Kamis, 03 Juni 2010

al hudud tasqutu

Qo’waidul Fiqhiyyah


BAB I

PENDAHULUAN

Problematika dan kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks menjadikan manusia senantiasa berikhtiar untuk dapat mengatasi daan memenuhi segala kebutuhannya. Dengan kemampuan berfikirnya, manusia mampu menciptakan berbagai inovasi dalam segala bidang guna menunjang pemenuhan kebutuhan hidupnyanya.

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan yang semakin pesat, pola hidup, pranata sosial dan alat bantu kehidupan manusia juga semakin modikatif dan beragam. Namun semuanya itu bukanlah sesuatu yang tidak ada dampak maupun implikasinya. Semua hal tersebut, pada akhirnya memunculkan berbagai hal yang tidak semuanya telah mempunyai status hukum dalam syari’at agama, khususnya agama Islam. Padahal telah merupakan suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia harus berdasarkan peraturan-peraturan yang menjamin eksistensi dan kesehjahteraan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, para Ulama senantiasa ber-ijtihad dengan terus-menerus mencari bentuk terapan nash yang aplikatif dan relevan dengan perkembangan zaman.

Dalam proses ijtihad yang dilaksanakan, tidak bisa terlepas dari dasar-dasar kaidah perumusan hukum atau yang lebih dikenal dengan Qowaid al-fiqhiyah. Seorang mujtahid yang dapat mengikat fiqh dengan kaidah-kaidah ini tidak perlu menghafal semua juziyyah, karena juziyah-juziyah itu telah masuk ke dalam kuliah ini. ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab Al Asybah wan nadzair berkata:

انّ هذه القواعد هي أصول الفقه فى الحقيقة وبها يرتقى الفقيه الى درجة الإجتهاد وكانّ تدزينها مصدر فخر الفقهاء

“sesungguhnya kaidah-kaidah ini, itulah ushul fiqh yang sebenarnya. Dengan kaidah-kaidah inilah ahli fiqh meningkat ke derajat ijtihad, dan membukukan kaidah-kaidah ini merupakan sumber kemegahan para fuqaha”

Qawaid al-fiqhiyah mengandung berbagai macam kaidah yang menjadi dasar perumusan hukum syari’at.

Terkait dengan kian maraknya kasus asusila yang melanda bangsa kita yang berujung hukum had dalam islam serta kasus-kasus persengketaan yang mengancam persatuan dan kesatuan umat, perkenankanlah penulis menyampaikan dua kaidah fiqh yang berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu

• الحـدود تسقـط بالشبهـات

• البينة على المدعى واليمين على من أنكر

Kemudian mengusung konsep ihtiyath dalam segala aspek yang juga diterapkan dalam ajaran Islam, sebagaimana tercermin pada qo’idah حـريم الشيئ بمنـزلتـه . Qo’idah ini antara lain ditujukan sebagai upaya preventif agar seseorang tidak terjerumus pada lubang yang tidak diinginkan.

Dan Islam sebagai ajaran yang memudahkan bisa kita buktikan pada qo’idah keempat pembahasan ini, yaitu إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما فى الآخر غالب. Dalam menyikapi dua permasalahan yang sejenis dan seirama, Islam hanya menuntut pelaksanaan salah satunya saja, akan tetapi pahalanya tetap double alias 2 in 1.



















BAB II

PEMBAHASAN

II. A. QO’IDAH PERTAMA

الحـدود تسقـط بالشبهـات

“Hukum-hukum pidana (had) menjadi gugur sebab ada kerancuan”



1. Dasar Qo’idah

Qo’idah ini bersumber dari sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dari sanad Ibnu ‘Abbas RA;

إدرؤا الحـدود بالشبهـات

”Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana, karena adanya syubhat (ketidak jelasan)”.

Hadits yang lebih lengkap bisa dilihat pada riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim dan Ibnu Hibban yang berasal dari sanad ‘Aisyah RA berikut ini;

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ

“Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum”







2. Analisis Wajhu al-Dilalah

Hadits di atas jelas-jelas memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dalam memfonis hukum had terhadap seorang muslim. Hal itu terindikasi dari kata amar (perintah) yang digunakan oleh Rosulullah dalam meredaksiakan hadits di atas. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, berarti hal itu menunjukkan kewajiban. Namun perintah di atas tidak serta merta menjadi mutlak, karena dalam lanjutan hadits di atas ada catatannya yaitu kalimat ماستطعتم (semampunya) dalam artian ketika hal itu dimungkinkan atau ada celahnya. Kalau hadits tersebut digabungkan maka celah tersebut adalah adanya ketidakjelasan (Syubhat). Semakin jelas lagi, ketika kita membaca lanjutan hadits tersebut dengan lengkap.



3. Definisi & Kategori Syubhat

Secara bahasa had artinya mencegah, sedangkan menurut istilah; had ialah hukuman pasti (yang sudah ditentukan nash) akibat melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan hukuman tersebut. “Hukum Had (pidana)” merupakan tuntutan hukum yang berdasarkan pada ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Hadis, seperti: pencurian dan perzinahan. Hal ini berbeda dengan pengertian dari “Ta’zir” yang merupakan tuntutan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash, seperti: pelanggaran lalu lintas, mencium pacar, pornografi, penipuan melalui sms dan sebagainya.

Kemudian definisi ‘Syubhat’ adalah perkara yang tidak jelas atau samar-samar.

Kategori Syubhat meliputi tiga macam:

 Syubhat yang berhubungan dengan pelaku (شبهـة الفاعـل)

Misalnya; seseorang yang berhubungan badan dengan wanita lain yang dia sangka sebagai istrinya atau orang yang halal dia jima’.

 Syubhat yang berhubungan dengan tempat (شبهـة المحـل)

Misalnya; sesorang yang hak kepemilikannya terhadap wanita tersebut, masih belum jelas antara milik penuh atau tidak. Seperti halnya budak wanita yang dimiliki bersama orang lain, sahaya mukatabah, sahaya milik putranya, atau sahaya yang menjadi mahramnya.

 Syubhat yang berhubungan dengan tata cara (شبهـة الطـريق)

Yaitu tata cara / metode yang diperbolehkan oleh satu golongan ulama’, akan tetapi diharamkan oleh pihak ulama’ yang lain. Misalnya; nikah mut’ah, nikah tanpa ada wali ataupun tanpa saksi. Karena nikah tanpa wali dilarang oleh Imam Hanafi RA, sedangkan nikah tanpa saksi dilarang oleh Imam Malik RA.

Tiga jenis syubhat di atas bisa menggugurkan tuntutan hukuman pidana (had).

4. Contoh-contoh

 Pencuri tidak boleh dihukum potong tangan, ketika dia mencuri harta milik orang tua, anak maupun tuannya, begitu juga dengan harta milik orang tua ataupun putra-putri tuannya. Yang demikian itu disebabkan adanya kemungkinan si pencuri tadi mempunyai hak memperoleh nafkah dari harta benda mereka.

 Pencuri juga tidak boleh dihukum potong tangan, ketika dia mencuri harta benda yang dia kira sebagai milik pribadinya, milik orang tua maupun anaknya, meskipun korban pencurian mengaku bahwa harta benda tersebut jelas-jelas miliknya sendiri. Yang perlu digaris bawahi adalah si pencuri tetap memperoleh hukuman ta’zir.

 Kasus hangat video porno yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi ITENAS Bandung.

 Syubhat dapat menggugurkan kaffarat, misalnya: Bila seseorang yang sedang berpuasa atau menunaikan ibadah haji melakukan hubungan suami-istri karena lupa, maka ia tidak wajib membayar kaffarat. Begitu juga jika dia berhubungan intim karena menyangka matahari sudah terbenam (waktu berbuka) atau saat itu masih malam (belum imsak), padahal kenyataannya berseberangan dengan dugaannya. Maka puasanya menjadi batal, akan tetapi tidak perlu membayar kaffarat. Inilah pendapat Imam Qaffal.



5. Catatan

 Syubhat tidak bisa menggugurkan kewajiban membayar fidyah, karena fidyah lebih bersifat sebagai ganti rugi, lain halnya dengan kaffarat yang sifatnya sebagai hukuman, sehingga layak dikategorikan dalam permasalah hukum had.

 Syubhat subyek dan tempat bisa menggugurkan dosa dan hukum haram dari perbuatan yang dilakukan.

 Imam At-Tajjuddin as-Subky menyatakan bahwa syubhat yang bisa menggugurkan had atau kaffarat itu disyaratkan harus kuat/benar-benar nyata. Jika syubhat bersifat lemah, maka tidak mempunyai dampak apapun terhadap hukum had. Yang dimaksud dengan syubhat yang kuat (nyata) adalah syubhat yang diyakini keberadaannya oleh hati nurani dan orang-orang yang cermat bisa menunjukkan adanya syubhat tersebut berdasarkan bukti-bukti argumentatif yang diterima oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, orang yang bermain ranjang dengan sahaya wanita milik orang lain tetap diberi hukuman had, meskipun si pemilik mengizinkannya. Karena pendapat ulama yang memperbolehkannya sangat lemah.



II. B. QO’IDAH KEDUA

حـريم الشيئ بمنـزلتـه

“Batasan sesuatu (hukumnya) sesuai dengan tempatnya”

1) Dasar Qo’idah

Qo’idah ini dideduksikan dari sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari – Muslim;

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ

“Halal itu jelas (hukumnya) dan Haram juga jelas. Di antara dua hukum ini ada perkara-perkara yang Mutasyabbihat (perkara yang masih samar) yang tidak bisa diketahui oleh mayoritas manusia. Barang siapa menjaga diri dari syubhat, berarti dia telah membersihkan agama dan harga dirinya. Dan barang siapa terjerumus pada perkara haram, maka dia seperti halnya penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang, dikhawatirkan dia akan merumput di daerah terlarang tersebut.”



2) Analisis Wajhu al-Dilalah

Dalam Hadits di atas, seseorang dilarang mengembala di daerah terlarang maupun daerah sekitarnya. Jadi, sesuatu yang mengitari suatu perkara, maka hukumnya sama dengan perkara tersebut.



3) Definisi

Definisi حـريم secara etimologi adalah pagar. Sedangkan secara terminologi menurut Imam Zarkasyi, definisi حـريم adalah “batas yang mengelilingi perkara haram ” atau المحيـط بالحـرام . Jadi, kata حـريم bisa didefinisikan dengan “yang melingkupi, yang mengitari atau yang ada di sekitarnya”.



4) Ruang Lingkup Qo’idah

Qo’idah ini mencakup 3 ruang lingkup, yaitu;

a. Wajib. Pelaksanaan suatu kewajiban harus diiringi dengan pelaksanaan yang menjadi penyempurna kewajiban tadi. Misalnya; wajib membasuh sebagian kepala yang masih merupakan bagian حـريم dari muka. Dalam hal ini, ada qo’idah yang identik dengan qo’idah ini, yaitu; ما لا يتـم الواجـب إلا به ، فهـو واجب

b. Makruh. Misalnya; memperlihatkan lutut di hadapan wanita ajnabiy (wanita yang boleh dikawini) hukumnya makruh, karena lutut merupakan batas aurat bagi laki-laki.

c. Haram. Haram memperlihatkan qubul dan dubur, demikian juga dengan bagian-bagian yang ada di sekitarnya, seperti; pantat, paha, dsb. Akan tetapi khusus untuk bagian sekitar dubur istri, diperkenankan untuk tamattu’ dengan kanan-kiri dubur istri, akan tetapi haram melakukan liwath pada bagian tengah dubur istri.



5) Catatan

 Daerah حـريم di sekitar tanah kosong, menjadi milik orang yang pertama kali memanfaatkannya

 Daerah حـريم masjid, dihukumi sama dengan masjid, karena diperbolehkan untuk ber’itikaf di tempat itu dan orang yang sedang junub/haidh di larang menetap di sekitar daerah حـريم tersebut. Demikian ini adalah pendapat Imam As-Suyuthy yang berseberangan dengan pendapat Imam Ibnu Hajar. Sedangkan hukum serambi masjid (bagian yang menempel pada masjid dan didirikan karena adanya masjid) masih diperselisihkan, namun jumhur ulama’ berpendapat bahwa serambi masjid (rahbah) termasuk bagian dari masjid.



II. C. QO’IDAH KETIGA

البينة على المدعى واليمين على المدعى عليه

"Kewajiban seorang penggugat adalah mendatangkan saksi, sedangkan kewajiban pihak tergugat (terdakwa) adalah bersumpah"



1) Dasar Qo’idah

Qo’idah di atas sebenarnya merupakan penggalan dari Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, berikut kutipannya:

حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ وَلَكِنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.

“Nabi Muhammad SAW bersabda: Andaikan semua dakwaan manusia dimenangkan, niscaya mereka akan mengklaim jiwa dan harta benda orang lain (sebagai milik pribadi mereka), namun tidak demikian, akan tetapi – prosedurnya – pihak penggugat harus mendatangkan saksi dan pihak terdakwa harus bersumpah ”.



2) Analisis Wajhu al-Dilalah

Hadits di atas menyatakan bahwasanya pihak penggugat harus membuktikan dakwaannya dengan cara menghadirkan saksi, sedangkan tergugat cukup dengan bersumpah. Hal ini dikarenakan posisi penggugat lemah, sebab dakwaannya bertentangan dengan hukum ashal, (الأصل براءة الذمة) ataupun keadaan zhahir. Oleh karena itu, dia harus membuktikan dakwaannya dengan bukti yang kuat, yaitu saksi. Adapun posisi tergugat lebih kuat berdasarkan hukum ashal, oleh sebab itu dia cukup membuktikan bukti yang lemah, yaitu bersumpah.

Para ulama memposisikan saksi sebagai bukti yang kuat, sebaliknya sumpah dianggap sebagai bukti yang lemah, karena orang yang bersumpah kemungkinan besar melakukan kebohongan dalam sumpahnya, demi membela dirinya sendiri, lain halnya dengan saksi. Meskipun saksi dianggap sebagai bukti yang kuat, akan tetapi untuk saat ini para hakim harus menyumpah saksi terlebih dahulu sebelum memberi kesaksian untuk meminimalisasi terjadinya kebohongan, karena tingkat kefasikan masyarakat masa kini cukup tinggi. Pendapat ini diutarakan oleh Ahmad Ibnu Muhammad al-Zarqa’ al-Hanafiy.







3) Definisi

Kata “الدعوى“ secara bahasa berarti; tuntutan, gugatan, atau dakwaan. Sedangkan secara terminologi berarti gugatan terhadap orang lain yang dilakukan di hadapan hakim.

Definisi “المدعى” (penggugat) adalah seorang yang ucapannya tidak sesuai dengan zhahir (kondisi sementara yang ada), adapun “المدعى عليه” (tergugat) adalah seorang yang ucapannya sesuai dengan kondisi zhahir. Definisi ini dalam kitab Mughni Muhtaj dianggap sebagai definisi yang paling mendekati kebenaran (الأظهر). Sebagai perbandingan, kitab tersebut juga menyebutkan pendapat ulama yang lain berkenaan dengan definisi “المدعى” dan “المدعى عليه” ini, yakni: “المدعى” adalah orang yang apabila tidak mampu membuktikan dakwaannya, maka ia tidak diminta untuk membuktikannya, sedangkan “المدعى عليه” adalah orang yang apabila tidak mau bersumpah, maka ia tetap diminta untuk melakukannya . Khusus untuk “المدعى عليه” ini, Imam Rofi’i berpendapat bahwa pihak tergugat diharuskan melakukan sumpah bila dakwaan yang dilakukan oleh penggugat memenuhi persyaratan .

Definisi “البينة” secara etimologi adalah; dalil atau bukti, sedangkan definisi “البينة” secara teminologi berarti; saksi. Seorang saksi disebut dengan “البينة” karena dia bertugas untuk membeberkan kebenaran.

“البينة” bisa berupa kesaksian dua orang laki-laki, atau kesaksian satu laki beserta dua orang perempuan, atau satu saksi laki beserta sumpah, atau bukti empat laki-laki, atau bukti empat perempuan.

Definisi “اليمين” secara etimologi adalah;tangan kanan, sedangkan definisi “اليمين” secara teminologi berarti; melakukan sumpah dengan menggunakan kata “بالله” atau kata yang lain.



3) Syarat-syarat dakwaan

Suatu gugatan bisa disebut sebagai gugatan yang sah dan bisa ditindak lanjuti oleh hakim, apabila telah memenuhi 6 syarat di bawah ini ;

a. Orang yang mengajukan dakwaan harus menjelaskan dakwaannya secara detail.

b. Dakwaan yang diajukan disertai pemberian kesempatan kepada pihak tergugat untuk memberi tanggapan/membela diri.

c. Penggugat harus menjelaskan jati diri pihak tergugat.

d. Dakwaan yang diajukan tidak bertentangan dengan dakwaan yang lain. Misalnya: Fulan menggugat si A sebagai satu-satunya pelaku pembunuhan, selang beberapa waktu, Fulan kembali melayangkan gugatan yang kali ini ditujukan kepada si B sebagai pelaku pembunuhan, maka dakwaan yang kedua ini tidak dapat diterima, karena tidak sesuai dengan dakwaan yang pertama.

e. Pihak penggugat dan tergugat harus orang yang sudah mukallaf.

f. Pihak yang menggugat dan yang tergugat harus sama-sama berkewajiban mentaati hukum Islam. Dalam hal ini, orang kafir dzimmi termasuk dalam kategori orang yang harus mentaati hukum Islam.



4) Macam-macam Dakwaan

Imam Mawardi berpendapat bahwa bentuk dakwaan ada 6 macam:

a. Dakwaan yang benar, yaitu dakwaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah disebutkan. Hukum dakwaan ini dapat diterima dan harus ditindak-lanjuti oleh hakim.

b. Dakwaan yang tidak sah, yaitu dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan, karena tiga faktor berikut:

 Penggugat dan terdakwa bukan orang mukallaf maupun orang yang berkewajiban mentaati hukum Islam.

 Sesuatu yang didakwakan berupa barang yang najis, seperti bangkai dan khamr.

 Orientasi dakwaan tidak tepat, seperti kasus orang kafir membuat pengakuan (dakwaan) bahwa dia telah membeli mushaf Al-Quran, agar bisa memiliki mushaf tersebut. Tujuan seperti itu tidak dibenarkan, karena orang kafir tidak boleh/berhak memiliki mushaf Al-Quran.

c. Dakwaan yang tanpa disertai penjelasan apapun.

d. Dakwaan yang penjelasannya kurang sempurna. Misalnya; pengakuan seseorang bahwa dia telah menikahi seorang wanita, akan tetapi dia tidak bisa menjelaskan wali maupun saksi pernikahannya.

e. Dakwaan yang disertai penjelasan tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan. Dakwaan ini bisa diterima, jika penjelasan tambahan yang dimaksud tidak merubah esensi dakwaan itu sendiri. Seperti seorang membuat pengakuan bahwa ia telah membeli handphone ini, misalnya, dari konter “Nasional Cell”. Penjelasan tambahan berupa “dari konter Nasional Cell” sebenarnya tidak diperlukan, tapi keberadaannya sebagai penjelasan tambahan tidak mempengaruhi keabsahan dakwaan. Sebaliknya jika penjelasan tambahan berdampak negatif terhadap dakwaan (merusak keabsahan dakwaan), maka dakwaan jenis ini tidak dapat diterima. Sebagai contoh: Seorang pembeli membuat pengakuan bahwa ia telah melakukan transaksi pembelian sepeda motor namun dengan syarat transaksinya bisa dibatalkan sewaktu-waktu bila ia menginginkannya. Dalam contoh ini penjelasan tambahan berupa “namun dengan syarat transaksinya bisa dibatalkan sewaktu-waktu bila ia menginginkannya” menjadikan dakwaan tidak sah, karena ada penangguhan (تعليق) transaksi jual beli. Sedangkan salah satu syarat transaksi jual beli adalah tidak boleh ada penangguhan transaksi

f. Dakwaan palsu, yaitu dakwaan yang secara rasio tidak mungkin terjadi. Misalnya; Zaini membuat pengakuan bahwa setengah jam yang lalu dia telah menikahi Aisyah di Bulan serta berbulan madu di sana. Padahal saat ini dia sedang asik berdiskusi membahas kaidah fiqh bersama teman-teman Ma’had Aly. Dakwaan ini tidak dapat diterima.



5) Tujuan Pensyariatan Kesaksian Dan Sumpah

Tujuan disyariatkannya kesaksian adalah untuk menetapkan keabsahan hal-hal yang tidak sesuai dengan keadaan zhahir, atau tidak sesuai dengan hukum ashal. Maka dari itu, kesaksian hanya dapat diterima dalam hal menetapkan dan tidak diterima dalam hal meniadakan, hal itu bertentangan dengan fungsi dari kesaksian itu sendiri. Kesaksian dapat diterima dalam hal meniadakan dalam satu kasus saja, yaitu kasus dakwaan mengenai syarat.

Tujuan pensyariatan sumpah adalah untuk menetapkan hukum ashal atau kondisi zhahir.

Fungsi-fungsi kesaksian dan sumpah di atas hanya berubah dalam beberapa kejadian saja.



6) Prosedur Pembelaan Diri Dari Dakwaan

Dalam menggunakan hak pembelaan diri, pihak tergugat harus melalui prosedur yang benar, yaitu menerima atau menolak gugatan yang diajukan. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat pada uraian berikut ini;

a. Pihak tergugat mengakui isi dakwaan.

Apabila pihak tergugat sudah mengakui kebenaran dakwaan yang diajukan oleh pihak penggugat, maka persengketaan dianggap selesai, tanpa harus menunggu putusan hakim. Yang demikian ini jika pihak penggugat belum menghadirkan saksi. Sedangkan bila pihak penggugat telah menghadirkan saksi, maka penyelesaian persengketaan menunggu putusan hakim, karena hakim membutuhkan waktu untuk penelitian dan perenungan lebih dalam sebelum menerima kesaksian saksi.

b. Pihak tergugat tidak mau membela diri atas dakwaan yang ditujukan kepadanya

Apabila pihak tergugat membela diri atas dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka hakim harus memintanya untuk menggunakan hak jawabnya atas dakwaan tersebut. Jika pihak tergugat bersikukuh pada pendiriannya, maka dia dianggap mengingkari isi dakwaan. Maka langkah selanjutnya adalah hakim menawari pihak tergugat untuk bersumpah sebanyak tiga kali. Apabila si tergugat tetap diam tanpa ada alasan yang jelas, maka hak sumpah diserahkan kepada pihak penggugat. Persengketaan dianggap selesai ketika pihak penggugat berani bersumpah atas dakwaannya.

c. Pihak tergugat mengingkari isi dakwaan

Apabila pihak tergugat mengingkari isi dakwaan, maka dia harus mampu menjelaskan hal-hal yang diingkari secara mendetail. Misalnya; si A didakwa mempunyai hutang sekian juta. Maka ketika dia mengingkari dakwaan itu, dia harus memberikan pernyataan “Saya tidak mempunyai hutang sepersenpun”.



7) Saksi dan Kriterianya

Definisi saksi atau “الشهادة“ secara bahasa berarti; pengamatan, sedangkan menurut istilah berarti; memberi pernyataan yang menguatkan, membenarkan isi dakwaan dan hak-hak yang lain.

Orang yang layak menjadi saksi harus memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:

a. Mukallaf

b. Merdeka

c. Mempunyai “المروءة“ (wibawa atau harga diri), yaitu orang yang meninggalkan kebiasaan yang secara umum dianggap buruk.

d. Adil, yaitu orang yang tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus.

Komposisi orang yang yang menjadi saksi bermacam-macam sesuai dengan kasus yang dihadapi (المشهود به). Contoh;

 Saksi untuk menetapkan awal bulan Ramadhan adalah seorang laki-laki.

 Saksi untuk menetapkan kasus zina adalah 4 orang laki-laki.

 Saksi untuk hal-hal yang berhubungan dengan harta adalah dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita, atau seorang laki-laki dan sumpah.

 Saksi untuk selain hal yang telah disebutkan dan saksi untuk hal yang secara umum berhubungan dengan laki-laki adalah dua orang laki-laki.

 Saksi untuk hal yang secara umum berkenaan dengan wanita adalah dua orang wanita.



II. D. QO’IDAH KEEMPAT

إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما فى الآخر غالبا

“Apabila ada dua hal yang sejenis dan semaksud berkumpul, maka pada umumnya keduanya disatukan”



1) Contoh-contoh

 Ketika seseorang berhadats (kecil) sekaligus berjinabat, maka dia cukup mandi besar saja tanpa perlu mengambil air wudhu’. Demikian ini menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Demikian juga ketika seorang wanita berjinabat sekaligus haidh, maka dia cukup mandi besar dengan niat menyucikan haidh ataupun jinabat saja, karena yang demikian itu sudah cukup.

 Jika ada jama’ah haji yang baru datang, kemudian dia melakukan thawaf karena nadzar, maka thawaf itu sekaligus menjadi thawaf quduum baginya. Lain halnya jika dia melakukan thawaf ifadhah, maka thawaf itu tidak serta merta menjadi thawaf wada’ baginya.

 Ketika seseorang ingin mandi sunnah hari jum’at dan hari raya, maka dia cukup niat dengan salah satunya saja

 Jika seseorang masuk masjid dan menjalankan shalat fardhu, maka sebenarnya dia juga telah melaksanakan shalat tahiyyatal masjid dalam shalat fardhu tersebut. Lain halnya jika dia masuk Masjidil Haram, meskipun seseorang shalat berjama’ah di sana, akan tetapi dia tidak termasuk melakukan ‘tahiyyatal masjid/baitullah’, yaitu thawaf, karena thawaf bukan termasuk varian shalat

 Bila seseorang melakukan zina, minum arak, maupun mencuri berkali-kali, hukumannya masing-masing cuma kali saja. Ketiga tindakan tersebut masing-masing memunculkan hukuman sendiri, karena ketiganya berbeda jenis.

 Jika seseorang melakukan jima’ sebanyak dua kali pada siang hari di bulan Ramadhan, maka dia wajib membayar kaffarat sebanyak satu kali saja, karena jima’ yang kedua tidak masuk hitungan.

 Orang yang beberapa kali lupa melakukan sunnah haiat ketika shalat, dia cukup melakukan sujud sahwi satu kali saja, karena tujuan dari sujud sahwi adalah membuat syaitan kecewa (رغم أنف الشيطان).



BAB III

PENUTUP

Kaidah fiqh merupakan intisari dan prinsip-prinsip dasar rancang-bangun hukum fiqh. Hukum-hukum fiqh yang terus berkembang akan mudah “dideteksi” melalui penalaran kaidahnya. Dengan bahasanya yang yang ringkas-padat, kaidah fiqh akan mudah diingat dan dijadikan rujukan guna menjawab beragam problematika kehidupan yang kian kompleks.

Pembahasan keempat qo’idah ini kami harapkan bisa menumbuhkan kembali semangat Anda untuk mempelajari berbagai macam khazanah keislaman, demi mengangkat agama Allah SWT setinggi-tingginya dengan membuktikan bahwa Islam adalah agama yang toleran, memudahkan, untuk selanjutnya bisa dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.























































DAFTAR PUSTAKA

Al-Bujairami, al-Syeh Sulaiman, Bujairami ‘Ala al-Khatib, (Beirut; Dar al-Fikr, 1995)

al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah, Shohih al-Bukhori, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.)

Al-Dimyati, Abi Bakar Ibn al-Sayyid Muhammad Syatho, Hasyiyah I’anat al-Thalibin, (Beirut; Dar al-Fikr, 2002).

Al-Mawardi, Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi, Kitab al-Ahkam al-Sulthoniyah, (Beirut; Dar al-Fikr, 1960).

Al-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rohman, Al-Asybah Wa al-Nadhair, (Beirut; Dar al- Fikr, 1996).

Al-Syirbisi, Al-Syeh Syamsuddin Muhammad Ibn al-Khatib Mughni muhtaj, (Beirut; Dar al-Makrifah, 1997).

Al-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, (Kairo; Dar al-Hadits, 1999),

Al-Zarqa, Al-Syeh Ahmad Ibn al-Syeh Muhammad, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Damaskus; Dar al-Qalam, 1996).

Bisri, Moh Adib, Terjamah Al-Faraid al-Bahiyah : Risalah Qawaid Fiqh, (Kudus; Menara Kudus, tt.)

Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta; Kencana,2006)

Hakim, ‘Abdul Hamid, tt. As-Sullam. (Jakarta; Sa’adiyah Putra).

Lujjajie, Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Ubbadie Al-, 1410 H. Idhoh Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. (Surabaya; Toko Kitab Al-Hidayah).

Luwis, Al-Munjid fi al-Lughoh, (Beirut: Dar al-Masyariq, 2002).

Mudjib, Abdul, 1978. Al-Qowa’idul Fiqhiyyah. (Malang : Fakultas Tarbiyah Sunan Ampel Malang).

Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami, (Damaskus; Dar al-Fikr,2002)

Tidak ada komentar: