasi lain agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi.
d)      Survei kepuasan lapangan. Untuk mengetahui apakah pelanggan merasa puas atau tidak, bisa dilakukan dengan penelitian survei baik melalui telepon atau wawancara langsung agar memperoleh tanggapan dan umpan balik.
Selain metode di atas, John West-Burnham menambahkan metode untuk memahami kepuasan pelanggan yaitu mengadakan pertemuan tim.[47] Semua anggota team dapat memberikan umpan balik terhadap agenda reguler yang terkait kepada para penyalur dengan tujuan meninjau ulang jasa disajikan. Sebuah team boleh juga mengundang sebagian dari pelanggannya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan secara reguler. Survei ini merupakan salah satu kekuatan yang berpotensi sebagai pengintegrasian umpan balik dan tinjauan ulang ke dalam proses operasi yang normal. Sebagai akibatnya keyakinan tumbuh dalam satu regu sehingga umpan balik akan menjadi lebih terperinci dan spesifik.
Dalam suatu empiris yang dilakukan oleh Parasuraman (1988) di Amerika Serikat diketahui bahwa terdapat lima kualitas pelayanan. Diantaranya sebagai berikut:[48]
a)      Tangible (Bukti Fisik), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, staf pengajar dan karyawan, dan sarana komunikasi. Misalnya, fasilitas pembelajaran (gedung), fasilitas labolatorium, fasilitas perpustakaan, media pembelajaran, kantin, tempat parkir, sarana ibadah, fasilitas olahraga, serta busana penampilan staf pengajar dan administrasi.
b)      Realibility, (keandalan), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat, akurat, dan memuaskan. Misalnya, mata pelajaran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, jadwal pembelajaran, proses pembelajaran yang akurat, penilaian yang objektif, bimbingan dan penyuluhan, serta aktifitas lain yang semuanya untuk memperlancar proses pembelajaran peserta didik.
c)      Responsivinese (daya tanggap), yakni kemampuan para staf untuk membantu para peserta didik dan memberikan pelayan yang cepat tanggap. Misalnya guru pembimbing mudah ditemui untuk konsultasi. Proses pembelajaran interaktif sehingga mudah bagi siswa untuk memperluas wawasan berfikir dan kreatifitasnya, prosedur administrasi lembaga pendidikan menjadi lebih sederhana.
d)      Assurance (jaminan), yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik, serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keraguan. Misalnya, seluruh staf administrasi dan pengajar, maupun pejabat struktural harus benar-benar kompeten di bidangnya sehingga reputasi lembaga pendidikan positif di mata masyarakat.
e)      Emphaty (empati), yaitu, kemudahan melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya. Misalnya, staf pengajar mengenal siswanya yang mengikuti proses pembelajaran, guru bisa benar-benar berperan sesuai fungsinya, perhatian yang tulus diberikan kepada siswanya berupa kemudahan mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, serta kemampuan memahami kebutuhan siswanya.
Dalam mempertahankan kualitas pelayanan jasa pada lembaga pendidikan menurut Gaperetz dalam bukunya Eti Rochaety, yang harus diperhatikan adalah atribut perbaikan kualitas jasa yang berkesinambungan.
a)      Ketepatan waktu pelayanan, hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan lamanya pendidikan dan waktu proses pendidikan.
b)      Akuransi pelayanan yang berkaitan dengan rehabilitasi pelayanan secara kontinu dan menekan kesalahan yang dilakukan dalam pelayanan.
c)      Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan masyarakat umum, misalnya petugas operator telephone, public relation, staf pelayanan administrasi pelayanan siswa petugas keamanan, dan semua yang terlibat dalam front office (garis depan)
d)      Tanggung jawab berkaitan dengan penerimaan saran, penanganan keluhan dari masyarakat umum sebagai pemerhati.
e)      Kelengkapan menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung, serta sarana pelayanan yang saling menunjang dan melengkapi.
f)        Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola baru dalam pelayanan lembaga pendidikan, misalnya menawarkan waktu pembelajaran yang fleksibel bagi mahasiswa yang memiliki peran ganda sebagai karyawan di berbagai instansi dan perusahaan.
g)      Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya cabang tempat belajar, misalnya untuk perguruan tinggi banyaknya cabang kampung yang berada di suatu area yang legal menurut ketentuan yang ditetapkan, banyak tersedia fasilitas pendukung pembelajaran, atau banyaknya staf administrasi yang terampil untuk melayani pelanggan.
h)      Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan khusus bagi sekelompok pelanggan yang meminta penanganan khusus.
i)        Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi lembaga pendidikan, ruang tempat pelayanan, kemudahan untuk menjangkau tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk yang mudah diakses oleh pelanggan.
j)        Atribut pendukung pelayanan lainnya, seperti dan prasarana lingkungan lembaga pendidikan, kebersihan, fasilitas kantin, dan pelayanan kesehatan.
Mengevaluasi kualitas layanan jasa pendidikan diperlukan pendekatan yang komprehensif karena jasa pendidikan merupakan jasa yang memiliki karakteristik cukup kompleks dibandingkan jasa lainnya. Karena jasa pendidikan padat model, investasi pendidikan yang berkualitas dan memiliki value dari pengguna jasa pendidikan. Terdapat dua pendekatan untuk memberikan pelayanan yang bermutu kepada pengguna jasa pendidikan, yaitu sebagai berikut[49]:
a)      Pendekatan service trianggle (segitiga layanan)
Merupakan suatu model interaktif manajemen layanan yang mencerminkan hubungan  antara lembaga pendidikan dengan para pengguna jasa pendidikan. Model tersebut terdiri dari 3 elemen, yaitu service strategi (strategi layanan), service people (sumber daya manusia yang memberikan layanan), dan service system (sistem layanan) dengan pengguna jasa pendidikan sebagai titik pusat.
b)      Total quality service
 Total quality service atau layanan mutu terpadu adalah suatu keadaan ketika sebuah lembaga pendidikan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan bermutu kepada para pelanggan maupun pemilik lembaga pendidikan (pemerintah atau yayasan) dan pegawainya. TQS memiliki 5 elemen yang saling terkait satu sama lain. Pertama, Riset pasar dan pelanggan. Kedua,  Perumusan strategi. Ketiga,  pendidikan, pelatihan, dan komunikasi. Keempat, Penyempurnaan proses. Kelima, Penilaian, pengukuran, dan umpan balik.

3.      Mutu lingkungan Fisik Dan Sosial
Sebagai lingkungan belajar (a learning environment), sekolah dituntut untuk menciptakan suatu atmosfer (an orderly atsmosferi) yang tertib, nyaman, dan menyenangkan bagi siswa belajar, menjadi an attractive working environment, suatu lingkungan kerja yang menarik bagi penghuni maupun orang-orang yang berkepentingan dengan pendidikan. Di sekolah terjadi maksimalisasi waktu belajar (maximization of learning time) tanpa ada rasa tertekan, bosan, dan membelenggu.[50] Sekolah tidak lepas dari lingkungan, dan lingkungan sekolah sangat berhubungan dengan masyarakat. Oleh Karena itu, sekolah efektif dapat diidentifikasi dari ada tidaknya dan berkualitas tidaknya hubungan sekolah dengan masyarakat (school partnership). Keberadaan orang tua atau masyarakat untuk sekolah tidak saja sebagai orang tua dari anak-anaknya yang dapat membantu pekerjaan rumah anaknya (parental involment in their childrens learning), tetapi melalui kemitraan sekolah dengan masyarakat terwujud suatu organisasi belajar (a learning organization)
Mutu lingkungan tempat pendidikan, sekolah, perpustakaan, tempat kegiatan mahasiswa/siswa dan ruang kelas dimana proses pembelajaran dan pendidikan berlangsung. Lingkungan yang bersih dan sejuk akan memberikan ketenangan dan konsentrasi dalam mengajar guru dan belajar siswa. Lingkungan tidak dalam arti sempit, tidak hanya sekedar ruang kelas, laboratorium dan bengkel yang harus bersih, sehat dan nyaman, tetapi lingkungan dalam arti luas termasuk fasilitas toilet, taman, tempat duduk, ibadah, istirahat, bermain, dsb.[51]
Lingkungan tersebut termasuk dalam kategori prasarana pendidikan di sekolah yang diklasifikasi menjadi dua macam. Pertama,  sarana pendidikan yang secara langsung di gunakan dalam proses belajar mengajar, misalnya: kapur tulis, atlas dan sarana pendidikan lainnya yang digunakan guru dalam mengajar. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar, misalnya: ruang kantor, kantin sekolah, taman dan jalan menuju sekolah, kamar kecil, ruang usaha kesehatan sekolah, ruang guru, ruang kepala sekolah dan tempat parkir.[52]
Sarana pendidikan merupakan sarana penunjang bagi proses belajar mengajar. Menurut Tim Penyusun Pedoman Pembakuan Media Pendidikan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan;
Sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar mengajar baik yang bergerak maupun tidak bergerak dalam pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien.
Fasilitas atau sarana dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
a)      Fasilitas fisik, yakni segala sesuatu yang  berupa benda atau fisik yang dapat dibedakan, yang mempunyai peranan untuk memudahkan dan melancarkan suatu usaha. Fasilitas fisik juga disebut fasilitas materiil, misalnya: kendaraan, alat tulis ATK kantor, peralatan komunikasi elektronik. Dalam pendidikan yang tergolong alat fisik materiil antara lain: perabotan ruang kelas, perabotan kantor TU, perabotan labolatorium, perpustakaan dan ruang praktek.
b)      Fasilitas uang, yakni segala sesuatu yang bersifat mempermudah suatu kegiatan sebagai akibat bekerjanya nilai uang.[53]
Agar tujuan manajemen perlengkapan sekolah bisa tercapai, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengelola perlengkapan pendidikan di sekolah, prinsip-prinsip yang dimaksud adalah (1) prinsip pencapaian tujuan, (2) prinsip efisiensi, (3) prinsip administratif, (4) prinsip kejelasan tanggung jawab, dan (5) prinsip kekohesifan. Apabila kelima prinsip tersebut diterapkan, maka manajemen perlengkapan pendidikan bisa menyokong tercapainya tujuan.[54]

4.      Mutu SDM pendidik/kependidikan
Selain merupakan aset organisasi yang paling vital, sumber daya manusia merupakan pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir sebuah jasa dan lembaganya. Oleh sebab itu, sukses tidaknya implementasi TQM sangat ditentukan oleh kesiapan, kesediaan dan kompetensi sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk merealisasikannya secara sungguh-sungguh. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigma dalam praktik MSDM. Kebijakan MSDM tradisional yang menganut budaya 2C (command and control) wajib digantikan dengan kebijakan baru berdasarkan budaya 3C (employee, commitment, cooperation, dan communication).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap para professional, SDM pemenang penghargaan kualitas Baldrige Awar, Blackburn & Rosen (1993) mengajukan 14 jam komponen strategi sumber daya manusia yang dapat memfasilitasi penerapan TQM, yaitu sebagai berikut:[55]
a)      Manajemen puncak bertanggungjawab untuk memprakarsai dan mendukung visi budaya TQM.
b)      Visi tersebut diklarifikasikan dan dikomunikasikan kepada semua insan organisasi.
c)      Berbagai system yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan dikembangkan, dilaksanakan serta diperkokoh.
d)      Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan dan manajemen puncak mendukung secara aktif pelatihan tersebut.
e)      Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.
f)        Organisasi wajib mengembangkan proses yang melibatkan berbagai macam perspektif untuk menangani isu-isu kualitas.
g)      Para karyawan diberdayakan guna mengambil keputusan yang berkualitas menurut kebijakan mereka dan desain pekerjaan harus menyatakan hal ini dengan jelas.
h)      Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekadar evaluasi kinerja masa lalu, menjadi tekanan yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para karyawan melakukan usaha berkualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di masa mendatang.
i)        Sistem pengakuan non finansial (bagi perorangan atau kelompok kerja) agar mendukung upaya pancarian kualitas total.
j)        Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim, termasuk penguasaan keterampilan tambahan.
k)      Berbagai system yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang organisasi untuk menyampaikan perhatian, gagasan, dan reaksi mereka terhadap inisiatif kualitas.
l)        Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara produktif, bukan secara reaktif.
m)    Berbagai program rekrutmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier karyawan mencerminkan realitas baru dalam mengelola dan bekerja dalam lingkungan TQM.
n)      Meskipun membantu pihak lain untuk mengimplementasikan proses yang mendukung TQM, professional sumber daya manusia dengan pedoman yang sama.
Guru merupakan ujung tombak pendidikan, keberadaan guru akan menjadi aspek penting bagi keberhasilan sekolah, terutama bagi guru yang melaksanakan fungsi mengajarnya dengan penuh makna (purposeful teaching) dan memiliki harapan tinggi terhadap profesi dan siswanya. Dalam mengajar, guru menjadi seorang komunikator yang menanamkan harapan kepada siswanya (communicating expaction) dan dia adalah seorang yang cerdas yang setiap harinya bergelut dengan ilmu pengetahuan dan menyenangi tantangan intelektual (providing intellectual challenge).[56]
Sebagai posisi dan peran sentral maka guru adalah tenaga profesional yang mana profesionalisme guru biasanya diukur dengan adanya tingkat kompetensi yang dimiliki oleh guru, seorang guru harus memiliki kompetensi dasar seperti: (1) menguasai materi atau bahan ajar; (2) antusiasme, dan; (3) penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik, sedangkan secara peraturan dalam pasal 8 UU Guru dan Dosen secara eksplisit menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Disisi lain sebagai satu hal yang bersifat profesional maka profesi tersebut harus memperoleh penghasilan untuk kehidupannya (learning for living).[57]
Mutu sumber daya tenaga pendidik/kependidikan, menyangkut intelektual, kemampuan, keterampilan baik akademik maupun non-akademik tatkala terlibat dalam proses pembelajaran, dan evaluasi. Mutu SDM ini menyangkut penguasaan bidang studi dan atau spesialisasi perlu terus ditingkatkan dengan banyak membaca buku-buku mutakhir serta mengikuti program-program pengembangan staf melalui seminar, loka karya atau program bergelar. Hal itu harus di lakukan oleh guru dengan ikhlas dan sebaiknya terprogram agar bernilai tambah.[58]

5.      Mutu lulusan
Mutu merupakan suatu gagasan yang dinamis, tidak mutlak. Dalam dunia pendidikan, mutu lulusan sekolah dinilai berdasarkan kesesuaian kemampuan yang dimiliki dengan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Mutu lulusan suatu sekolah berdasarkan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum disebut sebagai quality in fact. Dari sisi pelanggan yaitu orang tua siswa dan masyarakat, mutu pendidikan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan selera dan kebutuhan pelanggan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat meningkatkan keinginan, minat, kebutuhan mereka, dan disebut quality in perception.[59]
Standar yang dipakai dalam pengukuran quality in fact  adalah standar proses dan pelayanan yaitu yang sesuai dengan spesifikasi dalam perencanaan, cocok dengan tujuan pendidikan dan dilaksanakan dengan zero defect (tanpa kesalahan) atau right first time and every time. Standar yang dipakai dalam pengukuran pelanggan yang dapat meningkatkan permintaan dan harapan pelanggan, yaitu orang tua siswa dan masyarakat lingkungan sekolah. Dalam era global, quality in perception didasarkan atas tuntutan masyarakat internasional.
Untuk menuju mutu yang diharapkan yaitu kepuasan semua pelanggan, kekurangan-kekurangan pendekatan mutu perlu disempurnakan melalui MMT (Manajemen Mutu Terfokus), sasaran mutu paling tidak difokuskan kepada lima sasaran mutu di atas yang harus tercapai/dicapai berdasarkan bechmark. Melalui siklus perbaikan mutu secara terus menerus, berkelanjutan, kekurangan-kekurangannya segera dapat diperbaiki dan ditekan serendah mungkin. Dengan demikian hasil/produknya akan memberikan jaminan mutu (quality assurance) kepada para pelanggan dunia pendidikan. [60]
Pendekatan mutu terpadu di atas apabila dapat dilakukan akan bermuara kepada wawasan dan budaya mutu pada para dosen/guru, pegawai, dan meningkatkan profesionalitas, jaminan mutu serta akuntabilitas lembaga pendidikan.



[1]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 1.
[2]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 3.
[3]Sufyarma M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, cet.2, 2004), 188-189.
[4]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 2.
[5]Ibid., 18-19.
[6]Soebagio Armodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT. Ardadizya Jaya, 2005), 76.
[7]Soebagio Armodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, 175.
[8]Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Rosdakarya: Bandung, 2005), 216.
[9]Suwarso Hardhosoedarmo, Total Quality Management, (Yojyakarta: Andi,2004), 68.
[10]Goetsch, David L dan Stanley B. Davis, Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Service, (New Jersey:  Prentice-Hall, Inc. 2000), 47.
[11]Ibid, 48-49.
[12]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, 22.
[13]Sowarso Harjosoedarmo, Total Quality Management, (Jogjakarta: Andi, 2004) 53.
[14]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, 73.
[15]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktek dan Roset Pendidikan, 531.  
[16]Munro. Lesley dan Malcolm, Menerapkan Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta: PT Gramedia, (Terjemahan), Cet. ke-3, 2002), vii-viii
[17]Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, 224.
[18]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, 75.
[19]Dalam pandangan tradisional, pelanggan suatu perusahaan diartikan sebagai pembeli dan pengguna hasil produksinya yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses menghasilkan produk. Lihat Fandi Tjiptono, Anastasia Diana, Total Quality Managemen (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), 100.
[20]Vincent Gaspersz, Total Quality Management (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), 33.
[21]Istilah pelanggan dianggap memiliki nada komersial yang tidak cocok dipakai dalam pendidikan, sehingga para pendidik lebih suka memakai istilah "klien" dengan konotasi jasa profesional yang menyertainya. Lih. Edward Sallis, Total Quality Manajemen in Education, 68.
[22]John West-Burnham, Managing Quality in School; Effective Strategies for Quality-based School Improvement (London: Pearson Education Limited, 1997), 41
[23]Ibid., hlm. 42
[24] Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 537.
[25]David L. Goetsch, Manajemen Mutu Total, V. I, ter. Benyamin Molan (Jakarta: Prenalindo, 2002), 138.
[26]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 537.
[27]Ibid.
[28]Edward Sallis, Total Quality Management in Education, 179.
[29]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 537.
[30]Edward Sallis, Total Quality Manajemen in Education, 76.
[31]David L. Goetsch, Manajemen Mutu Total, 12.
[32]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, 537.
[33]Ibid.
[34]Ibid.
[35]David L. Goetsch, Manajemen Mutu Total, V. I, 141.
[36]Sarbiran,  Model Mutu Pendidikan: Profesionalitas Terpadu, Artikel disampaikan pada saat Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta Ke 45, Sabtu 25 April 2008.
[37]Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, 48.
[38]Ibid, 57.
[39]Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah. (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), 56.
[40]Eti Rochaety, dkk, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Bumi Akasara, 2005), 101.
[41]Sarbiran,  Model Mutu Pendidikan: Profesionalitas Terpadu.
[42]Winarso Drajad Widido, Perlukan Lembaga Pendidikan Mutu,  http://education . yahoo. com.
[43]Vincent Gaspersz, Total Quality Management, 36.
[44]Fandy Tjiptono, Total Quality Managemen ,102
[45]Fandy Tjiptono,  Strategi Pemasaran Ed. 2 (Yogyakarta: t.p., 1998), 24.
[46]Fandy Tjiptono, Total Quality Managemen, 104.
[47]John West-Burnham, Managing Quality, 52-54
[48]Eti Rochaety, dkk, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan,  106-107.
[49]Ibid, 112.
[50] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif , 41
[51]Sarbiran,  Model Mutu Pendidikan: Profesionalitas Terpadu.
[52]Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah, c. 3. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 3.
[53]Suharsimi Arikunto dan Lia Suyanan, Manajemen Pendidikan, (Daitya Media: Yogyakarta, 2008), 274.
[54]Ibid, 5.
[55]Eti Rochaety. dkk, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, 121-122.
[56]Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, 42.
[57] HAR Tilaar,  Membenahi Pendidikan Nasional ; C. 1( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), 86.
[58]Sarbiran,  Model Mutu Pendidikan: Profesionalitas Terpadu.
[59]Hari Suderajat, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), (Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2005), 2.
[60] Sarbiran,  Model Mutu Pendidikan: Profesionalitas Terpadu.

Tidak ada komentar: