CARA AL-QUR’AN DITURUNKAN
Tentang diturunkannya wahyu AI-Qur’an dapat dilihat pada ayat 185 surah al-Baqarah,
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) AI-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penje]asan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” |
“Sesungguhnya telah Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” |
Dalam rentang masa dua puluh tiga tahun, Kitab suci Al-Qur’an diturunkan secara bertahap memenuhi tuntutan situasi dan lingkungan yang ada. Ibn ‘Abbas (w. 68 hijriah), seorang ilmuwan terkemuka di antara sahabat rasul mempertegas bahwa Al-Qur’an an diturunkan ke langit terbawah (bait al-`izzah) dalam satu malam yang kemudian diturunkan ke bumi secara bertahap sesuai dengan keperluan.17
1.Cara-cara Turunnya Al-Qur’an
Penerimaan wahyu Al-Qur’an ada di luar jangkauan penalaran akal manusia. Selama empat belas abad yang silam tak ada seorang rasul yang muncul, dan dalam memahami fenomena wahyu kita semata-mata merujuk pada laporan authentic dari Nabi Muhammad dan orang-orang kepercayaan yang menyaksikan kehidupan beliau.18 Riwayat ini mungkin dapat dipakai sebagai cermin tentang apa yang dialami oleh nabi-nabi sebelumnya dalam menerima komunikasi ketuhanan.
1) Al-Harith bin Hisham bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu itu sampai padamu?” Beliau menjawab, “Kadang-kadang seperti bunyi lonceng, dan itu sesuatu paling dahsyat yang sampai pada saya, kemudian lenyap dan saya dapat mengulangi apa yang dikatakan. Kadang-kadang Malaikat hadir dalam jelmaan manusia dan berkata padaku dan saya dapat memahami apa yang dikatakan.”19 ‘A’isya menuturkan, “Sungguh aku pernah melihat Nabi saat wahyu turun kepadanya di mana pada hari itu beliau merasa kedinginan sebelum wahyu berhenti dan dahinya penuh keringat.”20
2) Ya’la pernah sekali bercerita pada `Umar tentang keinginannya melihat Nabi Muhammad menerima wahyu. Pada kesempatan lain ‘Umar memanggil dan ia menyaksikan Nabi Muhammad wajahnya kemerahan, bernapas sambil ngos-ngosan. Lalu tampak sembuh (dari gejala itu).’21
3) Zaid bin Thabit menjelaskan, “Ibn Um-Maktum mendatangi Nabi Muhammad saat beliau mendiktekan ayat ini, ‘tak akan sama di antara orang-orang yang beriman yang duduk (tanpa kerja)’.22 Saat mendengar ayat tersebut Ibn Um-Maktum berkata, ‘O Nabi Allah, adakah berarti saya mesti ikut ke medan perang (jihad).’ Dia seorang yang buta. Kemudian Allah mewahyukan (ayat peringatan) kepada Nabi Muhammad. Saat kakinya berada di atas kakiku, begitu beratnya dan saya khawatir kakiku terasa akan putus.”23
Terdapat perubahan psikologis terhadap Nabi Muhammad selama menerima wahyu akan tetapi dalam semua waktu cara berbicara dan lainnya tetap seperti biasa. la tidak pernah tahu bila dan di mana wahyu itu akan sampai, seperti tampak dalam semua kejadian. Di sini saya berikan dua contoh sebagai bukti. 4) Dalam masalah beberapa orang-orang mengumpat tentang istri rasul, ‘A’isha, mereka menuduh melakukan perbuatan tak terpuji dengan seorang sahabat. Nabi Muhammad tidak menerima wahyu seketika. Sebenarnya, beliau cukup pedih merasakan penderitaan selama sebulan karena berita gosip yang menimpa sebelum Allah memberi penjelasan tentang kesuciannya:“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakan ini. Mahasuci Engkau (Ya Tuhan kami), in] adalah dusta yang besar.’ “24 |
Sementara dalam masalah Ibn Um-Maktum (keberatan melakukan jihad karena buta), Nabi Muhammad menerima wahyu secara spontan: “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.”25 |
2. Permulaan Wahyu dan Mu`jizat Al-Qur’an 26
Peranan Nabi Muhammad dipersiapkan secara bertahap, suatu masa yang penuh kebimbangan dalam melihat berbagai kejadian dan visi pandangan yang ada, juga ikut ambil bagian dalam mempersiapkan kematangan jiwanya dimana Jibril berulang kali hadir memperkenalkan diri.27 Pertama kali muncul di depan Nabi Muhammad saat ia berada di Gua Hira, Jibril minta membaca dan beliau mengatakan tak tahu. Malaikat mengulangi permintaannya tiga kali dan ia menjawab dalam keadaan serbabingung dan ketakutan sebelum mengetahui kenabian yang tak terduga dan pertama kali mendengar Al-Qur’an :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan mulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”28 |
Dikejutkan oleh perasaan dengan melihat sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran tentang tugas tersebut, Nabi Muhammad kembali dalam keadaan gemetar menemui Khadijah minta agar dapat menghibur dan mengembalikan ketenteraman jiwanya. Sebagai seorang Arab, tentu ia paham susunan ekspresi syair dan prosa, akan tetapi tak terlintas di otak sama sekali tentang ayat-ayat wahyu Al-Qur’an yang ia terima. Sesuatu yang tak pernah terdengar sebelumnya serta susunan kata-kata yang tak ada bandinganya. Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar yang pertama ia terima. Pada suatu waktu di tempat yang berbeda, Nabi Musa diberi mukjizat-sinar cahaya memancar dari tangan, tongkat menjadi ular raksasa sebagai tanda kenabiannya. Berbeda dengan peristiwa yang dialami Nabi Muhammad dari gua dalam sebuah gunung, Malaikat meminta si buta huruf agar membaca. Mukjizatnya bukannya seekor ular naga, benda logam, kemahiran menyembuhkan penyakit, menghidupkan kembali orang yang sudah mati, melainkan kata-kata ajaib yang tak pernah terlintas di telinga siapa pun.
3. Nabi Muhammad dan Pengaruh Bacaan Al-Qur’an terhadap Orang Kafir
Perjalanan waktu juga mengambil bagian penting persiapan Nabi Muhammad dalam mengenalkan ajaran Islam pada kenalan terdekat. Allah swt. membesarkan hatinya agar membaca ayat-ayat Al-Qur’an di keheningan malam.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah AI-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.”29 |
Sekarang hendak kita telusuri efek yang begitu dalam dari bacaan Al Qur’an, seperti yang dialami para pemuja patung berhala. Ibn Ishaq menulis: Muhammad bin Muslim bin Shihab az-Zuhri bercerita bahwa Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahl bin Hisham, dan al-Akhnas bin Shariq bin ‘Amr bin Wahb ath-Thaqafi (sekutu kaum bani Zuhra) suatu malam jalan jalan mencuri dengar bacaan AI-Qur’an an Nabi Muhammad di rumahnya. Tiap tiga orang dalam kelompok berusaha memilih tempat yang safe dan tak seorang pun di antara mereka mengetahui keberadaan yang lain. Setelah fajr mereka bubar dan satu sama lain bertemu saat kembali ke rumah.
Sebagai anggota komplotan, masing-masing menceritakan pengalaman, “Jangan engkau ulangi lagi perbuatan ini, nanti akan terkesima.” Mereka pulang dan malam berikutnya kembali mencuri dengar, dan bercerita pengalaman satu sama lain di waktu fajr. Pada malam ke tiga, mereka kumpul pada pagi hari sambil berkata, “Kita tak akan meninggalkan tempat kecuali setelah berikrar sungguh-sungguh tak akan mengulang lagi.” Setelah berjanji mereka bubar. Beberapa saat kemudian dengan membawa tongkat, al-Akhnas pergi ke rumah Abu Sufyan dan menanyakan apa yang telah mereka dengar dari Nabi Muhammad. Abu Sufyan menjawab, “Demi Allah, aku mendengar sesuatu yang saya tidak dapat memahami artinya dan entah apa yang mereka maksudkan.”
Al-Akhnas berkata, “Persoalannya sama seperti yang saya alami”. Kemudian ia pergi mendatangi rumah Abu Jahl menanyakan hal yang sama. la menjawab, “Apa sebenarnya yang saya dengar, kami dan suku kabilah ‘Abd Manaf selalu kompetisi dalam meraih ketinggian kedudukan di tengah masyarakat. Mereka memberi makan orang miskin dan kami juga melakukan hal yang sama. Mereka terlibat menyelesaikan persoalan orang lain, demikian juga kami. Mereka menunjukkan sikap murah hati terhadap orang lain, kami juga mengikutinya. Kami berpacu seperti dua pasukan yang melangkah sama cepatnya. Tiba-tiba mereka menyatakan, ‘Kami memiliki seorang nabi yang telah menerima wahyu dari langit.’ Bila, kita hendak memiliki hal seperti itu? Saya bersumpah, tak mungkin pernah percaya padanya dan tak mungkin pula aku memanggilnya sebagai orang jujur.”30
Di samping kebencian yang luar biasa dari pihak orang kafir, Nabi Muhammad tetap meneruskan bacaan dan jumlah para pencuri dengar semakin bertambah dan herannya, setiap orang amat khawatir perbuatan mencuri dengar AI-Qur’an akan terungkap oleh orang lain.31 Nabi Muhammad dengan penentangnya pernah diminta berdebat tentang keesaan Allah karena AI-Qur’an bukan ciptaan manusia, cukup sebagai bukti secara akal tentang wujud keesaan Allah swt.. Namun demikian, karena bacaan yang awalnya dari keheningan malam clan berubah menjadi pada siang-hari dan didengar oleh orang banyak, maka rasa kekhawatiran orang Mekah semakin menjadi jadi.
Melalui pendekatan yang cepat dan bijak, sekelompok orang Quraish mendatangi al-Walid bin al-Mughira, orang yang cukup bergengsi di masyarakat. Lalu ia menyampaikan pendapatnya di depan mereka, “Waktu pertunjukan telah tiba dan wakil-wakil bangsa Arab akan hadir menemui Anda. Mereka ingin mendengar tentang teman anda, setuju sajalah pada satu pendapat tanpa perselisihan di mana tak akan seorang pun di antara kita bercerita bohong pada yang lain.” Mereka berkata, “Berikan pendapat anda tentang dia (Muhammad),” dan ia menjawab, “Tidak, lebih baik anda bicara dan saya mendengar.” Maka berkata, “la tidak lebih dari seorang peramal.” Al-Walid menjawab, “Demi Tuhan, dia bukan itu, dia bukannya seorang yang pandai membuat irama pantun, seperti juru ramal.” Kalau demikian halnya, ia terpengaruh oleh seorang peramal.” “Bukan, ia bukan orang seperti itu. Kami melihat sendiri tidak ada gerak-gerik tak karuan maupun jampi jampi, seperti juru ramal.” “Jika demikian, ia seorang penyair.” “Bukan, dia bukan itu, kami mengerti semua syair dan permasalahannya. Jika demikian halnya ia mungkin tukang sihir.” “Bukan, kami telah melihat tukang sihir dan hasil kerjanya. Di sini (Muhammad) tidak pernah meludah-ludah, seperti juru sihir dan mengikatikat tali buhul.” “Jika demikian, lantas apa yang pantas hendak kita sebut, Wahai Abu `Abd Shams?” la menjawab, “Demi Tuhan, kata-katanya indah, akarnya seperti pohon kurma yang dahannya sangat berguna, dan semua apa yang anda katakan akan dikenal sebagai cerita palsu. Yang mungkin mendekati kebenaian adalah seperti yang anda sebut ia seorang sahir pembawa risalah yang memisahkan seseorang dari ayah, saudara, atau pun istri, dan keluarganya.”32
Hal serupa dapat kita lihat Abu Bakr, ia membangun sebuah masjid di Mekah di sebelah rumah tempat ia menjalankan shalat tiap waktu dan membaca Al-Qur’an. Orang-orang kafir menemui Ibn Addaghinna, orang yang memberi perlindungan pada Abu Bakr, minta agar tak lagi membaca AI-Qur’an karena banyak kaum wanita dan anak-anak yang mencuri dengar bacaan dan ternyata mudah terpengaruh.33
-------------
17. As-Suyuti, al-Itqan, i: 117.
18. Banyak kejadian yang dapat dijelaskan namun tidak dapat dipahami seluruhnya oleh seseorang dengan pengalaman yang terbatas tak akan mungkin tahu caranya. Contoh sederhana seperti menjelaskan sebuah daratan tanah dan tentang wama pada seorang buta atau menjelaskan suara nyanyian burung pada mereka orang budeg. Mereka mungkin saja memahami beberapa penjelasan, akan tetapi tidaklah seluruhnya seperti seseorang yang diberi pendengaran dan penglihatan. Demikian juga penjelasan tentang wahyu dan apa yang dirasakan oleh Nabi Muhammad saat menerimanya pada orang-orang di luar kita, suatu pemahaman di luar jangkauan otak kita.
19. Al-Bukhari, Sahih, Ba’d al-Wahy: 1
20. Ibid, Bad’ al-Wahy: 1.
21. Muslim, Sahih, Manasik: 6.
22. Qur’an, 4: 95.
23. Al-Bukhari, Sahih, Jihad: 30.
24. Qur’an, 24:16.
25. Qur’an, 4: 95.
26. Pada halaman berikutnya saya akan melihat ke belakang sejenak berhubungan beberapa kejadian dari tahun-tahun pertama kerabian. Hat ini berbeda dari pandangan biografi pada hal sebelumnya di mana focus perhatian kita tercurah seluruhnya pada AI-Qur’an.
27. Ibn Hajar, Fathul Bad, viii: 716.
28. Qur’an, 96: 1-5.
29. Qur’an, 73:1-0.
30. Ibn Hisham, Sira, jilid.1-2, hlm. .315-16.
31. Ibn Ishaq, as-Seyr wa al-Maghazi, hlm..205=6.
32. Ibn [shaq, as-Syerwa al-Maghazi, Editor Suhail Zakkar, hlm. 151; Ibn Hisham, Sira,jilid .l2, hlm. .270-71.
33. Ibn Hisham, Sira, jilid .1-2, hlm. 373, al-Baladhuri, Ansab, i: 206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar