Jumat, 16 April 2010

Pengertian


BAB I
HUKUM ISLAM

A.  Pengertian Tarikh Tasyri’ Islam
1.      Pengertian Tarikh
Tarikh (bhs. Arab), Sejarah (bhs. Indonesia), History (bhs. Inggris) Menurut etimologi berarti ketentuan masa/waktu. Sedangkan menurut terminologi tarikh adalah sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau pada individu atau masyarakat.

2.      Pengertian Syari’at
Banyak orang mengira bahwa pengertian syari’ah, fiqh dan tasyri’ adalah sama, padahal ketiga kata tersebut mempunyai makna yang berbeda.
Dalam pengertian etimologis syariat adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap muslim), sedangkan dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma Ilahi/Rasulullah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan lingkungan hidupnya.
Dilihat dari segi hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan dirinci oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu, syariat terdapat dalam Al Qur’an dan al Hadits.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa syari’at  merupakan norma/aturan yang berasal dari  nash (Al Qur’an dan al Hadits), baik berupa tuntutan untuk menjalankan kewajiban atau tuntutan untuk meninggalkan larangan, yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. (Moh. Daud Ali, 2001: 41).

3.      Pengertian Fiqh
Menurut bahasa  fiqh adalah paham, mengerti tentang sesuatu. Sedangkan menurut terminology fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci dengan menggunakan akal melalui ijtihad (penalaran)  yang reflektif. Jadi fiqh merupakan hasil pemahaman terhadap syari’at.

4.   Pengertian Tasyri’ dan Objek  Kajiannya
Menurut etimologi tasyri’ adalah perkembangan, penetapan hukum. Sedangkan menurut terminology ada beberapa devinisi yang dikemukakan ulama diantaranya, Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya “Tarikh Tasyri’ al Islamy :
Tasyri’ adalah penyusunan, pembentukan dan penetapan hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan dan kejadian.
 Jadi yang dimaksud dengan Tarikh Tasyri’ Islam adalah  suatu ilmu yang memaparkan segala macam peristiwa yang berhubungan dengan perumusan dan penetapan hukum Islam baik waktu, tempat terjadinya, dan tokoh-tokohnya.
 Jika hukum itu berasal dari Allah yang berupa ayat Al Qur’an atau dari nabi yang berupa hadits, maka perundang-undangan itu disebut dengan tasyri’ ilahi mahdi (tasyri’ samawi). Sedangkan jika hukum tersebut disusun oleh para ulama’ mujtahidin dengan istinbath maka perundang-undangan itu dinamakan tasyri’ wadl’i (Hukum Positip).       
Sedangkan obyek kajian Tarikh Tasyri’ Islami adalah kedua macam perundang-undangan tersebut; undang-undang produk Allah dan undang-undang produk fuqoha dengan segala korelasi peristiwanya.

5.  Urgensi Mempelajari Tarikh Tasyri’ Islam
Telah kita ketahui bahwa Tarikh Tasyri’ Islam adalah suatu ilmu yang memaparkan segala macam peristiwa yang berhubungan dengan perumusan dan penetapan hukum Islam baik waktu, tempat terjadinya, dan tokoh-tokohnya. Oleh karena itu manfaat mempelajari Tarikh Tasyri’ Islam antara lain:
a.    Menambah komitmen untuk menjalankan hukum Islam secara mantap.
b.    Mengetahui tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
c.    Menambah cakrawala pemikiran tentang sejarah perumusan dan penetapan hukum Islam.
d.   Mengurangi dan, atau menghilangkan fanatisme madzhab.

6.  Periodesasi Tasyri Islam
Perkembangan dan pertumbuhan Tasyri’ Islam melalui beberapa periode. Para ulama’ berbeda dalam mengklasifikasikan periodesasi tersebut. Ada yang membagi menjadi lima periode, ada juga yang enam periode seperti yang dilakukan oleh Prof. Moh. Daud Ali, S.H, yaitu:
a. Periode Rasulullah 13 SH - 11 H atau 611 M - 632 M).
b. Periode Khulafa’ur Rasyidin, 11 H - 40 H atau 632 - 662 M.
c. Periode Pertumbuhan Hukum Islam, 40  - 101 H atau 662  - 720 M
d. Periode Kesempurnaan Hukum Islam, 101 - 350  H atau  720 -  961 M
e. Periode Kelesuan Pemikiran, 961 – 1800 M
f. Periode Kebangkitan kembali 1800 M s/d sekarang

B. Hukum Islam
1. Pengertian Hukum
Hukum adalah norma, patokan atau pedoman yang dijadikan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda dalam suatu masyarakat.(Huzairin, 1982: 68). Bentuk hukum bisa tidak tertulis (hukum adat) dan tertulis seperti hukum Barat. Hukum dalam konsepsi hukum Barat sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.
Disamping itu kita mengenal konsepsi hukum lainnya, yaitu hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu, aturannya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan tuhannya.
Dalam Islam hukum (kaidah) yang dijadikan patokan untuk mengukur perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Hukum taklifi dan hukum wadl’i. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah dan larangan (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram). (Masyfuk Zuhdi, 1987: 5). Sedangkan hukum wadl’i adalah hukum yang dijadikan sebab, syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum yang dijadikan sebagai hasil dari suatu perbuatan (sah atau batal). Kematian menjadi sebab adanya hukum kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-istri. Berwudlu dan mengahadap kiblat merupakan syarat sempurnanya sholat, nishob dan khoul merupakan syarat, wajib mengeluarkab zakat. Pembunuhan menghalangi hubungan waris, gila penghalang bagi seseorang melakukan tindakan hukum. (Masyfuk Zuhdi, 1987: 16-19).

2. Ciri-ciri Hukum Islam
a. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
b. Aplikasinya  erat dan tidak bisa dipisahkan dengan iman dan akhlak.
c. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.
d. Bersifat dan berlaku universal.
e. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga (jasmani dan rohani).

3. Ruang Lingkup dan Kedudukan Hukum Islam
Ruang lingkup yang diatur hukum Islam tidak hanya masalah hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda serta penguasa dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan tuhannya. Dengan demikian hukum Islam merupakan pengetahuan yang mengatur semua aspek kehidupan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Mac Donald “the science of all things, human and devine”.
Karena kedudukannya yang sedemikian penting, hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluknya, tetapi ia justru menjadi faktor penentu utama bagi pandangan hidup. Betapa banyaknya aspek kehidupan yang difilter, ditolak dan kemudian dihancurkan oleh hukum Islam dalam sejarah. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya sebagai pemberi legetimasi. Akan tetapi, kedudukan yang sedimikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, yang mengerah pada proses fosilisasi. Di sana-sini masih didapati teorinya, tetapi dalam manifestasi praktisnya mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur. Soal-soal perdata (mu’amalah) telah banyak dipengaruhi, dirubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya (jinayah) hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum ketatanegaraan (ahkamul sulthoniyah) dan internasionalnya (siyar) hampir tidak diketahui orang lagi. Tinggal bidang ibadah yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitasnya yang semakin berkurang.
Sedangkan pembidangan dalam hukum Islam; bidang ibadah/khusus dan mu’amalah. Bidang ibadah mengatur tata cara manusia berhubungan langsung dengan tuhannya. Tata hubungan itu tetap, tidak mungkin dan tidak boleh dirubah-rubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah sendiri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Dengan demikian dalam bidang ibadah bersifat tertutup artinya tidak boleh ada “kreativitas”. Oleh karena itu yang mencipta atau mengkreasi ibadah (mahdloh) dinilai sebagai bid’ah. Ketentuan yang demikian termasuk salah satu bidang ajaran Islam di mana akal tidak boleh ikut campur. Posisi manusia dalam hal ini, hanya mematuhi, mentaati dan melaksanakan dengan penuh keimanan dan keihlasan, sebagai bukti pengabdian dan rasa syukur kepada tuhan-Nya. Itulah yang selanjutnya membawa manusia menjadi hamba yang sholeh. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam Al Qur’an surat al Furqon; 63.
وعباد الرحمن الذين يمشون على الارض هوناواذ اخاطبهم الجاهلون قالواسلاما  (الفرقان: 63)
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (al Furqon; 63).
Sedangkan bidang mu’amalah merupakan ketetapan Allah/nabi yang berisi tentang berbagai hubungan manusia dengan kehidupan sosialnya, Allah dan nabi-Nya hanya menetapkan dasar-dasarnya saja. Oleh karena itu bidang mu’amalah bersifat terbuka, memungkinkan untuk dikembangkan melalui ijtihad. Karena sifatnya yang demikian, maka berlaku asas umum yakni; pada dasarnya semua perbuatan boleh dikerjakan, sampai ada petunjuk yaang melarangnya. Hukum Islam tidak membedakan antara hukum privat (perdata) dan hukum publik. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur dan melindungi kepentingann perdata masing-masing individu (perkawinan, waris dan jual beli, sewa-menyewa, dan perserikatan). Sedangkan hukum publik adalah aturan hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan umum yang dipertahankan oleh pemerintah (pidana, pemerintahan, pajak, perjanjian negara dan agama, peradilan).
Oleh karena itu hubungan kemanusiaan (mu’amalah) diletakkan pada dasar-dasar :
a. Kehormatan manusia (Karomah Insaniyah), yaitu kehormatan yang diberikan kepada semua manusia, tidak membedakan ras, warna kulit, bangsa dan negaranya. Islam hanya memandang kemulyaan/kehormatan manusia dari sudut taqwanya. (QS. Al Hujurat; 13). Bahkan Rasulullah telah memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan sosial, tatkala jenazah orang Yahudi lewat, Rasulullah berdiri. Melihat hal yang demikian, seorang sahabat berkata: “Itu jenazah orang Yahudi”. Nabi menjawab: “Bukankah dia manusia”.
b. Manusia sebagai ummat yang satu (Ummatan Wahidatan), perbedaan bahasa, warna kulit, suku dan agama, tidak menjadi penghalang bagi kesatuan manusia yang menyeluruh. Sehingga kekayaan di dunia ini dapat dinikmati oleh seluruh penduduk dunia. Perbedaan itu merupakan sunnatullah dalam kejadian manusia. (QS. Ar Ruum; 22).
ومن اياته خلق السموات والارض واختلاف السنتكم والوانكم ان في ذلك لآيات للعالمين  (الروم: 2)
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu  terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (ar Rum: 2)
c. Kerja sama kemanusiaan (Ta’awun Insani), kerja sama hendaknya dibina sesama manusia, tanpa membedakan aliran agama, kepercayaan, suku dan bangsa. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah dengan orang-orang Yahudi atas dasar kerja sama memelihara kebaikan, memelihara budi pekerti yang utama dan mencegah kejahatan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan damai. Sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah.
d. Toleransi (Tasamuh), merupakan dasar pembinaan masyarakat dalam Islam. Dasar ini tidak berarti menyerah pada kejahatan atau memberi peluang kejahatan. Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik. Karena hal ini akan menimbulkan persahabatan. (QS. Fusshilat; 34)
ولاتستوىالحسنةولاالسيئة اذفع بالتى هي احسن فاذ الذى بينك وبينه عداوة كانه ولى حميم (فصلات: 34)
Artinya: Dan tidakalh sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) deng ancara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan diantara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fushilat: 34)
Tasamuh dalam Islam adalah toleransi yang berangkat dari ajaran agamanya, bukan tasamuh karena kebutuhan yang bersifat temporel.
Sifat pemaaf merupakan suatu hal yang sangat terpuji, sebaliknya sifat dendan merupakan sifat tercela yang harus dihindari. Pemaafan yang baik ialah pemaafan yang
disertai harga diri secara wajar dan bukan pemaafan dalam arti menyerah atau merendah
kan diri terhadap kejahatan.
e. Kemerdekaan dan Kebebasan (Al Hurriyah). Kemerdekaan yang sejati dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu dan syahwat serta pengendaliannya di bawah bimbingan akal dan iman. Kebebasan yang dikehendaki agama bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab kepada Allah dan terhadap kehidupan yang maslahat di muka bumi ini. (QS. Yunus; 100)
وماكان لنفس ان تؤمن الاباذن الله ويجعل الرجس على الذين لا يعقلون  (ينوس: 100)
Artinya: Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Yunus: 100)
f. Keadilan (‘adalah). Keadilan adalah hak semua manusia, baik kawan ataupun lawan. Orang yang baik dan penjahat harus mendapat perlakuan keadilan yang sama. Islam menganggap  keadilan kepada musuh lebih dekat kepada taqwa. Keadilan harus selalu dibela dan ditegakkan. Islam tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang yang kuat terhadap yang lemah (QS. Al Maidah; 8)
يايهالذين امنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنأن قوم على الاتعدلوا اعدلواهو اقرب للتقوى واتقوا الله  ان الله خبير بما تعملون  (المائدة: 8)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman , hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al Maidah: 8)
g. Budi yang baik (al Fadhilah). Prinsip ini diterapkan tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk semua makhluk Allah di muka bumi ini. Budi baik ini tercermin dalam kasih sayang, menolong yang lemah, bekerja untuk kebaikan semua makhluk Allah dan cinta pada perdamian (QS. Al Anfal; 61) dll.
وان جنحوا للسلم فاجنح لها وتوكل على الله ........... (الانفال: 61 )
Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian , maka condonglah kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah ………………. (al Anfal: 61)

4. Tujuan Hukum Islam
 Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan hidup hanya mungkin dicapai dengan menjalankan aturan-aturan yang bermanfaat serta menghindarkan diri dari segala yang merusak. Dengan demikian, tujuan hukum Islam secara hakiki / umum adalah Jalb al masholih wa daf’ul mudhor (mengambil segala yang bermanfaat dan menolak segala yang merusak).
Tujuan hukum Islam di atas dapat dilihat dari dua segi. Pertama, segi Pembuat Hukum Islam (Allah dan Rasul-Nya), maka tujuan hukum Islam meliputi:
a. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang bersifat doruriyah (primer), Hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tertier).
Tujuan hukum yang primer (doruriyah) diklasifikasi menjadi lima (al kulliyat al khoms/maqosidul khoms), yaitu: (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan kehormatan, (5) memelihara harta. Atas dasar inilah hukum Islam dikembangkan, menjadi hukum pidana, perdata, ketatanegaraan, perkawinan, dsb.
Memelihara   agama,   merupakan  tujuan   utama  hukum  Islam,  sebab   agama
merupakan pedoman hidup manusia. Dalam agama Islam selain komponen akidah yang merupakan pandangan hidup setiap muslim serta akhlak yang merupakan sikap hidupnya, terdapat juga syari’at yang merupakan jalan hidup seorang muslim. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan. Oleh karena itu, agama Islam harus melindungi agama yang dianut oleh orang lain dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
Memelihara jiwa merupakan kewajiban setiap insan. Oleh karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya serta memelihara apa saja yang menjadi sarana untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya. Oleh karena itu hukum Islam melarang penganiayaan dan pembunuhan
Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam. Karena dengan menggunakan akalnya, manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta, dirinya dan mampu mngembangkan IPTEK. Tanpa akal, manusia tidak mungkin menjadi pelaku dan pelaksana hukum. Penggunaan akal harus diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan hidupannya, tidak untuk hal-hal yang merugikan hiidupnya. Dan untuk memelihara akal itu, hukum Islam melarang mengkonsumsi hal-hal yang merusak akal dan menghukum segala perbuatan yang dapat merusak akal.
Memelihara keturunan mendapat perhatian yang serius dari hukum Islam, sebab dengan menjaga kemurnian keturunan, kelanjutan ummat manusia yang sah menurut hukum Islam dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat seseorang boleh menikah atau tidak, mendapat warisan atau tidak.
Memelihara harta. Menurut ajaran Islam, harta adalah pemberian tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. Oleh karena itu, hukum Islam melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan melindungi harta seseorang, masyarakat dan negara dari penipuan (surat an Nisa’:29)
ياايهاالذين امنوالاتأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الاان تكون تجارة ان تراض منكم......... (النساء: 29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (menipu) kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu ……. (an Nisa: 29)

- Penggelapan, surat an Nisa : 58
ان الله يأمركم ان تؤدواالامانات الى اهلها ........ (النساء: 58)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…… (an Nisa: 58)

- Perampasan, surat al Maidah : 33
انماجزاءالذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الارض فسادا ان يقتلوا اويصلبوا اوتقطع ايديهم وارجلهم من خلاف اوينفو من الارض  ........... (المائدة: 33)
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dab rasul Nya dan membuat kerusakan di muka bumi (perampasan), hanayalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) …………………. (al Maidah: 33)
- Pencurian, surat al Maidah 38
والسارق والسارقةفاقطعوا ايديهما ......... (المائدة: 38)
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya……….. (al Maidah: 38)
Bahkan peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya telah di
atur secara rinci oleh hukum Islam, agar peralihan itu dapat berjalan dengan baik dan adil berdasarkan fungsi dan tanggung jawab seseorang dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.
Tujuan hukum yang bersifat sekunder adalah perbuatan hukum yang menjadi pelengkap kehidupan primer manusia. Tujuan hukum ini ditujukan untuk menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaannya karena hukum Islam tidak menghendaki adanya kesulitan yang tidak wajar. Selain itu, Islam tidak menginginkan kesempitan dalam hidup manusia yang pada hakikatnya lemah. Oleh karena itu dalam kondisi terpaksa (darurat) tujuan hukum yang bersifat sekunder dapat berubah menjadi tujuan hukum yang bersifat primer. Atas dasar ini maka terdapat kaidah Al hajatu tanzilu manzil al dhorurah (keperluan sekunder pada suatu ketika dapat menduduki posisi kebutuhan primer).
Adapun tujuan hukum yang bersifat tertier (tahsiniyat) diarahkan agar kehidupan serasi dan indah sesuai dengan nilai estetis manusia. Disamping terjaminnya pelaksanaan akhlak yang baik dan kebiasaan pergaulan sosial yang terpuji. Hilangnya perbuatan hukum yang bersifat tertier tidak akan merusak kehidupan manusia, tetapi hanya mengurangi nilai estetikanya (keindahannya) saja.
Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam ini akan mempermudah ahli hukum dalam mengembangkan hukum dan mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak mampu menyelesaikan peristiwa hukum, maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka setiap peristiwa hukum akan mampu diselesaikan.
b. Untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang saling membutuhkan antara yang satu dengan lainnya dalam upaya mencapai kemajuan dan memenuhi kebutuhannya. Tiap-tiap individu mempunyai kepentingan yang bisa sama dan bisa berbeda, yang seringkali dapat memicu terjadinya persaingan, penyerobotan, penganiyaan dan bentrokan. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan pedoman atau norma yang pasti. Di sinilah hukum berfungsi untuk mengatur tata hidup dan kehidupan masyarakat, agar kepentingan bersama dapat dicapai sesuai dengan harapan. (Hasby as Shidiqi, 1967: 2)
Dalam rangka melaksanakan ketentuan hukum tersebut, kadangkala manusia dihadapkan pada kondisi ketidak mampuan untuk melaksanakan atau meninggalkan, hal ini tidak terlepas karena kemampuan yang dimiliki manusia itu terbatas. Pada kondisi yang seperti ini Allah memberikan keringanan (rukhsoh, yaitu keringanan tertentu dalam kondisi yang tertentu pula ), sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ; An Nisa’ ; 28 dan
يريدالله ان يخفف عنكم وخلق الانسان ضعيفا (النساء: 28)
Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.
Menurut Asy Syatibi, kesulitan itu dihilangkan bagi mukallaf karena dua sebab :
a.    Khawatir akan terputusnya ibadah, benci kepada ibadah dan benci terhadap taklif .
b.    Takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan manusia, baik terhadap keluarga atau masyarakat sekitar.(Wahbah az Zuhaili, 1982: 41-42).
Hukum Islam dibuat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Tidaklah merupakan suatu kejanggalan apabila dalam suatu waktu terjadi penggantian atau penghapusan hukum sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah. Hal ini terjadi karena hukum yang lama sudah tidak relevan lagi zaman disamping untuk menciptakan kemaslahatan umat pada masa itu dan masa-masa berikutnya . Sebagai contoh:
a.  Perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitul Haram (Al Baqarah; 144).
b.  Iddah  wanita  yang ditinggal mati  oleh suaminya dalam Surat al Baqarah 240, selama 1
tahun. Ketentuan ini dihapus (mansukh) oleh Surat al Baqarah; 234. Bahwa iddah wanita yang ditinggal matim oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari.
Tetapi perlu diketahui, bahwa penghapusan hukum/penggantian hukum dalam Al Qur’an hanya terjadi pada saat Rasulullah masih hidup.
 Walaupun demikian dalam menetapkan hukum, Allah menjelaskan illat-illat hukum (hikmah tasyri’) dari ketetapan hukum tersebut, agar manusia mengetahui bahwa hukum selalu mengikuti illat dan dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kepentingannya, terutama yang menyangkut bidang mu’amalah. Dalam bidang ini kepentingan umum dijadikan dasar prioritas dalam menetapkan hokum.
Jadi, bila terjadi kepentingan yang berbeda, antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, maka kepentingan masyarakat atau orang banyak harus didahulukan. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqhiyah :

ان مصلحة العام مقدم على مصلحة الخاص
Artinya: (Sesungguhnya kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kepentingan khusus).
Contoh: Jual beli adalah baik (boleh), tetapi jika proses jual beli tersebut dapat meugikan orang lain/menyulitkan masyarakat, maka hukumnya menjadi haram.
Dari keterangan-keterangan tersebut menunjukkan bahwa syari’at Islam sebagai undang-undang Allah diturunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia dalam mencapai kebaikan dunia dan akhirat.
Kedua, segi pelaku hukum (manusia). Dalam konsep hukum Islam, manusia tidak hanya sebagai subjek hukum yang kaya akan haknya, tetapi ia juga sebagai objek hukum (mukallaf). Seorang mukallaf mempunyai kewajiban-kewajiban baik sebagai hamba Allah maupun sebagai anggota masyarakat. Seorang muslim terikat oleh kewajiban untuk bermasyarakat dengan sesama muslim atas dasar Ukhuwah Islamiyah, dan bermasyarakat dengan Non Muslim atas dasar Ukhuwah Insaniyah.
 Dalam kepustakaan hukum Islam dikenal adanya kewajiban yang bersifat individual (Fardlu ‘Ain) dan kewajiban yang bersifat sosial (Fardlu Kifayah). Kewajiban-kewajiban ini bertitik tolak dari tanggung jawab seorang muslim terhadap dirinya, keluarganya, tetangganya, negara dan bangsanya, bahkan tanggung jawab terhadap seluruh makhluk Allah di dunia ini. Sikap dan perilaku manusia sebagai subjek hukum diukur dengan ukuran-ukuran tertentu; yaitu positif (wajib), cenderung ke positif (sunnah), netral (mubah) negatif (haram), cenderung negatif (makruh). Untuk merealiasasikan kelima alternatif hukum tersebut, Allah memberikan hukum keharusan (Azimah) yaitu, keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan meninggalkan yang negatif. Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (al ahkam al khomsah)  merupakan sistem nilai. Tolok ukur al ahkam al khomsah memang merupakan tolok ukur terhadap perilaku manusia yang nyata (dhahir), tetapi tidak berarti sama sekali terlepas dari unsur batin. Sebab sikap dan perilaku lahir yang dilakukan secara sadar merupakan pencerminan dari sikap batin.
Konsep al ahkam al khomsah disatu sisi mengarahkan manusia agar menjadi manusia yang memiliki kualitas iman yang tangguh dan akhlak mulia, dengan  melaksanakannya secara istiqomah untuk menuju kehidupan yang maslahat di dunia dan selamat di akhirat, sedangkan di sisi yang lain memberikan rintangan-rintangan, hambatan-hambatan agar manusia secara sadar tidak tergelincir dalam kehidupan yang penuh mafsadat.
5. Asas-asas Hukum Islam  
a.    Pengertian Asas
Kata Asas berasal dari Bahasa Arab, Asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan sistem berpikir, asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar, tapi jika dihubungkan dengan hukum, asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakkan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum, pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
Asas hukum Islam berasal dari Al Qur’an dan al Hadits yang dikembangkan oleh para mujtahid melalui ijtihad. Asas-asas hukum Islam ada yang berlaku umum dan ada yang berlaku khusus.

Asas Hukum Islam yang Berlaku Umum :
a.    Asas Ketauhidan
Asas ini mengandung pengertian bahwa pembuat hukum yang sejati adalah Allah. Ketaatan pada hukum pada hakikatnya ketaatan pada kepada-Nya. Dengan demikian dasar kepatuhan pada hukum adalah pengakuan atas keesaan Allah dan kebenaran wahyu-Nya. Dengan demikian, bila seseorang menemukan perbuatan hukum yang dinilainya tidak masuk akal, tidak berarti ia harus meninggalkan perbuatan itu. Sebab kemampuan akal manusia sangat terbatas. Namun, yang perlu dipahami dan diyakini, bahwa Allah menentukan semua hukum bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan keselamatan di akhirat.

b.   Asas Keadilan
Agama Islam adalah agama yang menegakkan prinsip persamaan dan keadilan. Islam memandang sama derajat manusia. Derajat manusia bukan dilihat dari status sosial atau tingkat perekonomian, akan tetapi dilihat dari segi ketakwaannya.
                 Atas dasar persamaan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dimata hukum. Allah memerintahkan agar manusia berlaku adil sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun ada tekanan, ancaman atau rayuan dalam bentuk apapun. Dan bagi penegak hukum, agar kebencian pada seseorang atau golongan  tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an pada surat Al-Maidah-8
ولا يجرمنكم سناءقوم على ان لا تعدلوا اعدلوهو اقرب للتقوى (المائدة: 8)
Artinya: Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.( al Maidah: 8)
         Sebuah contoh dapat kita teladani dari Rasulullah saw, ketika seorang perempuan kafir quraisy berbuat kejahatan dan akan dijatuhi hukuman, maka orang-orang quraisy menggunakan sahabat kesayangan Rasulullah (Zaid bin Haritsah) untuk memintakan grasi (keringanan hukuman) perempuan tersebut, maka Rasululah bersabda :
انمااهلك الذين من قبلكم انهم كانوااذااشرق الشريف تركه واذااشرق الضعيف اقاموا عليه الحد.والله لوان فاطمة بنت محمد شرقت لقطعت يدها (متفق عليه)
Artinya: Orang-orang sebelum kamu menjadi hancur karena apabila orang terhormat diantara mereka mencuri, maka mereka biarkan. Tapi jika orang yang lemah mencuri mereka menjalankan hukum had atasnya. Demi Allah jika sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri tentu saya potong tanganyya (HR. Bukhari dan Muslim).
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam agama Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia berlaku untuk semua bidang dalam hukum Islam. Karena pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, Al Qur’an menyebutnya lebih dari 1000 kali. Banyak ayat-ayat yang menyeru manusia untuk adil dan menegakkan keadilan. Seperti dalam Surat Shod; 26; Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai kholifah di bumi agar menyelenggarakan hukum dengan sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia, tanpa memandang status sosial, ras dan keyakinan (agamanya).
.......اناجعلنا خليفةفي الارض فاحكم بين النا س بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله........(الصاد:26)
Artinya: …….sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…… (as Shad: 62)

c.    Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum, anatara lain disebutkan secara umum dalam kalimat akhir surat al Isra’/Bani Israil; 15 :
............ وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا (الاسراء:15)
Artinya:… dan Kami  tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.(al Isra; 15).
Dari sini dapat dipahami bahwa tidak ada satu perbuatanpun dapat dikenai hukuman kecuali terdapat ketentuan hukum yang mengaturnya secara jelas dan pasti. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam.
d.   Asas Kemanfaatan (kemaslahatan)
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan asas kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan misalnya, dapat dipertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri terdakwah dan bagi kepentingan masyarakat. Jika hukuman mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman itulah yang akan dijatuhkan. Tetapi, jika tidak menjatuhkan hukuman mati itu lebih bermanfaat bagi terdakwah/pelaku pembunuhan dan keluarganya atau saksi korban, maka hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Hal ini dapat dilihat dalam surat al Baqarah; 178.
يايها الذين أمنواكتب عليكم القصاص فى القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان .الك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذالك فله عذاب اليم (البقرة: 178
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih.  (al Baqarah; 178).
Sedangkan asas hukum Islam yang berlaku khusus adalah suatu asas hukum yang berlaku pada masing-masing bidang hukum. diantaranya; bidang hukum Jinayah (pidana), hukum perdata, hukum munakahat (perkawinan), hukum warits.
1.    Asas-asas Hukum Jinayah (pidana)
a).   Asas Legalitas
Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada surat al Isra’ ; 15 dan surat al An’am; 19.
.............. واوحى الى هذا القرأن لأنذركم به ومن بلغ ............... (الأ نعام : 19)
Artinya: ……….Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman) kepadamu…… (al  An’am; 19)
b).          Asas Larangan memindahkan Kesalahan pada Orang Lain
Setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya. Ini  berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (kesalahan) seseorang dilimpahkan/dibebankan pada orang lain. Sebab pertanggung jawaban pidana bersifat individual. Sebagaimana terdapat pada surat al An’am; 164.
.........ولاتكسب كل نفس الاعليها ولاتزر وازرة وزراخرى.........(الأنعام: 164)
Artinya: …….Dan tidaklah seseorang membuat dosa meleinkan kemudlaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…..( al An’am; 164)
Disamping terdapat pada surat al An’am, asas ini juga terdapat pada surat al Mudatsir; 38, al Fathir; 18, az Zumar; 7, An Najm; 38.
c).   Asas Praduga tak Bersalah
Menurut asas ini bahwa seseorang yang melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya. Bahkan seandainya terdapat bukti tapi bukti itu meragukan, maka hakimpun tidak boleh menjatuhkan hukuman berdasarkan bukti yang kurang kuat tersebut. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah:
الحدود لاتسقط بالشك
Artinya: (Hukuman) had tidak boleh dijatuhkan berdasarkan (bukti) yang meragukan.

2.    Asas-asas Hukum Perdata
a).   Asas Kebolehan / Mubah
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Al Qur’an dan al Hadits. Hal ini berarti bahwa Islam memberikan kesempatan yang selaua-luasnya kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdeta sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat. Tuhan tidak memudahkan dan tidak menyempitkan pada manusia. Sebagaimana tertera dalam Al Qur’an surat al Baqarah; 185.
.............. يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر...............)البقر :185)
Artinya: ……..Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu …………… (al Baqarah; 185).

Dan hadits riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Abbas.
بعثت بالحنفية السمحة    (رواه احمد عن ابن عبس)
Artinya: Saya diutus dengan (membawa) agama yang lurus dan mudah (HR. Ahmad)
b). Asas Kemaslahatan Hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala ssuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas ini sangat berguna untuk pengembangan berbagai lembaga hubungan perdata dan dalam menilai lembaga-lembaga hukum non Islam yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) setiap lembaga non Islam yang bersifat kultural yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam harus dilihat dari manfaat dan mudlorotnya. Jika bermanfaat lembaga itu dapat diterima, jika merugikan atau malah membawa keruskan maka lembaga itu harus ditolak. Untuk menentukan itu peranan ijtihad sangat dibutuhkan. Melalui asas ini kaidah hukum “ Al “adah Muhakkamah”-Kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, berlaku sebagai hukum bagi ummat Islam, -mendapat pembenaran.

c).  Asas Kebebasan dan Kesukarelaan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dab suka rela. Kebebasan kehendak para pihak yang melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasas diperhatikan. Asas ini juga mengandung pengertian bahwa selama teks Al Qur’an dan hadits tidak mengatur suatu hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas mengaturnya atas dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini bersumber pada Al Qur’an surat an Nisa’ ; 29.
ياايها الذين أمنوا لاتأكلوا اموالكم بينكم بالبطل الاان تكون تجاراة عن تراض منكم ...... (النساء : 29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sealing memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu……….(an Nisa’; 29).

d).  Asas Menolak Mudarat dan Mengambil Manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa segala hubungan perdata yang mendatangkan kerugian (mudarat) harus dihindari, dan hubungan perdata yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan) baik bagi diri sendiri maupun masyarakat harus dikembangkan. Dengan demikian maka, mengehindari kerusakan diutamakan / didahulukan dari memperoleh keuntungsn; seperti dalam transaksi perdagangan narkotik, prostitusi dan perjudian. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah :
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya: (Menolak kerusakan (bahaya) didahulukan daripada mengambil kemanfaatan (keuntungan).

e).  Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan disandarkan pada rasa saling menghormati, kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini menunjukkan suatu hubungan perdata antara para pihak yang menganggap diri masing-masing sebagai anggota satu keluarga, kendatipun pada hakikatnya bukan keluarga. Asas ini disandarkan pada Al Qur’an surat Al Maidah; 2
.........وتعاونواعلى البروالتقوى ولاتعاونوا على الاثم والعدوان,واتقوا اللة. ان اللة شديدالعقاب (الماءدة : 2)
Artinya:……. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (al Maidah: 2)

f).  Asas Adil dan Berimbang
Asas  keadilan  mengandung   maksud  bahwa   hubungan  perdata  tidak  boleh   ada
unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain dalam kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang diperoleh harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukan. Asas ini didasarkan pada Al Qur’an surat An Najm; 39.
وان ليس للانسان الاماسعى (النجم : 39)
Artinya: Dan bahwasannya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (an Najm: 39)

g).  Asas Mendahulukan Kewajiban daripada Hak
Asas ini mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan hubungan perdata, para pihak harus mendahulukan penunaian kewajiban lebih dahulu dari menuntut hak. Dalam sistem ajaran Islam, orang baru memperoleh haknya, misalnya mendapat imbalan (pahala), setelah ia menunaikan kewajibannya lebih dahulu. Asas penunaian kewajiban labih dahulu daripada menuntut hak merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi (ingkar janji).

h).  Asas Larangan Merugikan orang lain dan Diri Sendiri
Asas ini mengandung arti, bahwa para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain; merusak harta, meskipun tidak merugikan diri sendiri, tapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan dalam Islam. Ini berarti bahwa memusnahkan atau menghancurkan barang untuk mencapai kemantapan harga atau keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam, Al Qur’an surat al Baqarah; 188, 195, Ali Imran;130, an Nisa’ ; 2, 29, al Maidah; 2 dan at Tahrim; 6.
ولاتأكل اموا لكم بينكم بالبطل وتدلوابها الى الحكام لتأكلوافريقامن اموال الناس بالاثم وانتم تعلمون (البقرة:188
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (al Baqarah: 188)
i).   Asas Kemampuan Bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subyek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum Islam, manusia yang dipandang mampu bertindak melakukan hubungan perdata adalah mereka yang mukallaf, yaitu mereka yang mampu memikul kewajiban dan hak, sehat rohani dan jasmaninya. Hubungan perdata yang dibuat oleh orang yang tidak mampu memikul kewajiban dan hak, dianggap melanggar asas ini, karena itu hubungan perdatanya batal.

j)    Asas Kebebasan Berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Asas ini juga mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang ssma untuk berusaha tanpa ada batasan, kecuali yang sudah ditentukan batasnya (dilarang) oleh hukum Islam.
k)   Asas Mendapatkan Hak karena Usaha dan Jasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapat hak berdasarkan usaha dan jasa, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang diusahakan bersama-sama orang lain. Usaha dan jasa haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, kekejian dan kekotoran, karena hal seperti itu tidak dibenarkan oleh Islam. Asas ini bersumber dari Al Qur’an surat; al An’am; 164, al Anfal; 26, an Nahl; 72, al Isra’ ; 15 dan 19, al Fathir; 18, az Zumar; 7, al Mukmin; 64, an Najm; 38 dan 59.
ومن اراد الاخرةوسعى لهاسعيهاوهومؤمن فأولئكك كان سعيهم مشكورا (الاسراء: 19)
Artinya: Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. (al Isra: 19)
l)    Asas Perlindungan Hak
Asas inimengandung pengertian bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, maka pihak yang merasa dirugikan berhak untuk menuntut pengembilan hak itu kembali atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.

m) Asas Hak Berfungsi Sosial
Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik yang dipunyai oleh seseorang. Menurut ajaran Islam hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk  kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Agama Islam mengajarkan bahwa harta yang telah dapat dikumpulkan oleh seseorang dalam jumlah tertentu, wajib, dalam jangka waktu tertentu, dikelurkan zakatnya. Sebagaimana tertera dalam Al Qur’an surat At Taubah; 60.
انماالصدقات للفقراءوالمساكين والعاملين عليهاوالمؤلفةقلوبهم وفى الرقاب والغارمين وفى سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله.  والله عليم حكيم  ( التوبة : 60)
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (at Taubah;  60).
n)  Asas Resiko dibebankan pada Harta bukan pada Pekerja
Asas ini mengandung nilai yang tinggi terhadap kerja dan pekerja. Berlaku di perusahaan-perusahaan yang merupakan persekutuan antara pemilik modal dan pekerja. Jika perusahaan merugi, maka menurut asas ini, kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal/harta saja, tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pekerja dijamin haknya untuk mendapatkan upah, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
o) Asas Tertulis atau diucapkan di depan Saksi
Asas ini menunjukkan bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi,  namun dalam keadaan tertentu, perjanjian itu dapat saja dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi yang memenuhi syarat,  al Baqarah; 282:
ياايها الذين امنوا اذاتداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه وليكتب بينكم كاتب بالعدل..... (البقراة: 282 )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar)…… (al Baqarah; 282).
3.      Asas-asas Hukum Perkawinan
a).  Asas Kesukarelaan
Asas ini merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya antara kedua calon -suami-istri-, tapi juga antara kedua orang tua dari kedua mempelai. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam, sebagaimana sabda Rasulullah.
عن عا ئشةان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ايماامرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فان دخل بهاالمهر بما استحل من فرجها فان أثتجروا فالسلطان ولى من لاولى له (رواه احمد وابو داود وابن ماجه والترمذى. وقال حديث حسن, قال القرطبى  وهذ الحديث صحيح)
Artinya: Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapapun diantara wanita yang kawin tanpa seizin walinya, maka perkawinannya batal, perkawinannya batal, perkawinannya batal. Dan jika laki-laki itu telah mencampurinya, wanita itu berhak mendapat mahar karena ia menghalalkan kehormatannya. Dan jika pihak wali bersengketa (enggan) mengawinkan, maka penguasalah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang ysng tidak ada walinya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Timidzi, dan ia menyatakan sebagai hadits hasan, sementara al Qurtuby, menyatakan sebagai hadits shohih).
b). Persetujuan Calon Suami dan istri
Dalam Perkawinan tidak diperbolehkan adanya paksaan oleh siapapun pada kedua calon suami dan istri. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta terlebih dulu oleh wali atau orang tuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah.
عن ابى هريرةرضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لاتنكح الايم حتى تستأمرولاالبكرحتى تستأذن, قالوا : يارسول الله كيف اذنها,قال: ان تسكت (رواه البخارىومسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: janda tidak boleh dikawinkan hingga dimintakan perintahnya dan tidak pula gadis hingga dimintakan ijinnnya. Mereka (sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana (tanda) ijinnya ? Jawab Rasulullah: diamnya. (HR> Bukhari dan Muslim).
Bahkan, menurut Sunnah nabi perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh pengadilan dengan permohonan dari pihak yang dirugikan. Sebagaimana sabda Rasulullah.
عن ابن عباس ان جارية بكرا اتت رسول الله صلى الله عليه وسلم, فذكرت له ان اباها زوجها وهى كارهة فخيرها النبى  (رواه احمدوابوداودوابن ماجه والدارقطنى)
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah SAW, ia (gadis) menceritakan kepada beliau bahwa bapaknya mengawinkannya dengan pria yang tidak disukai. Maka Rasulullah menyuruh dia untuk memilih (menerima atau menolaknya/cerai). (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruqutny)
c). Asas Kebebasan memilih Pasangan
Islam memberikan kebebasan pada setiap insan untuk menentukan pasangan hidupnya. Hal ini dimaksudkan agar tujuan perkawinan (membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah) dapat dicapai.
d). Kemitraan Suami-istri
Dengan tugas dan fungsi yang berbeda, karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan), maka masing-masing pasangan harus mengerti tugas, tanggung jawab dan haknya yang bisa dituntut. Kemitraan ini menjadikan kedudukan suami-istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain bisa berbeda; suami menjadi kepala rumah tangga, istri menjadi kepala dan penanngung jawab pengaturan rumah tangga. Tersebut dalam al Qur’aan, surat al Baqarah; 187 dan an Nisa’ ; 34.
 احل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسائكم ,هن لباس لكم وانتم لباس لهن..............(البقرة: 187)
Artinya: Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu(jima’); mereka itu adalah pakian bagimu, dan kamu pun adalah pakian bagi mereka…….(al Baqara; 187)
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم فالصلحات قانتات حافضات للغيب بماحفظ الله .......(النساء : 34)
Artinya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu wanita yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada…….(an Nisa ; 34).
e). Monogami Terbuka
Islam membolehkan pria muslim untuk kawin lebih dari satu, asal memenuhi syarat-syarat tertentu; diantaranya mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Sebagaimana disebutkan pada surat an Nisa’ ; 3
.......فانكحواماطاب لكم من النساءمثنى وثلاث ورباع فان خفتم الاتعدلوا فواحدة اوماملكت ايماتكم ذالك ادنى الا تعولوا (النساء : 3)
Artinya: ……….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut untuk tidak bisa berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.  Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an Nisa; 3)
Walaupun demikian Allah telah memberikan peringatan, bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istri nya, walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berlaku adil ini, maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan wanita saja. Sebagaimana tertuang dalam surat an Nisa ; 129.
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولوحرصتم فلا تميلواكل الميل فتذروهاكا لمعلقة...........(النساء: 129)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung……. (an Nisa ; 129).
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa beristri lebih dari satu (poligami) merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki muslim, jika terjadi bahaya, anatara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa (zina), kalau istrinya misalnya; tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai istri.

f). Perkawinan untuk Selama-lamanya
Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilakukan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. Surat ar Rum; 21.
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة........(الروم: 21)
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya… (Ar  Rum; 21).

4.      Asas-asas Hukum Kewarisan
a)      Ijbari (compulsory = keharusan)
Asas   ini   mengandung   pengertian  bahwa  peralihan  harta  seseorang  yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya (otomatis) menurut ketetapan Allah (bagian warisan yang sudah ditentukan) tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena itu seorang pewaris yang akan meninggal dunia tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya, sebab dengan kematiannya secara otomatis harta tersebut akan beralih kepada ahli waris.
Tetapi seorang pewaris sebelum meninggal boleh mengalihkan/melimpahkan (wasiat)  1/3 hak miliknya kepada orang lain, lembaga keagamaan. Demikian halnya dengan ahli waris hak warisnya akan hilang/dicabut, jika ia melakukan pelanggaran hukum (membunuh ahli waris) karena ingin cepat mendapat bagian warisnya.

b) Bilateral
Asas ini berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak (pihak laki-laki dan perempuan). Sebagaimana  tersebut dalam surat an Nisa: 7, 11, 12 dan 146. Dalam ayat 7 surat an Nisa’ ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga ibunya. Demikian halnya juga dengan seorang perempuan. Ia berhak mendapat warisan dalam kewarisan bilateralز
للرجال نصيب مماترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مماترك الوالدان والاقربون مماقل منه اوكثر, نصيبامفروضا.
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada  hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (an Nisa; 7)
c) Individual
Asas ini mengandung pengertian bahwa harta waris dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris dan menjadi hak milik pribadi. Dalam pelaksanaanya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar yang telah ditentukan.Dalam sebagian masyarakat sering ditemukan adanya bentuk warisan secara kolektif (harta tersebut tidak dibagi, tetap menjadi milik bersama) hal yang demikian tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab, dalam pelaksanaan sistem kewarisan kolektif tersebut, dikhawatirkan adanya harta anak yatim yang termakan. Padahal memakan harta anak yatim merupakan perbuatan yang terlarang.

d) Keadilan yang Berimbang
Dalam pembagian harta waris harus senantiasa mempertimbangkan antara hak yang dipereoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris. Laki-laki dan perempuan misalnya; mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya dengan kemampuannya (surat al Baqarah; 233).
والوالدات يرضعن اولادهن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرضاعة. وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف…
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ignin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakian kepada para ibu dengan cara yang makruf,…………(al Baqarah; 233).
Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan, terlepas istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang laki-laki hanya tambahan saja (sunnah). Berdasarakan keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pihak dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka rasakan.

e) Kausalitas
Asas ini mengandung pengertian bahwa kewarisan baru ada jika ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam, pemberian warisan kepada ahli waris, baru terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Islam tidak mengenal warisan atas dasar wasiat (testamen).



0o0

Tidak ada komentar: