Kamis, 03 Juni 2010

aL-MASYAQQATU

المشقة تجلب التيسير


I. Pendahuluan

Islam disyariatkan tidak semata-mata mengurus masalah ketuhanan saja, namun lebih luas juga mengatur masalah tata kehidupan umat manusia yang lebih baik. Dalam menjalankan aktivitas apapun baik hubungan dengan Allah SWT, maupun hubungan dengan manusia secara social. Dalam melakukan rutinitasnya, manusia terkadang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang harus dijalani. Apalagi disaat-saat yang mengharuskan untuk meninggalkan taklif.

Taklif boleh ditinggalkan bila sudah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Tidak begitu saja melakukan hal-hal yang menjadi pengganti dari taklif tersebut. Didalam makalah yang sigkat ini akan dibahas tentang kaidah-kaidah sebagai berikut:



المشقة تجلب التيسير

الرخص لاتناط بالمعاصى

الرخص لاتناط بالشك

اذا ضاق الامراتسع

اذااتسع الامر ضاق

Serta penjelasan yang berhubungan dengan kaidah terebut. Seperti pengertian masyaqqah, dan hal-hal yang berhubungan dengan kaidah tersebut. Semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.



II. Pembahasan

Kaidah I:

المشقة تجلب التيسير

a. Dasar-dasar kaidah

Seluruh kaidah fiqih yang telah disusun itu mempunyai dasar yang jelas, baik dalam Al Qur’an mupun dalam Hadits. Adapun dasar dari kaidah ini adalah:

1. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 185:

       ••                                        

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, 185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.



2. Surat al Hajj ayat 78:



   •                               ••     •         • 

Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.



3. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu hurairah

بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين

Artinya: kalian diutus dengan kemudahan dan tidak diutus dengan kesulitan.

4. Hadits diriwayatkan oleh Bukhori



احب الدين الى ا لله الحنيفية السمحة

Dari dalil tersebut, lahirlah sebuah kaidah fiqh yitu: “Al-masyaqqatu tajlib Al-taisir”. Adapun maksud dari kaidah ini menjelaskan bahwasannya kesukaran atau kesulitan yang dihadapi seorang hamba dalam melakukan ibadah kepada Allah SWT dapat mendatangkan kemudahan. Artinya ketika segala bentuk taklif yang harus dilakukan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, maka secara syara’ muncul suatu kemudahan. Kaidah ini dibuat untuk menjaga ragam adat manusia yang sedang tertimpa kesulitan dalam menjalankan perintah Allah.



Masyaqqah

Pengertian masyaqqah

Lafadz masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang searti dengannya. Dalam bahasa arab, ketika dikatakan syaqqa alaiyhi al-syai berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang.

Secara istilah al-Syatibi memberikan empat makna. 1) Masyaqqah dimaknai secara umum: meliputi hal-hal yang mampu dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah dalam pengertian pertama ini. 2) masyaqqah dimaknai sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang berat. 3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai keluar dari kebiasaan umum. 4) masyaqqah yang dimaknai sebagai melawan hawa nafsu.

Untuk membedakan masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam tataran hukum, ada sebuah batasan bahwa pekerjaan tersebut –karena saking beratnya- jika dilakukan terus menerus, akhirnya justru membuatnya ditinggalkan secara total atau sebagian saja. Atau jika pekerjaan itu dapat menyebabkan salah saut bagian dari pelaku menjadi tidak beres. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal yang seperti ini termasuk dalam kategori masyaqqah yang keluar dari kebisaan, dalam arti bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada kondisi demikian, maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum ini.



Karakter dan kualifikasi masyaqqah

Secara umum karakteristik kesulitan (masyaqqah) terbagi menjadi 2 bagian pokok sebagai berikut:

1) masyaqqah yang tidak dapat mengugurkan kewajiban (ibadah).Misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis mengugurkan kewajiabn haji. Rasa capek dan takut dalam peperanngan tidak dapat mengugurkan kewajiban kewajiban jihad. Masalahnya masyaqqah yang seperti itu sudah merupakan tabiat besar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek, dan sebagainya. Begitu pula kewajiban jihad tetap harus melewati rasa lelah, takut, bahkan kematian pun bisa terjadi. Sehingga tidak logis jika kemudahan (rukhsah) diterapkan dalam hal ini.

2) Masayqqah yang dapat mengugurkan kewajiban. Adapun mengenai masayaqqah ini dibagi menjadi dalam tiga bagian, sebagai berikut:.

• Masyaqqah al mu’tadah ialah kesulitan yang bisa diatasi manusia tanpa membawa darurat baginya. Contoh: sholat yang melelahkan badan.

• Masyaqqah ghairu mu’tadah ialah masyaqqah yang dapat menimbulkan kegoncangan atau kesukaran pada diri mukallaf dalam menjalankan proses taklif. Contoh seseorang yang sedang menderita sakit pada bulan ramadlan dapat meniggalkan puasanya dan menggantinya pada bulan lain. Karena sakitnya itu dapat menimbulkan kesukaran dan kesulitan dalam melaksanakan taklif.

Seluruh masyaqqah itu tergantung pada jenis aktifitas, tempat, dan waktu dalam pelaksanaan taklif. Seperti: kesukaran puasa tidak sama dengan kesukaran dalam shalat.

Rukhsah dan Azimah

Pengertian

Pada dasarnya rukhsah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain rukhsah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi, kondisi dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, besrta wujudnya dalil yang melarang.

Azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syariat yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar yang mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi maupun reduksi.



Hukum-hukum Rukhsah

1. Rukhsah wajib

Misalnya: memakan bangkai karena dalam keadaan terpaksa, sekiranya kalau tidak memakannya maka akan menyebabkan kematian. Jika makan bangkai merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya maka hal itu wajib dilakukan.

2. Rukhsah sunnah

Misalnya: shalat qashar bagi seoarang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih.

3. Rukhsah mubah

Misalnya: transaksi pesan-memesan dan sewa-menyewa. Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhsah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak diperbolehkan karena diangggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat ijarah juga dinilai ma’dum.

4. Rukhsah Khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan)

Misalnya: membilas bagian luar sepatu (al-khuf atau muzah). Begitu pula bagi orang yang bertayamum yang telah mendapatkan air, tapi harus dibeli mahal, sementara ia memiliki uang untuk membelinya. Toleransi yang seperti ini lebih baik ditinggalakan.

5. Rukhsah Makruh

Misalnya: mengqashar shalat dalam perjalanan yang belum memcapai persyaratan perjalanan.

d. Sebab-sebab keringanan:

1. Bepergian;

Setidaknya ada beberapa jenis rukhsah yang dapat dilakukan saat orang melakukan suatu perjalanan. Adapun mengenai jenis-jenis rukhsah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Meringkas shalat (qashar).

b. Tidak berpuasa pada bulan ramadlan.

c. Membasuh khuff atau muzah lebih dari satu malam. Lain halnya dengan orang yang tidak dalam perjalanan; ia hanya mendapat rukhsah membasuh muzah hanya dalam satu hari satu malam saja.

Catatan: tiga hal rukhsah ini hanya berlaku saat melakukan perjalanan jauh, ketika sudah mencapai dua marhalah.

d. Meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

e. Memakan bangkai.

Catatan: dua kategori rukhsah ini tidak dikhususkan untuk perjalanan jauh saja. Dalam arti, rukhsah meninggalkan shalat jumat dan memakan bangkai tidak disyaratkan setelah mencapai dua marhalah.

f. Jama’ shalat.

g. Shalat sunnah di atas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat.

2. Sakit parah;

Puasa wajib bagi seorang muslim yang akil baligh. Namun apabila orang tersebut sakit yang parah, maka hukumnya menjadi tidak wajib. Walaupun dia wajib menggantinya. Tetapi ini semuanya membutuhkan suatu analisis yang cermat dan tepat. Ketika orang dalam keadaan puasa sedangkan ia sakit maka masalah ini perlu dilihat dari berbagai obyek, bagaimana kondisi tubuhnya, aeparah apakah penyakit yang ia dera, dampak apa yang akan ditimbulkan, bagaimana pengalaman orang lain saat didera dengan penyakit yang semacam itu dan lain sebagainya.

Jika hasil dari analisis tersebut (penyakit), menimbulkan dampak yang membahayakan maka akan mendapatkan rukhsah. Dalam arti, suatu penyakit bisa mendapat rukhsah apabila semaikn parah atau berdampak fatal pada keselamatan si penderita apabila memaksakan diri melakukan suatu ibadah tersebut. Contoh seorang yang sakit diperbolehkan untuk melakukan tayamum sebagai pengganti wudlu’.

3. Dipaksa/ paksaan

Para ushuliyyin cenderung berbeda pandangan dalam mendefinidikan ikrah, ada yang mengatakan, ikrah adalah menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak diinginkannya; ada pula yang mendefinisikan sebagai menyuruh orang lain untuk melaksanakan perbuatan tertentu sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin dijatuhkan sehingga mukrah (orang yang dipaksa) mengalami ketakutan.

Terlepas dari khilaf tersebut al-Suyuthi memberikan tujuh pokok ikrah yang bisa menyebabkan rukhsah antara lain:

a. Pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, bik melalui sarana kekuasaan atau gencarnya intimidasi.

b. Mukrah tidak mampu menolak menolak dengan cara apapun, baik dengan melarikan diri, minta pertolongan orang lain, atau bahkan mengimbangi paksaan tersebut.

c. Mukrah mempunyai prasangka kuat bahwa jika ia menolak paksaan itu maka mukrih akan menjatuhkan ancamannya.

d. Obyek pasksaan adalah sesuatu yang haram dilaksanakan/dikerjakan. Misalnya membunuh, merampok, memukul orang lain, dsb.

e. Ancaman mukrih adalah sesuatu yang bisa dijatuhkan secara langsung. Artinya, ketika mukrih mengancam, seketika itu pula ia melaksanakan ancamannya. Sehingga andaikata ancaman itu masih akan diwujudkan lain waktu, satu hari lagi misalnya, maka mukrah tidak akan mendapat rukhsah.

f. Ancaman harus berupa sesuatu yang jelas atau ditentukan. Artinya tidak abstrak, mengambang, atau mengada-ada.

g. Mukrah hanya bisa selamat dari ancaman jika mau melaksanakan paksaan mukrih.

Kalangan syafiiyah secara lebih sederhana membagi ikrah dalam dua macam yang mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan). Seperti permasalahan hutang yang telah jatuh tempo. Orang yang berhutang (mukrah) boleh dipaksa untuk menjual barang-barang miliknya guna melunasi hutang-hutangnya. Paksaan seperti ini jelas wajib untuk dipenuhi, karena si mukrah memiliki kewajiban membayar hutang. Dan transaksi jual beli barang milik mukrah yang merupakan transaksi yang berdasar paksaan, hukumnya tetap sah.

Kedua, ikrah bi ghair alhaq (paksaan tanpa alasan yang benar). Mengenai hal yang kedua ini dibagi menjadi dalam dau kategori:

a. Ikrah yang haram seperti: paksaan untuk membunuh. Dalam situasi yang seperti ini si mukrah tidak boleh melaksanakannya. Karena jika demikian, maka ia akan mendapatkan qishas. Sebab pada dasarnya ia belum lepas dari tuntutan hukum (taklif), walaupun statusnya adalah orang yang dipaksa.

b. Ikrah yang mubah seperti: dipaksa mencuri barang milik orang lain. Jika paksaan itu dilaksanakan maka si mukrah akan terbebas dari hukum mencuri. Artinya yang menanggung konsekuensi had pencurian adalah mukrih, sehingga ia harus di-had sekaligus mengembalikan barang yang dicuri. Jika barangnya tidak ada, maka harus memberi ganti rugi.

Berbeda dengan paksaan untuk minum khamr, ternyata syara’ memberikan rukhsah, dengan syarat hal itu dilakukan demi mempertahankan nyawa. Begitu juga paksaan mengucapkan kalimat kufur. Untuk mendapatkan rukhsah ini, selain harus bertujuan mempertahankan nyawa; agar terhindar dari siksaan, juga harus dengan tidak menghendaki hakikat dari ucapan kufur itu. Artinya kondisi tetap dalam keimanan kepada Allah. Adapun dasar dari hal ini adalah surat al-Nahl:106:

4. Lupa (nisyan);

Secara terminologis nisyan adalah hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui. Berbeda dengan lahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu merekam kembali data dan memori yang sempat hilang.

Berkaitan dengan masalah rukhsah dan konsekuensi hukumnya maka keadaan nisyan di bedakan menjadi tiga bagian:

a. Jika bentuk nisyan adalah meninggalkan sebuah kewajiban, maka kewajiban itu hakikatnya belum gugur. Dalam arti, jika ingatannya pulih kembali, maka kewajiban itu harus dikerjakan kemabali.

b. Apabila nisyannya adalah melakukan sebuah larangan maka akan menimbulkan dua perincian:

- jika berhubungan dengan perusakan harta benda orang lain, maka tidak berdosa, namun wajib membayar ganti rugi.

- Jika tidak berhubungan dengan perusakan harta orang lain maka tidak ada dosa ataupun ganti rugi.

c. Nisyan terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera (uqubah). Dalam kondisi seperti ini, nisyan dianggap sesuatu yang subhat (tidak jelas) sehingga dapat mengugurkan uqubah.

Makan atau minum ketika berpuasa karena lupa, maka puasanya tidak dihukumi batal. Walaupun pada hakikatnya makan atau minum itu membatalkan puasa.

5. Tidak mengerti (jahl);

Syariat membagi ketidaktahuan yang bisa mendapat rukhsah dalam dua kategori sebagai berikut:

a. Ketidaktahuan terhadap hukum syariat karena baru masuk Islam (muallaf). Dalam kondisi seperti ini, Islam memberikan toleransi yang sangata rasional dan manusiawi. Contoh: seorang muallaf ketika baru masuk Islam tentunya belum begitu tahu akan hukum agama yang baru dipeluknya secara rinci, sehingga ketidaktahuannya masih ditolerir oleh syariat. Sedangakan bagi muslim yang telah lama memeluk agama Islam, diharuskan menjalankan ritual agama sesuai dengan syarat-rukunnya (tentunya sebatas yang ia pahami dan mengerti).

b. Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi yang memang tidak memungkinkan. Seperti: seorang Muslim yang hidup di daerah yang terpencil, ataupun disebuah komunitas yang besar, namun diantara mereka tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama. Dalam kondisi yang seperti ini syariat masih memberikan keluasan hukum kepadanya, karena ia memang berada dalam suatu keadaan yang sangat tidak mungkin dihindari. Berbeda halnya bagi kaum muslim yang hidup dan berkembang dalam komunitas yang religius dan kental terhadap peradaban Islam, maka wajib melaksanakan ibadahnya sesuai dengan konsep yang ditentukan syariat sebab kondisinya memang memungkinkan.

6. Sukar/sulit menghindar;

Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari keadaan yang mengharuskannnya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal itu tidak terjadi dalam dinamika keseharian saja. Tapi dalam pelaksanaan hukum syariatpun, dilema itu seringkali muncul tanpa diundang.

Contoh paling sederhana, ketika kita berjalan-jalan dan turun hujan, biasanya percikan air yang bercampur dengan najis seringkali mengenai pakaian. Sementara kita sangat sulit untuk menghindari hal itu. Sebab lumpur-lumpur najis itu begitu banyak dan nyaris memenuhi badan kita. Shalat dalam keadaan pakaian yang terkena najis yang dimaafkan serta najis yang memang sulit sekali untuk menghilangkannya.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, Islam tetap menghukumi percikan yang mengenai pakaian itu sebagai sesuatu yang najis. Sebab ia berasal dari sesuatu yang najis. Namun demikian, percikan itu timbul dari keadaan yang sulit dihindari, maka hukumnya dima’fu (diampuni). Sehingga pakaian yang terkena najis tetap bisa digunakan untuk mendirikan shalat.

7. Kurang;

Kurang syarat bagi mukallaf untuk melaksanakan taklif, seperti orang gila, anak kecil (belum baligh).



Kaidah II:

الرخص لاتناط بالمعاصى

“ keringanan tidak boleh digantungkan pada maksiat “

Contoh: bila seseorang pergi ke suatu tempat dengan tujuan pencurian, sedangkan ia sangat lapar sekali dan yang ditemukan hanyalah makanan yang diharamkan oleh syara’. Maka ia tidak diperbolehkan makan makanan tersebut, meskipun ia nanti akan kelaparan yang menyababkan dia meninggal dunia.

Kaidah III:

الرخص لاتناط بالشك

“keringanan tidak boleh digantungkan dengan keragu-raguan”

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seorang mukallaf mengambil suatu keringanan, maka dia tidak boleh ragu terhadap rukhsah yang ia ambil. Contoh apabila seseorang melakukan perjalanan, kemudian ia mengqosor sholatnya, maka ia tidak boleh ragu. Apakah sholatnya itu sah atau tidak. Apabila dia ragu terhadap sholatnya itu, dengan begitu ia tidak yakin dengan apa yang ia kerjakan. Karena rukhsoh sebagai pengganti maka harus didasari dengan keyakinan.

Ada kaidah lain yang masih berhubungan dengan kaidah tersebut, yaitu:

اذا ضاق الامراتسع

“Jika sesuatu terasa sempit (sulit pelaksanaannya) maka hal tersebut akan menjadi lapang (mudah pelaksanaannya)”.

Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contoh: sebagimana nasib seorang gadis yang tidak memiliki wali. Pada saat yang sama ia bertemu dengan seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi yang seperti ini, wanita yang menghadapi kesulitan tersebut diperbolehkan mengangkat orang lain (yang bukna mahramnya) untuk menjadi walinya.

Akan tetapi kaidah ini ada batasannya yaitu:

اذااتسع الامر ضاق

“Jika telah lapang (pelaksanaannya mudah), maka hukumnya menjadi sempit”. Kaidah ini sebenarnya semakna dengan kaidah diatas, walaupun redaksinya berbeda dan cenderung berlawanan. Artinya jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan mempermudah keleluasan hukum, maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas.

Contoh: ketika melaksanakan shalat, tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan bianatang buas lainnya maka pergerakan tersebut diperbolehkan.

لاعِبْرَةَ بِالظَّنِّ الْبَيِّنِ خَطَؤُهُ



“Dugaan yang benar-benar salah itu dianggap tidak sah”. Contoh orang yang mengira bahwasannya waktu sholat telah masuk, kemudian ia sholat. Kemudian ternyata waktu sholat belum masuk. Maka sholat tersebut dianggap tidak sah.





III. Penutup

Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum proses pelaksanaan taklif itu membawa keringanan sesuai dengan kadar dari kesulitan tersebut. Oleh karena itu, setiap mukallaf tidak boleh begitu saja melakukan hal-hal yang menjadi keringanan. Sebenarnya Islam bersikap obyektif dan proposional dalam menerapkan ajaran-ajrannya. Islam tidak pernah bersikap kaku, menutup diri, atau menutup mata akan kebutuhan dan kesulitan yang dialami umat. Jika kondisi sulit umat diberi kemudahan. Tapi bila dalam kondisi lapang umat umat diberi kebebasan mengekspresikan aktivitas riutal-spiritual hingga sosialnya, tapi tetap dalam batas-batas yang wajar. Intinya, ajaran Islam itu selalu tawassuth, tasamuh, tawazun bin i’tida’ binti moderat. Jika kemudian muncul stereotip yang mengklaim Islam itu kolot, rigid, puritan, marginal, tidak emansipasif dan sebutan miring lainnya, hal itu semata karena kurangnya pemahaman yang benar terhadap Islam.



Pustaka

As Suyuthi, al Asybah Wa alNadhair, 1960 cet 2, Sangkapura: al Haramain

Allahji, Syeikh Abdullah Bin Sa’id Muhammad Abbad, Idhahul Qawaid Fiqhiyyah, 1998, cet III. Surabaya: Hidayah

Al-Syathibi, al-Mufaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: dar al-Ma’rifah cet II) tt

al-Bayjuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bayjuri ala ibn Qasim al-Ghazi (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah) tt, I

Haq, Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqih, (Surabaya; Khalista) 2006

Zaidan, Abdul Karim, al Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut, lebanon: Muassasah al-Risalah) cet VII

Tidak ada komentar: