01. AL-IJTIHADU LA YUNQODU BI AL-IJTIHAD
02. IDZA IJTAMA’A AL-HALAL WA AL-HARAM, GHULIBA AL-HARAM
I. PENDAHULUAN
Kehidupan umat manusia akan terus berubah dan berkembang sejalan dengan waktu yang terus berputar. Perubahan dan perkembangan tersebut, menimbulkan banyak hal-hal baru dalam kehidupan manusia dengan serangkaian ciri khas dan kompleksitasnya. Begitu pula tidak semuanya telah mempunyai kepastian hukum agama atau yang lebih dikenal dengan syariat. Menyikapi kondisi tersebut, umat Islam dituntut untuk senantiasa berijtihad guna memperoleh ketetapan hukum atas segala permasalahan kontemporer.
Hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun perubahan. Perbedaan hasil ijtihad justru melahirkan produk hukum Islam yang beragam, modikatif dan tidak sektarian.
Munculnya berbagai hasil ijtihad yang berbeda-beda, tidak terlepas dari proses perumusan hukum itu sendiri. Proses pelaksanaan ijtihad dengan berbagai kaidahnya sangat berperan dalam hasil serta pengaruh hukum yang diputuskan. Karena itu, seorang Mujtahid harus mampu memahami kaidah-kaidah ijtihad secara sempurna.
Kaidah-kaidah ijtihad telah tersusun dalam sebuah cabang ilmu yang disebut dengan Qawaid al-fiqhiyyah. Diantara kaidah yang terdapat dalam qawaid ini, terdapat kaidah berjumlah 40 yang disebut dengan kaidah kulliyah (umum).
Dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk memberikan gambaran singkat tentang kaidah kulliyah yang pertama dan kedua diantara 40 kaidah tersebut. Baik meliputi pengertian, dasar, contoh maupun pengecualiannya. Kedua kaidah itu adalah:
(۱) اَلاِْجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالإِجْتِهَادِ (۲) إِذَا إجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ, غُلِبَ الْحَرَامُ
Pada akhirnya, kami ucapkan banyak terima kasih kepada al-Ustadz H. Zaenu Zuhdi Lc, M.Hi atas segala bimbingan, koreksi dan nasehatnya. Kepada seluruh teman-teman atas bantuan dan perhatiannya. Tak lupa kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik membangun senantiasa kami harapkan demi kesempurnaannya.
II. PEMBAHASAN
-1- الاجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
“. Ijtihad Tidak Dapat Dibatalkan Dengan Ijtihad ”.
A. Pengertian
Sebuah hasil ijtihad yang telah dilaksanakan pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad pada tempat dan waktu yang lain. Kaidah tersebut berlaku dalam ijtihad yang dilakukan oleh satu orang mujtahid ataupun lebih. Oleh sebab itu, hasil ijtihad seorang Mujtahid pada waktu sekarang, tidak dapat membatalkan hasil ijtihadnya pada masa lampau. Begitu pula hasil ijtihad seorang mujtahid tidak dapat membatalkan hasil ijtihad mujtahid lainnya . Hal tersebut karena:
01. Ijtihad yang kedua tidak lebih kuat daripada ijtihad yang pertama.
02. Ijtihad salah seorang Mujtahid tidak lebih utama untuk diikuti daripada ijtihad mujtahid lainnya.
03. Pembatalan hasil ijtihad oleh ijtihad yang lain dapat mengakibatkan instabilitas hukum/tidak adanya ketetapan hukum. Sebab hasil-hasil ijtihad akan terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan datang dan begitu seterusnya. Tidak adanya ketetapan hukum ini dapat mengakibatkan kesulitan dan kekacauan yang besar.
B. Dasar Kaidah
Dasar dari kaidah ini adalah Ijma’ shahabat. Diriwayatkan dari Ibnu Sibagh: “ Sesungguhnya Abu Bakar ra memberi keputusan hukum pada beberapa masalah. Kemudian Umar ibn Khattab memberikan keputusan hukum yang berbeda atas masalah-masalah tersebut. Namun Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan tetap mengakuinya ” . Demikian pula Umar pernah memberi keputusan dua kali dalam berbagai masalah. Di mana keputusan Umar yang pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua serta beliau tidak membatalkan keputusannya yang terdahulu. Terkait dengan keputusan yang berbeda tersebut, Umar berkata: تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا, وَهَذَا عَلَى مَا نَقْضِى
“. Itu adalah yang kami putuskan pada masa lampau, dan ini adalah keputusan kami sekarang ”.
Dari dasar di atas, dapat dipahami bahwa sebuah hasil ijtihad tidak dapat merubah atau membatalkan ijtihad yang lain. Baik ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid maupun antar beberapa mujtahid. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya muncul sebuah kaidah bahwa “ Ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain ”.
C. Definisi Ijtihad
Ijtihad secara etimologi adalah mengerahkan kemampuan. Adapun ijtihad secara terminologi adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sebuah maksud .
Apabila ijtihad yang dilakukan benar menurut Allah, maka ijtihad tersebut dinamakan ijtihad al-showab (benar), sedangkan ijtihad yang dilakukan tidak benar, maka disebut ijtihad yang khoto’ (salah). Namun apapun ijtihad tersebut, baik salah maupun benar, keduanya tetap mendapat pahala dari Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
إذا إجتهد الحاكم فأصاب فله أجران, وإن أخطأ فله أجر
“. Apabila seorang Hakim berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, sedangkan apabila ijtihadnya tidak tepat, maka memperoleh satu pahala ”.
Apabila seorang melakukan ibadah berdasarkan ijtihad dan ternyata pada waktu berikutnya ijtihadnya berubah, maka tidak diwajibkan qadla (mengganti) ibadah yang telah dilakukan dengan ijtihadnya yang pertama. Namun dalam pelaksanaan ibadah selanjutnya, harus berdasarkan ijtihad yang kedua tersebut. Berdasarkan kaidah inilah, qoul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i tidak membatalkan qoulnya yang qadim (lama).
Kaidah ini berlaku dalam segala bidang, baik bidang ibadah, muamalah maupun yang lainnya. Contoh:
Seorang ketika akan melaksanakan sholat telah berijtihad tentang arah kiblat. Kemudian di tengah-tengah sholat ijtihadnya berubah dan tidak sama dengan hasil ijtihadnya yang pertama. Maka dia harus menggunakan hasil ijtihadnya yang kedua serta tidak diwajibkan qadla’. Meskipun ijtihadnya sampai berubah sebanyak empat kali sehingga dia berubah arah kiblat empat kali dalam satu sholat empat rakaat.
Begitu pula seorang hakim ketika memutuskan suatu perkara dengan ijtihad, apabila kemudian dia berijtihad lagi dan keputusannya berubah, hasil keputusannya yang kedua tidak dapat membatalkan keputusannya yang pertama.
D. Keputusan Yang Dapat Dibatalkan
Diantara hasil ijtihad yang dapat dibatalkan adalah:
Apabila ada seorang ahli fiqh berijtihad dan kemudian melaksanakannya. Setelah itu dia mengetahui bahwa ijtihadnya tersebut jelas-jelas salah, maka dia harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dan melaksanakan hasil ijtihadnya yang kedua .
Contoh. Seorang yang telah menceraikan istrinya dua kali melakukan khulu’. Kemudian dia berijtihad yang hasilnya adalah bahwa khulu’ tidak termasuk talak sehingga dia kembali dengan istrinya. Setelah itu jelas baginya bahwa khulu’ adalah termasuk talak, maka dia wajib menceraikan istrinya karena berarti dia telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (bain) dan untuk dapat kembali harus melalui mukhallil .
Keputusan hakim yang menyimpang juga harus diubah . Diantara keputusan-keputusan hakim yang menyimpang dan harus diubah adalah:
Keputusan yang menyimpang dari nash. Termasuk juga menyimpang dari nash adalah apabila keputusan hakim dalam masalah wakaf, bertentangan dengan syarat yang ditetapkan oleh waqif (orang yang mewakafkan).
Keputusan yang menyimpang dari ijma’. Termasuk menyimpang dari ijma’ adalah bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh Imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Keputusan yang bertentangan dengan qiyas jaly (jelas).
Imam al-‘Iraqi menambahkan dengan keputusan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah kulliyah/umum.
Ulama hanafiyah sebagaimana dikutip oleh Imam as-Subuki menambahkan dengan keputusan hukum yang tidak mempunyai dasar/dalil.
** Catatan. Keputusan hakim yang dapat dibatalkan adalah keputusan yang nyata-nyata salah/batal. Letak kesalahan keputusan hakim bisa ditinjau dari:
- Hasil keputusan itu sendiri. Misalnya jelas menyimpang dari nash.
- Sebab pengambilan keputusan. Seperti keputusan yang diambil karena saksi palsu.
- Proses perumusan keputusan. Contohnya keputusan yang diambil atas pertimbangan saksi yang kemudian diketahui bahwa saksi tersebut ternyata fasiq.
E. Masalah-masalah yang dikecualikan
Menurut Syaikh Abu Bakar Ahdal (penyusun nadzam Faraid al-Bahiyah), pengecualian ini tidak mempunyai patokan yang pasti. Diantara masalah yang dikecualikan tersebut antara lain:
01. Perubahan yang dilakukan oleh Imam (kepala negara) berdasarkan kemaslahatan terhadap tanah yang oleh imam terdahulu telah ditetapkan sebagai tanah khusus/istimewa. Contoh tanah lapangan, tempat rekreasi dll.
02. Masalah qismatul ijbar (pembagian hasil tuntutan)
Contoh: Ada seorang pengusaha yang bangkrut dituntut oleh dua orang koleganya agar segera melunasi hutangnya masing-masing dua juta rupiah. Ketika ditaksir, ternyata harta miliknya hanya bernilai 3 juta rupiah. Hakim kemudian memutuskan membagi rata harta tersebut dan masing-masing penuntut mandapatkan 1,5 juta. Kemudian setelah menjadi keputusan, datang seorang lagi dengan bukti dan saksi yang kuat bahwa dia juga memberi pinjaman pada pedagang tersebut serta menuntut untuk dilunasi. Dalam kondisi tersebut, hakim dapat membatalkan keputusannya yang pertama dan membuat keputusan baru dengan membagi harta pengusaha tersebut menjadi tiga bagian. Jadi setiap penuntut mendapatkan satu juta.
03. Masalah Taqwim (penetapan)
Contoh: Ada seseorang yang diminta untuk membagi harta secara adil. Ternyata kemudian diketahui bahwa hasil pembagian tersebut tidak sama, ada seseorang yang mendapatkan lebih dan ada yang mendapat kurang. Maka pembagian tersebut boleh diulang/diubah.
04. Masalah Khorij – Dakhil
Contoh: Terjadi persengketaan antara Sinchan dan Yoko mengenai seekor sapi. Masing-masing mengaku sebagai pemilik sapi meski tidak ada yang mempunyai saksi ataupun bukti. Karena sapi tersebut berada di tangan Sinchan, akhirnya hakim memutuskan bahwa sapi tersebut adalah milik Sinchan. Keputusan itu berdasarkan patokan umum bahwa dakhil (sinchan) dimenangkan atas khorij (yoko). Setelah keputusan dibuat, yoko mendapatkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sapi tersebut adalah miliknya. Berdasarkan kaidah والحكم للخارج بالشهود (Hukum atas Khorij adalah berdasarkan saksi), maka hakim dapat mengubah keputusannya dan memenangkan yoko sebagai pemilik sapi.
-2- إِذَا إجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ, غُلِبَ الْحَرَامُ
“. Apabila Berkumpul Antara Halal dan Haram, Dimenangkan Yang Haram ”.
A. Pengertian
Maksud dari kaidah ini adalah apabila dalam satu masalah terdapat dua hal yang saling bertentangan, yang satu mengharamkan dan yang lainnya menghalalkan, maka hukum yang mengharamkan lebih didahulukan daripada yang menghalalkan.
Adapun tentang dasar dari kaidah ini masih terdapat perbedaan pendapat diantara Ulama. Abu Fadhil al-Iraqy berpendapat bahwa kaidah ini tidak ada dasarnya. Sedangkan Imam as-Subki berpendapat bahwa dasar kaidah ini diambil dari hadist. Hadist yang dipakai sebagai dasar kaidah ini adalah: مَا إجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ اِلاَّ غُلِِّبَ الْحَرَامُ
Menurut Ulama yang berpedoman pada hadist tersebut, meski hadist itu sanadnya dhoif (lemah), namun pada dasarnya kaidah ini telah sesuai dengan ajaran agama, yaitu untuk senantiasa ikhtiyat (berhati-hati) .
Termasuk dalam kaidah ini adalah apabila ada dua dalil dalam satu permasalahaan yang saling bertentangan. Dalil yang satu menghalalkan dan yang lainnya mengharamkan, maka berdasarkan kaidah ini dimenangkan dalil yang mengharamkan. Contoh:
Hukum mengumpulkan (dalam perkawinan) dua orang wanita bersaudara. Yang satu merdeka dan yang satunya sebagai budak. Dalam masalah ini ada dua ayat al-Quran yang saling bertentangan, yaitu: وَأنْ تَجْمَعُوْ بَيْنَ الاُخْتَيْنِ ( النساء: ۲۳) [Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara] yang memberikan pengertian haram dan ayat: إلاَّ مَا مَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ( النساء:۲٤) [kecuali budak-budak yang kamu miliki] yang memberi pengertian halal. Sahabat Utsman bin Affan ra. dalam masalah ini mendahulukan ayat yang melarang dan menetapkan hukum haram dalam masalah mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam perkawinan.
Hukum tentang apa yang boleh dilakukan oleh suami kepada istri yang sedang haid. Dalam masalah ini ada dua hadist yang saling bertentangan, yaitu:
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَا فَوْقَ الإِزَارِ (رواه أبو داود عن حزام بن حكيم)
[ Diperbolehkan bagimu melakukan segala sesuatu yang berada di atas kain pinggang pada istri yang sedang haid.] Dan hadist: إصْنَعُوْا كُلُّ شَيْئٍ إلاَّ النِّكَاحَ (رواه مسلم عن أنس)
[ Berbuatlah segala sesuatu (pada istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan ].
Hadist yang pertama menunjukkan larangan berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut istri yang sedang haid. Sedangkan hadist kedua menunjukkan hukum halal asal tidak sampai bersetubuh. Dalam masalah ini, dimenangkan hadist yang mengharamkan agar lebih berhati-hati.
Seorang yang junub (hadast besar) diharamkan membaca al-Quran apabila niat berdzikir dan membaca.
Permasalahan yang termasuk dalam kaidah ini adalah Masalah Tafriq as-Shafqah (transaksi yang di dalamnya mencakup sesuatu yang halal dan haram). Contoh:
Ada seseorang menjual satu krat minuman yang terdiri dari 12 botol coca-cola dan 12 botol tequila dalam satu transaksi. Transaksi itu disebut tafriq as-shafqah karena hukum menjual coca-cola adalah halal sedangkan menjual tequila adalah haram. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat diantara Ulama.
01. Menurut pendapat yang diunggulkan, transaksi tersebut sah untuk yang halal (coca-cola) dan tidak sah bagi yang haram (tequila).
02. Transaksi tersebut tidak sah secara mutlak.
B. Kaidah Cabang
Ada beberapa kaidah lain yang tercakup dalam kaidah apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram. Diantara kaidah-kaidah yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
I. Kaidah: إذا إجتمع فى العبادة جانب الحضر وجانب السفر, غلب جانب الحضر
“. Ketika berkumpul dua segi dalam masalah ibadah, yaitu segi hadir (bertempat tinggal) dan segi safar (bepergian), maka dimenangkan segi hadirnya ”.
Dalam kaidah cabang ini, karena berkumpul antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan, maka dimenangkan yang mengharamkan. Contoh:
Ketika seseorang bepergian naik kapal laut melakukan sholat dengan qashar. Ketika mendapat satu raka’at ternyata kapalnya telah sampai di pelabuhan kotanya. Maka orang tersebut harus menyempurnakan sholatnya menjadi empat rakaat.
Seseorang yang berpuasa Ramadan, ketika pada tengah hari melakukan bepergian tidak diperbolehkan membatalkan puasanya.
II. Kaidah: إذا إجتمع المانع والمقتضى, قدم المانع
“. Apabila berlawanan antara yang mencegah dan yang mengharuskan, maka dimenangkan yang mencegah ”.
Contoh: Ada seseorang yang sedang junub mati syahid. Kondisi junub mengharuskan dia untuk dimandikan, sedangkan keadaan mati syahid mencegah untuk dimandikan. Dalam masalah ini dimenangkan yang mencegah, yaitu dia tidak boleh dimandikan.
C. Masalah-Masalah Yang Dikecualikan
Terdapat banyak sekali maslah-masalah yang dikecualikan dari kaidah ini. Diantara permasalahan tersebut adalah:
Ijtihad dalam hal tempat, pakaian dan barang tenunan.
01. Ada dua tempat air, yang satu suci dan satunya najis. Tidak ada tanda pada kedua tempat air tersebut yang menunjukkan mana yang suci atupun yang najis.
02. Ada dua buah pakaian yang sama. Pakaian yang satu najis dan yang satunya suci serta tidak ada tanda yang membedakan diantara keduanya.
03. Sarung yang ditenun dari bahan campuran katun dan sutera. Masing-masing kadarnya sama 50% atau bahan katun lebih banyak daripada sutera.
Untuk permasalahan nomor 01 dan 02, kita diperbolehkan berijtihad untuk menentukan yang suci diantara kedua tempat air dan pakaian. Dengan pengertian tidak langsung dihukumi haram menggunakan kedua-duanya. Sedangkan nomor 03, menurut pendapat yang ashoh (paling benar) sarung tersebut tetap boleh dipakai oleh laki-laki .
Masalah burung yang terpanah atau tertembak. Seekor burung yang terpanah atau tertembak, kemudian luka dan jatuh ke tanah serta mati. Sebab kematian burung tersebut ada dua kemungkinan yang belum jelas, yaitu mati karena luka atau mati karena jatuh. Apabila mati karena luka maka halal dan apabila mati karena jatuh maka haram. Menurut hukum, burung tersebut tetap dihukumi halal.
Masalah Muamalah ( transaksi/hubungan kerja )
a. Berhubungan kerja dengan seseorang yang mayoritas hartanya haram dan tidak dapat dipastikan mana hartanya yang halal, hukumnya tetap boleh meskipun makruh.
b. Menerima harta dari seorang penguasa yang sebagian besar hartanya haram, menurut pendapat yang masyhur hukumnya halal dan boleh.
NB. Dalam dua permasalahan di atas, Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya al-Ulumuddin memberikan hukum haram sebagai ikhtiyat (kehati-hatian) agar tidak memakan harta yang haram .
Kambing atau sapi yang diberi makan dan minum dari barang haram, daging serta susunya tetap halal dan dapat dikonsumsi.
Masalah Istihlak al-Haram (hilangnya sifat keharaman). Contoh:
a. Syrup yang diberi aroma wangi-wangian dan wewangian tersebut sudah tidak nampak sedikitpun. Meskipun orang yang sedang melaksanakan ihram diharamkan menggunakan wangi-wangian namun diperbolehkan meminum syrup tersebut serta tidak wajib membayar fidyah (denda).
b. Tsunomo ingin menikah dengan seorang gadis dari Malang. Namun Tsunomo mempunyai saudara perempuan sekandung yang tidak dia kenal baik nama maupun ciri-cirinya yang juga menetap di Malang. Dalam masalah ini, dia diperbolehkan menikah dengan wanita Malang yang manapun asal dalam batas jumlah wanita di Malang masih ghairu mahshur (tak terhitung).
**. Catatan. Menurut Imam al-Ghazali, hitungan jumlah yang terhitung atau tak terhitung berdasarkan pada perkiraan. Mahshur (mudah dihitung) adalah apabila jumlah wanita dapat mudah dihitung dalam sekilas pandang. Misalnya wanita berjumlah 10 atau 20 orang. Sedangkan apabila jumlah wanita tersebut sulit dihitung dalam sekilas pandang, misalnya 1000 orang, maka termasuk tak terhitung. Adapun apabila jumlah wanita tersebut antara mahshur dan ghairu mahshur, maka dikembalikan pada perkiraan dan keyakinan tsunomo, apakah diantara sekian wanita Malang itu, dia nanti tidak akan keliru menikahi saudaranya sendiri .
Ibnu Hajar dlam kitab Tuhfah dengan didukung oleh Imam al-Adzra’i menghukumi haram bila dalam keadaan ragu. Hal tersebut karena diantara syarat nikah adalah wanita yang dinikahi adalah harus jelas halalnya.
D. Pengecualian Dari Kaidah Cabang
Dari kaidah cabang di atas, ada beberapa masalah yang tidak mempergunakan kaidah tersebut/pengecualian. Diantara masalah yang dikecualikan tersebut adalah:
01. Dalam sebuah pertempuran, mayat orang muslim bercampur dengan orang kafir, atau mayat orang yang mati syahid bercampur dengan yang tidak. Sedang kondisinya sulit untuk dibedakan. Dalam permasalahan ini semua mayat dimandikan dan disholati.
02. Wanita yang sedang ihram dilarang menutup sebagian wajah/mukanya. Tetapi pada waktu shalat ia harus menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. sedangkan ia tidak dapat menutup kepala dengan sempurna tanpa menutup sebagian mukanya. Maka wanita tersebut diwajibkan untuk menutup sebagian mukanya sesuai dengan kaidah: ما لا يتم الواجب الا به فهو الواجب .
** Pada kedua contoh di atas, muqtadli (sesuatu yang mengharuskan) dimenangkan atas mani’ (sesuatu yang mencegah).
E. Kaidah Yang Sebaliknya
Menurut Fuqaha, ada sebuah kaidah yang masyhur sebagai kebalikan dari kaidah
إِذَا إجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ, غُلِبَ الْحَرَامُ .
Kaidah tersebut adalah:الحرام لا يحرم الحلال[ Sesuatu yang haram, tidak dapat mengharamkan yang halal].
Diantara permasalahan yang masuk dalam kaidah ini adalah apabila seseorang mengawini salah satu diantara dua wanita sekandung yang menjadi budaknya. Dengan perkawinan tersebut, maka haram baginya menggauli budak yang satunya. Namun apabila dia menggauli budak yang kedua, maka budak pertama tetap boleh digauli. Karena hukum haram menggauli budak yang kedua tidak dapat mengharamkan hukum halal menggauli budak pertama yang telah menjadi istrinya.
III. PENUTUP
Dipersilahkan untuk menutup serta menyimpulkan sendiri. Karena saya yakin anda bukanlah anak kecil yang harus selalu diarahkan. ‘Afwan
== *** ==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar