Rabu, 15 September 2010

pendidikan

PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMANUSIAKAN MANUSIA *
By Moh. Subhan

Prolog
Surat Ali Imran 190-191

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak sehingga manusia dapat berguna dan survive di arena kehidupan. Hal ini secara gamblang dinyatakan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dari rumusan ini kemudian dijabarkan dalam GBHN bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu:

1. Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME,
2. Berbudi pekerti luhur,
3. Berkepribadian mandiri,
4. Maju,
5. Tangguh,
6. Cerdas,
7. Kreatif,
8. Terampil,
9. Berdisiplin,
10. Beretos kerja,
11. Profesional,
12. Tanggung jawab dan produktif, serta
13. Sehat jasmani dan rohani.

Dengan demikian pendidikan adalah sebuah upaya untuk ”mencetak” generasi yang memilki ketangguhan jasmani dan rohani dan memilki kemampuan (skill) dalam menghadapi kehidupan nyata dan kompleks.
Ketangguhan jasmani ditandai dengan fisik yang sehat, memilki ketrampilan dan keahlian profesional yang berkorelasi dengan pendidikan yang digelutinya, sehingga mampu untuk menghadapi kehidupan riel di masyarakat. Sedangkan ketangguhan rohani ditandai dengan relegiositas (keberagamaan) yang tinggi. Ketangguhan relegiositas tersebut tidak hanya dalam ranah kognitif (pengetahuan) saja, tetapi yang lebih penting adalah pada ranah afektif dan psikomotoriknya.
Sebuah konsep pendidikan yang sangat bagus, tetapi pada tataran relistis bisa dikatakan ”jauh panggang daripada api”. Kita merasa prihatin di mana akhir-akhir ini bangsa kita yang terkanal dengan bangsa yang ramah dan berperadaban berubah menjadi bangsa yang brutal dan anarkhis. Maka tidak heran jika ada penyakit baru psikososial, yaitu permisivinnes (penyakit tega). Dalam pemberitaan di media massa, TV, dan media lain, betapa menggambarkan mengenai hal itu. Dengan mudahnya orang menjadi naik darah. Orang bisa membunuh hanya karena masalah yang sepele, maraknya tindakan kriminal; perampokan yang dilakukan di siang hari, penodongan secara terang-terangan. Pornografi menjadi sangat marak. Orang begitu tega dan merasa bangga memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang seharusnya dilindungi, dengan dalih seksi dan seni. Moralitas Permissiviness pun diberi label Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga berbagai macam ekspresi yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran moralitas ternyata tidak dibendung. Masih tersisahkan budaya kita untuk mengagungkan moralitas, kreativitas dan tanggung jawab di tengah galau kehidupan kehidupan modern yang hingar bingar. Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan masyarakat yang relegius hanya tinggal sebagai fosil-fosil belaka.
Di satu sisi kita menyaksikan pengangguran terus meningkat setiap tahun, kemiskinan terus bertambah. Yang menjadi pertanyan besar bagi kita adalah ? Di mana peran pendidikan ? Di mana letak kesalahannya ? Untuk memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu mamang tidaklah mudah, tetapi salah satu faktor yang menyebabkan menurut penulis adalah pendidikan kita selama ini masih berorintasi pada ranah kognisi (knowledge/pengetahuan) atau teori. Pendidikan kita kurang memperhatikan aspek kognisi dan afektifnya.
Di tengah arus globalisasi, kompetisi bukan lagi antar individu dalam keluarga, masyarakat lokal maupun nasional, tetapi sudah mendunia (global). Inilah yang kemudian menjadi menakutkan bagi bangsa yang sedang berkembang –termasuk negara Indonesia—sebab kualitas human resourches (SDM) yang dimiilkinya masih belum mapu bersaing dengan SDM negara lain. Bahkan jika ditilik, dengan negara Asia Tengara saja, SDM Indonesia sudah jauh tertingga. Dengan negara Vietnam saja Indonesia masih kalah. Indonesia berada di urutan ke 12 setelah vietnam. Suatu hal yang sangat ironis.

Konsep pendidikan masa depan
Kaca mata pengetahuan historitas memberikan sebuah telaah bahwa segala sesuatu yang menjadi kepentingan manusia, sangat tergantung pada kaderisasi. Kemudian setiap bangsa mampu mempertahankan dan menjaikan budayanya sebagai percontohan peradaban melalaui sistem pendidikan yang dijalankan di dalamnya. Tiap sistem pendidikan dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan tingkat kebutuhan dan orientasi masa depan masyarakat. Pembentukan itulah yang melahirkan beberapa peertimbangan konseptual tentang garis-garis besar pendidikan.
Sejak berlakunya pendidikan yang melibatkan dominasi pemerintah, baikmdalam perencanaan ataupun pelaksanaan dan pengawasan, ditemukan beberapa ketimpangan. Ketimpangan tersebut dipicu oleh perencanaan pendidikan dari Top down, di mana segala sesuatunya di tentukan dari otoritas pemerintah pusat. Hal ini kemudian yang mempengaruhi proses yang dijalankan, sehingga terkesan dipaksakan dan kurang memilki pijakan yang kuat yang mengakar sesuai dengan keinginan masyarakat sendiri.
Kebijakan dengan sistem top down ini akhirnya meklahirkan pola pemikiran bottom up. Di mana pola ini lebih memberikan peluang terhadap masyarakat utnuk menentukan pendidikannya sendiri secara mandiri. Dan hal ini sudah dipraktekkan oleh pesantren-pesantern di Indonesia. Dari sini muncullah konsep desentralisasi pendidikan. Di mana disamping pemerintah pusat yang memilki otoritas untuk menggariskan hal-hal pokok tentang penyelenggaraan pendidikan , juga terdapat kewenagnan daerah untuk menentukan kebijakan yang dirasakan perlu untuk menjawab tantangan mas yang akan datang.
Dalam hal yang harus juga diperhatikan dalam menjalankan sistem disentralisasi adalah:

1. Adanya keadilan dan demikratiosasi pendidikan
2. Sistemik dan keteladanan.

Disamping cara tersebut maka mata pelajaran agama yang selama ini dirasakan hanya sebagai pengetahuan samata (teorri) harus mendapat sentuhan baru agar bisa menjadi ajaran yang ralistis dan berdaya guna. Kita tahu pendidikan baru dinyatakan berhasil bila pendidikan itu mampu marubah pola pikira dan pola berperilaku peserta didiknya.
Waallahu a’lam.

Tidak ada komentar: