DAKWAH SEBAGAI REKAYASA SOSIAL
Oleh : Moh. Subhan
Sebelum kita melangkah untuk membahas rekayasa sosial maka biasanya orang harus mengetahui dulu apa itu problem sosial, karena adanya rekayasa sosial itu didahului timbulnya problem-problem (masalah) sosial. Problem adalah sebuah kondisi di mana terjadi perbedaan antara apa yang kita inginkan (das Sollen) dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan (das Sein). Kita menginginkan cepat lulus kuliah namun kenyataannya skripsi tidak kelar-kelar, atau kita ingin segera mengakhiri masa lajang, namun apa daya ternyata proposal ditolak terus. Akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan realita.
Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 dimensi yakni bertaraf individu dan bertaraf sosial. Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat. Misalnya seseorang pemuda yang ditolak lamarannya oleh orang tua sang gadis yang telah diincarnya karena dianggap masih menganggur. Si pemuda masih menganggur disebabkan memang malas mencari duit, jadi ini adalah masalah personal dari yang bersangkutan. Atau seseorang yang ditolak untuk menjadi penyanyi oleh produser rekaman karena suaranya memang hanya merdu kala di kamar mandi saja.
Sebaliknya masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif). Ada 3 problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan konflik.
Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting. Ada istilah lain yang diberikan oleh para ilmuwan tentang perubahan sosial, yang substansinya sama atau hampir sama. Less dan Presley menyebutnya social engineering, MN Ross mengatakannya social planning (perencanaan sosial), dan Ira Kaufman mengistilahkannya dengan change management (manajemen perubahan). Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan istilah rekayasa sosial dan ini yang kita bahas.
Menurut sosiolog terkenal, Max Weber, penyebab utama perubahan adalah ideas atau pandangan. Tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar idelogi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat. Penyebab kedua adalah tokoh-tokoh besar. Menurut Thomas Carlyle sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar. Perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, dan kemudian mereka bersama-sama melakukan perubahan di dalam masyarakatnya. Perubahan sosial yang ketiga terjadi karena adanya gerakan sosial (social movement) seperti yang dilakukan LSM.
Aksi Sosial
Setelah mengetahui problem sosial yang terjadi dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah aksi sosial. Aksi sosial diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengurangi atau menghilangkan masalah sosial. Aksi sosial mengandung lima unsur (5C), yakni cause, change agency, change target, channel, dan change strategy. Cause atau sebab, ini berkaitan dengan misi, motif, atau tujuan. Setiap problem sosial membutuhkan sejumlah pemecahan atau solusi yang beragam. Ada 3 sebab atau alasan untuk turun dalam dataran aksi yakni membantu (helping), memprotes (reform), dan menghancurkan (destroy/revolusi). Saat ini revolusi menjadi wacana yang sedang naik daun di kalangan gerakan mahasiswa. Revolusi adalah motor penggerak sejarah, demikian pendapat Karl Marx. Secara definitif ia diartikan sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah.
Rekayasa sosial di mana pun tempatnya dan kapan pun masanya selalu membutuhkan aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2 kelompok besar di balik upaya rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters). Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah para simpatisan.
Sasaran perubahan dalam Rekayasa Sosial ada 2 yaitu : pertama sasaran akhir, berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran seperti masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.
Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah chanel atau saluran yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media interpersonal.
Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan. Ada tiga alternatif strategi : memaksa (power strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).
Ada 2 peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas dakwah. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.
Untuk mewujudkan segala apa yang kita cita-citakan itu tidak mungkin berjalan dengan sekejap saja atau seketika. Semua diawali dari hal-hal yang kecil (menurut Aa’ Gym lho). Maka itu paling tidak ada 3 hal yang harus kita lakukan, yaitu banyak membaca baik membaca tekstual maupun fenomena, berinstitusi (membentuk komunitas) karena sebuah kerja besar sangat berat untuk dikerjakan sendirian, dan pembiasaan (kulturisasi) sehingga orang lain akan mengikuti apa yang kita lakukan.
Untuk melakukan proses rekayasa sosial yang lebih besar di dunia masyarakat maka dibutuhkan energi dan perencanaan yang sangat matang, karenanya penataan internal di dalam sebuah gerakan itu sendiri dan juga upaya kaderisasi harus selalu menjadi prioritas pemikiran. Mulailah dari diri sendiri, mulailah sekarang ini, dan mulailah dari hal-hal yang kecil dengan senantiasa tidak melupakan senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
“Dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategis. Generasi ‘ideolog’ telah melakukan tugas mereka dengan baik. Mereka telah membangun basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah.
A. Dakwah Sebagai Ajakan
Islam dan mereka membiarkan budaya asing untuk masuk ke tanah mereka dan konsep Barat untuk menduduki pikiran mereka. Mereka menolak ketika mereka meninggalkan kepemimpinan intelektual Islam, dakwah diabaikan dan aturan keliru. Oleh karena itu, umat Islam harus melanjutkan cara Islam jika mereka ingin kebangkitan (Nahdhah), Namun, mereka tidak akan dapat melanjutkan hidup dengan cara Islam kecuali mereka membawa dakwah Islam dengan membawa kepemimpinan intelektual Islam, dan mendirikan, dengan ini dakwah sebuah Negara Islam yang pada gilirannya akan membawa kepemimpinan intelektual Islam dengan melakukan panggilan Islam.
Harus dicatat bahwa membawa kepemimpinan intelektual dengan membawa dakwah Islam untuk menghidupkan kembali Muslim dilakukan karena Islam sendiri dapat reformasi dunia, dan kebangkitan sejati tidak dapat dicapai tanpa Islam, baik untuk Muslim atau orang muslim.
Hal ini pada dasarnya bahwa dakwah harus dilakukan..Dakwah harus dibawa ke dunia sebagai pemimpin intelektual dari semua sistem yang muncul, dan atas kepemimpinan ini semua pikiran dibangun, dan dari pemikiran tersebut akan muncul semua konsep bahwa pengaruh sudut pandang seseorang dalam hidup sangat beranika ragam.
Dakwah harus dilakukan hari ini seperti yang disampaikan di masa lalu dan harus melanjutkan sesuai dengan contoh Nabi (saw), tanpa penyimpangan sedikitpun dari metode. Tidak ada hal harus diberikan dengan perbedaan waktu, untuk perbedaan ini mencapai tidak lebih dari perubahan berarti (wasaail) dan bentuk (ashkaal). . Namun, hakikat dan realitas kehidupan tidak dan tidak akan berubah, terlepas dari berlalunya usia dan perubahan masyarakat dan tempat.
Dengan demikian, membawa dakwah tuntutan keterbukaan, keberanian, kekuatan pikiran dan menantang semua yang bertentangan dengan fikrah dan Tareeqah (ide dan metode) Islam dengan menghadapi dan memperlihatkan kepalsuan nya, tanpa melihat situasi dan konsekuensinya.
Membawa dakwah Islam memerlukan kedaulatan tertinggi (siyaadah) milik ideologi Islam, dan tidak terlepas dari apakah setuju atau tidak setuju dengan massa dan apakah mereka menerima atau menolaknya dan menentangnya, ataukah itu sesuai dengan masyarakat adat atau tidak.
C. Dakwah Sebagai Penyebaran Rahmat Allah
Keberhasilan agama Islam menjadi agama yang membumi dan menjadi kekuatan pembebas bagi umat manusia adalah karena metode-metode penyebaran yang dipakai oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Umumnya, sejarah agama-agama yang ada di dunia dalam menyebarkan ajarannya mempunyai kecenderungan untuk berwatak tirani mayoritas atau anarki minoritas. Maksudnya, bila paham yang mereka bawa menunjukkan angin segar penerimaan yang lumayan besar, maka biasanya agama baru itu akan langsung berusaha ingin mengubah segalanya dengan cepat.
Begitu juga sebaliknya, bila kecenderungan yang ada nampak terjadi penolakan, biasanya akan dilakukan perongrongan kekuatan dengan segala cara demi mencapai tujuannya. Akan tetapi, Islam di masa awal justru berusaha menyebarkan empati, menolong kaum lemah, berusaha mengakar ke masyarakat bawah, dan menjauhi pemaksaan dan penggunaan kekerasan.
Visi Rahmat
Dakwah, pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi perintah Allah di atas. Menurut Ismail R. al-Faruqi, dakwah meliputi tugas mengajarkan kebenaran kepada mereka yang mengabaikan kebenaran, menyampaikan kabar baik tentang rahmat duniawi dan surga ukhrawi; dan memperingatkan tentang siksaan di hari akhirat dan tentang kesengsaraan di dunia ini (The Cultural Atlas of Islam, 1986). Al-Quran menyatakan bahwa pemenuhan perintah ini merupakan puncak kebajikan dan kebahagiaan. Nabi Muhammad juga memandang, bahwa misi dakwah ini sebagai kebajikan termulia, dan konsekuensinya menjadi Muslim merupakan sebaik-baik ibadah.
Dalam pengertian yang lebih luas, dakwah adalah upaya untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan dan mengamalkan ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, dakwah dapat dimaknai sebagai sarana pembangunan kualitas sumberdaya manusia, pengentasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, serta mewujudkan agenda pembebasan. Dakwah juga bisa berarti penyerbarluasan rahmat Allah, sesuai misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, dakwah merupakan proses untuk mengubah kehidupan manusia atau masyarakat dari kehidupan yang tidak islami menuju suatu kehidupan yang Islami.
Titik tuju dakwah Islam adalah memberi pengertian kepada umat Islam agar mengambil segala ajaran Allah yang terkandung dalam Kitab Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai pedoman jalan hidupnya. Ajaran Allah itu, menurut Sayyid Qutb, diintisarikan dalam surat al-Fatihah yang terdiri dari pedoman “aqidah” dan “syariah” atau dengan istilah yang lain bisa disebut “iman” dan “amal saleh” (Fiqh Da’wah, Maudhu’at fi ad-Da’wah wa al-Harakah, Beirut-Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 1970).
Bentuk dan Cara
Al-Quran menampilkan ajaran aqidah (Iman) dan syariat (amal saleh) dalam berbagai bentuk dan bermacam cara. Adakalanya dengan bimbingan dan berita pahala, atau dengan peringatan dan berita siksa; adakalanya dengan pernyataan yang positif dan perbandingan-perbandingan yang mengandung ibarat; adakalanya disuruh aktif berdoa dan meminta; adakalanya dengan pemaparan sejarah manusia dan peristiwa masa lalu dalam hubungannya dengan pembinaan politik, ekonomi, dan sosial. Berdasarkan ajaran aqidah dan syariat seperti itu, maka tugas seorang Muslim bagi umat manusia lainnya adalah melakukan seruan dan ajakan menuju nilai-nilai keagamaan yang universal dengan strategi dan metode dakwah yang senantiasa diperbaharui. Dengan begitu, upaya perwujudan kerukunan umat beragama, harmoni Islam dan Barat, penciptaan perdamaian dunia, serta pemberadayaan masyarakat akan lekas tampak membentang di depan mata.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan dalam dakwah, khususnya nahi munkar. Pertama, memberi penerangan kepada orang yang hendak diubah perbuatannya, sebab adakalanya seseorang melakukan suatu kemunkaran itu dengan sebab tidak tahu atau kebodohannya, sehingga apabila setelah diberi tahu, mungkin sekali ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang orang yang berbuat kemunkaran itu dengan memberi nasehat yang baik serta menakut-nakuti akan siksa Allah Swt. Ketiga, melarang dengan tegas, tetapi tetap harus menghindari kata-kata yang kasar (tidak sopan). Ini perlu dilakukan apabila dengan kelemahlembutan tidak membekas. Keempat, melarang kemunkaran dengan menggunakan kekuasaan. Cara ini dilakukan sebagai usaha terakhir. Misalnya dengan menggunakan tangan seperti membuang atau menuangkan arak, merusak alat yang digunakan untuk melakukannya yang dimiliki oleh orang yang berbuat itu atau menyingkirkan dirinya sehingga tidak dapat melakukan kemunkaran itu lagi.
Dalam tahap keempat di atas, Imam Ghazali melegalkan melakukan pengrusakan, tetapi dilakukan oleh aparat keamanan negara. Semua kegiatan pemusnahan fasilitas kemunkaran itu juga harus berdasarkan pertimbangan hukum yang diputuskan oleh aparat yang berwenang. Oleh sebab itu, Imam Ghazali memberikan batasan-batasan kesopanan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan nahi munkar. Pertama, berilmu, ia mengetahui mana-mana kejadian atau peristiwa yang perlu di-amarmakruf-kan dan di-nahimunkar-kan. Kedua, wara’, hendaklah melarang orang yang melakukannya dengan niat semata-mata untuk agama dan memperoleh keridaan Allah Swt. Ketiga, berbudi baik, sehingga orang yang bertugas sedapat mungkin tetap menunjukkan sikap sopan, lemah lembut dan ramah kepada siapa pun, terutama orang yang hendak diinsafkan kesalahannya.
D. Dakwah Sebagai Pembebasan
Kondisi umat Islam dewasa ini sangatlah buruk sehingga akan membuat muslim siapa pun merasakan puncak keprihatinan dan kesedihan yang tiada tara. Umat Islam ditimpa kebodohan, kemiskinan, terpecah-belah, dan terjauhkan dari nilai-nilai Islam. Yang lebih memilukan lagi, sejak hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924, negeri-negeri Islam dengan sendirinya menjadi Darul Kufur yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur yang dipaksakan secara kejam oleh para penjajah kafir dan antek-anteknya dari kalangan penguasa kaum muslimin.
Umat Islam setelah itu diharuskan menjalani kehidupan yang tidak Islami (al hayah ghair al islamiyah) setelah sebelumnya mereka mengecap kebahagiaan hidup dalam kehidupan Islam selama berabad-abad lamanya. Islam hanya tinggal sebagai agama ritual yang tak jauh beda dengan agama Nashrani dan agama-agama kafir lainnya. Para penjajah kafir berhasil melaksanakan kehendaknya untuk melakukan sekularisasi, yakni memisahkan agama dari kehidupan dan menjauhkan Islam dari kehidupan bernegara.
Melihat kondisi demikian, maka setiap insan yang memiliki kepekaan nurani dari kalangan umat ini, pasti akan merasakan keharusan adanya perubahan (taghyir) dalam segala hal untuk untuk menyelamatkan umat yang mulia ini dari cengkeraman kekufuran dan kaum kafir, menjauhkan mereka dari keterpecahbelahan, mempersatukan mereka kembali, serta menerapkan kembali Syariat Islam di tengah mereka sehingga umat ini kembali pada sifatnya yang asli yang telah diwajibkan Allah Azza wa Jalla baginya sebagai umat terbaik (khairu ummah) yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imran 110.
Bahkan lebih dari itu, upaya perubahan yang dilakukan sebenarnya tak hanya terbatas untuk umat Islam, namun juga harus dilakukan untuk berbagai bangsa dan umat lain di dunia. Sebab yang sedang mengalami penderitaan sesungguhnya bukan umat Islam saja, melainkan juga umat manusia di seluruh dunia.
Maka dari itu, umat Islam yang mengimani Aqidah Islamiyah sebagai pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, sebagai aqidah siyasiyah (pemikiran dasar sebagai asas pengaturan segala urusan manusia), dan sebagai cara pandang tertentu terhadap kehidupan (wijhah an nazhar fi al hayah); wajib untuk mengambil tanggung jawab menyelamatkan dunia dan mengeluarkan dunia dari kegelapan menuju cahaya. Betapa tidak, umat Islam telah menyaksikan dunia seluruhnya telah jatuh dan dipaksa tunduk di bawah penindasan politik dan ekonomi kapitalisme, sehingga dunia tak merasakan apa pun selain penderitaan, penindasan, dan kehinaan.
Dengan demikian, meskipun umat Islam juga berada di bawah hegemoni itu, mereka tak boleh lagi hanya memikirkan nasibnya sendiri, sebab sikap egoisme (ananiyah) sesungguhnya sangat jauh dari aqidah yang mereka peluk serta merupakan hal yang asing dari prinsip mengutamakan orang lain yang mereka yakini. Karena itu, umat Islam wajib berpikir untuk menyelamatkan dunia (inqadz al ‘alam) sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka wajib memikul tugas membebaskan dunia (tahrir al ‘alam), bukan sekedar membebaskan dirinya sendiri saja. Sebab umat Islam adalah bagian integral dari dunia dan mereka diciptakan di alam kehidupan ini untuk menyampaikan hidayah Islam kepada umat manusia. Jadi setelah umat Islam memeluk Aqidah Islamiyah, wajib atas mereka untuk menyelamatkan umat manusia dari penderitaan, kezhaliman, penindasan, dan kehinaan. Firman Allah SWT : Qs. al-Anbiyaa’107, Saba’ 28 dan al-Baqarah 143.
Umat Islam sebenarnya tidak hanya mampu bangkit secara benar, bahkan sebenarnya mampu untuk menjadi sumber kebaikan dan kebajikan bagi berbagai bangsa dan umat lain serta mampu mengemban pemikiran ini --Aqidah Islamiyah— sebagai sebuah Qiyadah Fikriyah (pemikiran dasar yang memandu pandangan hidup pemeluknya) dan cara pandang tertentu dalam kehidupan kepada seluruh manusia. Selanjutnya, umat ini mampu pula mengatasi masalah-masalah dunia dan menyelamatkan dunia dari keterperosokannya ke jurang penderitaan, kehinaan dan penindasan dengan cara mengemban dakwah Islam kepada berbagai bangsa dan umat.
Namun demikian, upaya penyelamatan dunia itu tak akan terwujud sempurna kecuali dengan pembebasan umat Islam terlebih dahulu dari penindasan dan penjajahan kapitalisme yang membelenggu mereka. Dengan pembebasan umat ini, umat Islam akan dapat melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti`naf al hayah al islamiyah) yaitu kembali mengamalkan Islam secara keseluruhan dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalat, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, politik luar negeri, dan lain-lain. Dalam kondisi ideal ini, umat akan dapat berkiprah dan berjuang secara sempurna mengemban dakwah Islam kepada berbagai bangsa dan umat dalam rangka melaksanakan penyelamatan dunia
Akan tetapi pembebasan umat ini pun pada gilirannya tak akan terwujud sempurna kecuali dengan berdirinya negara Khilafah yang memikul kewajiban menerapkan Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan jalan dakwah
E. Dakwah Sebagai Penyelamatan
Ddakwah juga berarti penyelamatan manusia dari berbagai hal yang mungkin timbul aatau yang telah terjadi yang merugikan manusia. Dakwah dalam pengertian pencegahan atau sering kali disebut dengan nahi munkar.
Da'wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar ma'ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang .
Adapun mengenai tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.
Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah: "Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1)
Urgensi dan Strategi Amar ma'ruf Nahi munkar
Dalam Al-Qur'an dijumpai lafadz "amar ma'ruf nahi munkar" pada beberapa tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran: 104: "Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung". Hasbi Ash Siddieqy menafsirkan ayat ini: "Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyelesaikan urusan dawah, menyuruh ma'ruf (segala yang dipandang baik oleh syara` dan akal) dan mencegah yang munkar (segala yang dipandang tidak baik oleh syara` dan akal) mereka itulah orang yang beruntung."
Dalam ayat lain disebutkan "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah" (QS. Ali Imran: 110). Lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar tersebut juga bisa ditemukan dalam QS. At Taubah: 71, Al Hajj: 41, Al-A'raf: 165, Al Maidah: 78-79 serta masih banyak lagi dalam surat yang lain.
Bila dicermati, ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar merupakan perkara yang benar-benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan masyarakat. Secara global ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan hukum, partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang sevisi. Anjuran tersebut juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah: "Jika kamu melihat umatku takut berkata kepada orang dzhalim, 'Hai dzhalim!', maka ucapkan selamat tinggal untuknya."
Demikian juga dalam mengklasifikasikan suatu umat ke dalam derajat yang serendah-rendahnya, Allah menggunakan eksistensi amar ma'ruf nahi munkar sebagai parameter utama. Allah Swt. berfirman: "Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Isra'il melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat." (QS. Al Maidah 78-79). Dari sinipun sebenarnya sudah bisa dipahami sejauh mana tingkat urgensitas amar ma'ruf nahi munkar.
Bila kandungan ayat-ayat amar ma'ruf nahi munkar dicermati, -terutama ayat 104 dari QS. Ali Imran- dapat diketahui bahwa lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan dari lafadz iman, padahal iman adalah sumber dari segala rupa taat. Hal ini dikarenakan amar ma'ruf nahi munkar adalah bentengnya iman, dan hanya dengannya iman akan terpelihara. Di samping itu, keimanan adalah perbuatan individual yang akibat langsungnya hanya kembali kepada diri si pelaku, sedangkan amar ma'ruf nahi munkar adalah perbuatan yang berdimensi sosial yang dampaknya akan mengenai seluruh masyarakat dan juga merupakan hak bagi seluruh masyarakat.
Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma'ruf adalah mentauhidkan Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma'ruf nahi munkar ini pada dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa umumnya disebut dengan public opinion, sebab al ma'ruf adalah apa-apa yang disukai dan diingini oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala apa yang tidak diingini oleh khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar ma'ruf telah memberikan kesempatan bagi timbulnya opini yang salah, sehingga yang ma'ruf terlihat sebagai kemunkaran dan yang munkar tampak sebagai hal yang ma'ruf.
Konsisnten dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan, sebab jika ditinggalkan oleh semua individu dalam sebuah masyarakat akan berakibat fatal yang ujung-ujungnya berakhir dengan hancurnya sistem dan tatanan masyarakat itu sendiri. Harus disadari bahwa masyarakat itu layaknya sebuah bangunan. Jika ada gangguan yang muncul di salah satu bagian, amar ma'ruf nahi munkar harus senantiasa diterapkan sebagai tindakan preventif melawan kerusakan. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. memberikan tamsil: "Permisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan yang melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak mengambil air harus melawati orang-orang yang ada di atas meraka. Akhirnya mereka berkata 'Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita'. Jika orang yang di atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua akan binasa. Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuannya akan selamat."
Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang antara lain berupa:
1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).
Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua. Muslim tentunya tidak ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.
Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.
Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.
Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk masyarakat:
1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-Sunnah, serta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.
F. Dakwah Sebagai Upaya Membangun Peradaban
Seperempat abad sudah umat Islam melewati abad 15 yang awalnya dipandang sebagai kebangkitan kembali Islam. Berharap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan lantaran petro dolar, umat Islam di mana-mana justru semakin terpinggirkan dan mengkhawatirkan. Hampir tidak ada prestasi yang membanggakan, padahal pada awal abad baru umat Islam diharapkan dapat memberikan andil yang besar dalam menghadapi krisis global dengan akibat-akibat yang tak terbayangkan seperti; terorisme, krisis ekonomi, pencemaran lingkungan hidup dan krisis moralitas.
Situasi internal umat Islam juga amat memprihatinkan, dimulai dari krisis epistemologis, yakni memudarnya kesadaran umat untuk memahami ajaran-ajaran normatif secara kontekstual. Menghadapi perubahan-perubahan yang amat cepat, umat masih menyandarkan diri pada beban sejarah masa lalu. Seolah-olah masa kini dan masa depan tidak menyediakan jawaban bagi persoalan yang dihadapi. Karena itu cendekiawan muslim seperti Muhammad Arkoun, M. Abid Al Jabiri atau Hasan Hanafi, mengindentifikasi krisis kesadaran ini sebagai kegagalan memaknai Islam secara autentik.
Dengan kata lain umat Islam gagal merespons perubahan dengan berangkat dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman kebudayaan Islam sendiri. Padahal, konsep dan ajaran Islam baik secara teologis maupun metodologis masih tetap memiliki relevansi untuk menjawab dan memecahkan masalah. Ijtihad atau rethinking ajaran Islam dengan cara memahami sumber-sumber autentik Islam dan mendialogkannya dengan perubahan-perunahan.
Umat Islam yang sekarang sedang sakit, dimasukkan ke rumah sakit peradaban Barat untuk minta disembuhkan. Tetapi disembuhkan dari penyakit apa dan dengan obat apa? Sungguh sebuah pernyataan dan pertanyaan yang sangat tepat dan sekaligus kritik terhadap para pengikut setia pengagum pandangan hidup dan sekaligus gaya hidup Barat. Penyakit itu bernama kebodohan dan kemiskinan, tetapi fakta tersebut diletakkan dalam kerangka teologis. Penyakit tersebut tidak mungkin disembuhkan dengan sekularisasi, tidak pula dengan humanisme atau isme-isme yang lain. Oleh karena itu, obat yang diperlukan adalah bersifat teologis untuk membangun kembali pendidikan dan ekonomi umat, yakni konsep Islam yang bersumber kepada ajaran, wahyu dan ra’yu. Membangun kembali peradaban Islam mesti berangkat dari paradigma dan model ideal realitas sosial dan idealisme wahyu dan ra’yu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
PERAN PENDIDIKAN DAN DAKWAH
DALAM MENGATASI BERBAGAI MASALAH DI ERA GLOBAL
Oleh : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Mengkaji tentang Peran Pendidikan dan Dakwah dalam Mengatasi Berbagai Masalah di Era Global merupakan hal yang menarik dan perlu dilaksanakan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, bahwa antara pendidikan dan dakwah memiliki hubungan fungsional yang amat erat, karena kedua-duanya memiliki sasaran yang sama, yaitu manusia sebagai ciptaan Tuhan yang bukan hanya memiliki tubuh, pancaindera dan kelengkapan fisik lainnya, melainkan juga makhluk yang memiliki potensi intelektual, agama, bakat, minat dan lain sebagainya. Pembinaan seluruh aspek kehidupan manusia tersebut amat penting dalam rangka menghasikan manusia yang utuh dan seimbang antara kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, material dan spiritual, dunia dan akhirat, individual dan sosial, kecerdasan emosional dan intelektual, dan seterusnya. Dengan cara demikian, manusia tersebut dapat menolong dirinya sendiri, masyarakat, serta berguna bagi bangsa dan negaranya. Melalui pendidikan dalam arti yang seluas-iuasnyaiah itulah kita dapat menolong umat manusia dari berbagai keterbelakangannya.
Kedua, bahwa dunia pendidikan dan dakwah saat ini semakin menghadapi tantangan yang amat berat. Tantangan ini antara lain muncul sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Harus diakui bahwa Ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern berbagai masalah kehidupan khususnya dalam bidang material dapat dicapai dengan mudah. Berbagai kebutuhan hidup manusia mulai dari sarana komunikasi, transportasi, peralatan kerja dan berproduksi, sampai dengan peralatan kehidupan rumah tangga sehari-hari hampir seluruhnya menggunakan produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Mulai dari listrik, telepon, alat memasak, alat merapikan pakaian (seterikaan), taman dan sebagainya mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern juga dapat menimbulkan dampak yang negative. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang disalah-gunakan dapat membahayakan kehidupan manusia, seperti penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk merusak hutan, mencemari lingkungan, berperang, menjajah, serta menyampaikan berbagai informasi tentang paham kehidupan yang materialistik yang mengutamakan kehidupan kebendaan, hedonistik yang mementingkan hawa nafsu, individualistik yang mementingkan diri sendiri dan seterusnya. Pendidikan dan dakwah ditantang agar mampu menyelamatkan kehidupan manusia dari berbagai pengaruh penyalah-gunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Pendidikan dan dakwah harus mengharmoniskan dan menyeimbangkan kehidupan manusia agar memiliki keseimbangan antara kehidupan beragama dan kehidupan keduniaan. Agama yang disampaikan melalui pendidikan dan dakwah akan memberikan pandangan tentang dasar-dasar hidup yang baik, nilai-nilai luhur serta tujuan hidup manusia yakni beribadah dalam arti yang seluas-luasnya, sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membantu manusia untuk mempercepat manusia sampai pada tujuan hidup tersebut. Dalam kaitan ini al-Qur'an mengajarkan hidup yang seimbang antara penguatan dalam bidang iman dan takwa serta penguatan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana terdapat pada ayat yang berbunyi:
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi Ilmu Pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah [58]:11).
Ketiga, pendidikan dan dakwah merupakan sarana yang paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Dengan dakwah dan pendidikan, sumber daya dan potensi yang dimiliki manusia dapat dibina dan diberdayakan secara optimal, dan selanjutnya dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas dalam berbagai
“Barangsiapa yang menghendaki kesuksesan di dunia, maka harus dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kesuksesan di akhirat harus dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kesuksesan keduanya, maka harus dengan ilmu. (H.R. Muslim).
Keempat, harus diakui bahwa mutu pendidikan bangsa kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mutu pendidikan yang dimiliki bangsa lain. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka lulusan Pendidikan tinggi belum diakui oleh pihak luar negeri. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka kesempatan dan akses lulusan kita menjadi terbatas ruang geraknya. Mereka tidak mampu bersaing dengan lulusan pendidikan bangsa lain yang bermutu. Kemampuan dalam bidang bahasa, keterampilan, dan etos kerja bangsa kita masih amat rendah. Akibatnya bangsa kita menjadi budak di negeri sendiri, dan bahkan juga di luar negeri. Berdasarkan data dan informasi, pada setiap hari kita membaca berita tentang adanya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang disiksa oleh majikannya, serta mendapatkan berbagai perilaku yang tidak manusiawi lainnya. Keadaan ini terjadi antara lain karena bangsa belum memiliki pendidikan yang bermutu dan memadai. Menghadapi keadaan yang demikian itu, maka kita tidak membebankan hanya kepada Pemerintah. Di dalam Undang-uindang Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah merupakan tanggung jawab Pemerintah, Keluarga dan Pemerintah. Menyadari akan tanggung jawab ini, maka secara moral, kita bertanggung jawab untuk memajukan pendidikan. Dalam hubungan ini perlu adanya kerjasama yang harmonis antara berbagai pihak untuk memajukan pendidikan pada khususnya, bangsa dan negara pada umumnya, yaitu kerja sama antara kaum yang memiliki konsep yakni ilmuwan/ulama, kaum yang berharta (the have), penguasa/pemerintah dan masyarakat
“Bahwa dunia ini akan kokoh dengan empat perkara. Pertama, dengan ilmunya para ulama. Kedua dengan kedermawanan para aghniya (prang yang mampu). Ketiga, dengan keadilan para penguasa, serta keempat, dengan dukungan masyarakat”. (HR. Muslim).
Kelima, bahwa di kalangan masyarakat masih belum ada kesatuan visi dalam memandang pendidikan dan dakwah. Pendidikan dan dakwah bukanlah kegiatan yang semata-mata mengajarkan ilmu agama atau ilmu umum. Pendidikan dan dakwah pada hakikatnya membentuk kepribadian dan perilaku, merubah watak dan kebiasaan sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Pendidikan berupaya mempengaruhi pandangan orang agar berubah ke arah tujuan yang direncanakan. Selain itu pendidikan juga diarahkan guna menyiapkan generasi muda agar siap menghadapi kehidupan sekarang dan yang akan datang. Sedangkan pengajaran adalah upaya mengisi otak anak denganpengetahuan atau mengisi raga dan pancainderanya dengan berbagai keterangan. membentuk watak dan kepribadian. Untuk itu pengajaran lebih merupakan alat, sedangkan pendidikan adalah tujuan.
Keenam, pendidikan dan dakwah yang kita laksanakan hingga saat ini perlu benar-benar didasarkan pada ajaran Islam yang memiliki visi rahmatan lil alamin, sehingga kehadiran Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bukan hanya dapat dirasakan oleh ummat Islam sendiri, melainkan oleh ummat lainnya. Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain (khairunnaas anfa'uhum linnas).
Hal ini sejalan dengan kata Islam yang memiliki segenap pengertian yang baik. Islam dapat berarti harmony (rukun), peace (damai/ tolerance (saling menghargai), democratic (musyawarah), egaliter (merasa sederajat dengan yang lain), relationship (silaturahmi), dignity (saling menghormati/ recognize to human right (mengakui hak-hak asasi manusia), solidarity (saling membantu), humanity (saling menghargai manusia), kindship (memiliki hubungan yang baik, wisdom (bijaksana), truts (dapat dipercayra), justice (adil), dan seterusnya. Islam dalam pengertian yang demikian itulah yang pernah diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, serta dilanjutkan pada periode-periode selanjutnya.
Ketujuh, dewasa ini umat Islam seringkali dipojokan oleh dunia dengan memberikan berbagai predikat yang buruk kepadanya. Umat Islam sering dianggap sebagai agent of terrorist yang meresahkan dunia, umat Islam digambarkan sebagai orang yang bodoh, hidup di pedesaan yang serba kekuarangan, tempat tinggai yang kumuh, derajat kesehatan yang rendah, pengalaman dan keterampilan yang amat minim, kemampuan komunikasi yang amat terbatas, dan berbagai predikat negatif lainnya.
Kedelapan, salah satu masalah yang masih menyelimuti ummat Islam dan menjadi penyebab timbulnya masalah yang lain adalah masalah kemiskinan, walaupun tingkat penyebarannya tidak merata. Yaitu ada negara-negara yang sumber alamnya kaya, penduduknya beragama Islam dan mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi, seperti Kuwait, Qathar, dan Saudi Arabia; dan ada pula negara-negara yang penduduknya beragama Islam, tanah dan alamnya subur, namun penduduknya miskin, seperti Indonesia. Ada pula negara yang sumber alamnya tidak begitu kaya, namun dapat mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi seperti Kanada dan Jepang.
Kesembilan, sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia khususnya Eropa dan Amerika mengetahui bahwa sumber kekayaan alam di dunia berada di negara yang penduduknya beragama Islam, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qathar, Iran dan sebagainya. Agar Eropa dan Amerika untuk dapat menguasai kekayaaan alam (khususnya minyak) yang terdapat di negara-negara Islam, tersebut, maka negara-negara itu harus dikuasai dan dibuat tergantung kepada mereka. Seperti yang terjadi sekarang ini, beberapa negara di Timur Tengah sebagian besar berlindung di bawah hegemoni Amerika, dan dengan demikian Amerika dapat memperlakukan berbagai kebijakan yang menguntungkan dirinya dan merugikan negara Islam. Keadaan ini hendaknya segera disadari oleh dunia Islam. Melalui kegiatan pendidikan dan dakwah kesadaran akan kemandiriaan dan terlepas dari pengaruh Eropa dan Barat tersebut harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda kita.
Dengan demikian, pendidikan dan dakwah merupakan kunci yang amat strategis dalam mengatasi berbagai permasalahan global yang terjadi saat ini. Untuk itu masalah pendidikan yang bermutu dan unggul, seimbang antara agama dan umum, jasmani dan rohani harus kita berikan kepada putera-puteri dan generasi muda kita. Mudah-mudahan upaya ini memberi berkah bagi kemajuan umat manusia umumnya, dan bangsa Indonesia pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar