Selasa, 09 Februari 2010

produksi

Pendistribusian hasil produksi
By Moh. Subhan
1. Pendahuluan
Allah menciptakan manusia dengan perbedaan kemampuan. Di antara mereka ada yang cerdas dan ada yang bebal, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang sehat dan ada yang sakit, ada yang sabar dan ada yang suka mengeluh..dst. dari sini muncullah perbedaan dalam hal keahlian dalam mencari penghidupan. Ada yang ahli dalam bidang kerjanya dan ad juga yang tidak. Secara alami akan ada perbedaan dalam hal sedikit dan banyaknya serta baik dan buruknya sesuatu yang mereka produksi. Dengan begitu mereka juga akan berbeda dalam hal kekayaan, dan Islam telah mengakui hal ini. Allah SWT berfirman Surat Mujadalah; 11
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat"
Lihat juga surat Hud; 15 dan 16
15. Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
16. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
Lihatlah ayat yang terakhir ini dan renungkanlah. Anda akan mendapati bahwa pekerjaan yang baik akan membuahkan hasil yang baik, meskipun yang mengerjakannya adalah orang kafir dan tidak memaksudkan pekerjaannya melainkan untuk membantu kebatilan. Orang yang bekerja akan mendapatkan hasil dari kerjanya. Orang yang malas dan hanya duduk berpangkut tangan tidak akan menghasilkan apa-apa. Itu adalah Sunnah Allah di dalam kehidupan. Perbedaan dalam hasil produksi akan menimbulkan kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya alam dan penelitian terhadap rahasia alam. Setiap kompetitor akan meningkatkan kemapuannya dan memperbaiki kualitasnya agar dapat memproduksi dalam jumlah yang besar.
Alam adalah milik Allah. seluruh manusia adalah keluarga Allah. Ada sebagian orang yang berteori semua manusia memiliki hak yang sama terhadap alam. Tetapi jika kita mengambil teori ini, maka setiap orang akan dapat mengelola alam-misalnya tanah-meskipun tidak memiliki kemampuan berproduksi dan hal itu akan membahayakan. Karena itulah syari’at Islam memandang bahwa keadilan dalam pendistribusian mengharuskan bahwa setiap orang tidak diberikan hak untuk mengelola alam lebih dari kemampuan yang dimilikinya. Karena itulah Umar meminta kembali sesuatu yang tidak mampu dikelola oleh Bilal bin Haris dan membagikannya kepada kaum muslimin. Umar membolehkan mengambil tanah dengan cara membelinya jika pemiliknya tidak memakainya selama tiga tahun. Beliau berkata: “ Barang siapa memiliki tanah dan tidak dipakai selama tiga tahun, kemudian ada orang-orang yang mengelolanya, maka merekalah yang lebih berhak atas tanah tersebut.” Umar juga tidak menyetujui Abu Bakar yang memberikan tanah yang tidak mampu dikelola oleh Uyaynah bin Hushn. Umar berkata: “ apakah semua tanah ini milikmu dan tidak juga dimiliki oleh orang lain.? Umar menghapus tulisan Abu Bakr yang menetapkan pemberian tersebut. maka Uyaynah kembali kepada Abu Bakr dan meminta untuk memperbarui ketetapan tentang tanah ini. Maka Abu Bakr berkata: “ Demi Allah aku tidak akan memperbarui sesuatu yang ditolak oleh Umar”.
Tetapi kebanyakan orang tidak menerapkan petunjuk syari’ah. Mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melampaui batas dan mereka membuat timbangan keadilan menjadi timpang . Maka muncullah permasalahan ekonomi.
Jadi, Permasalahan ekonomi bukanlah dalam hal memproduksi sesuai dengan distribusi. Karena itulah syari’at Islam mewajibkan serangkaian aturan untuk mengembalikan timbangan keadilan kepada keseimbangan seperti dengan zakat, shodaqah, kaffarah, nafahah wajib, dan aturan lain yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengurusnya yang aka kita bahas setelah ini. Hal ini disebut dengan “pendistribusian kembali”.
2. pendistribusian hasil produksi.
Dalam menjelaskan aturan-aturan pendistribusian dalam syari’at Islam memaksa kita untuk menjelaskan semua bidang muamalah dalam fikih Islam. Ini akan memakan waktu yang lama. karena itu kami melewatkannya dengan cepat dan mengharap untuk yang terperinci agar pembaca melihat langsung buku-buku fikih yang khusus membahasnya.
a. Pendistribusian kekayaan alam
Alam adalah sumber dari semua kekayaan. Pada dasarnya alam tidak dimiliki oleh seseorang, tetapi ia adalah milik Allah SWT. Tetapi, kepemilikan tersebut dapat berpindah dengan melakukan suatu pekerjaan. Kami akan membahas pendistribusian kekayaan alam dengan gambaran sebagai berikut:




















(1) pendistribusian kekayaan alam yang tidak dimiliki:
pada dasarnya alam, seperti barang tambang di dalam tanah, air di sumbernya, tanaman di padang rumput atau hutan dan lainnya, tidak dimiliki oleh seseorang. Alam dapat dimanfaatkan hanya dengan dikerjakan saja, atau dengan dikerjakan dan dengan modal. Pada kondisi yang kedua bisa saja pengetrjaan dan modal oleh satu pihak, atau modak dari satu pihak dan pengerjaan oleh pihka lain.
jika alam yang tidak dimiliki dimanfaatkan dengan dikerjakan saja, maka kekayaan yang dihasilkan adalah milik orang yang mengerjakannya dan tidak dibagai dengan yang lain. Jika dua orang yang bekerja bersepakat untuk mencari kayu di hutan. Masing-masing berangkat sendiri-sendiri. Mereka berbagi dalam kayu yang mereka kumpulkan. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berkata: kerja sama ini tidak sah. Masing-masing berhak atas hasil yang diperolehnya sendiri dan tidak dibagi kepada yang lain.
Adapun jika keduanya bekerjasama untuk mendpatkan sesuatu dari alam seperti bekerjasama untuk memotong kayu di padang, maka keduanya saling berbagi. Masing-masing mendapatkan separuh. Adapun jika yang memotong adalah satu orang sedangkan yang lain hanya membantu: maka kayu itu adalah milik orang yang memotongnya, sedangkan untuk orang yang membantu diberikan upah standar yang tidak melebihi separuh harga kayu tersebut. karena hal ini adalah bekerja sama dengan badan (tenaga). Sedanmgkan menurut ulama Hanafiyah bekerja sama dengan badan (tenaga) tidak sah dalam menghasilkan sesuatu yang mubah seperti mencari kayu atau berburu. Dan kerja sama ini sah dalam hal yang lain. ulam Hanbali dan Maliki menyatakan kerja sama itu sah.
Adapun jika alam dimanfaatkan dengan dikerjakan dan modal- seperti alat bekerja-dan yang melakukan keduanya adalah satu pihak saja maka yang berhak atas hasil tersebut adalah pihka tersebut.
Adapun jika pengerjaan dilakukan oleh satu pihak, dan modal dari pihak yang lain, maka kekayaan yang dihasilkan menurut ulama Hanafiyah adalah milik pekerja. Sedangkan yang lain mendapatkan biaya sewa alat-alat yang digunakan bekerja. Sebagaimana jika dua orang bersepakat untuk berburu, yang satru menyediakan kendaraan dan jaring sedangkan yang lain yang mengerjakannya, maka ikan yang didapatkan adalah milik orang yang bekerja, sedangkan yang lain mendapatkan biaya sewa alat dan kendaraan. Ulama syafi’iyah menyatakan bahwa semua kekayaan yang dihasilkan adalah milik pemilik jaring dan kendaraan, yakni pemilik modal, dan orang yang bekerja mendapatkan upah standar. Yang benar adalah pendapar ulama Hanbali dan Imam al-Auza’i yang menyatakan bahwa kerja sama ini adalh sah. Masing-masing dari pemilik modal dan yang bekerja mendapatkan bagian dari hasil tersebut. hal ini karena diqiyaskan kepada muzara’ah dan Musaqah karena mereka telah berbagi dalam hal modak dan pengerjaan. Jadi masing-masing punya hak atau hasil pekerjaan tersebut.
(2) pendistribusian kekayaan alam yang dimiliki.
Yang kami maksud dengan alam yang dimiliki adalah sesuatu yang dimiliki secara umum yang berubah menjadi dimiliki secara khusus, seperti tanah yang dimiliki karena dikelola, air yang terjaga di dalam sebuah wadah dsb.
Alam yang telah menjadi kepemilikan khusus berubah menjadi modal. Fungsinya sama dengan fungsi alt produksi. Pemanfaatannya bisa dengan memadukan modal dengan pengerjaaan oleh satu pihak, yakni perorangan secara kongkrik maupun abstrak. Bisa juga modal dari satu pihak dan pengerjaan oleh pihak lain.
Jika modal dan pengerjaan berasal dari satu pihak, maka dari alam ini untuk pihak tersebut dan tidak dibagi kepada pihak lain, sebagaimana orang yang mengerjakan sawahnya sendiri. Jadi hasil produksinya adalah miliknya.
Jika modal dari satu pihak sedangkan pengerjaan oleh pihak lain. Bisa saja disepakati bahwa hasil adalah milik pemilik modal, dan orang yang mengerjakannya berhak atas upah tertentu sesuai dengan pekerjaannya. Jadi pekerjaan tersebut murni pekerjaan upahan.
Bisa juga pekerja tidak mendapatkan upah, tetapi berhak atas sebagian kekayaan yang dihasilkan. Pada kondisi seperti ini disyaratkan adanya bagian yang ditentukan untuk orang yang bekerja seperti sepertiga atau seperempat. Dan tidak boleh dengan ukuran yang ditentukan seperti satu ton hasil, karena ada kemungkinan hasil tidak mencapai ukuran tersebut.
Hak pekerja atas hasil dari alam yang tidak dimiliki adalah apa yang disebut oleh para ahli fikih dengan muzara’ah-yaitu bahwa seseorang menyerahkan tanah dan biaya pengerjaan kepada orang lain untuk dikerjakan dengan kesepakatan bahwa orang yang bekerja mendapatkan sepertiga atau seperempat hasil-hal ini meskipun diperdebatkan ulama dalam hal disyariatkannya, Abu hanifah, asy-Syafi’I dan Malik mengingkarinya karena hal itu adalah akad upah dengan upah yang tidak jelas, dan Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf dan Muhammad dari kalangan Hanafiyah mengakui tentang pensyariatannya, namun pada masa sekarang para ulama Hanafi dan ahli fikih kontemporer memfatwakan kebolehannya. Disebutkan di dalam kitab al-Hidayah ”hanya saja fatwa didasarkan kepada pendapat Abu Yusuf dan Muhammad karena orang-orang membutuhkannya dan karena sudah menjadi fenomena dalam masyararakat. Qiyas ditinggalkan sebab adanya praktek sebagaimana dalam tekhnik.
Yang menunjukkan bahwa Muzara’ah bukanlah kerjasama upahan (ijarah), tetapi sebuah kerjasama perkongsian (syirkah), karena pekerjaan yang ada di dalamnya dan hal-hal yang sejenis bukanlah tujuan dari kerja sama ini, karena tujuan utama adalah hasil-kekayaan-yang mana kedua pihak saling berbagi tugas dalam mendapatkannya. Tetapi yang satu ambil bagian dengan memberi modal sedangkan yang satu dengan tenaganya. Hal ini akan serupa dengan mudlarabah , semua kerja sama tersebut berdasarkan prinsip yang sama.
Ibnu Taimiyah berkata: muzara’ah tidak diragukan lagi hukumnya adalah boleh, baik yang biaya penggarapannya dari pemilik tanah, atau dari pekerja, atau dari keduanya. Ini pedapat yang paling benar dalam masalah ini. Demikian pula semua kerja sama yang sejenis seperti jika seseorang yang menyerahkan kendaraannya atau perahunya kepada orang yang akan menggunakannya untuk mencari penghasilan. Keuntungan dibagi untuk keduannya; atau memmberikan hewan ternaknya atau kebun kurmanya kepada orang yang akan mengurusnya dan bulu, susu, anak ternaknya, dan madu yang dihasilkan dibagi untuk keduanya.
b. Pendistribusian hasil produksi non alam
yang kami maksud dengan hasil produksi non alam adalah tempat adanya pekerjaan –yang selain alam, seperti semua jenis perdagangan, karena tempat pekerjaan yang ada di dlamnya adalah pertukaran untuk mencari keuntungan. Contohnya seperti dua orang yang yang bersepakat untuk menerima pekerjaan orang seperti menjahit baju. Tempat bekerjanya adalah menjahit dan itru bukan alam.
Jika kita menganggap bahwa alam tidak mungkin menjadi tempat bekerja, maka yang tersisa adalah unsur-unsur produksi yaitu modal dan kerja. Produksi bisa di dapatkan dengan salah satu dari keduanya atau keduanya sekaligus.
(1) pendistribusian hasil modal.
Modal bisa berupa uang seperti riyal atau dollar dan sejenisnya; atau berupa benda seperti alat-alat kerja seperti mobil, pekakas dan lainnya.
Jika berupa uang, syariah menetapkan bahwa hal itu tidak boleh mengahsilkan, maksudnya hasilnya tidak halal, kecuali dengan jaminan ganti rugi jika ada kerusakan atau kerugian. Jadi ini bisa saja menyebabkan adanya kerugian adau kerusakan. Seseorang tidak boleh mengambil keuntungan dari sesuatu yang tidak dapat dijamin, karena menerapkan kaidah hokum Islam “pengeluaran haruslah dengan jaminan”.
Karena itulah riba, yaitu keuntungan harta yang tiidak dijamin rusak dan ruginya, diharamkan. Allah SWT berfirman:
                      •    
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Allah membedakan antara hasil keuntungan riba dengan hasil keuntungan dari perdagangan. Karena hasil keuntungan dari riba adalah keuntungan dari harta yang tidak dapat dijamin rusak dan kerugiannya. Sedangkan keuntungan dari perdagangan adalah keuntungan dari harta yang berasal dari harta yang dijamin jika terjadi kerusakan atau kerugian.
Jika modak berupa benda seperti alat-alat bdan lainnya, maka hasil hanya didapatkan dari kerja. Jika ada hasil yang didapatkan tanpa kerja maka hasil tersebut adalah milik pemilik modal.
(2) pendistribusian hasil keuntungan kerja.
Ini juga disebut dengan upah, seperti jika seseorang yang bekerja untuk orang lain dengan membersihkan kaca dengan upah tertentu. Maka orang yang bekerja tersebut menadaptkan upahnya.
Terkadang dua orang atau lebih bekerja sama untuk melakukan pekerjaan untuk orang lain. Seperti dua orang atau lebih bekerja sama dalam memperbaiki alat-alat elektronik, kedokteran, pengajaran dsb. Dalam kondisi seperti ini mereka berbagi upah 50:50 atau dengan jumlah yang disepakati. Ini di dalam Oslam disebut dengan perkongsian kerja (syirkah al-‘amal), atau perkongsian badan (syirkah al-Abdan), atau perkongsian pertukangan (syirkah al-Shana’I’)
3. pendistribusian hasil modal dan kerja secara bersamaan.
Jika modal dam kerja berasal dari satu pihak maka hasilnya didapatkan oleh pihak tersebut dan tidak dibagi dengan pihak lain.
Adapun jika ada banyak pihak yang terlibat di dalam perkongsian ini, maka bisa saja setiap pihak mengajukan modal dan kerja, atau bisa saja salah satu pihak memberikan modal dan pihak lain yang bekerja. Jika masing-masing pihak mengajukan modal dan kerja maka di dalm fikih Islam disebut dengan perkongsian tali kekang (syirkah al-inan). Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Jika salah satu ihak memberikan modal dan pihak lain yang melakukan pekerjaan maka di dalam fikih Islam disebt dengan syirkah Mudlorabah atau qiradl. Salah satu dari jenis ini adalah muzara’ah jika tanah, biaya dan alat-alat dari satu pihak pekerjaan dari pihak lain. Demikian juga musaqah, karena muzara’ah dan musaqah adalah jenis musyarakah (kerjasama/ perkongsian)-sesuai dengan pendapat yang kami dukung-dan bukan jenis ijarah (akad upahan). Hasil (keuntungan) yang didapatkan dibagi sesuai dengan modal dan kerja. Pemilik modal dan pekerja tidak boleh menyaratkan bahwa keuntungan yang di dapatka seribu riyal misalnya. Jika terjadi kerugian maka hal itu akan menimpa modal, dan kerugian tidak akan menimpa pekerja, tetapi kerjanya menjadi gagal. Hanya saja, jika kegagalan tersebut karena sengaja, lalai atau karena tidak memenuhi syarat, maka dia harus memberikan ganti rugi.
Ini adalah dasar yang pertama. Dan garis-garis besar dalam pendistribusian hasil produksi kami jelaskan dirangkai dengan al-Qur’an al-Sunnah dan ijtihad para imam fikih Islam.
3. Pendistribusian kembali
a) Tujuan pendistribusian kembali.
Tujuan dari distribusi ini adalah bahwa timbangan keadilah telah menjadi timpang karena faktor-faktor yang ada, seperti ketidak mampuan sebagian orang untuk berproduksi karena sakit, atau cuaca seperti hujan, atau terjadi peperangan, atau keserakahan pihak produsen dsb. Ketimpangan ini telah mencapai puncaknya sampai pada batas melompahnya kebutuhan sekunder untuk kehidupan yang layak. Ini adalah suatu yang kita butuhkan dalam setiap masyarakat. Karena itulah dibutuhkan aturan untuk mengembalikan keseimbangan agar timbangan keadilan menjadi seimbang. Inilah yang kami sebut dengan pendistribusian kembali yang dilakukan oleh syariat Islam.
b). yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa syariat islam menjadikan pendistribusian kembali sebagai kewajiban. Karena memujudkan keadilan adalah salah satu dai tujuannya. Kewajiban ini adalah kewajiban agama yang dikuatkan oleh kekuasaan Negara.
Adapun keberadaannya sebagai kewajiban agama karena ketimpangan yang terjadi akan menyebabkan siksa dari Allah pada hari kiamat. Adapun dikuatkannya dengan kekuasaan Negara karena Negara bertanggung jawab terhadap ketimpangan yang terjadi pada warga Negara. Salah satru kewajiban Negara adalah mengarahkan mereka kepada keadilan dan memberi sanksi untuk orang yang meninggalkannya. Kewajiban ini perlu diterapkan, karena jika Negara mengabaikannya atau administrasinya rusak maka tugas pelaksanaannya diambil alih oleh perorangan karena factor takut kepada Allah atau karena menginginkan surganya.
Jika tiap-tiap individu lemah imannya dan hal itu menyebabkan mereka tidak melakukan pendistribusian kembali, maka Negara berhak melakukan tindakan dan memberi sanksi. Nabi SAW bersabda, ”orang yang memberikan zakat fitrah karena ingin pahala, maka dia akan mendapatkan pahalanya. Jika mereka menolak membayarkannya maka kami akan mengambilnya dengan separuh hartanya. Ini adalah salah satu ketetapan dari tuhan kami. Dan keluarga Muhammad tidak mendapat sesuatupun darinya.
c). cara pendistribusian kembali
Syariat Islam telah menetapkan cara-cara yang diterapkan untuk pendistribusian kembali kekayaan kepada orang-orang untuk mewujudkan keadilan di antara mereka. Beberapa unsure pentingnya adalah sebagai berikut”
1). Zakat: yaitu suatu ukuran tertentu yang relative dari harta yang berkembang jika sudah mencapai nishab yang mana seorang muslim memberikannya dengan cara tertentu.
Yang perlu diperkatikan disini bahwa zakat itu relative, maksudnya jika hartanya banyak maka zakatnya juga banyak, jika sedikit maka yang diserahkan juga sedikit.
Zakat tidak wajib kecuali pada harta yang telah mencapai nishab. Maksudnya hanya wajib untuk orang kaya dan bukan orang miskin.
Zakat harta yang dikeluarkan orang kaya dengan tangannya sendiri dan mereka tidak menyerahkannya kepada Negara, karena sasaran zakat tidak lebih dari tiga kelompok: pertama, orang-orang yang butuh secara materi yaitu orang fakir, miskin, berutang, budak mukatab, musafir. Kedua, demi kejayaan syariat islam mereka adalah orang –orang yang berjuang dan yang ditundukkan hatinya. Karena jika kita merealisasikan kejayaan syariat Islam, maka berarti kita merealisasikan keadilan distribusi. Ketiga, orang-orang yang bekerta di lembaga zakat, baik yang mengumpulkan, membagi atau yang menulis.
2). Shodaqah: yaitu sumbangan yang diberikankepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini hal yang lebih dari kewajiban yang bersifat harta yang mereka laksanakan.islam telah mendorong pemberian shodaqah. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa shodaqah tidak mengurangi harta sedikitpun. Karena allah-yang maha pemberi rizki- akan memberi orang yang bershodaqah rizki dan memberkahi hartanya yang masih tersisa. Rasulullah SAW bersabda.”tidak akan kurang suatu harta karena shodaqah”. Shodaqah dapat menolak bencana . Rasulullah SAW bersabda,”segeralah kalian bershodaqah karena bencara tidak akan dapat melewatinya.”
Seseorang tidak boleh meremehkan shodaqah meskipun hanya sedikit. Karena yang sedikit jika dikumpulkan akan menjadi banyak. Dan banyak proyek besar yang dilakukan dengan dana sedikit. Karena itulah Nabi SAW bersabda,” lindungilah diri kalian dari api neraka walaupun dengan sebutir kurma”.
3) nafkah wajib. Nafkah wajib ada dua macam: pertama jenis nafkah untuk orang yang berhak karena dibatasi seperti nafkah untuk istri. Kedua nafkah untuk yang berhak karena membutuhkan seperti nafkah untuk keluarga yang miskin jika mereka adalah ahli waris orang yang memberi nafkah; dan juga nafkah untuk orang yang kehabisan bekal di jalan dan rekannya memiliki bekal yang lebih dari kebutuhannya.
Penjelasan terperinci tentang hal itu akan kami sampaikan pada pembahsan tentang urutan harta yang wajib dikeluarkan.
4) kaffarat, yaitu sesuatu yang wajib dibayarkan untuk menghapus dosa yang dilakukan oleh seseorang.
Kewajiban Kaffarat bisa berupa membebaskan budak, yaitu kaffarat untuk perbuatan pembunuhan, dzihar, dan melanggar sumpah; bisa juga berupa memberi makan orang fakir, yaitu kaffarat karena melanggar sumpah dan dzihar bagi yang tidak mampu puasa. Hadiah yang wajib diberikan oleh orang yang melanggar larangan dalam berihram haji atau umrah juga termasuk kaffarat jenis makanan; dan bisa juga kaffarat dengan memberi pakaian kepada orang fakir, yaiu kaffarat yang untuk pelanggaran sumpah.
5). Nadzar, yaitu sesuatu yang mubah yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri dalam rangka mengagungkan Allah SWT. Salah stu dari nadzar yang disyariatkan adalah shodaqah atau sejenisnya.
6). Kurban, yaitu hewan ternak yang disembelih pada hari-hari kurban dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagian besar daging kurban ini didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
7). Bantuan Negara. Ketika timbangan distribusi mengalami ketimpangan dan terjadi kesenjangan yang mencolok, maka negate harus turun tangan dalam mengembalikan keseimbangan timbangan keadilan. Hal itu dengan memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka dan diambilkan dari harta bergerak yang merupakan milik umumseperti dengan memberikan harta dari kas Negara orang Islam, atau memberikan harta tidak bergerak seperti memberikan tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah. Para sejarawan menyebutkan bahwa Rasulullah SAW ketika telah menaklukkan Bani Nadzir- karena pengkhianatan mereka- dan beliau menguasai harta dan tanah mereka, maka beliau membagikan harta tersebut kepada orang-orang Muhajirin awal karena mereka sangat membutuhkan, dan beliau tidak memberi sesuatupun kepada orang-orang Anshor karena memiliki harta yang cukup, kecuali dua orang Anshor yaitu Sahal bin Hunaif dan Abun Simak bin Kharasyah, Rasulullah memberi mereka berdua karena keduanya miskin. Kemudian beliau berkata kepada orang-orang Anshor,” jika kalian mau, kalian berbagi rumah dan harta kalian dengan orang-orang muhajirin dan akan akan membagikan untuk kalian harta ghanimah yang aku bagikan kepada mereka. Dan jika kalian mau mereka mendapatkan harta ghanomah dan kalian tetap mendapatkan rumah dan harta kalian.”.” mereka menjawab,”justru kami akan membagikan rumah dan harta kami kepada mereka dan kami tidak akan ikut menerima harta ghanimah bersama mereka.
Dengan ini Rasulullah SAW meletakkan dasar yang baru untuk mengembalikan keseimbangan distributif dalam bidang ekonomi di dalam masyarakat, sehingga harta tidak hanya beredar di dalam satu kelompok masyarakat saja dn tidak pada kelompok lain.
Para Khalifah yang mendapatkan petunjuk mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam memri orang-orang yang membutuhkan. Mereka memberi orang yang telah berumah tangga lebih banyak dari orang yang tidak berumah tangga. Umar bin Khattab membagi harta Fai’ di Jabiyah , maka setiap laki-laki yang masih sendiri mendapatkan setengan Dinar, sedangkan yang telah beristri mendapatkan satu Dinar. Beliau memberi orang-orang yang memiliki anak seratus dirham untuk setiap anak dalam setiap tahunnya. Beliau juga memberi orang fakir yang tidak mampu bekerja perberian khusus meskipun bukan seorang muslim. Beiau juga memberikan bahan-bahan makanan seperti gandum, Zaitun, dan makanan ternak secara gratis setiap bulan yang cukup untuk menghidupi seseorang dengan tanggungannya seperti istri, anak dan hewan piaraan.

Tidak ada komentar: