Kamis, 03 Juni 2010

Al-Urf

‘URF DAN APRESIASI TERHADAP TRADISI LOKAL




Pendahuluan.

Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406) selain empat dasar fiqih (al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas), dasar-dasar yang lain tidak terlalu prinsip. Sumber-sumber tersebut –seperti istihsan, istishab, istislah dan ‘urf-- sebatas sumber tambahan dan levelnya yang tidak signifikan (dhu’f al-madarik) serta tidak banyak dibicarakan (syudzuz al-qaul fiha). Karena alasan itu, ia tidak berbicara tentang ‘urf dan dasar-dasar yang lain ketika berbicara singkat tentang disiplin Ushul Fiqih dalam Muqaddimah-nya.

Walaupun demikian, urf yang bisa disebut “tradisi” hakikatnya sangat penting dalam penetapan hukum Islam. Bahkan Al-Qarafi mengharuskan para mujtahid untuk mengenal tradisi suatu masyarakat lebih dahulu sebelum memberikan fatwa sehingga bisa benar-benar menjawab persoalan yang dihadapi dan tidak berseberangan dengan kemaslahatan umat. Arti penting ‘urf salah satunya bisa dilihat pada apresiasi Islam atas tradisi yang telah ada pada masyarakat Arab sejak sebelum kedatangannya. Karena Islam memang tidak lahir dalam kevakuman budaya. Islam lahir di tengah suatu budaya dan sistem nilai, bahkan di tengah kepercayaan dan praktek keagamaan yang telah semarak. Semua itu justeru menjadi meliu dan dan memberikan “konteks” bagi kelahiran Islam.

Arti penting ‘urf semakin terasa penting ketika Islam memasuki dunia non-Arab. Islam yang “terbungkus” budaya Arab kemudian berhadapan dengan budaya dan tradisi yang kadang sangat berbeda. Tidak jarang, para tokoh agama justru gagap melihat keragaman budaya dan tradisi luar sehingga cenderung menganggapnya sebagai “sesat” dan tidak islami. Yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa Islam yang benar dan murni adalah “Islam yang bercorak Arab”. Jika muncul Islam bercorak non-Arab yang apresiatif atas tradisi lokal maka ia dianggap “Islam sinkretik” yang tidak murni dan menyimpang atau “Islam pinggiran”.

Dalam konteks fiqih, pemahaman atas suatu tradisi yang berbeda menjadi penting, agar fiqih tetap bisa membumi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini sebenarnya fiqih melalui ushul-nya telah menyediakan kerangka epistemologi dengan menjadikan ‘urf sebagai salah satu sumber hukum. Hanya saja, ‘urf sering diabaikan dan dikalahkan oleh makna harfiah teks yang menjadi pusat rujukan penetapan hukum. Berikut akan dilihat apa dan bagaimana urf itu sebenarnya.



Pengertian dan Ragam ‘Urf

Terdapat banyak definisi tentang ‘urf dalam berbagai buku Ushul Fiqih, walaupun intinya senada. Antara lain, menurut Ahmad Fahmi Abu Sunnah, bahwa urf adalah peristiwa yang berulang-ulang yang tidak disebabkan oleh keniscayaan rasional. Sedang menurut Wahbah al-Zuhaili, urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh sekelompok orang baik berupa tindakan (‘amali) atau ungkapan (qauli) yang memiliki makna khusus. Senada dengan itu, Abd al-Wahhab Khallaf mendefinisikan ‘urf dengan sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan berlangsung dalam kehidupannya, baik berupa ungkapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan sesuatu.

Dari berbagai definisi tersebut, ‘urf terdiri dari beberapa unsur: (a) berupa kebiasaan, (b) dikenal dan berlaku di kalangan masyarakat, (c) berupa tindakan atau ungkapan, (d) bukan berdasar keniscayaan rasional yang mesti terjadi, karena ia sekedar kebiasaan (‘adah). Walaupun ada yang membedakan ‘urf dengan ‘adah –yang sama-sama bisa diartikan kebiasaan—tapi para ulama secara umum tidak membedakannya. Walaupun demikian, yang penting dicatat adalah bahwa‘urf pada dasarnya lebih spesifik dari adah. Karena ‘urf merupakan kebiasaan yang berlaku umum dan tidak alamiah karena bersumber dari perenungan dan pengalaman. Sedang adah adalah semua jenis kebiasaan, baik berlaku umum atau bagi orang atau kasus tertentu seperti kebiasaan pribadi serta juga meliputi sesuatu yang alamiah seperti terbit dan terbenamnya matahari. Maka dalam beberapa kasus, adah juga bisa menjadi dasar hukum.

Secara umum, ragam ‘urf dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, dari sisi bentuknya, urf terbagi dua: (a) Lafdzi (ungkapan), suatu ungkapan yang bermakna tertentu tapi telah dikenal masyarakat luas, seperti kata daging yang tidak mencakup daging ikan. Jika ada orang bersumpah tidak akan makan daging, maka ia boleh saja makan ikan. (b) Fi’li (tindakan), suatu tindakan yang mendapat pengakuan secara sosial dari masyarakat luas seperti bentuk jual beli mu’athath, jual beli langsung serah terima tanpa akad secara verbal.

Kedua, dari sisi cakupannya ‘urf terbagi dua: (a) ‘am (umum), kebiasaan yang berlaku pada masyarakat sangat luas, seperti mengangguk sebagai jawaban positif. (b) Khash (khusus) hanya meliputi masyarakat tertentu saja, seperti hadiah 10% dari total uang naskah untuk “calo” naskah terjemahan di Yogyakarta.

Ketiga, dari sisi keabsahannya terbagi dua: (a) shahih (dibenarkan), yakni yang tidak berseberangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan dan mendatangkan kemudaratan, seperti menabur bunga di kuburan sebagai ungkapan bela sungkawa dan penghormatan atas yang meninggal. (b) Fasid (tidak bisa dibenarkan), yang sebaliknya, seperti bisnis prostitusi dan praktek seks bebas.



Otoritas ‘Urf Sebagai Dasar Hukum

Para ulama yang menjadikan ‘urf sebagai dasar hukum mendasarkan pada dalil hadits Ibnu Mas’ud: “Ma ra’ahu al-muslimun hasana fa huwa ‘inda Allah hasan, wa ma ra’ahu al-muslimun sayyi’a fahuwa ‘inda Allah sayyi’ (Apa yang dianggap baik oleh orang Islam, maka ia baik menurut Allah, dan apa yang dianggap jelek oleh orang Islam, maka ia jelek menurut Allah). Para ulama juga menegaskannya dengan kaidah Al-Tsabit bi al-‘urf ka al-tsabit bi al-nash (yang ditetapkan dengan ‘urf sama dengan yang ditetapkan berdasar nash).

‘Urf yang disepakati dapat diterima sebagai dasar hukum adalah urf shahih. Maka yang paling mendasar adalah bahwa apapun ‘urf yang berlaku di tengah suatu masyarakat, selama tidak berseberangan dengan nash dapat menjadi dasar hukum. Artinya ia tetap bisa diberlakukan, bahkan pada pemegang otoritas harus tetap menjaga dan menjadikannya sebagai pedoman dalam keputusan hukum. Dengan menjadikan ‘urf, sebagai salah satu dasar, hukum-hukum yang ditetapkan akan terus mengalami perkembangan sesuai perkembangan kehidupan, seperti dikatakan Ibnul Qayyim Taghayyur al-fatawa wa ikhtilafuha bihasbi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-‘awa’id (Perubahan dan perbedaan fatwa disebabkan oleh perubahan waktu, tempat, kondisi, niat dan kebiasaan).

Tapi secara lebih detail, ‘urf sebagai kebiasaan yang bisa menjadi dasar hukum adalah sebuah kebiasaan yang terjadi dalam mayoritas kasus dan oleh mayoritas suatu masyarakat, mulai dari kelompok masyarakat yang kecil hingga masyarakat dunia. Di sini keberlakuannya sesuai dengan cakupan ruang dan waktunya. Karena itu muncul kaidah Taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah (hukum bisa berubah dengan perubahan tempat dan waktu). Selain itu, kebiasaan tersebut harus telah berlangsung lama pada saat akan menjadikannya sebagai dasar hukum. Maka muncul kaidah La ‘ibrata li al-‘urf al-thari (‘Urf yang baru muncul tidak bisa dijadikan dasar bagi kasus yang telah lama).

Pada uraian detailnya terjadi perbedaan pendapat, terutama dalam konteks tarik menarik antara ‘urf dan nash pada saat keduanya tampak tidak sejalan. Garis-garis perbedaan pandangan para ulama –sebagai pemetaan awal-- dapat disimpulkan sebagai berikut:







01



02.





03.





04.





05.





06.



07.





08.





09.











10.



‘Urf



‘Urf lafdzi





‘Urf ‘amali





‘Urf ‘amali





‘Urf yang muncul sesudah Nash



‘Urf sebagai ‘Illat



‘Urf





‘Urf





‘Urf











‘Urf





Nash khash



Nash ‘am





Nash ‘am





Nash ‘am





Nash ‘am





Nash



Qiyas

(Tidak ada nash)



Maslahah mursalah



Mashlahah mursa-lah dan qiyas











Istihsan

Nash khas berlaku



Takhshish atas nash ‘am dengan ‘urf



Takhshish atas nash ‘am dengan ‘urf



‘Urf tidak berlaku, yang berlaku nash



‘Urf tidak berlaku





Nash tergantung ‘illat.



‘Urf yang berlaku atas dasar istihsan.



‘Urf didahulukan



Pada prinsipnya ‘urf didahulukan, tapi dlm penerapannya ada bebe-rapa perbedaan dengan Hanafiyah & Malikiyah



Memakai ‘urf (karena tidak menerima istih-san).

Ittifaq



Ittifaq





Hanafiyah





Al-Qarafi





Ittifaq





Jumhur



Hanafiyah dan Malikiyah



Malikiyah



Syafi’iyah dan Hanabilah











Syafi’iyah dan Hanabilah



Kesimpulan umumnya adalah bahwa berbagai kemungkinan perubahan hukum dengan mempertimbangkan ‘urf adalah hukum-hukum yang didasarkan pada ijtihad, seperti melalui qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah berikut dalil-dalil dzanni. Sedang yang didasarkan pada dalil qath’i tetap berlaku universal melintasi batas ruang dan waktu. Seluruh ulama madzhab sepakat atas hal ini.



‘Urf dan Tradisi Lokal

Pengakuan atas ‘urf sebagai salah satu dasar hukum berarti juga menunjukkan tidak adanya maksud membangun masyarakat yang sama sekali baru dalam segala aspeknya. Hukum Islam masih mengakui “kontinuitas” dan “perubahan” serta “pengembangan” dengan masa sebelumnya, dalam hukum, adat istiadat, sistem nilai dan pola hidup, baik Arab atau wilayah-wilayah baru lainnya.

Sejarah membuktikan adanya dialektika Islam dengan tradisi sebelumnya yang sangat beragam. Apresiasi tersebut secara umum dapat dibagi menjadi empat kategori: (1) apresiasi negatif, berupa penolakan atas segala bentuk tradisi yang dianggap menyimpang secara prinsip, seperti praktik transaksi berbunga; (2) apresiasi duplikatif, berupa penerimaan secara utuh atas tradisi atau ajaran sebelumnya seperti adopsi hukum rajam dari Yahudi, (3) apresiasi modifikatif, dengan mengambil tradisi dengan disertai modifikasi seperti tradisi poligami; (4) apresiasi purifikatif, penerimaan tradisi yang disertai pemurnian karena dinilai mengandung unsur menyimpang seperti ibadah haji.

Pengakuan atas ‘urf –yang berupa tradisi lokal-- dalam sejarah hukum Islam memperlihatkan penerimaan atas tradisi Arab, Yahudi dan Nasrani. Berbagai tradisi diakomodir secara kreatif dan menjadi bagian integral hukum Islam. Itu juga terlihat pada sikap para ulama dalam ijtihadnya. Imam Malik menjadikan ‘amal ahl al-madinah yang merupakan ‘urf sebagai dasara hukum, Imam Syafi’ie memiliki qaul qadim dan qaul jadid karena perbedaan ‘urf dalam ruang dan waktu yang berbeda, dan lainnya.

Dengan demikian, gagasan tentang Islam kafah, universal dan tak mentolerir tradisi lokal disertai dikotomi Islam “tradisi besar” (great tradition) dan “tradisi kecil” (little tradition) menjadi mandul, apalagi anggapan bahwa Islam non-Arab sebagai “Islam pnggiran” dan “Islam sinkretik”. Gagasan yang semakin semarak dan hadir dalam bentuk gerakan radikal yang mengusung “Islam otentik” di segala ruang dan waktu sama sekali mengingkari ‘urf sebagai salah satu sumber hukum yang diakui para mujtahid sejak era al-salaf al-shalih.

Pengingkaran terhadap ‘urf dengan islamisasi yang lebih bercorak arabisasi sulit dibenarkan dengan pertimbangan antara lain: (1) bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan hadits yang mentolerir perbedaan dan mengakui tradisi lokal, (2) berseberangan dengan sunnatullah bahwa menjadikan satu umat di seluruh dunia adalah mustahil (Q.S. 16: 93), dan (3) tidak sejalan dengan “sunnah” para ulama sejak awal Islam. Hal itu diperparah oleh keyakinan bahwa Islam yang dianut adalah satu-satunya bentuk Islam yang benar dan yang lain salah. Padahal tanpa disadari, Islam yang dibawa sering bercorak kultur Arab yang mengidap lokalitas dan historisitas. Karena berarti gerakan tersebut hendak memaksakan universalisasi kultur lokal tertentu (Arab) ke seluruh penjuru dunia.

Keterbukaan Islam yang diwujudkan dalam otoritas ‘urf dalam hukum Islam menjadi dasar epistemologi penting, karena bagaimanapun nash tetaplah terbatas dan tidak merinci segala hal, ditambah dengan kehidupan yang terus berkembang dan melahirkan tradisi berikut persoalan baru. Sementara di sisi lain ‘urf sangat terkait dengan kemaslahatan suatu masyarakat yang memiliki ‘urf tersebut. Tetap memberlakukan ‘urf merupakan bagian dari upaya memelihara maslahah. Karena salah satu bentuk kemaslahatan adalah tidak merombak tradisi positif yang telah berlaku dan akrab di tengah masyarakat dari generasi ke generasi. Keterbukaan atas perbedaan dan perubahan dengan ‘urf ini justru menguatkan teori adaptabilitas hukum Islam seperti dianut kaum reformis semacam Suhbi Mahmashani dan peneliti Barat semisal Linant de Bellefonds.

Memang tidak semua ‘urf dapat dipertahankan dan itu diakui oleh para ulama dari dulu sampai kini. Tapi ia tetap merupakan potensi epistemologis yang menjanjikan karena, di samping nash tidak menjelaskan rincian segala hal dan memelihara ‘urf adalah bagian dari perwujudan kemaslahatan, ia juga dapat memfungsikan nash dengan lebih baik, ketika (1) ‘urf menjadi ‘illat dari suatu nash sehingga ketika ‘urf itu berubah, hukum juga berubah dan nash tidak berlaku; (2) dapat menjadi takhshish atas nash ‘am sehingga bisa saja berseberangan dengan nash.

Dengan demikian, ‘urf meniscayakan pemahaman yang tidak harfiah atas nash. Pemahan yang diperlukan adalah pemahaman yang menyentuh maqashid al-syari’ah. Maka ‘urf yang diakui --walaupun berseberangan dengan makna harfiah nash tapi tidak berseberangan dengan maqashid al-syari’ah-- dapat mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Hukum Islam akan lebih fleksibel dan dapat menyentuh persoalan yang lebih luas.

Dengan itu diharapkan eksistensi hukum Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai “kontrol sosial”, tapi juga “rekayasa sosial”, dengan memahaminya secara lebih dalam. Melalui ‘urf, umat Islam dapat: (1) memanfaat potensi tradisi lokal yang sangat kaya dan berakar kuat sebagai wujud “pribumisasi”, (2) memasukkan nafas Islam ke dalam tradisi yang mengandung unsur penyimpangan sebagai wujud “negosiasi”, serta (3) membuang tradisi yang secara prinsip berseberangan dengan nafas Islam sebagai wujud “Islamisasi”. Maka upaya memasyarakatkan Islam dapat menghindari “konflik” antara ajaran dan tradisi lokal yang telah mapan, yang justru sangat tidak menguntungkan.

Catatan Akhir

Penerapan ‘urf sebagai salah satu sumber hukum memerlukan kesiapan para intelektual untuk: (1) terbuka atas perbedaan budaya dan memandangnya sebagai kekayaan yang harus dikelola dengan baik, (2) keterbukaan untuk tidak melihat model Islam lain sebagai Islam yang “sesat” dan “lumbung bid’ah”, (3) untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih mementingkan prinsip syari’at dari sekedar makna harfiah, sekaligus (4) menyadari bahwa hukum Islam yang hadir dalam kehidupan bukan sepenuhnya hukum Tuhan yang abadi dan universal, tapi juga tafsir manusia yang mengidap lokalitas dan historisitas. Tradisi lokal adalah wujud penafsiran suatu masyarakat tertentu berdasar cara berpikir dan kepentingan tradisi tertentu.





Daftar Pusataka.





Asad, Talal, The Idea of an Anthropologi of Islam, Gepprgetown University, Washington, 1986.



Henninger, Joseph, “Pre-Islamic Bedouin Religion,” dalam Marlyn L. Swartz (ed. & trans.) Studies on Islam,Oxford University Press, New York, 1981.



Khaldun, Abd al-Rahman Ibnu, Muqaddimah li Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi al-Shulthan al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992.



Khalil Abdul Karim, Khalil Abdul, Historisitas Syari’ah Islam, terj. M. Faisol Fatawi, Pustaka Alief, Yogyakarta, 2003.



Khallaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm al-Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Kairo, 1978.



Khayyath, Abd al-Aziz al-, Nadzariyyat al-‘Urf, Maktab al-Aqsha, Amman, t.t.



Mahasin, Aswab, “Masyarakat Madani dan Lawan-Lawannya: Sebuah Mukadimah” (Kata Pengantar) dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995



Mahfudz, M. A. Sahal, Fiqih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji, pidato penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Fiqih Sosial, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.



Maimun, Ach., Doktrin Islam Dan Doktrin Pra-Islam (Apresiasi terhadap Ritus dan Dasar-Dasar Keyakinan), Makalah “Pemikiran Islam Klasik dan Tengah” Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001, tidak diterbitkan.



Masood, M. Khalid, Islamic Legal Philosophy, A Study of Abu Ishaq al-syatiby’s Life and Thought, Inernational Islamic Publisher, Delhi, 1989.



Masood, M. Khalid, Islamic Legal Philosophy, A. Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, International Islamic Publisher, Delhi, 1989.



Mulkhan, Abdul Munir, Islam Munri dan Masyarakat Petani, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000.



-----, “Muhammadiyah dan Keragaman BudayaLokal,” dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2003.



Peters, F.E., Mohammad and the Origin of Islam, State University of New York State, New York, 1995.

Qaradhawi, Yusuf al-, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyyah, Maktabah Wahbah, Kairo, 2001.



Qarafi, Syihab al-Din al-, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, Kairo, 1344 H.



Schacht, J., Introduction to Islamic Law, Clarendon, Oxford, 1966.



Sunnah, Ahmad Fahmi Abu, Al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’y al-Fuqaha’, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Mesir, t.t.



Surjo, Joko, dkk., Agama dan Perubahan Sosial; Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik Indonesia, Pusat Studi Antar Universitas-Studi Sosial UGM. Yogyakarta, 1993.



Watt, Montgomery, Muhammad, Prophet and Statesman, Oxford University Press, New York, 1961.



Zarqa’, Mushthafa, Al-Madkhal ‘ala al-Fiqh al-‘Am, Dar al-Fikr, Beirut, 1968.



Zuhaili, Wahbah al-, Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, 1986.

Tidak ada komentar: