Wahyu dan keberhasilan dakwah muhammad:
Sebuah Kajian Sosiologis
Oleh: Moh. Subhan
Islam dipeluk oleh banyak manusia, melalui penyebaran yang relatif pesat,
tidak dapat dilepaskan dari peran pembawanya, Muhammad . Sebagai seorang manusia, keberhasilan Muhammad berdakwah tidak dapat telepas dari peran-peran sosial semasa hidupnya, di samping peran wahyu yang dibawanya. Tulisan ini melihat bahwa justru antara wahyu dan faktor sosial saling terkait dalam mendukung dakwah Muhammad . Selain sifat-sifat yang positif yang terdapat pada dirinya, keberadaan wahyu Al Qur'an turut memberi kontribusi pada munculnya legitimasi sosial dari masyarakatnya, sehingga Muhammad dianggap sebagai tokoh yang pantas untuk diikuti, meski melawan arus budaya yang telah ada secara turun-temurun
A. Pendahuluan
Keberhasilan seorang Muhammad yang membawa ajaran baru untuk merubah sebuah tatanan masyarakat yang telah mapan merupakan satu prestasi yang luar biasa, yang tidak terjadi begitu saja, melainkan memang ada berbagai faktor yang mempengaruhinya. Proses komunikasi merupakan satu faktor yang sangat penting. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penggerak perubahan, Muhammad bertindak sebagai seorang komunikator yang mengkomunikasikan ide-ide pembaharuannya yang diyakini berasal dari Tuhan (Allah), kepada masyarakat Arab pada masanya. Keberhasilan ini juga menunjukkan bahwa Muhammad merupakan seorang yang mampu berkomunikasi secara baik. Keberhasilan komunikasi Muhammad tidak hanya terbatas pada kemauan masyarakat mendengarnya, tetapi, lebih dari itu, komunikasinya mampu merubah masyarakat ke arah apa yang dikehendaki Muhammad sebagai komunikator.
Salah satu faktor yang sangat penting di dalam keberhasilan Muhammad dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat adalah pengakuan atau legitimasi sosial dari masyarakat kepada dirinya. Apapun yang dikatakannya, tanpa adanya pengakuan terhadap kapasitasnya, sulit bagi siapapun untuk mengikutinya. Keteladanan sebetulnya secara tidak langsung merupakan salah satu jalan menuju adanya legitimasi itu, di samping penilaian masyarakat terhadap ide-ide pembaharuan yang dibawanya. Sudut pandang masyarakat untuk memandang seorang tokoh juga menduduki posisi yang sangat penting bagi munculnya pengakuan seseorang secara sosial untuk dapat diikuti segala ide-idenya. Di sinilah sebetulnya terjadi sebuah proses di mana masyarakat mengangkat ketokohan seseorang di dalam kelompoknya, yang dengan itu mereka akan senantiasa siap untuk mengikuti segala ide dari sang tokoh tersebut. Di sisi lain keberadaan Muhammad sebagai penggerak perubahan tidak dapat terlepas dari peranan wahyu yang selalu menyertai dirinya. Tulisan ini menjelaskan bagaimana wahyu berperanan di dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat Arab pada masa Muhammad terhadap kebenaran risalahnya, sekaligus mengakui kapasitasnya sebagai seorang tokoh masyarakat yang layak untuk diikuti.
B. Agama sebagai Sumber Legitimasi Sosial
Bermula dari individu, selanjutnya agama juga menjadi satu faktor bagi terjadinya sebuah perubahan sosial, terutama ketika agama itu menjadi milik kolektif. Heidegger menyatakan bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi kebersamaan (sein ist mein sein), di samping bahwa secara biologis, manusia memang tidak dapat lepas dari ketergantungan pada lingkungannya.[3] Berbagai tindakan kolektif selalu muncul dengan memperhatikan ajaran agama mereka. Tradisi yang berkembang di masyarakat manapun tidak dapat dipisahkan dari peranan agama kolektif mereka. Demikian juga berbagai perubahan yang terjadi, bahkan sebuah upaya merubah suatu tradisi, tidak akan berhasil tanpa memperhatikan aspek agama kolektif.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup lepas dari keberadaan orang lain, dan di sinilah manusia berkepentingan untuk berkomunikasi dengan yang lain yang maksud pokoknya adalah sebagai sarana untuk ekspresi dari eksistensi dirinya.[4] Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa sifat sosial manusia berasal dari kenyataan bahwa untuk menolong dirinya sendiri dalam aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya.[5] Jonathan H. Turner (1987) menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai basic need tertentu yang mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga muncul sebuah kelompok. Basic need itu adalah berupa perasaan aman, rasa percaya pada orang lain, keterlibatan dalam kelimpok, jauh dari keemasan, berbagai pengalaman dengan orang lain, pemuas material dan simbolis, dan bertahannya konsep diri.[6]
Setiap kelompok akan menunjuk sebagian di antara anggotanya untuk menjadi pemuka mereka, untuk menjadi penggerak bagi kemajuan kelompok tersebut, baik secara formal maupun non formal. Tokoh non formal juga sering disebut sebagai tokoh masyarakat, yang dalam bidang agama disebut sebagai tokoh agama. Sebagai hasil kesepakatan tak tertulis dari masyarakat, tokoh non formal sering lebih dihargai dan diikuti daripada pemimpin formal. Tokoh masyarakat merupakan satu bentuk posisi sosial yang sudah menjadi kelaziman setiap manusia dalam hidup bermasyarakat. Dari tokoh itu pula selanjutnya menjadi pemimpin masyarakat.[7]
Budi pekerti yang diangap baik oleh masyarakat menjadi sangat penting di dalam mereka menjadikan seseorang sebagai tokoh masyarakat. Dalam konteks inilah keteladanan menduduki peranan penting di dalam sebuah perubahan. Kecerdasan dan keteladanan dalam keluhuran budi pekerti yang ditunjukan dengan keteladanan merupakan komponen pokok pengakuan terhadap ketokohan seseorang. Hal inilah yang juga dialami oleh Muhammad di dalam masyarakatnya. Ia menjadi seorang tokoh yang menjadi idola bagi masyarakatnya, sehingga apa yang diakatakan, diperbuat, dan bahkan dicita-citakan menjadi pegangan hidup bagi para umatnya. Banyak orang yang sibuk dalam berbagai bidang kehidupan, secara tidak langsung sebenarnya dalam sistem sosial menghendaki adanya pengakuan terhadap kemampuannya itu.[8]
Tidak dapat dihindari lagi bahwa masalah agama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi tokoh masyarakat. Max Weber mengatakan bahwa agama adalah merupakan ‘fakta sosial’, sebuah fakta yang obyektif. Sifat obyektivitas ditentukan oleh tiga karakter agama, yaitu bahwa (1) agama diwariskan secara turun-temurun; (2) agama bersifat umum dan dipeluk manusia dalam bentuk yang kolektif dalam kelompoknya; dan (3) agama merupakan kewajiban di dalam bermasyarakat.[9] Pentingnya agama dalam kehidupan kolektif telah mengharuskan suatu masyarakat atau kelompok sosial mengangkat seorang tokoh agama. Berbagai gelar seperti Syeikh, Kyai, Ustadz, Romo, dan lain-lain ragam sesuai dengan ragam agama yang ada, merupakan gelar untuk menyebut seorang yang dianggap tokoh agama dalam masyarakat. Meski tidak menjabat satu kepemimpinan formal, seorang tokoh agama akan selalu menjadi arah bagi perubahan suatu masyarakat, yang dilaksanakan para anggotanya secara kolektif.
Orang yang dianggap paling mengerti agama dan paling taat beragama, termasuk dalam kegiatan sosial, secara otomatis akan dianggap sebagai tokoh agama. Di sini yang merupakan point paling penting adalah ‘mengerti’ tentang agama. Mereka itulah yang dalam istilah Islam sering disebut sebagai ulama.[10] Dalam konteks Islam di Indonesia, Hiroko Horikoshi mengutip pendapat Clifford Geertz yang menyebutkan bahwa ada dua tokoh agama Islam dalam masyarakat, yaitu Kiai dan Ulama. Kalau Kiai merupakan tokoh kharismatik, sakral, dan sering dianggap sebagai simbol kewahyuan, ulama statusnya lebih rendah, yaitu sekedar sebagai pejabat keagamaan. Mereka lebih dikenal sebagai imam masjid, yang memangku tugas-tugas harian kemasjidan.[11] Baik kiai maupun ulama sering berfungsi sebagai penahan arus perubahan sekaligus juga secara aktif mendorong terjadinya perubahan sesuai dengan subyektifitasnya, yang sering mengatasnamakan agama. Dengan dengan mengikuti para tokoh agama – orang yang dianggap paling mengetahui bagaimana seseorang harus mengamalkan agamanya – mereka yakin akan selamat dari berbagai jurang kesengsaraan, baik di dunia maupun akhirat.[12]
Setiap agama mempunyai seorang tokoh abadi yang dianggap sebagai penyebar utama ajaran Tuhan kepada manusia. Setiap umat beragama berkeyakinan bahwa ajaran agama itu diturunkan oleh Tuhan kepada manusia melalui seorang yang dianggap sempurna pula, yang kemudian dijadikan tokoh abadi di dalam setiap agama. Tokoh inilah yang dianggap sebagai penyalur ajaran Tuhan sehingga sampai pada manusia, sehingga tokoh ini pula biasanya dianggap sebagai tokoh yang paling besar dalam sejarah manusia. Tokoh inilah orang suci, yang segala perkataannya merupakan wahyu dari Tuhan mereka. Islam menamakan tokoh ini dengan ‘Rasul’, yang disandang oleh seorang kelahiran Arab, yang bernama Muhammad . Ia dipandang sebagai seorang yang suci, sehingga sampai banyak umat Islam yang mengganggap ia sebagai orang yang bersih dari segala dosa. Dengan keyakinan semacam itu akhirnya hampir setiap manusia sering menyandarkan segala tingkah lakunya itu sesuai dengan ajaran yang dibawanya. Sebagaimana berbagai agama yang lain, keyakinan bahwa muhammad merupakan orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia, telah menjadikan dirinya sebagai tokoh abadi, sejak masa hidupnya sampai kapanpun ketika Islam masih dianut manusia.
C. Wahyu sebagai Satu Sumber Legitimasi Sosial Muhammad
1. Eksistensi wahyu
Masyarakat Arab sebelum Muhammad telah mempercayai adanya Tuhan. Mereka sering mengadakan upacara penyembahan sebagai sarana berhubungan dengan Tuhan mereka, termasuk penyembahan terhadap berhala. Sejak masa Ibrahim, kepercayaan terhadap Tuhan telah menjadi kebutuhan setiap manusia, melalui penyembahan berhala.[13] Hingga menjelang kelahiran Muhammad, Ka’bah dikelilingi oleh 360 berhala, seperti Hubal, Manath, Latta, Uzza, dsb. Berhala ada di mana-mana, di rumah maupun di perjalanan, bahkan sering terjadi makanan dibuat berhala untuk disembah sebelum akhirnya dimakan. Mereka juga percaya malaikat, sebagai puteri Tuhan, Jin sebagai pemegang kekuasaan bersama Tuhan dan mengendalikan dunia.[14] Berbagai upacara persembahan yang berupa pengorbanan juga tidak asing lagi bagi bangsa Arab sebagai jalan mengabdi pada Tuhan mereka.
Agama sebagai sistem sosialpun tidak asing lagi bagi bangsa Arab pra-Islam. Sebelum Islam kota Mekkah telah menjadi pusat umat beragama saat itu yang melaksanakan ibadah ‘Haji’, meski tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perdagangan. Keberadaan Ka’bah sejak masa Ibrahim telah menjadikan kota itu dianggap sebagai tempat suci yang sangat tepat bagi manusia untuk menghadapkan dirinya kepada Tuhan. Dengan kondisi seperti itu para pemimpin kota Mekkah-pun tidak dapat terlepas dari kepemimpinan dalam kegiatan keagamaan masyarakat saat itu. Para pendahulu yang menjadi nenek moyang Muhammad adalah para tokoh yang berperan dalam berbagai kegiatan di kota ini.[15]
Berbagai peribadatan yang dilaksanakan secara kolektif dalam kurun waktu tertentu tidak dapat dipisahkan dari peran seorang tokoh agama. Para tokoh Arab sebelum Muhammad diangkat dengan tidak melepaskan dari tradisi kesukuan, sehingga tokoh agama sering merangkap sebagai kepala suku. Oleh karena itu tokoh agama yang sekaligus kepala suku diangkat karena keturunan atau kebangsawanan, kekayaan, kebijaksanaan, dan pengalaman mereka. Hal ini sangat wajar dalam kondisi kesukuan dan kekeluargaan, di mana agama bagi mereka adalah agama nenek moyang, bahkan pengabdian pada roh nenek moyang tersebut. Tokoh agama akan dianggap sebagai seorang yang suci yang dapat mengantar mereka pada jalan Tuhan.
Peristiwa rencana pengorbanan Abdullah oleh ayahnya, Abdul Muthalib , menjadi salah contoh betapa tingginya kepercayaan seseorang terhadap peran Tuhan di dalam kehidupannya. Ide pengorbanan terhadap anak sendiri, apa lagi laki-laki, tidak akan muncul tanpa landasan ideologi yang kuat. Sementara itu cara Abdul Muthalib mengundi siapa anaknya yang akan dikorbankan memperkuat kepercayaan masyarakat Mekkah saat itu terhadap Tuhan.[16] Cara yang tidak rasional ini telah menjadi bagian dari kehidupan mereka di dalam beragama. Kehancuran Abrahah menyerang Mekkah juga telah membuat orang Arab, terlebih lagi Mekkah, semakin kuat berkeyakinan bahwa kota ini dilindungi Tuhan, dari berbagai ancaman dari luar.[17]
Kepercayaan terhadap Tuhan mereka dapatkan secara turun-temurun. Mereka hanya melanjutkan agama yang telah dianut oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi, di bawah tokoh suku setempat sekaligus sebagai tokoh agama mereka. Kepercayaan terhadap berhala sebagai wasilah di dalam berhubungan dengan Tuhan mereka, bahkan sering dianggap sebagai Tuhan itu sendiri, sudah mendarah daging, yang tidak diperdebatkan lagi di dalam praktek beragama. Dengan rasa ketuhanan yang telah mendarah daging pada bangsa Arab saat itu, kehadiran Muhammad dengan informasi Tuhan yang baru melalui wahyu yang diterimanya merupakan satu fenomena yang tidak asing lagi. Bagi masyarakat Arab, informasi itu tinggal menguji saja kebenarannya dibandingkan dengan kepercayaan lama mereka.[18] Dengan kata lain masyarakat Arab telah mempunyai dasar-dasar kepercayaan tentang isi wahyu dari Tuhan, sehingga dapat dikatakan pula bahwa ajaran Al Qur'an yang turun kepada Muhammad dipandang sebagai kelanjutan dari, dan bukan penggantian terhadap, ajaran agama lama mereka. Terlebih lagi bagi mereka yang menjadi pengikut Pendeta Bukhairo [19], yang secara jelas mengabarkan bahwa akan datang kepada manusia seorang nabi baru, dari golongan Arab.
2. Rasionalitas Wahyu
Berbagai kepercayaan terhadap Tuhan dengan ‘model lama’ terus berlangsung hingga Muhammad mendapat wahyu. Khadijah sendiri setelah nikah dengan Muhammad dan menghadapi kematian anaknya, Al Qosim dan Abdullah, sering pergi ke tempat berhala untuk mengadukan nasibnya.[20] Akan tetapi kelangsungan agama masyarakat Arab yang telah besar dan mapan itu tidak berarti tanpa masalah. Barbagai peristiwa yang menimpa Khadijah setelah bersama Muhammad dan diadukan kepada berhala ternyata tidak memecahkan masalah. Dalam kondisi demikian, secara manusiawi akan menurunkan keimanannya terhadap kepercayaan yang telah lama dianutnya. Peristiwa pewahyuan terhadap Muhammad menunjukkan fenomena ini. Khadijah turut bingung ketika Muhammad ‘bingung’ setelah mengaku menerima wahyu dari orang yang tidak dikenalnya, yang kemudian diyakini bahwa ia adalah Jibril. Ketika itu Khadijah tidak lagi bertanya kepada berhala, tetapi justru kepada seorang pendeta Nasrani – yang ‘rasional’, yaitu Waraqa bin Naufal – dan langsung yakin terhadap apa yang dikatakannya.[21]
Keberadaan Ahli Kitab, semakin memperkuat pernyataan ini, karena mereka menganut agama sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim dan Isa, meski saat itu telah langka. Orang-orang seperti Bahiro dan Waraqa merupakan sebagian contoh dari kelompok ini, dan dari mereka pula tersebar informasi bahwa kelak akan datang seorang pembawa agama baru sebagai pengganti agama mereka yang benar. Peristiwa masuknya para utusan dari Yatsrib dalam Baiah Aqabah pertama dan kedua menunjukkan peran informasi dari ahli kitab tentang wahyu Islam yang diterima Muhammad .[22] Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa banyak saat itu masyarakat yang telah merindukan agama yang dapat memehuni kebutuhan rokhani mereka, ketika tidak ada agama yang demikian itu. Kesuaian ajaran Islam dengan fitrah manusia mempercepat Muhammad mendapat legitimasi, apalagi setelah mereka tahu bahwa ajaran Islam yang dibawa Muhammad tidak memaksa pengikutnya.[23]
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa masuk Islam-nya Abu Bakar sekaligus para pengikutnya tidak sekedar karena ia teman dekat dari Muhammad . Begitu cepatnya mereka mempercayai Muhammad dengan ajaran (wahyu) barunya dan pertimbangan betapa beratnya konsekuensi yang akan disandang dalam masyarakatnya memberi petunjuk bahwa mereka itu masuk Islam karena dilandasi oleh ideologi yang matang. Pertimbangan rasionalitas merupakan satu kemungkinan yang kuat dalam proses masuk Islam-nya Abu Bakar dan para pengikutnya itu, mengingat Muhammad selalu mengajak umatnya untuk berfikir rasional demi mendekatkan diri pada Tuhan.[24] Abu Bakar adalah seorang kaya, yang berpengalaman, dan tentu saja memiliki tingkat rasionalitas yang tingga, dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tanpa dipikir secara matang.
Kasus paling jelas penerimaan Muhammad yang ditunjang oleh wahyu adalah peristiwa masuk Islam-nya Umar bin Khatab. Banyak sejarawan mengatakan bahwa Umar masuk Islam setelah mengetahui sebagian isi dari ajaran yang dibawa Muhammad melalui wahyu, yaitu Al Qur'an , melalui adiknya, Fatimah .[25] Mereka menceritakan bahwa Umar bergetar hatinya setelah mengetahui isi dari Al Qur'an , surat Thaha, ayat 1-8 yang dibaca oleh Fatimah . Ayat itu artinya adalah, “Thaha! Kami turunkan kepada engkau al Qur’an ini bukanlah agar engkau menjadi sengsara. Melainkan untuk menjadi peringatan bagi orang yang takut. Diturunkan oleh Yang menjadikan bumi dan langit yang tinggi. Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas singgasana kerajaan-Nya. Kepunyaan-nya segala sesuatu yang di langit, di bumi, dan yang diantara keduanya, begitu pula yang di bawah tanah. Jika engkau mengeraskan suara sesungguhnya Dia mengetahui rahasia, bahkan yang lebih tersembunyi. Dia Allah, tak ada Tuhan selain Dia, kepunyaan-Nyalah nama-nama yang paling baik”.[26]
Informasi tentang sistem ketuhanan yang bawa oleh Muhammad yang bersumber dari wahyu telah memberi penyadaran terhadap masyarakat Arab secara umum bahwa apa yang dibawa Muhammad lebih benar daripada sistem ketuhanan agama nenek moyang mereka yang telah turun-temurun. Mereka semakin sadar bahwa tidak selayaknya manusia bertuhan kepada berhala yang bahkan merupakan ciptaan mereka sendiri.[27] Keesaan Tuhan dalam agama Muhammad yang diterima dari proses pewahyuan mereka rasakan sesuai kata hati yang rasional, dan memang pada dasarnya setiap manusia telah mempunyai petunjuk ketuhanan.
3. Keindahan bahasa Al Qur'an
Bagi masyarakat biasa bahasa Al Qur'an tidak mengadung keajaiban apapun. Akan tetapi bagi orang yang bergerak di bidang seni sastra, yang faham setiap gaya dan keindahan bahasa akan merasakan keindahan bahasa kitab itu. Begitu luar biasanya konstruksi bahasa Al Qur'an , menyebabkan banyak orang ahli bahasa dari Arab yang mengakui bahwa Al Qur'an mengandung kemu’jizatan. Dengan demikian, sekaligus bahwa ia mengakui bahwa tidak mungkin Al Qur'an disusun oleh Muhammad tanpa pengaruh dari zat yang maha indah dan pandai, mengingat bahwa tradisi Arab sejak sebelum Muhammad adalah bersyair, sementara Muhammad sendiri bukanlah seorang ahli syair, bahkan buta huruf pada masa sebelum kerasulannya.
Sejak sebelum Muhammad , syair merupakan satu seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Pada saat itu telah dikenal tempat-tempat di mana para penyair berkumpul. Ka’bah juga merupakan satu media untuk menampilkan karya pada penyair kepada umum dengan menempelkan syair gubahannya pada dinding Ka’bah itu. Bagi mereka syair di samping sebagai seni dan keindahan juga sebagai sarana pendidikan adat-astiadat dan budi pekerti bangsa Arab.[28] Masuknya Umar bin Khatab, kecuali karena kebenaran isi Al Qur'an, juga keindahan bahasanya. Sebagai seorang yang juga ahli bahasa, Umar merasakan keindahan, kemurnian, dan kemu’jizatan Al Qur'an . Kehebatan bahasa Al Qur'an juga dirasakan oleh seorang ahli syair masa Muhammad , Labib Ibn Rabi’ah . Diceritakan bahwa setelah masuk Islam ia tidak lagi menggubah syair, karena ia merasa sangat kecil ketika ingat syair yang hakekatnya wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhannya. Terlebih lagi pengakuan atas kehebatan syair Al Qur'an diakui juga oleh segolongan kaum yang tidak mengikuti Muhammad , yaitu Al Walid bin Mughirah dan pengikutnya. Pengakuan ini menunjukkan legitimasi yang tinggi terhadap pewahyuan yang dialami Muhammad . Mereka ini mengakui keindahan Al Qur'an , khususnya ketika mereka mendengar bacaan dari surat As Sajadah.[29]
Secara praktis memang justru keindahan Al Qur'an itu sering dijadikan senjata bagi musuh-musuh Muhammad dengan mengatakan bahwa Muhammad itu tukang sihir, dan sebagainya. Namun demikian, justru cemoohan ini dijawab langsung oleh wahyu dengan bahasa yang lebih indah lagi (Q.S. Al Muddatstsir: 11-29). Hal ini juga dibuktikan dengan berbagai percobaan para ahli syair yang ingin menandingi Al Qur'an melalui syair-syairnya. Ketidakmampuan mereka dalam hal itu justru ditanggapi oleh wahyu dengan sangat indah meski isinya ‘pedas’ (Q.S. Al Isra ’: 88; Huud: 13; Al Baqarah : 23). Keinginan mereka dengan susah payah berusaha demikian, menunjukkan sifat iri hati yang terdapat di dalam hatinya, sekaligus menyiratkan pengakuan mereka terhadap pewahyuan yang dialami Muhammad .
4. Inklusivitas terhadap Budaya
Keindahan redaksi ayat-ayat Al Qur'an yang merupakan hasil dari proses pewahyuan menunjukkan bahwa ajaran Muhammad mendukung tradisi ‘bersyair’ yang telah mendarah daging bagi bangsa Arab waktu itu. Dengan anggapan bahwa tradisi syair bukanlah tradisi yang negatif, di sini wahyu hanyalah meningkatkan kualitas bahasa dan lebih penting dari itu adalah isi yang terkandung di dalam sebuah syair dalam ayat-ayatnya. Berbagai nuansa syair yang membawa kepada kemaksiatan yang sering muncul menjadi sasaran perubahan oleh wahyu Al Qur'an yang dibawa Muhammad .
Satu adat atau tradisi atau kebudayaan Arab lain yang juga sangat menyolok dan penting bagi bangsa Arab saat itu adalah kebiasaan berperang. Kepentingan ekonomi di gurun pasir yang keras dan primitif berperan besar terhadap kejahatan atau kebiadaban mereka termasuk seringnya terjadi peperangan antar suku.[30] Di sisi lain secara politis bangsa Arab benar-benar menikmati kemerdekaan. Dua kekaisaran yang saat itu berkuasa tidak menjajah Arab kecuali hanya menganggap mereka tak beradab dan miskin. Sebagai bangsa yang bersuku-suku dan mempunyai pemimpinnya sendiri, antara suku saling curiga sehingga dengan mudah timbul peperangan antar suku di Arab. Ada ungkapan “tolonglah saudaramu baik sedang menganiaya maupun dianiaya”. Setiap suku menganggap suku itu yang paling mulia. Bagi mereka perang merupakan kebutuhan, bahkan permainan yang menyenangkan. Karena itulah setiap suku mempunyai armada yang kuat untuk menjaga dari serangan musuh, termasuk menjaga kafilah dagang.[31]
Islam melalui Muhammad juga tidak menghilangkan tradisi peperangan. Yang dilakukan oleh Islam hanyalah mengarahkan tentang kapan boleh berperang, dan bagaimana harus berperang. Beberapa ayat yang diterima Muhammad dari wahyu memuat ajaran tentang peperangan ini.[32] Ulama kemudian sering berbeda pendapat menganai peperangan dalam Islam ini.[33] Terlepas dari pro dan kontra tentang penafsiran terhadap ayat-ayat tentang peperangan, fakta sejarah mengatakan bahwa Muhammad sendiri sering memimpin sebuah peperangan. Dengan peperangan yang dilaksanakan oleh Muhammad telah memberikan wadah bagi bangsa Arab yang memang sejak lama telah mempunyai budaya berperang yang telah mengakar dalam kehidupan mereka. Ajaran tentang poligami yang dilakukan oleh rasul merupakan contoh lain dari sikap inklusivitas terhadap tradisi saat itu,[34] dengan batasan yang baru.
5. Sumber Ajaran Pembebas
Keberadaan orang-orang terpinggirkan sering menjadikan ancaman bagi seorang tokoh, termasuk tokoh agama. Ia sering menciptakan kebijakan-kebijakan sosial atas dasar agama, padahal kebijakan-kebijakan tidak selalu mendapat respon positif dari semua anggota masyarakat atau kelompok sosial. Orang-orang yang terpinggirkan atau sering tertindas ini akhirnya akan mencari seorang tokoh lain di antara mereka sendiri dengan harapan dapat membebaskan diri dari kungkungan penguasa yang berjalan saat itu. Dengan kata lain golongan minoritas tertindas akan menjadi pendukung bagi siapapun yang ingin menggusur ketokohan seseorang yang telah mapan, termasuk tokoh dalam agama, atau bahkan mereka sendiri yang mencari tokoh baru secara alamiah untuk selanjutnya mereka taati untuk membebaskan dirinya dari belenggu itu.
Dalam masyarakat Arab sebelum kerasulan Muhammad tidak sedikit orang yang dirugikan oleh sistem sosial yang ada waktu itu. Kaum perempuan, budak, dan kaum rendah yang lain sering menjadi obyek penindasan dari para tokoh setempat. Perbudakan pada masa itu menjadi pemandangan sehari-hari.[41] Mereka inilah yang akhirnya banyak menjadi pendukung Muhammad lebih awal. Pengaturan tempat tinggal masyarakat Mekkah yang mengelilingi Ka’bah ternyata juga mengandung makna stratifikasi yang tinggi bagi mereka. Jauh dekatnya rumah-rumah mereka dari Ka’bah menunjukkan tinggi atau rendah-nya kedudukan mereka dalam masyarakat. Dalam hal ini para bangsawan Quraisy merupakan penguasa tertinggi atas penduduk Mekkah sekaligus penguasa Ka’bah , yang berarti mereka dianggap paling tinggi. Paling jauh dari Ka’bah adalah mereka yang paling rendah derajat sosialnya, seperti umat Yahudi, Nasrani, dan kaum budak. Mereka ini cenderung menutup telinga terhadap berbagai isu orang-orang bangsawan yang berkuasa dalan bidang apapun, termasuk hal keagamaan. Mereka beraktivitas melalui biara-biara dan tempat para rahib sebagai jalan agama mereka. Mereka inilah yang telah mendengar dan yakin bahwa kelak akan datang seorang nabi di tengah-tengah mereka, yang juga mendapat tekanan dari pemuka masyarakat Quraisy saat itu.[42]
Kondisi ketertekanan demikian tentu saja membuat mereka sangat menunggu-nunggu saorang tokoh pembebas yang kelak akan muncul sebagaiman berita-berita yang sering mereka dengar dari para rahib agama. Teologi mesianis[43] sangat mungkin telah muncul di waktu itu, sesuai dengan konteks budaya di Arab pada saat itu. Tak dapat dihindari bahwa berita munculnya kerasulan Muhammad setelah memperoleh wahyu segera mendapat dukungan dari banyak mereka orang-orang yang tertindas. Penerimaan kaum anshor terhadap Muhammad adalah termasuk konteks demikian, selain ajaran persamaan yang dibawa Muhammad .[44]
Islam sangat memperhatikan keadilan, termasuk bagi kaum lemah, piatu, orang sengsara, dan kaum miskin lainnya. Ajaran luhur dari wahyu yang diterima Muhammad inilah yang membuat mereka dari kaum lemah segera masuk Islam, bahkan juga para saudagar kaya, yang sadar akan kesucian Islam[45] dilihat dari nilai-nilai yang universal. Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman adalah sebagian contoh dari budak yang pertama kali masuk Islam.[46] Tentu saja masih banyak kasus lain orang-orang yang terpinggirkan segera masuk Islam.[47] Dengan masuk Islam yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, kaum tertindas segera mendapatkan jati diri kemanuisiaannya. Perintah zakat, shadaqoh, dan berbagai amalan sosial yang lain, bahkan juga perintah memerdekakan budak, turut memperkuat daya tarik wahyu (Islam) di mata kaum lemah.[48]
6. Sumber Kepercayaan Diri Muhammad
Keresahan hati Muhammad terhadap berbagai permasalahan sosial dan praktek keagamaan di lingkungannya sudah muncul sebelum dirinya menerima wahyu. Berbagai informasi dari orang ahli kitab yang sering ia dapatkan dalam berbagai keramaian di Mekkah dan juga ketika berdagang ke Syam – tepatnya di Bashra –[49] memperkuat keraguan terhadap keyakinan masyarakat Mekkah waktu itu, yang banyak menyembah terhadap berhala. Begitupun kuatnya keraguan Muhammad terhadap keyakinan lama itu, dan juga berbagai kebiasaan buruk masyarakat saat itu, ia tidak dapat berbuat apapun. Ia merasa tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat untuk melakukan perubahan. Dalam konteks inilah wahyu merupakan kekuatan yang besar dalam menumbuhkan keberanian Muhammad sebagai sumber perubahan dalam masyarakat.
Kepercayaan diri akan muncul dalam diri siapapun yang dengan keyakinan yang teguh dalam hati, yang tidak ada satu unsur yang dibuat-buat. Wahyu pertama[50] yang berisi tentang informasi tentang ketuhahan memberi kekuatan – meski dengan perjuangan yang berat – bagi dirinya dalam mengubah kepercayaan paganisme yang berkembang di Mekkah saat itu. Isi pesan yang sesuai dengan kata hati tentang ketuhanan tentu saja menumbuhkan sikap percaya diri Muhammad . Peran wahyu semakin tampak dalam membangkitkan langkahnya untuk menghadapi masyarakatnya, adalah dengan turunnya wahyu kedua[51] yang memang memerintahkan Muhammad untuk bangkit berbuat kepada masyarakatnya. Itupun selama tiga tahun Muhammad hanya berani berbuat secara diam-diam. Baru tiga tahun kemudian, juga karena peranan wahyu[52] Muhammad berani berbuat secara terang-terangan.[53] Isi dari Qur’an, surat At Taubah ayat 40 bahwa Allah selalu bersama dirinya – sekaligus menjadi jaminan keselamatan dirinya – termasuk saat perjalanan Hijrah bersama Abu Bakar, semakin meyakinkan diri Muhammad untuk berani berbuat sesuai dengan petunjuk wahyu.[54]
Legitimasi umat karena pewahyuan ini juga diperkuat oleh pernyataan wahyu itu sendiri bahwa semua yang datang dari Muhammad bukan karena kehendak nafsu (kemanusian)-nya, melainkan semunya merupakan wahyu dari Tuhan kepadanya.[55] Bagi mereka yang telah percaya kepada wahyu ayat ini semakin mengukuhkan kredibilitas dirinya, bahkan menganggap dirinya sebagai orang suci, di mana setiap orang ingin dekat dengannya dan menjalankan segala yang ia kehendaki.[56] Pengakuan umat Islam terhadap Muhammad sebagai seorang tokoh kharismatik tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga dalam berbagai peperangan yang pernah dialaminya, Muhammad selalu berkeyakinan terhadap jaminan Allah akan keselamatan dari keluhuran niatnya. Hal ini pula yang hingga sekarang sering muncul ide perang suci karena agama, yang bagi mereka yang telah yakin memberi legitimasi kuat terhadap para pimpinannya.
D. Penutup
Berbagai fenomena kenabian dan kerasulan Muhammad yang ditentukan oleh proses pewahyuan tidak dapat dipisahkan dari berbagai fenomena Muhammad sebagai bagian dari sistem sosialnya. Apalagi hal ini dikaitkan bahwa tugas Muhammad adalah mengubah tatanan sosial yang telah ada. Mencari dukungan terhadap dirinya adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam konteks inilah ternyata wahyu turut mendukung dirinya, termasuk melalui kemunculan dukungan sosial terhadap dirinya.
Selain dari berbagai keluhuran budi dan kecerdasan fikiran manusianya, wahyu telah memberi jalan bagi dukungan masyarakat terhadapnya. Kepercayaan lama tentang Tuhan memungkinkan masyarakat segera menangkap berbagai ide baru tentang Tuhan. Legitimasi semakin memperoleh jalan ketika ternyata ajaran wahyu itu sangat benar, dalam arti sesuai nalar dan naluri ketuhanan mereka. Berbagai kelebihan susunan bahasa turut menjadi jalan legitimasi dalam masyarakat yang sangat perhatian terhadap sastra seperti yang tinggi seperti bangsa Arab, di samping sifat inklusivitas terhadap budaya, dan isi wahyu yang menjunjung tinggi terhadap kemanusiaan dan keadilan. Kedirian Muhammadpun tidak dapat berbuat banyak sebelum memperoleh wahyu dari Tuhan. Berbagai kondisi dukungan terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad tersebut tidak hanya terjadi pada masa hidupnya, tetapi tetap berlangsung hingga sekarang.
Rasionalitas wahyu merupakan faktor penting dalam legitimasi terhadap kerasulan Muhammad sepanjang waktu. Meski merupakan rasionalitas semu, – karena rasionalitas pada hekekatnya merupakan mitos – manusia ternyata tidak dapat lepas dari adanya mitos ini. Manusia selalu mengidolakan sesuatu yang masuk akal, sehingga rasionalitas dalam menghadapi segala sesuatu menjadi sangat penting. Oleh karena itu rasionalitas dalam bertuhan – yang pada hakekatnya ber-mitos – pun menjadi sangat penting. Inilah yang turut menjadikan hingga jaman modern dan rasional saat ini manusia tetap menjunjung tinggi keberadaan wahyu. Adakah mitos yang rasional?
Disadur dari A. Kholik
Daftar Pustaka
Ali Musthafa Yaqup, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta , Pustaka Firdaus, 2000
Alo Liliweri, Dr., Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta , LKiS, 2003
Anton Baker, Antropologi Metafisik, Yogyakarta , Kanisius, 2000
Engineer, Asghar Ali, Asa-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. oleh Imam Baihaqie , Yogyakarta , Pustaka Pelajar Offset, 1999
Geertz, Clifford , The Region of Java, Macmillan , The Free Press, 1960
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. oleh Daniel Dhakidae , Jakarta , Tintamas, 1984
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. oleh Umar Basalim dan Muntaha Azhari , Jakarta , P3M, 1987
Khadziq, “Dakwah Islam Masa Rasulullah: Upaya Menuju Terwujudnya Masyarakat Islam”, dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Th.II, Yogyakarta , Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, Juli 2001
Khan, Majid Ali , Muhammad SAW Rasul Terakhir, terj. oleh Fathul Umam , Bandung , Pustaka, 1985
Newcomp, dkk., Psikologi Sosial, terj. oleh Team Psikologi UI, Bandung , Diponegoro, 1985
Pritchard, E. E. Evans, Teori-teori Tentang Agama Primitif, terj. oleh H.A. Ludjito , Yogyakarta , PLP2M, 1984
Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer, terj. oleh Anas Siddik, Jakarta , Bumi Aksara , 1991
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta , Pustaka Sinar Harapan, 1992
Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan Terhadap Nabi SAW dalam Islam, Bandung , Mizan, 1994
Syalabi, A., Sejarah Dan Kebudayaan Islam I, terj. oleh Mukhtar Yahya dan M Sanusi Latief, Jakarta : Al-Husna Zikra , 2000
Syariati, Ali, Rasulullah SAW Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, terj. oleh Afif Muhammad , Bandung , Pustaka Hidayah , 1996
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta , Gaya Media Pratama, 1984
‘Umari, Akram Diya’al, Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah, terj. oleh Asmara Hadi Usman, Jakarta , Media Dakwah
Watt, W. Montgomery , Muhammad in Mecca : History in The Qur'an, Great Britain , Edinburgh University Press, 1988
Yasien, Asy Syaikh Khalil, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, Jakarta , Gema Insani Press, 1995
[1] E. E. Evans Pritchard , Teori-teori Tentang Agama Primitif, terj. oleh H.A. Ludjito, (Yogyakarta : PLP2M), 1984, h. 27
[2] Ibid., h. 49, 51
[4] Anton Baker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta : Kanisius), 2000, h. 141-149
[5] Robert H. Lauer , Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terj. oleh Alimandan, (Jakarta : Bina Aksara), 1989, h. 43
[6] Alo Liliweri, Dr., Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta : LkiS), 2003, h. 96, 265
[7] Newcomp, dkk., Psikologi Sosial terj. oleh Team Psikologi UI, (Bandung : Diponegoro), 1985, h. 428, 454
[8] Ibid., h. 516
[9] E. E. Evans Pritchard, op. cit., h. 69, 70;
[10] Toto Tasmara, op. cit., h. 41
[11] Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. oleh Umar Basalim dan Muntaha Azhari, (Jakarta : P3M), 1987, h. 1, 6; lihat juga Clifford Geertz Region of Java (Macmillan: The Free Press), 1960, h. 134
[12] Ibid., h. 160
[13] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. oleh Daniel Dhakidae, (Jakarta : Tintamas), 1984: 25
[14] W. Montgomery Watt, Muhammad in Mecca : History in The Qur'an (Great Britain : Edinburgh University Press) 1988, h. 26-36
[15] Majid Ali Khan, Muhammad SAW Rasul Terakhir, terj. oleh Fathul Umam, (Bandung : Pustaka), 1985, h. 38-42
[16] Cara pengundian itu adalah setiap anak disuruh menuliskan nama masing-masing di atas qid-h (anak panah), lalu dibawa kepada juru qid-h. Dialah yang mengundinya, dengan atas nama Tuhan, cara ini terbiasa dilakukan oleh masyarakat Arab saat itu, untuk mencari nasib baik. Lihat Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 43
[17] Ibid. h. 47
[18] Informasi tentang kebangkitan setelah mati dan kehidupan akherat yang datang dari wahyu juga tinggal melanjutkan dari kepercayaan lama. Lihat Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan Terhadap Nabi SAW dalam Islam, (Bandung : Mizan), 1994, h. 26
[19] Ia seorang Nasrani yang pernah menemui muhammad ketika sedang ikut berdagang pamannya, Abu Tholib , ke Syiria, sebelum diangkat menjadi nabi. Pendeta itu mengatakan kepada Abu Thalib bahwa Muhammad kelak akan menjadi seorang rasulullah, sebagaimana Ibrahim dan Isa as. Lihat K. Ali , Sejarah Islam: Tarikh Pramodern, terj. oleh Ghufron A. Mas’adi , (Jakarta : Raja Grafindo Persada), 2000
[20] Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 82
[21] Ibid., h. 94
[22] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I, terj. oleh Mukhtar Yahya dan M Sanusi Latief, (Jakarta : Al Husna Zikra), 2000, h. 105
[23] Afzalur Rahman, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer, terj. oleh Anas Siddik, (Jakarta : Bumi Aksara), 1991, h. 11 dan 24
[24] Asy Syaikh Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, (Jakarta : Gema Insani Press), 1995, h. 42
[25] Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 126; Majid Ali Khan, op.cit., h. 74
[26] A. Syalabi, op. cit., h. 317
[28] A. Syalabi, op. cit., h. 57
[29] Ibid., h. 317
[30] Asghar Ali Engineer, Asa-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. oleh Imam Baihaqie, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset), 1999, h. 17-23
[31] Majid Ali Khan, op.cit., h. 26-29;Engineer, 1999: 24
[32] Q.S. Al Baqarah: 190, 193; Al Hajj: 39; An-Nisaa’: 75
[33] Ali Musthaf Yaqup, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus), 2000, h. 85
[34] Asy Syaikh Khalil Yasin, op. cit., h. 34-37
[35] Q.S. An-Nahl: 125
[36] Majid Ali Khan, op.cit., h. 27
[37] Q.S. Al-Baqarah: 219
[38] Q.S. An-Nisaa: 43
[39] Q.S. Al-Maidah: 90, 91
[40] Qamaruddin Shaleh dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al Qur'an, (Bandung : Diponegoro), 1985, h. 196
[41] Majid Ali Khan, op.cit., h. 27
[42] Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 49
[43] Mesianisme adalah kepercayaan akan datangnya seorang juru selamat kepercayaan ini sering muncul dalam masyarakat tertindas, dalam suasana merindukan pembebasan. Dalam konteks Indonesia , kepercayaan ini sejalan dengan millenarianisme (Ratu Adil ), nativisme (cinta tanah air), dan kepercayaan kepada Perang Suci . Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 1992, h. 54
[44] Khadziq, “Dakwah Islam Masa Rasulullah: Upaya Menuju Terwujudnya Masyarakat Islam”, dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Th.II, (Yogyakarta : Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga), Juli 2001, h. 85. sebelum itu kaum Aus dan Khazraj yang kemudian menjadi kaum Anshor dalam kondisi tertekan oleh kaum Yahudi.
[45] Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 102
[46] Majid Ali Khan, op.cit., h. 62
[47] Perintah hijrah terbukti tidak hanya membebaskan tetapi lebih dari itu dpat mengangkat umat ke dalam peradaban yang tinggi. Lihat Ali Syariati , Rasulullah SAW Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, terj. oleh Afif Muhammad, (Bandung : Pustaka Hidayah), 1996, h. 17
[49] Majid Ali Khan, op.cit., h. 48; Muhammad Husain Haekal, op. cit. h. 65
[50] Q.S. Al-Alaq: 1-5
[51] Q.S. Al-Muddatstsir: 1-5
[52] Q.S. Al-Hijr: 94; Asy-Syuuraa: 214
[53] Majid Ali Khan, op.cit., h. 63; Shaleh, 1985: 370, 557
[54] Ibid., h. 85
[55] Q.S. An-Najm: 3,4
[56] Majid Ali Khan, op.cit., h. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar