Kamis, 03 Juni 2010

kebijakann pemerintah

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ


(“Kebijaksanaan Imam/Pemimpin terhadap rakyat

harus dihubungkan dengan kemaslahatan”)

PENDAHULUAN

Imam(pemerintah) adalah salah satu lembaga Negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan ketenteraman rakyatnya(masyarakat yang dipimpin). Jangan sampai peraturan dan UU yang dibuat tidak sejalan dengan keadaan masyarakat dan selalu merugikan mereka.

Imam berarti pemimpin sedangkan imamah artinya kepemimpinan, pengertian ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 124:

واذابتلى ابرهم ربه بكلمت فاتمهن قال انى جاعلك للناس اماما

Artinya:”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:”sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”.

Dalam bidang pemerintahan imam berarti pemimpin masyarakat. Istilah imam merupakan padanan dari istilah”amir dan khalifah”. Umat Islam menilai bahwa imamah adalah masalah kenegaraan, mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat antara Sunni dan Syiah, yaitu apakah masalah imamah ini bersifat ijtihadiyah atau sudah ada ketentuannya dari Tuhan. Sunni berpendapat bahwa masalah imamah merupakan persoalan keduniaan yang penanganan dan pembinaannya diserahkan kepada umat. Sedangkan Syiah berpendapat bahwa imamah adalah masalah sentral dan bagian dari rukun iman. Menurut mereka masalah imamah tidak termasuk kepentingan umum yang diserahkan kepada pendapat umat, tetapi merupakan tiang agama dan dasar Islam yang ditentukan oleh Allah SWT. Jabatan kepala pemerintahan bukanlah hak setiap orang, melainkan hak Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Ajaran Islam memberikan hak tersebut kepada Ali dan keturunannya melalui Wasi(pelimpahan kekuasaan dengan penuh kepercayaan) dan para imam tersebut bersifat maksum .

Tentunya yang dinamakan Imam itu menurut saya bukan hanya para pejabat pemerintahan, tapi juga orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain yang berada di bawah kekuasaannya. Semisal pada sebuah organisasi, perkumpulan, dan bahkan sekelas kepala keluarga juga bisa dinamakan imam .

Bagi rakyat juga punya kewajiban untuk taat dan tunduk kepada pemimpin jika benar-benar pemimpin tersebut mampu untuk mensejahterakan rakyat dan tidak melanggar agama, sebagaimana firman Allah:

اطيعواالله واطيعواالرسول واولى الامر منكم

Selanjutnya pada pembahasan kedua akan menjelaskan tentang;Tuntutan hukuman(had) itu bisa gugur karena ketidakjelasan(syubhat).



PEMBAHASAN

Dasar kaidah di atas(tentang pemimpin) dinyatakan oleh Imam Syafii dengan mengambil ucapan sahabat Umar bin Khattab yang diceritakan oleh Imam sa’id bin Mansyur, dari Abil Ahwash, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra’ bin ‘Azib, beliau berkata; Sahabat Umar pernah berkata:

انى نزلت نفسى من مال الله منزلة والى اليتيم ان احتجت اخذت منه فإذا ايسرت رددته, فإن استغنيت استعففت

“Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allah, sebagaimana kedudukan wali anak yatim, kalau saya membutuhkan, saya ambil seperlunya saja dari harta itu, kelak apabila saya telah mampu, maka saya kembalikan harta yang saya ambil itu, jika saya sudah cukup maka saya menjaga diri dari mengambil harta tersebut(sedikitpun tidak mau mengambil)”.

Imam Syafii menegaskan bahwa kedudukan Kepala Negara/pemimpin terhadap rakyatnya itu bagaikan kedudukan wali terhadap anak yatim yang ada dalam perlindungannya. Jadi jika pemerintah dalam menggunakan kekayaan Negara itu menyeleweng dari kebenaran, maka menurut hukum dilarang, sebab tidak sesuai dengan kemaslahatan rakyat.

Berdasarkan kaidah ini pula, Kepala Negara/pemimpin atau wakilnya dalam mengambil kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang fasiq untuk jadi imam shalatpun, menurut hukum tidak dibenarkan.

Dalam kitabnya”Al-Ahkam As-Sultoniah” Al-mawardi mengatakan bahwa imamah itu bertujuan untuk khilafatun nubuwah(pengganti Nabi) di dalam hal menjaga agama dan berpolitik di dunia. Beliau mengungkapkan tujuh syarat untuk bisa menjadi imam:

1. Adil 3. Sehat panca indera

2. Mampu berijtihad dalam hukum 4. Sehat anggota badannya

5. Punya pengetahuan tentang politik 7. Keturunan Bani Qurays

6. Pemberani

Contoh lain: - Masjid jami’ yang menghadap dan dekat dengan jalan raya sudah dipandang baik, tetapi karena agama terus berkembang dan lalu lintas pun makin ramai, maka pemerintah kemudian memperluas masjid dan harus memindah jalan raya demi kemaslahatan rakyat.

- Haram membagikan zakat dengan lebih kepada sebagian orang yang berhak menerimanya, sedangkan sebagian yang lain mempunyai kebutuhan yang sama.

- Mem PHK(memberhentikan) sebagian anggota tentara dari kesatuannya itu boleh dengan adanya sebab(alasan), tapi jika tidak ada alasan maka tidak diperbolehkan .



Masalah yang tercakup dalam kaidah ini banyak sekali, misalnya: penetapan imam shalat, pengangkatan/pemecatan karyawan, masalah nikah dengan wali hakim dan sebagainya. Sebagaimana sebagiannya sudah dicontohkan di atas dan kesemuanya itu harus tidak lepas dari kemaslahatan rakyat banyak.



الحدود تسقط بالشبهات

(Tuntutan hukuman(had) itu bisa gugur karena adanya ketidakjelasan)



PEMBAHASAN

kaidah ini bersumber dari sabda Nabi SAW:

ادرؤاالحدود بالشبهات

Artinya:”Tolaklah beberapa had, karena(adanya) syubhat” .

Berarti dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan(konklusi) bahwa suatu perkara jika terdapat suatu ketidak jelasan, maka bisa menggugurkan suatu had.

Penjelasan

Had: Adalah tuntutan hukum yang ada pada al-Qur’an dan Hadis, seperti: pencurian, perzinahan dan sebagainya. Jadi berbeda dengan Ta’zir yang mempunyai pengertian:”Tuntutan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash’, seperti: memasuki rumah lain tanpa izin, mencium isteri orang, memaki orang dan sebagainya.

Syubhat artinya:Tidak terang atau Tidak jelas. Jadi masih dalam keaadaan samar yaitu perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya, apakah halal atau haram. Islam mengingatkan umatnya agar menghindari atau menjauhi perkara syubhat, sebagaimana sabda Nabi:”Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun jelas. Diantara keduanya ada yang samar(mutasyabihat), yang kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya. Barang siapa yang takut atau memelihara dirinya dari yang samar-samar itu berarti telah membersihkan kehormatan diri dan agamanya. Dan barang siapa yang jatuh ke dalam yang samar-samar berarti ia telah jatuh ke hal atau perkara yang haram”(HR Bukhori dan Muslim).

Contoh kasus: M Topeng dituduh mencuri sepeda. Di depan pengadilan meskipun M Topeng mengaku telah memasuki rumah Gus Nomo tanpa izin, tetapi M Topeng menyangkal telah mencuri sepedanya Gus Nomo, bahkan sebaliknya M Topeng mengatakan bahwa yang diambilnya adalah sepedanya sendiri yang berada pada Gus Nomo. Kemudian M Topeng menjelaskan:”Sebulan yang lalu sepeda saya dibeli Gus Nomo dengan harga Rp300.000,00, tetapi Gus Nomo minta tangguh seminggu untuk pembayarannya. Setelah sampai pada batas waktu yang telah dijanjikannya Gus Nomo minta tempo seminggu lagi. Pada waktu yang telah ditentukan M Topeng pun menagihnya, namun Gus Nomo berkata belum ada uang dan M Topeng bermaksud meminta kembali sepeda itu dan Gus Nomo ngotot tidak mau mengembalikannya dengan mengumbar janji yang sama. Setelah M Topeng menunggu seminggu lagi, ternyata janjinya tidak ditepati juga, maka habislah kesabaran M Topeng dan selanjutnya M Topeng mengambil sepeda itu tanpa sepengetahuan(bagaikan pencuri) dan izin Gus Nomo, demikianlah sebenarnya yang terjadi.

Persoalan ini bagi hakim tidak boleh begitu saja langsung menghukum(had) pada tertuduh(sebagai pencuri), karena bagi tertuduh ada keterpaksaan untuk mengambil sepedanya dengan alasan pembeli tidak menepati janji. Tetapi hakim harus menimbang dan menelaah kasus tersebut terlebih dahulu setelah itu baru memutuskan.

Contoh lain ada seorang suami yang ingin melampiaskan hasratnya pada isterinya di suatu malam yang gelap gulita, lantas ia pergi ketempat tidur dan mendapati seorang wanita(disangka isterinya) yang sedang tidur dengan pakaian tersingkap sehingga pahanya kelihatan tanpa pikir panjang ia langsung menghantam dan menghantam hingga pada ronde terakhir, tiba-tiba ia sadar bahwa yang sedang dihantamnya ternyata bukan isterinya. Maka baginya tidak dikenakan had zina.

Catatan:

a. Syubhat itu tidak dapat menggugurkan ta’zir, tetapi dapat menggugurkan kaffarat, misalnya: Bila ada sepasang suami isteri yang sedang puasa ramadlan lupa bermain kuda-kudaan (jima') di siang hari, maka ia tidak wajib membayar kaffarat. Tetapi menurut Imam Khafal mereka tetap harus membayar fidyah.

b. Syubhat yang bisa menggugurkan had atau kaffarat itu disyaratkan harus kuat. Jika syubhat lemah, maka tidak dapat menggugurkan had atau kaffarat .

PENUTUP

Banyak sebenarnya kasus-kasus yang terjadi pada dasawarsa ini yang masih ada kaitannya dengan kedua kaidah di atas, tapi terus terang saja saya di sini kesulitan untuk mengungkapkannya karena keterbatasan pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut.

Karena juga minimnya referensi yang bisa dijadikan rujukan pada saat ini, maka dari itu saya tidak bisa mengetengahkan beragam keterangan dan persoalan mengenai kedua kaidah di atas. Untuk itu alangkah bijaksananya jika anda mau memberikan setetes kemaafan kepada saya.

Tidak ada komentar: