AL-DHARARU YUZALU
A. Pendahluan.
Sebagaimana diketahui bahwa syariat yang diawa oleh nabi Muhammad SAW, adalah syariat yang bersifat tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan, kemudian apabila ada hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan umat dalam menjalankannya, maka hal-hal tersebut harus dihindari atau dihilangkan.
Sesuai dengan pokok bahasan kali ini, yaitu: الضرار يزال sebagai kaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima kaidah pokok yang ada, penulis akan berusaha menyajikan pembahasan sekitar dalil yang mendasari kaidah ini, perincian kaidah (kaidah-kaidah yang berada dalam lingkup kaidah asal ini), dan beberapa contoh masalah yang berhubungan dengannya.
B. Pembahasan.
1. Dasar kaidah
Arti dari kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian tiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56:
• •
56. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Surat al-Qashash ayat 77:
•
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لاضرر ولاضرار
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang lain".
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya.
2. Perbedaan antara masyaqqat dan dharurat
a. Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia, sedang dharurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
b. Masyaqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus, sedangkan dharurat relative singkat
c. Masyaqat solusi alternativenya banyak, sedangkan dharurat hanya ada satu
d. Dengan adanya masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya dharurat akan ada penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan dharurat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 218)
3. Uraian kaidah
ٍٍٍSebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk pada kaidah ini, yaitu:
Kaidah pertama :
الضرورات تبيح المحظورات
"Madharat itu dapat memperbolehkan yang diharamkan"
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
وقد فصل لكم ما حرم عليكم الامااضطررتم اليه
“Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmukecualiapa yang terpaksa kamu memakannya”(.QS. al-An’am:119)
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا اثم عليه
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”.(QS. Al-Baqarah : 173)
Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian dharurat itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:
لا حرام مع الضرورات ولا كراهة مع الحاجة
“Tiada keharaman baagi dharurat dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan”(Abdul Hamid Hakim, 1956:81).
Kaidah kedua:
ماابيح للضرورة يقدر بقدرها
“Apa yang diperbolehkan karena dharurat maka diukur menurut kadar kemadharatannya” (as-Suyuthi, TT:60).
Contoh kaidah di atas adalah; kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Kaidah ketiga:
الاضطرار لا يبطل حق الغير
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259)
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan , dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Kaidah ke-empat:
الضرار لايزال بالضرر
“kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” (as-Suyuthi,TT:61)
Misalnya seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena dharurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a. Dharurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b. Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d. Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)
Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
.
Kaidah ketiga :
ماجاز لعذر بطل بزواله
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilan.” (wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya kebolehan tayammum bagi si sakit, maka ketika sudah sembuh kebolehan itu hilang.
Kaidah keempat:
الميسور لايسقط بالمعسور
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:257)
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda nabi SAW:
اذاامرتكم بامر فأتوا منه مااستطعتم
“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian”
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang paling ujung sendiri.
Kaidah keenam:
درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:
اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
Kaidah kedelapan:
اذاتعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82)
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.
Kaidah kesembilan:
الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat dharurat” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261)
Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kmadharatan, karena itu hajat itu hamper sam kedudukannyadengan madhara.
Misalnya pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
Perbedan dharurat dan hajat:
a. Darurat lebih berat keadaanya sedangkan hajat hanya sekedar butuh.
b. Hukum dharurat dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah diterapkan walaupun terbatas waktu dan kadarnya, misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedang hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash yang sudah jelas.(Wahbah az-Zuhaili, 1982:273-274)
Sedang syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :
a. ia membutuhkan atas ketidakberlakuan hukum asal karena adanya kesulitan (haraj atau masyaqqat) yang tidak bisa terjadi.
b. Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’(pengecualian) bagi idividu menurut kebiasaan.
c. Hajat yang dihadapimerupakan hajat yang jelas untuk suatu tujuan bagi hukum syara’.
d. Kedudukan hajat sam dengan dharurat dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:275-276)
Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau darurat jika ternyata hajat dan darurat itu memenuhi syarat-syaratnya.
Keterangan tambahan:
Menurut Abdul Qadir Audah seorang tokoh Ihwanul Muslimin dan seorang qadli Mesir,dharurat bisa diperhitungkan bila mempunyai ciri sebagai berikut:
dikhawatirkan membahayakan jiwa, raga, agama seseorang.
dalam keadaan serius hingga tidak bisa ditunda.
tidak ada jalan lain.
dilakukan seperlunya saja.
Izzuddin bin Abdissalam dalam al Qawaid Li al Maqasid membagi maslahah dan mafsadah menjadi tiga:1. Afdhal (seperti al Wajibat) 2. Fadl (seperti al Mandubat) 3. Mutawassith (seperti al Ibahah)
C. PENUTUP
Demikianlah pembahasan dari kaidah adh-Dhararu yuzalu. Walaupun kami sadari masih terlalu jauh dari sempurna, namun kami berharap dari pembahasan yang singkat ini kita bisa mengambil manfaat yang semaksimal mungkin.
Terakhir kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada anda semua yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membaca, menyimak dan juga. mendengarkan penjelasan saya yang mungkin malah menambah kurang jelas Semoga apa yang telah anda kerjakan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amien… 3x Yaa Rabbal ‘Alamien.
__________ @@@@@ __________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar