Jumat, 14 Mei 2010

pendidikan


PERAN SERTA PELAJAR DALAM BIDIKAN BUDAYA DESTRUKTIF *
By MoH. SuBhan

Prolog
Hidup adalah pilihan. Benar dan salah dalam memilih akan membawa resiko. Maka berpikirlah sejuta kali  sebelum menentukan pilihan. Penyesalan di kemudian hari tidak ada artinya.
Selamat saya ucapkan, kalian telah menentukan pilihan dengan masuk SMK Al Miftah. Semoga pilihan kalian tidak salah, Amin.

A.  Pendahuluan
Kita sekarang sedang memasuki suatu era yang disebut dunia tanpa batas (Globalisasi / bordeless society) . Dunia tanpa batas ditandai dengan dua hal utama, yaitu: Pertama, tiada sekat-sekat geografis, artinya manusia bebas mau pergi dan bertempat tinggal dimanapun yang ia suka asal mempunyai identitas diri. Kedua, kemajuan di bidang IPTEK.
Di dunia tanpa batas itu, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, budaya masyarakat lain begitu mudah masuk kedalam suatu wilayah tanpa dapat disaring. Derasnya arus budaya luar yang masuk ke wilayah Indonesia terutama melalui medium komunikasi dan hiburan, menyebabkan hancurnya tatanan sosial kemasyarakatan dengan terjadinya perubahan-perubahan yang signifikan, longgarnya ikatan moral, semakin melemahnya pranata sosial dan semakin ambruknya ikatan-ikatan tradisi yang dibangun di atas pilar-pilar agama, seperti merebaknya kehidupan malam, penyalah gunaan Napza, samen leven (free sex) dsb. Realita dari semakin longgarnya ikatan moral di sebagian masyarakat. Hubungan anak dengan orang tua semakin tidak harmonis, pelajar dan guru yang sudah tidak mengenal etika dan tatakrama. Guru dianggap sebagai teman permainannya. Karena krisis itu perilaku masyarakat menjadi permissiviness (serba boleh). Budaya yang serba boleh, yang sama sekali terlepas dari kontrol moralitas keagamaan.
Tidaklah mengherankan jika ada penyakit baru psikhososial, yaitu; “Penyakit Tega”. Dalam pemberitaan di televisi, surat kabar dan media lain, betapa menggambarkan hal itu. Dengan mudahnya orang menjadi naik darah (tersinggung  dan marah) dan melakukan tindakan radikalisme. Orang bisa membunuh hanya masalah uang recehan dan tindakan kriminal lainnya semakin bervariatif. Pornografi semakin semarak. Orang begitu tega memamerkan bagian tubuhnya yang vital, pahanya, payudara bahkan “hanu-nya”. Para pelajar juga tidak ketinggalan mereka ikut-ikutan tanpa tahu maksudnya, berpakian sangat minim, pakai anting, rambut dicat, pergaulan bebas (free sex), dsb. Para santri merasa tidak PD (percaya diri) jika tidak terlibat dengan tata nilai global, misalnya berjilbab tapi dengan celana jins yang ketat atau pakai jilbab dengan baju street (pas tubuh). Celana jins dan anting-anting adalah budaya luar yang masuk tanpa adanya selsksi yang ketat. Meskipun aturan itu sudah ada, nyatanya aturan itu tidak bernyali.
Moralitas permissiviness telah menelan banyak korban, tapi tragisnya oleh sebagian orang diberi label “HAM (Hak Asasi Manusia), sehingga terjadi berbagai macam ekspresi yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran moralitas agama dan bangsa. Budaya pop menjadi sebuah keniscayaan dan dalam banyak hal bertentangan dengan budaya Indonesia. Nampaknya manusia sudah kehilangan naluri “kemanusiaannya” yang  merupakan inti dan prasyarat dasar dari kehidupan masyarakat. Sebuah simbolisasi bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang religius dan ramah telah berubah menjadi monster-monster yang siap melahap apa saja yang berbeda. Masyarakat Indonesia dikenal religius (beragama) tapi tidak mampu membendungnya. Siapa yang harus disalahkan dan tanggung jawab siapa ? Jika hal ini dibebankan pada guru rasanya terlalu berat, kyai juga dirasa cukup berat.

B.  Apa yang Bisa dilakukan

Ada 3 institusi yang seharusnya bertanggung jawab, yaitu:
a.      Aparat penegak hukum.
b.      Aparat Birokrasi
c.       Masyarakat.
Bagi diri pribadi (termasuk pelajar) yang harus dilakukan :
  1. Menambah keimanan, ketaqwaan dan pengetahuan.
  2. Mengisi hari dengan aktivitas positip; olah raga, membaca.
  3. PD (percaya diri) terhadap budaya lokal (local culture).

Tidak ada komentar: