EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Masalah serius yang dihadapi oleh sebagian besar konseptor pendidikan Islam adalah rendahnya tingkat kemampuan memahami pendidikan Islam sebagai suatu “ilmu” dan pendidikan Islam sebagai suatu “lembaga pendidikan”. Harus diakui, memahami pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dan membedakan pengertiannya dengan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan tidak semudah seperti memahami objek ‘ilmu’ bersifat abstrak sedangkan ‘lembaga pendidikan’ bersifat konkrit.
Tetapi lebih dari itu, telaah pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan pada akhirnya disadari merupakan bagian dari telaah pendidikan Islam sebagai suatu lembaga, demikian pula sebaliknya. Telaah lembaga pendidikan Islam disadari sebagai bagian dari sistem ilmu pengetahuan.
Pertanyaan yang muncul, apa sesungguhnya yang membedakan keduanya? Kemudian, bagaimana wujud konkrit dari pembedaan kedua konsep tersebut? Persoalan selanjutnya bagaimana pengaruhnya terhadap konsep ideal pendidikan Islam? Sehubungan dengan konsep pendidikan sebagai suatu proses , bagaimana kedudukannya diantara pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan?
Telaah pertama masuk dalam wilayah epistemologi, sedangkan persoalan kedua masuk dalam filsafat ilmu. Kebanyak orang kesulitan membedakan antara telaah epistemologi dengan filsafat ilmu, dan menjadi lebih kesulitan ketika muncul istilah ilmu yang berdiri sendiri. Pendidikan Islam sebagai salah satu objek konkrit pendidikan juga memiliki rangka bangun persoalan sejenis.
Berangkat dari berbagai persoalan mendasar tersebut, tulisan ini berusaha memberikan gambaran singkat membedakan antara konsep epistemologi, filsafat ilmu dan ilmu pendidikan Islam. Setelah itu, menjelaskan objek-objek apa saja yang menjadi wilayah telaah epistemologi pendidikan Islam. Dan sebagai langkah akhir adalah, - memberikan gambaran singkat wujud konkrit telaah epistemologi pendidikan Islam.
B. Epistemologi, Filsafat Ilmu atau Ilmu Pendidikan Islam ?
Pada prinsipnya, ketiga konsep tersebut memiliki banyak kesamaan dibandingkan perbedaannya. Ketiganya seringkali digunakan secara bergantian, bahkan terkadang menimbulkan keraguan untuk membedakan ketiganya secara terpisah dan berbeda. Satu penjelasan pada akhirnya disadari sebagai bagian dari penjelasan yang lain.
Namun demikian, pengetahuan ilmiah tetap saja mengharuskan adanya pembedaan. Tanpa adanya pembedaan yang jelas dan tegas antara satu objek dengan objek yang lain, maka masing-masing objek telaah tidak dapat direpresentasikan, lebih khusus lagi bagi kelompok ilmu-ilmu humaniora. Kelompok ilmu humaniora lebih bersifat subjektif dibandingkan kelompok ilmu-ilmu kosmologi yang cenderung bersifat objektif.
Ada banyak cara dan pendekatan untuk membedakan ketiga konsep tersebut, antara lain melalui pendekatan aspek substansial dan aspek struktural. Pendekatan aspek substansial berusaha membedakan ketiga telaah tersebut melalui pembedaan isi atau kandungan makna masing-masing. Sedangkan pendekatan struktural lebih pada susunan atau kerangka konsep ketiga istilah tersebut. Pendekatan dalam telaah ini cenderung menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan struktural konsep.
Epistemologi berasal dari istilah episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti Ilmu. Epistemologi sebagai serangkaian kata berarti ilmu tentang ‘pengetahuan’. Epistemologi sendiri sering disebut secara bergantian dengan filsafat pengetahuan. Sedangkan filsafat ilmu adalah ilmu tentang ‘ilmu pengetahuan’. Dari sini, kita mendapatkan dua pengertian yang sejenis namun memiliki signifikasi yang berbeda. Satu sisi disebut “pengetahuan” sisi lain disebut “ilmu pengetahuan”.
Perbedaan ‘pengetahuan’ dengan ‘ilmu pengetahuan’ menurut C.Verhaak dan R.Haryono terletak pada sifat teratur dan sistematis. Pengetahuan seringkali dianggap sebagai suatu bentuk penggambaran manusia terhadap suatu objek tanpa adanya unsur keteraturan dan sistematika tertentu, ia diandaikan begitu saja tanpa kaidah atau aturan-aturan logis pengetahuan. Sementara ilmu lebih pada konsep pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan hasilnya secara teoritik dan reflektif , dibandingkan pengetahuan pada umumnya.
Di dalam proses pembedaan antara ‘pengetahuan’ dengan ‘ilmu pengetahuan’ sebagai analogi pembedaan antara konsep ‘epistemologi’ dengan ‘filsafat ilmu’ terdapat struktur peringkat konsep. Konsep ‘pengetahuan’ lebih bersifat umum dan universal. Sedangkan konsep ‘ilmu pengetahuan’ lebih bersifat sistematis, metodologis dan terbatas pada objek tertentu. Epistemologi memiliki peringkat kepadatan konsep yang lebih tinggi dibandingkan dengan filsafat ilmu.
Persoalan berikutnya adalah perbedaan antara konsep ‘filsafat ilmu’ dengan ‘ilmu’. Filsafat ilmu seperti telah dijelaskan pertama adalah ilmu tentang ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu menurut pengertiannya adalah seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan terkait secara logis. Karena itu koherensi sistematik adalah hakekat ilmu. Menurut substansi yang menjadi objek telaahnya, ilmu adalah sekumpulan ide, gagasan dan pemikiran tentang suatu objek pengamatan, sedangkan filsafat ilmu adalah ilmu yang mempelajari sekumpulan ide, gagasan dan pemikiran yang direpresentasikan. Dalam hal ini, filsafat ilmu adalah ilmu yang mempelajari dirinya sendiri. Peringkat kepadatan konsep ‘filsafat ilmu’ lebih tinggi dibandingkan konsep ‘ilmu’.
Berangkat dari penjelasan tersebut, secara struktural paradigmatik kita dapat menarik kesimpulan singkat, - perbedaan konsep epistemologi, filsafat ilmu dan ilmu antara lain terletak pada tingkat kepadatan dan atau keluasan cakupan konsepnya. Penjelasan ini memiliki rangka bangun sejenis dengan struktur konsep : illata, abstrakta dan konkreta. Struktur konsep illata, abstrakta dan konkreta dibangun dari sumber inspirasi struktur ontologis realitas alam semesta (kenyataan).
Seluruh konsep merupakan hal abstrak namun karena kedekatannya dengan realitas kenyataan konkrit disebut konkreta. Sementara semakin tinggi abstraksinya disebut abstrakta, dan yang tertinggi adalah illata. Peringkat ini juga berkaitan ruang-waktu cakupan konsep dimana semakin tinggi berarti semakin umum dan universal. Selain itu, semakin tinggi juga semakin teoritis dan semakin rendah semakin praktis.
Sehubungan dengan objek telaah pendidikan Islam, paradigma struktur konsep tersebut juga berlaku, bahkan dalam beberapa diskripsi yang akan disampaikan mengharuskan adanya pembedaan peringkat kepadatan konsep dan keilmuan. Telaah epistemologi pendidikan Islam berada dalam kawasan konsep illata yang bersifat teoritis, filsafat ilmu pendidikan Islam berada dalam kawasan konsep abstrakta sebagai penghubung antara teori dengan praktek kependidikan, sedangkan ilmu pendidikan Islam berada dalam kawasan konsep konkreta yang membahas konsep praktis pendidikan.
Masing-masing kelompok ilmu menempati kedudukan, peringkat dan fungsinya masing-masing. Satu sama lain saling terikat, berhubungan dan mengharuskan keberadaan kelompok ilmu lainnya. Setiap peringkat kelompok ilmu menempati kedudukan yang telah ditentukan berdasarkan unsur subjektifitas manusia. Oleh sebab itu dalam pandangan epistemologi, pada hakekatnya semua sistem ilmu pengetahuan adalah satu, - berakar dari subjek yang disebut manusia.
C. Pembagian Wilayah Telaah Epistemologi Pendidikan Islam.
H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa pendidikan itu dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu pendidikan sebagai “benda” dan pendidikan sebagai “proses”. Sementara, pengertian pendidikan sebagai “benda” itu sendiri dapat dibedakan dalam dua bentuk lagi, yaitu benda dalam arti “lembaga pendidikan” dan benda dalam arti “ilmu” atau lebih tepatnya ilmu pendidikan.
Pendidikan Islam sebagai salah satu objek konkrit telaah epistemologi pendidikan memiliki rangka bangun konsep sejenis. Telaah epistemologi pendidikan Islam dibedakan dan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah. Tiga wilayah telaah epistemologi pendidikan Islam tersebut adalah; 1. pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan, 2. pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar, dan 3. pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi penyelenggara pendidikan. Masing-masing wilayah telaah akan sedikit dibahas pada penjelasan berikut ini.
1. Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem Ilmu Pengetahuan.
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan adalah semesta ide, gagasan dan pemikiran tentang pendidikan Islam yang direpresentasikan menurut aturan dan kaidah-kaidah tertentu secara sistematis dan metodologis. Artinya semesta pengetahuan manusia tentang pendidikan yang direpresentasikan merupakan bagian dari bentuk pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Perbedaan masing-masing pengetahuan yang direpresentasikan tersebut ditentukan menurut kadar kepatuhan bahasan pada persyaratan ilmiah seperti ; sistematika, metodologi, aturan dan kaidah-kaidah tertentu.
Semakin ketat satu sistem bahasan pendidikan Islam yang disajikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah, maka ia menduduki peringkat tertinggi dalam sistem ilmu pengetahuan. Bahasan yang disajikan itu berhak disebut ‘ilmu pendidikan Islam’. Sementara semakin toleran dan bebas satu bahasan pendidikan Islam terhadap persyaratan ilmiah menduduki peringkat terendah, dan ini dapat disebut sebagai ‘pengetahuan pendidikan Islam’.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan menjadi sangat luas dan membentang seluas ide, gagasan dan pemikiran manusia. Semesta realitas kenyataan dari pelikan, tumbuhan, hewan, manusia bahkan Tuhan sebagai sumber inspirasi yang mampu melahirkan konsep pendidikan Islam masuk di dalamnya.
Dalam pandangan filsafat ilmu, persyaratan ilmiah tersebut juga harus tersusun menurut urutan dan syarat-syarat tertentu. Filsafat ilmu memandang, persyaratan ilmiah ilmu pendidikan Islam tersebut juga harus disusun dan direpresentasikan menurut persyaratan ilmiah tertentu sesuai objek yang dikaji. Di sini, kebanyakan orang bingung dan kesulitan membedakan kedua konsep tersebut. Pembahasan tentang objek tersebut masuk wilayah telaah substansi epistemologi.
Berdasarkan pendekatan struktural, wilayah epistemologi pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dibatasi pada penjelasan yang ditentukan pada kadar kepatuhan bahasan pengetahuan yang direpresentasikan pada persyaratan ilmiah.
Beberapa persyaratan ilmiah tersebut antara lain : 1. Punya Objek yang Jelas dan Tegas, 2. Melalui Metode Ilmiah Tertentu, 3. Sistematis (ada bentuk dan urutan yang jelas) 4. Bersifat Koheren, 5. Saling Berhubungan (korelevan) dan 6. Reflektif (dapat dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan objek)
2. Pendidikan Islam Sebagai Suatu Proses Belajar-Mengajar.
Pendidikan adalah suatu proses. Proses interaksi antara pendidikan dan peserta didik (terdidik). Dalam interaksi tersebut, peserta didik mengalami proses pembelajaran, sedangkan pendidik memerankan fungsinya sebagai pengajar dengan cara membantu peserta didik agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin diketahui.
Pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar mengarah pada pengertian kajian pendidikan Islam yang memfokuskan diri menelaah apa, bagaimana dan kemana tujuan proses pendidikan, serta unsur-unsur apa saja yang ikut mempengaruhi penyelenggaraannya.
Wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar mengajar berisi penjelasan tentang apa yang disebut pendidikan, bagaimana seharusnya aktifitas belajar-mengajar dilakukan, tujuan apa yang ingin dicapai melalui proses belajar mengajar, serta unsur-unsur apa saja yang terlibat dalam proses kependidikan tersebut.
Penjelasan tentang apa yang disebut pendidikan, bagaimana seharusnya aktifitas belajar-mengajar dilakukan dan tujuan apa yang ingin dicapai melalui proses belajar mengajar masuk dalam wilayah substansi ilmu pendidikan Islam, sedangkan unsur-unsur apa saja yang mempengaruhi proses belajar mengajar masuk wilayah telaah struktur ilmu pendidikan Islam.
Unsur-unsur yang mempengaruhi proses pendidikan Islam serta untuk menentukan kedudukannnya dalam struktur hirarki ilmu harus ditelusuri dari konsep paling dasar proses kependidikan Islam yaitu akar ilmu atau hubungan subjek-objek.
Subjek dalam hal ini adalah manusia yang mencari tahu tentang objek. Kegiatan mencari tahu ini disebut sebagai proses belajar yaitu proses hubungan antara peserta didik (subjek) dengan ilmu pengetahuan (objek). Proses hubungan subjek-objek ini yang melahirkan tujuan atau arah dari proses belajar. Oleh sebab itu, tujuan adalah unsur ketiga setelah adanya hubungan subjek-objek.
Sifat ketidakberdayaan, ketergantungan dan ketidak-mampuan peserta didik dalam menyempurnakan hubungan sebagai subjek ataupun objek dalam dirinya itulah muncul konsep pendidik/guru. Sementara proses hubungan subjek dan objek itu sendiri pasti menggunakan metode atau cara tertentu yang sekaligus menempati ruang dan waktu. Artinya, proses pembelajaran itu sendiri pasti melibatkan unsur lingkungan.
Lingkungan dalam hal ini menempati kedudukan kelima, setelah peserta didik (subjek), ilmu pengetahuan (objek), tujuan, dan pendidik. Dalam konteks luas, lingkungan tersebut mencakup lingkungan konkret maupun abstrak. Dikatakan konkret karena terlibat langsung di dalam proses pembelajaran itu sendiri, dan abstrak karena tidak terlibat secara langsung tetapi turut mempengaruhi perkembangan, peranan dan arah pembelajaran dalam pendidikan Islam.
Secara hirarkis, unsur-unsur dalam pendidikan Islam dapat disusun berturut-turut adalah; (1) peserta didik, (2) ilmu pengetahuan (materi Pendidikan), (3) tujuan pendidikan, (4) Pendidik/guru dan (5) Lingkungan.
3. Pendidikan Islam Sebagai Suatu Lembaga/Institusi Pendidikan.
Dilihat dari perwujudan kebendaannya, konsep pendidikan Islam mengarah pada lembaga atau institusi pendidikan. Proses pendidikan dalam arti semesta mengarah pada semesta realitas material yang mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Unsur terpenting dalam konsep tersebut adalah segala wujud benda yang mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Unsur tujuan pendidikan kearah yang lebih baik menjadi unsur pertama dan utama untuk dapat disebut sebagai lembaga pendidikan Islam. Keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, tempat-tempat peribadahan, maupun diri manusia dapat dipandang sebagai bagian dari objek pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan ‘jika’ mengalami atau mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Wilayah telaah pendidikan Islam sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan menjadi sangat luas. Semua benda bermateri yang mengalami atau melakukan perubahan kearah yang lebih baik dalam pandangan manusia, - dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Dari sini persoalan yang muncul adalah konsep “lebih baik” dalam pandangan manusia satu sama lain tidak sama bahkan tidak jarang berseberangan.
Oleh sebab itu, konsep ‘lebih baik’ itu dibangun berdasarkan prinsip; “ untuk mencapai ketertiban ataupun keteraturan semesta itu memerlukan persamaan persepsi dan tujuan yang jelas. Dengan adanya persamaan persepsi dan tujuan yang jelas, maka dapat dirumuskan konsep pendidikan menjadi ‘lebih baik’ secara lebih signifikan. Konsep ‘lebih baik’ dalam pandangan Islam bersumber dari nilai dan norma yang terkadung dari sumber ajarannya yaitu: Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad.
Berangkat dari alasan subjektifitas, bahwa tidak semua manusia beragama, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan ajaran Islam untuk menjadi ‘lebih baik’, maka konsep pendidikan Islam mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan umat Islam. Oleh sebab itu, konsep lembaga pendidikan Islam menjadi lebih konkrit, jelas dan tegas, - yaitu menunjuk pada lembaga-lembaga seperti : sekolah Islam, madrasah, pesantren, majlis ta’lim, umat Islam, muslim-muslimah dan seterusnya.
D. Wujud Konkrit Epistemologi Pendidikan Islam.
Persoalan mendasar yang ingin disampaikan pada sub bab ini adalah apa dan bagaimana pengaruh pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam, kemudian bagaimana implementasi konsep konkrit dari pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam tersebut dalam merumuskan konsep ideal pendidikan Islam.
Untuk itu, bahasan wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam sebagai anak cabang pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam dibedakan pula dalam 3 (tiga) kelompok sub tema pokok. Tiga kelompok sub tema tersebut adalah; 1. pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam, 2. wilayah kerja ilmu pendidikan Islam, dan 3. konseptualisasi lembaga pendidikan Islam.
Sub tema pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Sub tema wilayah kerja ilmu pendidikan Islam sebagai anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar. Sedangkan konseptualisasi lembaga pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan.
Ketiga sub tema tersebut akan disajikan pada pembahasan berikut ini.
1. Pemetaan Studi Ilmu Dalam Proses Pendidikan Islam.
Dalam sejarah filsafat kuno, orang pertama peletak dasar objek belajar manusia yang memandang kesatuan realitas semesta “ada” terbagi dalam dua bentuk adalah Plato. Dua dunia realitas itu adalah “dunia jasmani” dan “dunia ide”. Dunia jasmani diakui sebagai dunia yang selalu dalam bentuk perubahan, sebaliknya dunia ide tidak pernah ada perubahan.
Berdasarkan pendekatan substansial, dunia jasmani kemudian kita kenal sebagai realitas fisik yang terdiri dari empat kelompok realitas yaitu: pelikan, tumbuhan, hewan dan manusia. Sementara dunia ide yang kita kenal perannya sebagai meta-fisik atau realitas kenyataan objek yang berada “diluar” objek fisik oleh Noeng Muhadjir dipetakan dalam tiga kelompok ilmu, yaitu: realitas alam yang disebut meta-science, realitas manusia yang disebut meta-ideologi dan realitas Tuhan yang disebut meta-fisik.
Dasar pemetaan objek fisik dan meta-objek itulah sesungguhnya inti dari seluruh pemetaan susunan objek ilmu pengetahuan. Setelah itu, seluruh objek ilmu pengetahuan tidak lain adalah pengembangan lebih detail dan rinci realitas-realitas objek partikular ilmu di dalamnya. Satu-sama lain saling terikat dan berhubungan.
Sedangkan berdasarkan pendekatan struktural, ilmu pengetahuan dibedakan dalam dua kelompok yaitu : ilmu empiri dan ilmu murni. Pemetaan ilmu kedua lebih menekankan pada pendekatan cara dan atau proses yang digunakan dalam pembentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dua pendekataan dalam pemetaan studi ilmu inilah yang menjadi pedoman dasar pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam.
a. Pemetaan Studi Ilmu Berdasarkan Pendekatan Aspek Substansi.
Berdasarkan pendekatan substansinya, ilmu dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu meta science, meta ideologi dan meta fisik.
Meta science karena memfokuskan diri pada penelitian tentang alam semesta yang bersifat benda bermateri dan bereksistensi dalam ruang dan waktu. Sifat kebendaan bermateri menjadi unsur utama, dan ini dikenal dengan istilah kosmologi. Kosmologi (ilmu pengetahuan alam) adalah ilmu yang membicarakan realitas jagat raya, yakni keseluruhan sistem alam semesta. Kosmologi terbatas pada realitas yang lebih nyata, yakni alam fisik yang sifatnya material. Istilah “alam” digunakan untuk menunjuk lingkungan objek-objek yang terdapat dalam ruang dan waktu. Dalam arti yang sangat luas “alam” ialah hal-hal yang ada di sekitar kita yang dapat kita cerap secara inderawi.
Objek kosmologi berwujud benda-benda yang bereksistensi. Benda yang mampu di kenal melalui indera manusia, memiliki bentuk dan materi (wahana wujud). Ia tidak memiliki jiwa dan inteleki seperti halnya makhluk hidup. Tak mampu berpikir dan tak memiliki kesadaran. Wujudnya tetap selama tidak dipengaruhi oleh unsur atau energi pengerak lain, bagi makluk hidup penggerak tersebut dikenal dengan ruh/jiwa. Objek material ksomologi adalah semesta wujud; pelikan, tumbuhan, hewan dan manusia. Objek tersebut dipelajari dari satu sisi parsial yaitu perwujudan eksistensi kebendaannya, baik dalam gerak dan diamnya.
Berikutnya meta ideologi. Meta ideologi adalah ilmu yang mempelajari realitas manusia dengan segala atribut yang melekat pada dirinya, secara khusus yang membedakan realitas kelompok manusia dengan realitas kelompok lain. Kelompok ilmu ini juga disebut dengan kelompok ilmu antropologi.
Antropologi terdiri dari dua istilah yaitu Antropo yang berarti “manusia” dan logos yang berarti “ilmu pengetahuan tentang”. Antropologi berarti ilmu tentang manusia. Antropologi menunjuk pada studi-studi yang memberlakukan manusia sebagai suatu keseluruhan. Berupaya menghindari atau mengatasi pendekatan-pendekatan yang memandang manusia tidak lebih dari sebuah objek ilmu. Contoh sikap seperti ini, misalnya, dari gerakan-gerakan Fenomenologi, Eksistensialisme dan Personalisme.
Manusia tidak hanya objek tetapi juga subjek ilmu. Manusia dipelajari dari fisik dan metafisika, pikiran dan perasaan. Dunia sebagaimana ilmu memandangnnya dan ilmu ada sebagaimana manusia menciptakannya. Yang ontologi, - tanpa adanya manusia, tidak ada ilmu, karena ilmu adalah bentukan manusia. Ilmu pengetahuan tentang manusia menjadi lebih rumit dan kompleks karena ia mempelajari objek dimana dirinya adalah bagian dari objek itu sendiri.
Di sini juga muncul konsep ilmu pengetahuan, kebersamaan hidup manusia dan personaliti yang pada akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu filsafat, sosiologi dan psikologi. Segala cabang ilmu pengetahuan yang terkait dengan pemikiran, perilaku kemasyarakatan dan kepribadian manusia dipelajari dalam cabang ilmu tersebut.
Terakhir, meta fisik. Meta fisik menurut pengertiannya sesuatu yang berada “di luar” yang fisik. Pengetahuan semacam ini bersifat abstrak, gaib, mistis dan cenderung tidak rasional. Meta fisik adalah pengetahuan yang berusaha mencari tahu realitas yang ada di luar yang fisik dan tak terjangkau indera jasmaniah manusia.
Kelompok ilmu ini dalam beberapa versi sering disebut pula dengan stilah pengetahuan transenden. Transenden digunakan untuk menyatakan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Pengetahuan transenden berada diluar jangkauan akal. Dalam struktur ilmu pengetahuan, pengetahuan transenden tidak termasuk di dalamnya. Namun perlu dibedakan, ada pengetahuan yang “kelihatannya” transenden tetapi tidak transenden. Seperti pengetahuan yang berusaha menjelaskan “hal-hal terakhir, kebaikan Tuhan atau hidup mati manusia” sebagai refleksi atas objek pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah empiris.
Oleh sebab itu transenden dibedakan menjadi dua, transenden relatif dan transenden absolut. Transenden relatif merupakan bidang kajian filsafat. Transenden absolut adalah refleksi manusia atas sesuatu yang tak terjangkau pengetahuan dan akal ilmiah biasa, oleh sebab itu ia tidak bisa direpresentasikan atau dapat dikatakan “tidak ada”.
Transenden absolut tidak seperti angka nol (0), sesuatu yang dikatakan ‘tidak ada’ tetapi dapat diungkapkan. Karena, sesuatu yang dapat dikatakan “tidak ada”, berarti sesuatu itu ada. Ilmuwan Arab berhasil menemukan angka 0 (nol) sebagai representasi sesuatu yang tidak ada. Angka nol (0) bukan transenden absolut meskipun artinya “kosong / tidak ada”. Transenden absolut benar-benar sesuatu yang tak terjangkau akal pikiran manusia. Perlu dipertanyakan Tuhan itu transenden absolut atau relatif.
b. Pemetaan Studi Ilmu Berdasarkan Pendekatan Aspek Struktur
Sistem ilmu pengetahuan menurut strukturnya dibedakan dalam dua kelompok, ilmu empiri dan ilmu murni.
Pertama, ilmu empiris. Empiris dalam bahasa latin adalah experientia yang berarti pengalaman. Istilah ilmu empiris berarti ilmu yang terkait dan berhubungan erat dengan pengalaman manusia. Empirisme beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi atau penginderaan.
Pengalaman identik dengan pengetahuan inderawi. Ilmu pengetahuan empiris ialah ilmu yang terikat dengan objek tertentu yang terdapat dalam pengalaman seperti ilmu alam, sejarah dan kesusasteraan. Dalam penjelasannya, Sutari Imam Barnadib mengatakan bahwa ilmu pengetahuan empiris terdiri dari dua bentuk yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan rokhani.
Pengalaman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal melainkan melibatkan akal sebagai bagian integral dari pengalaman. Ilmu empiri memandang bahwa pada hakekatnya, ilmu adalah hasil bentukan manusia atas pengalaman hidupnya. Oleh sebab itu “hanya ahli ilmu yang bertanggung jawab” atas terbentuknya suatu ilmu pengetahuan. Pengalaman manusia dipandang sebagai satu-satunya unsur penyebab terbentuknya ilmu.
Kedua, ilmu murni. Ilmu murni atau ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang mendahului pengalaman atau bebas pengalaman. Dunia ide dalam pandangan Plato adalah sebagai wujud kebendaan ilmu murni. Dunia yang terdiri dari susunan konsep, ide atau pemikiran manusia tentang realitas objek kenyataan, oleh sebab itu ia bersifat abstrak atau kita kenal dengan istilah metafisika. Objek telaah metafisika tak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ia membentang seluas ‘yang ada’ yang universal. Menampilkan pemikiran semesta universal meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Ilmu murni memasuki suatu kancah diskusi yang tidak dapat dikendalikan bahkan diraihpun tidak dalam bentuk wujud eksistensi kenyataan. Ilmu murni adalah ilmu yang selamanya berada diluar jangkauan indera jasmaniah manusia. Mungkin satu-satunya unsur yang membedakan ilmu murni dengan ilmu empiri adalah etika. Etika tidak berpengaruh pada ilmu murni itu sendiri.
Ilmu murni bersifat objektif, apa adanya dan bebas nilai (baca etika). Etika muncul setelah ilmu selesai terbentuk. Etika adalah refleksi manusia atas peranan atau pengaruh suatu ilmu terhadap diri manusia. Wajar, bila orang mengatakan etika itu sangat tergantung pada manusia yang menciptakan tata nilai atau kaidah tertentu dalam kelompok masyarakat belum tentu berlaku sama bagi tata nilai atau kaidah dalam kelompok lain. Kritik etika mendasar yang muncul adalah bahwa sesungguhnya etika berkaitan dengan kepentingan manusia, oleh sebab itu seharusnya tidak ada ilmu etika bersifat absolut ataupun mutlaq. Semua dikembalikan pada penilaian benar-salah, baik-buruk atau tepat-tidak tepat menurut subjektifitas manusia.
Ilmu empiri karena terikat dan berhubungan erat dengan pengalaman inderawi manusia, maka objek kajiannya adalah realitas kenyataan yang dapat dihayati (bereksistensi). Dalam pandangan ilmu kajiannya cenderung pada aspek subtansi “bereksistensi”, alasan ini berdasarkan besarnya sumbangan teori yang terkandung atau yang diberikan dalam studi ilmu ini adalah aspek isi atau substansi material suatu objek ilmu.
Ilmu empiri sangat tergantung pada aspek penilaian dan ukuran subjektifitas manusia sebagai pengamat. Terlebih bila dikaitkan dengan unsur keterbatasan indera manusia, ilmu empiri menjadi semakin jauh dari sifat objektifitas ilmiah.
Sebaliknya ilmu murni. Karena ilmu murni dikategorikan sebagai ilmu yang bebas dari pengalaman atau lebih tepat dikatakan masukan pengalaman inderawi lebih kecil dibandingkan aspek berpikir dalam ‘ber-ilmu’ itu sendiri, maka kecenderungan ilmu murni lebih bersifat objektif. Manusia sejauh mungkin diletakkan ‘diluar pagar’ ilmu.
Di samping itu, perbedaan ilmu empiri dengan ilmu murni adalah kecenderungan aspek kajiannya. Bila ilmu empiri lebih pada kajian materi substansi objek, maka ilmu murni lebih pada aspek instrumen / struktur / bentuk suatu ilmu. Ilmu murni adalah ilmu yang dibentuk dan diciptakan diatas teori-teori/konsep ilmu yang telah ada. Artinya bukan bersumber langsung pada kenyataan empiris yang diamati itu sendiri.
Proses berilmu juga dapat digunakan sebagai alternatif lain menjelaskan hubungan ilmu empiri dengan ilmu murni. Ilmu menurut proses pembentukannya terjadi dalam diri manusia. Manusia memiliki sifat dasar ingin tahu, maka ia berusaha mengamati dan meneliti objek yang ingin diketahuinya. Objek tersebut sudah barang tentu berasal dari tangkapan indera manusia. Indera manusia hanya dapat menerima kenyataan yang berwujud/bereksistensi yang tidak lain adalah kenyataan empiris. Hasil dari pengamatan dan penelitian ini kemudian disebut pengetahuan. Pengetahuan yang sistematis dengan dasar-dasar kaidah tertentu kemudian disebut ilmu. Ilmu yang bersumber dari objek bereksistensi yang diterima indera manusia ini kemudian disebut ilmu empiri. Bila ditinjau dari sumbernya, ilmu empiri bersifat langsung dari objek realitas kenyataan.
Kumpulan-kumpulan dari teori / konsep ilmu empiri ini dalam jumlah besar menghasilkan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan empiri yang beragam. Manusia dengan keingintahuan yang besar dan kekuatan berpikirnya berusaha mencari ‘persamaan, kemiripan dan perbedaan’ terdalam dalam beragam macam bentuk-bentuk ilmu empiri tersebut. Maka dibuatlah beberapa pengelompokkan berdasarkan karakter, sifat atau ciri khusus objek ilmu empiri yang memiliki persamaan, kemiripan atau perbedaan untuk mendefinisikan secara lebih rinci. Setelah persamaan, kemiripan atau perbedaan satu kelompok ilmu empiri dengan kelompok ilmu empiri lain didapat, kemudian dibentuk dan diciptakanlah suatu teori/konsep ilmu baru yang disebut ilmu murni.
Bila dilihat berdasarkan sumber ilmunya, ilmu murni berasal dari teori-teori atau konsep-konsep ilmu empiri dan tidak langsung berasal dari objek material bereksistensi yang diamati ilmu empiri. Ilmu murni benar merupakan ciptaan atau bentukan teori / konsep yang ada di dalam pikiran manusia. Oleh sebab itu ia dikatakan bebas dari pengalaman. Ilmu murni adalah ilmu yang dibentuk dari sekumpulan konsep ilmu-ilmu empiris.
Pada akhirnya kesimpulan singkat yang kita dapat dalam kajian ini mengarah pada bentuk struktur hierarki ilmu sebagai kesatuan ilmu dalam Islam yaitu konkreta, abstrakta dan Illata. Ilmu-ilmu empiri cenderung berada dalam wilayah konsep konkreta, dan ilmu-ilmu murni berada dalam wilayah Illata. Sementara seluruh ilmu yang berada diantara ilmu empiri dan ilmu murni masuk dalam wilayah abstrakta.
2. Wilayah Kerja Ilmu Pendidikan Islam.
Seperti telah disebutkan, pendidikan adalah suatu proses. Sebagai suatu proses, ilmu pendidikan tentu mempunyai objek yang menjadi pusat telaahnya, demikian pula dengan pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan pada hakekatnya khusus diperuntukkan bagi manusia. Pelikan, tumbuhan, dan hewan dalam batas-batas tertentu tidak bisa dikatakan mendapatkan pendidikan. Meskipun pada fakta-fakta tertentu kita sering melihat perilaku hewan dapat diarahkan sesuai dengan kehendak yang dinginkan manusia, contohnya hewan-hewan dalam sirkus, tetapi konsep pendidikan yang dihadirkan tidak sesempurna konsep pendidikan yang diterapkan pada manusia.
Hewan benar dapat berubah menjadi lebih baik dan ideal dalam pandangan manusia, tetapi tidak bagi dirinya sendiri. Bentuk yang ideal dan baik bagi hewan seharusnya adalah sesuai dengan kodrat dan ketetapan hukum alam yang berlaku dalam dirinya. Pendidikan yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan tidak lebih dari pemaksaan kehendak ras manusia terhadap kelompok hewan. Manusia dengan kemampuan akal pikiran yang dimiliki mampu menciptakan perubahan di luar dirinya untuk tunduk dan patuh padanya. Akibatnya, kedudukan manusia seringkali dipandang lebih tinggi dari makhluk lain.
Di samping itu, pendidikan yang dilakukan manusia pada hewan tidak akan sampai pada taraf ‘berpikir’, ‘kesadaran’ apalagi sampai pada sikap ‘kebijaksanaan’. Kemampuan yang dapat dicapai hewan dalam suatu proses pendidikan khusus, umumnya bersifat pembiasaan dengan berbagai macam cara seperti belas kasih, pengkondisian ataupun hukuman fisik. Hal ini menjadi ketetapan ontologis yang sulit untuk dirubah. Sedangkan ilmu pengetahuan terbentuk dari ketetapan yang ontologis tersebut.
Pendidikan Islam secara konseptual diciptakan, diolah dan digunakan khusus bagi manusia bukan untuk kelompok pelikan, tumbuhan ataupun hewan. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, ilmu pendidikan Islam sebagai salah satu disiplin ilmu secara tegas dan jelas menempatkan manusia sebagai sentral objek studinya. Penentuan objek studi ilmu penting untuk menentukan wilayah kerja ilmu pendidikan Islam.
Telaah wilayah kerja ilmu pendidikan Islam pada prinsipnya memberikan gambaran pokok tentang unsur-unsur dalam diri objek yang menjadi pusat studi pembahasannya. Unsur-unsur dalam diri objek yang menjadi wilayah kerja ilmu pendidikan Islam tersebut adalah :
a. Wilayah Kerja Unsur Motorik (Psikomotor)
Istilah motorik umumnya lebih dikenal dengan istilah psikomotor, tetapi dalam penelitian ini digunakan istilah motorik dengan alasan; istilah psikomotor mengandung makna menyimpang dari yang dimaksud. Psikomotor mengandung arti suatu gaib (jiwa) penggerak jasmaniah atau suatu dorongan metafisik munculnya gerakan-gerakan jasmaniah. Jiwa penggerak dan dorongan metafisik bersifat abstrak, dan memiliki kedudukan lebih tinggi dari motorik bahkan afeksi maupun kognisi.
Sedangkan yang dimaksud dengan motorik disini adalah hal atau keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot juga gerakan-gerakannya. Motorik disini lebih terarah pada meningkatkan atau menghasilkan stimulasi/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik dalam belajar. Motorik terkait erat dengan kemampuan dria manusia dalam belajar. Motorik lebih menekankan pada ketrampilan gerak fisik, seperti kegiatan belajar yang melibatkan pengalaman (empiris).
Dalam dataran praktis pendidikan, motorik terbagi dalam 7 tingkat menurut tingkatan kesulitan yang terkandung. Tahap pertama, tahap yang paling sederhana disebut persepsi, tahap ini berkenaan dengan penggunaan organ indra untuk menangkap isyarat yang membimbing aktifitas gerak. Tahap kedua adalah kesiapan yaitu kesiapan untuk melakukan tindakan tertentu.
Berikutnya adalah gerakan terbimbing sebagai tahap awal dari mempelajari ketrampilan yang kompleks. Tahap gerakan terbiasa berkenaan dengan kinerja dimana gerakan subjek belajar sudah menjadi suatu kebiasaan. Gerakan kompleks menunjukan gerakan yang sangat trampil dengan pola-pola gerakan yang sangat kompleks. Gerakan pola penyesuaian berkenaan dengan ketrampilan yang dikembangkan dengan baik sehingga seseorang dapat memodifikasi pola-pola gerakan untuk penyesuaian terhadap tuntutan tertentu atau menyesuaikan situasi tertentu. Tahap terakhir adalah kreatifitas yang menunjukan kepada penciptaan pola-pola gerakan baru untuk menyesuaikan situasi tertentu atau problem khusus.
b. Wilayah Kerja Unsur Emosional
Tingkatan tertinggi berikutnya adalah afeksi. Afeksi berasal dari bahasa latin affectio yang berarti “keadaan tersentuh, tergerak”. Afeksi umumnya disertai gerakan-gerakan ekspresif, dan sentakan serta reaksi-reaksi vokal (jeritan, teriakan). Sebaliknya, terkadang afeksi diikuti mati rasa. Ekspresi lahiriah dari afeksi dan kedalamannya sebagian besar tergantung pada sifat-sifat individual, khususnya pada kehendak-kehendak dan segi-segi tipologis dari kegiatan syaraf yang lebih tinggi. Afeksi ikut mencampuri perjalanan proses intelektual dan melemahkan kontrol atas perilaku. Afeksi hanya dapat diatasi oleh kekuatan kemauan yang besar.
Afeksi lebih mengarah pada perbuatan yang dilakukan atas dorongan perasaan dan emosi individu, dalam proses pendidikan afeksi sering diterjemahkan sebagai minat, sikap dan penghargaan dalam belajar.
Bloom’s membagi afeksi dalam dalam lima tingkat, sama seperti dalam ranah kognitif tersusun bertingkat dari yang sederhana kearah yang lebih sulit. lima tahap tersebut adalah dari yang kurang sulit yaitu penerimaan, partisipasi, penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Penerimaan menunjuk pada kesediaan terdidik mengikuti fenomena atau stimulus tertentu. Partisipasi menunjukkan pada peran serta secara aktif peserta didik. Penentuan sikap berhubungan dengan nilai yang melekat pada terdidik (subjek) terhadap suatu objek, atau fenomena, atau tingkah laku. Organisasi ialah penggabungan beberapa nilai yang berbeda-beda, menyelesaikan konfliks diantara nilai-nilai tersebut, serta membangun sistem nilai yang konsisten secara internal. Pembentukan pola menunjukkan kemampuan mengendalikan perilaku dalam waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakter gaya hidup.
Pengaruh afeksi dalam proses subjek belajar terletak pada pembentukan kepribadian psikologis individu. Jika dikatakan afeksi mampu mencampuri perjalanan proses intelektual, berarti afeksi juga mampu mengarahkan fungsional pembentukan ilmu pengetahuan terhadap individu. Aspek kognisi menjadi sangat tergantung pada arah perkembangan afeksi. Secara sistemik, afeksi mendahului kognisi dalam proses pembentukan pengetahuan manusia. Meskipun demikian, penyempurnaan aspek afeksi dalam diri manusia tetap berada dibawah kontrol “berpikir” manusia yang dalam hal ini disebut aspek kognitif.
c. Wilayah Kerja Unsur Kognitif
Kognisi dalam bahasa latin cognitio (pengenalan). Istilah ini mengacu baik kepada perbuatan atau proses mengetahui maupun pengetahuan itu sendiri. Proses perkembangan kognisi manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi yang diserap oleh indera-indera lain.
Umumnya, kognisi dipandang cenderung pada transfer atau masuknya ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri subjek belajar, namun sesungguhnya tidak demikian. Kognitif menekankan pada tujuan/kemampuan intelektual, seperti pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan berpikir. Berpikir itu sendiri merupakan suatu proses pembentukan pemahaman, pengetahuan sekaligus pencarian solusi segala sesuatu yang dihadapi manusia. Dalam hal ini, kognisi berperan sebagai “sentral kontrol” atas perilaku motorik yang diakibatkan atau hasil pengaruh afeksi dalam diri manusia.
Oleh sebab itu, kedudukannya lebih tinggi dari dua tahap pertama. Dalam sistem pembelajaran, aspek kognisi seringkali dimaknai secara terbatas seperti yang tampak dalam taxonomi Blom’s. Ranah kognitif dipandang memiliki struktur aspek bertingkat dari sederhana (kurang sulit) meningkat kearah yang lebih sulit. Pada tingkat pertama adalah pengetahuan, meningkat pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan paling sulit pada ranah kognitif adalah evaluasi.
Tingkat pengetahuan didefinisikan sebagai suatu ingatan terhadap materi yang dipelajari. Pemahaman adalah kemampuan menangkap makna suatu bahan ajar. Penerapan menunjukkan pada kemampuan menggunakan bahan ajar yang telah dipelajari pada situasi yang baru dan konkret. Analisis didefinisikan sebagai kemampuan memilah-milah suatu bahan ajar pada bagian-bagian komponennya sehingga struktur bahan tersebut dapat dipahami. Sintesis menunjuk pada kemampuan menghimpun atau menyatukan bagian-bagian atau elemen untuk membentuk pola baru. Evaluasi merujuk pada kemampuan untuk memutuskan atau menentukan nilai suatu materi (Pernyataan, novel, puisi, laporan penelitian) untuk suatu tujuan yang telah ditentukan.
Meskipun demikian, dalam perspektif pemahaman yang lebih luas, aspek kognisi tidak hanya terbatas pada tahapan/tingkatan seperti yang disebutkan dalam taxonomi Blom’s, tetapi lebih kompleks dan luas. Kognisi merupakan suatu unsur yang digunakan untuk menyebutkan kawasan kemampuan manusia dalam menggunakan akal pikiran, dan itu tidak terbatas pada bentuk-bentuk hapalan, pengetahuan atau pemahaman, tetapi lebih dari itu, tahapan kemampuan menggunakan akal pikir manusia dalam memahami semesta diri, alam dan segala sesuatu yang berada diantaranya.
Dari sini muncul apa yang disebut kesadaran diri. Kesadaran diri adalah awal pemahaman totalitas semesta yang pada puncaknya sampai pada satu objek yang tak mungkin tersentuh yang disebut Tuhan. Tanpa melalui tahapan kognisi, pemahaman tersebut mustahil dilakukan, kecuali sebatas keyakinan yang dibentuk dari alam dan lingkungannya. Keyakinan “ada”-nya Tuhan yang tanpa didasari maksimalisasi akal, pikir dan budi manusia seperti ini, hanya akan melahirkan bentuk-bentuk aliran sesat, fanatisme, dan skeptisisme.
d. Wilayah Kerja Unsur Spiritual
Spiritual mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang non material / imaterial. Dalam konteks ilmu pengetahuan, spiritual lebih cenderung pada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran. Keindahan, kebaikan, kebenaran, belas-kasihan, kejujuran dan kesucian merupakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Spiritual berakar pada kemampuan hati nurani dan “kata hati”. Kombinasi antara afeksi dan spiritual dipandang sebagai unsur pokok yang mengantarkan seseorang mencapai kesuksesan hidup sejati. Menurut Jalaluddin Rakhmat, spiritual inilah yang menghubungkan rasio dan emosi, pikiran dan tubuh.
Kecerdasan spiritual menjadikan manusia ‘luwes’, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif. Kecerdasan spiritual membawa seseorang ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, ekslusif, fanatik, atau prasangka. Demikian pula, seseorang yang berkecerdasan spiritual tinggi dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama sama sekali.
Manusia menjadi sadar diri, lebih arif dan bijaksana dalam memandang segala persoalan. Mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan fakta kuantitatif, kualitatif dan gejala fenomena yang ada, tetapi memandang segala permasalahan sebagai satu kesatuan korelasi yang universum.
Tingkat tertinggi paling abstrak dan teoritis dalam konsep metodologi pendidikan Islam adalah spiritual. Spiritual memiliki banyak persamaan dengan afeksi karena melibatkan pengalaman, pemahaman, dan perasaan dalam diri individu. Perbedaannya adalah afeksi lebih pada penguasaan perasaan dan emosi yang cenderung pada unsur naluri biologis manusia dan sedikit mempengaruhi pembentukan kemampuan nalar berpikir.
Spiritual lebih dari itu. Ia tidak hanya berfungsi mempengaruhi tetapi “menentukan arah” pembentukan nalar berpikir dan “pembentukan kepribadian manusiawi”. Spiritual adalah penghubung dari semua kesenjangan bipolaritas kutub berlawanan dalam diri manusia seperti; material dan imaterial, keteraturan dan kekacauan, batas masa lalu dan masa datang, makna dan eksistensi, individu dan sosial, Tuhan dan manusia.
Kesucian hati nurani dan “kata hati” yang terproses melalui kemampuan berpikir membuat manusia menjadi “manusiawi”. Akal dan budi yang membedakan manusia dengan makhluk lain berfungsi secara sempurna. Metode pendidikan spiritual sulit untuk diaplikasikan tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Di sinilah wilayah/bidang keilmuan Agama khususnya agama Islam dikembangkan. Yaitu mengembangkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam sejarah hal ini telah dibuktikan bangsa Arab dengan penemuan angka nol (0)-nya.
3. Konseptualisasi Lembaga Pendidikan Islam.
Seperti telah disebutkan, lembaga pendidikan Islam adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang bertujuan melakukan perubahan kearah yang ‘lebih baik’. Konsep lebih baik dibangun dan dikembangkan dari dasar persamaan persepsi dan tujuan. Sedangkan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga menunjuk pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukkan bagi umat Islam.
Dua unsur yang harus dijelaskan pada sub bab ini adalah apa dan bagaimana objek benda yang disebut dengan pendidikan Islam, kemudian bagaimana visi dan misi yang dibawa oleh lembaga pendidikan tersebut. Objek benda mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, sedangkan visi dan misi tidak lain konkritisasi konsep mencapai tujuan yang “lebih baik” dalam proses pendidikan Islam.
Objek benda dari pendidikan Islam mengacu pada semua benda bermateri yang disadari sebagai bagian atau milik umat Islam. Oleh sebab itu, penjelasan ini mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan seperti: sekolah Islam/madrasah, pesantren, TPA, Majlis Ta’lim dan seterusnya.
Persamaan persepsi dan tujuan konsep “lebih baik” yang dihasilkan umat Islam bersumber dari tata nilai dan norma ajaran Al Qur’an, hadits dan Ijtihad. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan, ciri khusus bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dengan berpedoman dan berpegang teguh pada sumber tata nilai dan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an, hadits dan Ijtihad terlepas dari kesemestaan tritunggal sumber tata nilai dan ajaran Islam itu sendiri.
Berpegang pada prinsip tersebut, konsep visi dan misi lembaga pendidikan Islam dapat dirumuskan dengan bersumber dari Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Visi berhubungan dengan rumusan konsep tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu yang panjang, idealis dan bersifat filosofis. Sedangkan misi berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu relatif pendek dan dengan standar tingkat keberhasilan tertentu. Konsep misi suatu lembaga pendidikan Islam umumnya dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan praktis dan atau fungsional.
Inti bahasan dari dua unsur konseptualisasi pendidikan Islam tersebut akan sedikit dibicarakan dalam sub tema berikut ini :
a. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga penyelenggara proses kependidikan yang dikelola, dilaksanakan dan atau diperuntukkan bagi umat Islam. Bentuk-bentuk lembaga penyelenggara pendidikan yang termasuk dalam kategori tersebut antara lain :
1) Madrasah atau Sekolah Islam
Madrasah adalah lembaga penyelenggara kegiatan belajar mengajar secara terpadu dan sistematis. Prosedur pendidikannya diatur sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal pelajaran yang berpedoman pada kurikulum, silabus dan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran), ada jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang sengaja dibentuk untuk memfasilitasi proses belajar mengajar bagi umat Islam bersifat terencana, tersusun dan dioperasikan secara lebih tertib. Madrasah menurut pengertian kebahasaan berarti sekolah atau perguruan, dengan kata lain, - madrasah dan sekolah tidak berbeda. Di tanah Arab sendiri madrasah di tujukan untuk semua sekolah secara umum.
Bagi sebagian orang pengertian sekolah sering dibedakan dengan madrasah, oleh sebab itu mereka cenderung menambahkan istilah ‘Islam’ menjadi ‘sekolah Islam’ sebagai otentikasi kepemilikan. Terlepas dari persoalan tersebut, secara ontologi istilah yang digunakan lembaga penyelenggara pendidikan Islam sejenis sekolah adalah madrasah dan sekolah Islam.
2) Pesantren
Pesantren menurut Prof.John berasal dari bahasa Tamil ,- santri yang berarti guru mengaji. C.C.Berg juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata Shastri (bahasa India) yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra, yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Berdasarkan konsep tersebut dapatlah dipahami bahwa pesantren berasal dari India dan dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sekarang, konsep pesantren dimaknai sebagai asrama dan tempat murid-murid mengaji, khususnya dengan tujuan meningkatkan kekuatan keagamaan (religious power) Islam.
Sebagai suatu lembaga pendidikan jelas sekali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berada di luar sistem persekolahan (pendidikan di luar sekolah). Ia tidak terikat oleh sistem kurikulum, perjenjangan, klas-klas atau jadwal pembelajaran terencana secara ketat. Pesantren merupakan suatu sistem pendidikan di luar sekolah yang berkembang di dalam masyarakat. Oleh sebab itu dalam banyak hal lembaga pendidikan ini bersifat merakyat.
Pesantren dapat dianggap sebagai lembaga yang khas Indonesia (indegeneous). Sekarang pesantren telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut hasil catatan departemen Agama pada tahun 1982 di Indonesia terdapat 4.980 pesantren dengan jumlah santri 735.417 orang.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang unik. Ia memiliki cirri-ciri dan karakteristik yang membedakan lembaga pendidikan ini dengan lembaga pendidikan lain. Beberapa ciri dan karakteristik khusus yang dimiliki pesantren antara lain adalah :
Pondok
Pondok berasal dari kata Arab fundug yang berarti hotel atau asrama. Pondok berfungsi sebagai asrama bagi santri. Pondok merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang dikebanyakan wilayah Islam negara-negara lain.
Di Jawa besarnya pondok tergantung jumlah santri. Pesantren yang besar memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang telah memiliki gedung bertingkat tiga dikelilingi tembok; semua ini biasanya dibiayai oleh para santri dan sumbangan masyarakat.
Pesantren umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustad (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior. Pondok tempat tinggal santri wanita biasanya dipisahkan dengan pondok untuk santri laki-laki, selain dipisahkan dengan rumah kyai dan keluarganya, juga oleh masjid dan ruang-ruang madrasah. Keadaan kamar-kamarnya tidak jauh berbeda dengan pondok laki-laki.
Masjid
Suatu pesantren mutlak mesti memiliki masjid, sebab di situlah pada mulanya dilaksanakan proses belajar mengajar, komunikasi antara kyai dan santri. Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang Jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Masjid merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam.
Santri
Santri dalam penggunaannya di lingkungan pesantren adalah seorang alim (berilmu) yang hanya dapat disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam suatu pesantren. Santri terdiri dari dua kelompok:
1. Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2. Santri Kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (glajo) dari rumahnya sendiri.
Kyai
Menurut asal-usulnya, kata kyai dalam bahasan jawa dipakai untuk tiga jenis gelar kehormatan yang saling berbeda. Pertama, kyai sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, “kyai Garuda Kencana” di pakai untuk sebutan kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta, kyai sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, dan ketiga, kyai sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik Islam kepada para santrinya.
Sedangkan, penggunaan istilah kyai di sini merujuk pada orang yang memimpin sebuah pesantren.
Metode Pengajaran Kitab-Kitab
Selain dari beberapa unsur tersebut di atas, pesantren juga memiliki ciri khas yang unik lainnya yaitu metode pengajaran kitab dengan cara wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan. Wetonan atau bandongan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan.
Sedangkan sorogan adalah metode pengajaran dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Metode ini adalah metode yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan di pesantren. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid.
Sistem sorogan telah terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dan menurut peneliti, kesemestaan metode sorogan juga sangat efektif diterapkan dalam sistem pendidikan modern, tentunya juga tidak terbatas pada bahasa Arab atau bahasa-bahasa lain tetapi juga kitab-kitab keilmuan lain seperti sains dan teknologi.
Metode hapalan adalah metode yang paling umum dalam pesantren, terutama untuk hafalan Al Qur’an dan hadits. Jumlah kuantitas hafalan surat atau ayat menjadi penentu tingkat keilmuan santri.
3) Taman Pengajian Al Qur’an (TPQ)
Lembaga pendidikan Islam berikutnya adalah Taman Pengajian Al Qur’an (TPQ). TPQ adalah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar di luar sekolah. Pesertanya secara umum memang ditujukan pada anak-anak usia taman kanak kanak (TK), tetapi pada prakteknya, sering ditemui anak-anak usia SD atau SLTP bahkan terkadang SLTA yang ingin lancar membaca Al Qur’an. Jangkauannya sangat luas dari kota-kota besar sampai ke pelosok desa. Hampir dapat dipastikan di mana ada masjid atau langgar disana ada TPQ.
Sifat pendidikannya pun lebih populis, demokratis dan egaliter. Siapa saja bisa menjadi ustadz atau ustadzah asalkan ada kemauan, penguasaai materi yang memadai (kadang-kadang seadanya), di bekali (sedikit) kesabaran dan ketrampilan dalam mengajar anak.
TPQ adalah lembaga pendidikan di luar sekolah yang berfungsi sebagai pengajaran dasar-dasar pelaksaan ibadah dalam agama Islam, oleh sebab itu bersifat alamiah. Sangat perlu untuk menghindari bentuk-bentuk pemaksaan dalam pembelajarannya. Karena menjauhkan anak-anak dari sifat kekanak-kanakannya, membuat anak terasing dalam lingkungannya. Dan ini adalah konsep mendasar pengalaman sebagai proses pembelajaran dalam Islam.
Materi yang diajarkan dalam TPQ adalah membaca Al Qur’an, doa-doa sehari-hari, hafalan surat pendek, praktek wudlu dan tata cara salat yang baik. Metode pengajaran yang digunakan sering kita kenal dengan istilah “BCM” atau singkatan dari bermain, cerita dan menyanyi.
4) Majlis Ta’lim
Majlis ta’lim adalah salah satu sarana pendidikan dalam Islam. Majlis ta’lim lebih kita kenal dengan istilah pengajian-pengajian atau sering pula berbentuk halaqoh. Umumnya berisi ceramah atau khotbah-khotbah keagamaan Islam. Tetapi dalam perkembangannya, majlis ta’lim sering juga digunakan sebagai wahana diskusi ilmiah, sosiologis, politik, hukum dan seterusnya. Ini sangat terlihat pada masjid-masjid di lingkungan perguruan tinggi.
5) Lembaga pendidikan non formal lain
Lembaga pendidikan Islam lainnya termasuk kategori lembaga non formal, karena secara formal tidak termasuk sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Konsep pendidikan dan lembaga bersifat implisit, contohnya seperti : lingkungan masyarakat, keluarga, dan individu.
Di dalam sistem tata hidup kemasyarakatan, interaksi dalam keluarga, serta proses menuntut ilmu pengetahuan secara konseptual dapat disebut melakukan proses pendidikan. Karena termasuk objek benda bermateri yang mengalami atau melakukan perubahan kearah yang lebih baik; maka masyarakat, keluarga bahkan individu dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam.
b. Visi dan Misi Lembaga Pendidikan Islam
Seperti telah disebutkan, salah satu perbedaan mendasar antara konsep visi dan misi adalah rentang waktu pencapaiannya. Visi berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam dalam rentang waktu yang panjang, sedangkan misi relatif berhubungan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam jangka waktu pendek.
Tulisan ini tidak bermaksud merumuskan secara spesifik konsep visi maupun misi suatu lembaga pendidikan Islam, tetapi lebih menekankan pada dasar pemikiran untuk merumuskan konsep visi dan misi lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Rumusan visi dan misi spesifik dan konkrit dari suatu lembaga pendidikan Islam sangat erat hubungannya dengan status sosial, fungsi lembaga atau pedoman filosofis lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Rumusan spesifik dan konkrit suatu lembaga pendidikan Islam satu dan lainnya bisa menjadi beraneka-ragam. Satu lembaga pendidikan Islam tertentu belum tentu memiliki rumusan visi dan misi yang sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Atau ada kemungkinan, satu rumusan visi dan misi suatu lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan atau pembaharuan. Hal itu sah dan wajar.
Kehidupan adalah suatu proses, dan proses kehidupan selalu mengalami perubahan. Perubahan / pembaharuan itu tidak selalu berjalan seiringan, bisa jadi berurutan atau terpisah, namun pada prinsipnya dalam pandangan Islam perubahan tersebut harus mengarah / menuju kearah yang “lebih baik”. Konsep ‘lebih baik’ itu termasuk segala sesuatu yang “benar” dan “tepat”.
Dasar-dasar pemikiran untuk merumuskan konsep visi dan misi suatu lembaga pendidikan Islam akan dibicarakan berikut ini :
1) Dasar Pikiran Merumuskan Visi Lembaga Pendidikan Islam
Secara substansial maupun eksistensial manusia berbeda dengan Tuhan. Manusia diciptakan di muka bumi untuk beribadah pada-Nya.(Q.S.51:56) Sebagai modal dasar, manusia diberikan kesempurnaan bentuk penciptaan dibandingkan makhluk lain.(Q.S.95:4) Dengan dasar kemampuan yang dimilikinya itulah manusia diharuskan menuntut ilmu melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu, pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah “memanusiakan manusia” agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi.
Sebagai khalifah manusia dituntut untuk menjaga, memanfaatkan dan melestarikan alam semesta sebaik-baiknya. Untuk dapat menjalankan tugas dan kewajibannya tersebut manusia harus memiliki kemampuan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya. Melalui proses kependidikan itulah manusia belajar mengenal dan mengamalkan sifat-sifat ketuhanan yang pada dasarnya telah dimiliki dan memiliki potensi pengembangan. Potensi pengembangan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia tergantung pada masing-masing pribadi.
Pendidikan mampu mengantarkan manusia mencapai kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Al Khalik, sesama manusia dan dengan alam. Kesempurnaan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta hanya mungkin dicapai jika manusia memiliki keseimbangan orientasi antara kehidupan di dunia dan di akherat.
Di sinilah pentingnya konsep tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan dengan istilah pendewasaan jasmaniah dan rokhaniah. Dalam proses pendewasaan jasmaniah dan rokhaniah ini hanya akan memberikan arah, tujuan dan hasil yang baik jika dilandasi oleh niat baik. Niat baik dalam penyelenggaraan pendidikan biasanya terlihat dengan adanya usaha yang dilakukan secara sadar. Oleh sebab itu, proses pendewasaan dalam pendidikan Islam disebut sebagai usaha secara sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.
Dalam dataran riil, lembaga pendidikan Islam harus mampu melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang “utuh” dalam arti mempunyai keluasan ilmu dan keluhuran akhlak. Keterpaduan keluasan ilmu dan keluhuran akhlak ini yang dapat menghindarkan terjadinya keterpecahan pribadi (split personality).
Untuk itu, tujuan pendidikan Islam juga harus disusun secara utuh. Tujuan pembelajaran di dalam pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada kemampuan mencerdaskan kehidupan, tetapi juga meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Satu sisi berorientasi pada kehidupan duniawi, di sisi lain berorientasi pada kehidupan akherat.
Orientasi kehidupan di akherat dirumuskan dalam tujuan pembelajaran iman yang mencapai taraf tauhid “tidak ada Tuhan selain Allah”. Sedangkan orientasi keduniawian dirumuskan dengan konsep; sehat jasmani-rohani, trampil, cerdas, kreatif (inovatif), bijaksana (waskitha). Pada tingkat ‘kebijaksanaan’ itulah terjadi pertemuan dengan nilai-nilai tauhid dalam Islam.
Dari dasar-dasar pemikiran tersebut, konsep visi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya dibangun dan kembangkan. Visi suatu lembaga pendidikan pada intinya bertujuan mencapai kesempurnaan hidup sebagai manusia. Kesempurnaan manusia sebagai manusia seringkali diidentikkan dengan tercapainya keseimbangan titik tolak bipolaritas semesta.
2) Dasar Pikiran Merumuskan Misi Lembaga Pendidikan Islam
Misi suatu lembaga pendidikan Islam dalam arti tertentu berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan dapat diukur tingkat keberhasilanya. Harus diakui, konsep misi berhubungan erat dengan tujuan subjektif dari lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
Rumusan misi suatu lembaga pendidikan Islam umumnya disusun oleh para pendidik atau pengelola lembaga pendidikan. Mereka dipandang sebagai satu-satunya konseptor yang berhak merumuskan misi lembaga pendidikan Islam yang mereka jalankan. Dalam hal ini, peserta didik cenderung menempati kedudukan sebagai suatu objek pendidikan. Memang terkesan tidak adil, namun satu hal yang perlu disadari, pendidikan sebagai suatu proses yang direkayasa merupakan bentukan manusia. Oleh sebab itu, wajar bila hasil proses tersebut disesuaikan dengan keinginan dan tujuan para perekayasa proses pendidikan itu sendiri.
Langkah yang harus dilakukan untuk menghindari hal tersebut adalah memberikan kesadaran pada para konseptor misi suatu lembaga pendidikan Islam bahwa; - anak didik bukan hanya sebagai objek, tetapi juga subjek pendidikan. Artinya, pendidikan tidak seharusnya memaksakan tujuan idealis suatu lembaga pendidikan pada peserta didik, tanpa menyadari sepenuhnya hak dan kemampuan anak didik sebagai subjek pendidikan.
Misi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya disesuaikan berdasar negoisasi konsep ideal lembaga dengan potensi kemampuan instrumen sistem pendidikan maupun kecenderungan tuntutan sosial kemasyarakatan tempat lembaga pendidikan tersebut diselenggarakan.
Misi suatu lembaga pendidikan Islam seharusnya berakar pada tuntutan filosofis atas diri manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, meskipun secara konkrit hal tersebut mustahil dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan manusia. Bahkan malaikat sendiri-pun mempertanyakan kemampuan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.(Q.S. 2 : 3) Namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam pandangan ilmu pengetahuan tidak ada hal yang tidak mungkin dilakukan manusia.
Tujuan proses pendidikan Islam disamping untuk memfungsikan kelebihan kemampuan manusiawi dalam dirinya yang tercermin sebagai optimalisasi kemampuan berpikir, juga tuntutan untuk berbuat adil ( Q.S. 5 : 153; 4 : 135; 5 : 8) terhadap seluruh ciptaan Tuhan di alam semesta. Untuk dapat berbuat dan bertindak secara adil, manusia harus miliki pengetahuan keaneka-ragaman karakter maupun kekhususan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Di sinilah segala sesuatu menjadi mungkin dilakukan bagi manusia.
Dalam sudut pandang manusiawi, pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tradisi, tingkah laku, adat-istiadat, budaya, kesukuan, sistem pemikiran, kemasyarakatan dan seterusnya menjadi pedoman pengenalan dan pemahaman satu sama lain. (Q.S. 49 : 13). Dalam sudut pandang kosmologis terlahir sebagai suatu bentuk tuntutan terhadap pengetahuan sunatullah alam semesta.
Dengan kemampuan pengenalan dan pemahaman satu sama lain, perbaikan, perubahan dan pembaharuan sistem sosial kemasyarakatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berusaha merubahnya.(Q.S. 13 : 12) Proses perbaikan, perubahan dan pembaharuan baik dalam sistem pemikiran, sosial budaya maupun kosmologi yang secara metodologi menuntut manusia pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan melalui jalan ‘rekayasa’.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sistem pendidikan Islam memiliki fungsi dan peran nyata yang besar. Setiap sistem pendidikan pasti akan selalu dihadapkan dan berada di antara tekanan-tekanan konflik seperti pengaruh tradisi dan tuntutan perubahan terhadap tatanan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini khususnya disebabkan kompleksitas sistem pendidikan. Pendidikan Islam secara fungsional dituntut juga untuk dapat menjadi lembaga pembaharu sistem sosial, budaya dan kemasyarakatan disamping sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tuntutan sosiologis, ilmiah dan teknologis yang diemban lembaga pendidikan Islam tentu saja berakibat pada keharusan restrukturisasi dan rekonstruksi orientasi, keilmuan dan sistem kelembagaan pendidikan Islam secara terus menerus dan berkesinambungan. Oleh sebab itu lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan sistem metodologi, produktifitas maupun publikasi kelembagaannya. Keseluruhannya harus disusun diatas kerangka dasar filosofi dan keilmuan yang kuat dan kokoh.
Dari dasar-dasar pemikiran tersebut misi suatu lembaga pendidikan Islam dapat disusun dan dirumuskan secara lebih spesifik. Unsur-unsur yang terlibat dan mempengaruhi keberhasilan pendidikan seharusnya dijadikan bahan pertimbangan sekaligus umpan balik dalam menilai tingkat keberhasilannya. Misi suatu lembaga pendidikan Islam tidak hanya dengan memperhatikan tujuan filosofis yang ingin dicapai lembaga, namun juga pemenuhan tuntutan riil kondisi masyarakat, kemampuan lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan sekaligus kemampuan pragmatis pendidik maupun peserta didik sebagai individu yang disiapkan secara lahir dan batin melalui proses kependidikan untuk terjun ke dalam lingkungan masyarakat dimanapun ia berada.
E. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut, disimpulkan :
1. Salah satu perbedaan mendasar antara konsep epistemologi, filsafat Ilmu dan ilmu pendidikan Islam adalah tingkat kepadatan konsep dan peringkat hierarkisnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Berdasarkan pendekatan struktural subjektif, epistemologi menduduki peringkat dan memiliki kepadatan konsep tertinggi dibandingkan dengan filsafat ilmu, demikian pula filsafat ilmu dengan ilmu. Pendidikan Islam sebagai salah satu objek konkrit dari pendidikan memiliki rangka bangun konsep sejenis dengan struktur ilmu pengetahuan tersebut.
2. Dalam pandangan eistemologi, pengetahuan tentang pendidikan Islam itu dapat dibedakan dalam 3 (tiga) bentuk. Tiga bentuk dari pendidikan Islam tersebut adalah; 1) pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan, 2) pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar, dan 3) pendidikan sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan. Masing-masing bentuk telaah pendidikan Islam berhubungan erat satu sama lain. Bahkan pada akhirnya akan disadari bahwa satu penjelasan bentuk objek merupakan bagian dari penjelasan bentuk objek lain. Keberadaan satu bentuk pendidikan Islam mengharuskan keberadaan bentuk lain dari pendidikan Islam.
3. Karena sifatnya yang mendekati konsep riil rumusan pendidikan Islam, maka disebut wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam. Wujud konkrit epistemologi pendidikan Islam sebagai anak cabang pemetaan wilayah epistemologi pendidikan Islam dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok sub tema pokok. Tiga kelompok sub tema tersebut adalah; 1. pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam, 2. wilayah kerja ilmu pendidikan Islam, dan 3. konseptualisasi lembaga pendidikan Islam. Sub tema pemetaan studi ilmu dalam proses pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan. Sub tema wilayah kerja ilmu pendidikan Islam sebagai anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu proses belajar-mengajar. Sedangkan konseptualisasi lembaga pendidikan Islam merupakan anak cabang pengetahuan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga/institusi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Amin, Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Mizan, Bandung, 2002
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994
Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,1998
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu (Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu), Mizan, Bandung, 1997
Bakker, Anton, dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Andi Offset, Yogyakarta, 1993
Bertens, K., Sejarah Fisafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999
Daulay, Haidar Putra, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2001
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren StudiTentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1994
Gie, The Liang, dan Andrian The, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu, Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB) dan Andi, Yogyakarta, 1998
Indar, Djumberansjah, Filsafat Pendidikan, Karya Abditama, Surabaya, 1994
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (terj.), Tiara Wacana Yogya, Yogyakart, 1992
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2003
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insani Press dan MSI UII, Yogyakarta, 2003
Mudyahardjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, PT.Remaja Rosdakarya Bandung, Bandung, 2002
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001, Edisi II
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM) Surabaya dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
Mulkhan, Abdul Munir, dkk., Religiusitas Iptek, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Mulkhan, Abdul Munir, Humanisasi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan : Tashwirul Afkar, Edisi No.11, LAKPESDAM dan TAF, Jakarta, 2001
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002
Mulkhan, Abdul Munir, Peran Konsorsium Pendidikan Islam Dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dan Peta Ilmu Pengetahuan, makalah yang disusun dan disampaikan dalam Semiloka Ilmu Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 21-26 Februari 2000
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2004
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Peursen, C.A.Van, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, J.Drost (terj.), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982
Rais, Amin, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1989
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2003
Suharsono, Melejitkan IQ,IE & IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2001
Suparno, Paul, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
Supriyadi, Dedi, Antara Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar: Di Balik Kebijakan Ada Konstruk Berpikir, dalam Jurnal Analisis CSIS, tahun XXIX, No.3, h.365-366
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995
Tibawi, A.L., “Islamic Education” Its Tradition and Modernization Into The Arab National Systems, Luzac & Company LTD, London, 1979
Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Media Wacana Press Jogjakarta, Yogyakarta, 2003
Usa, Muslih, (editor), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991
Verhaak, C., dan R.Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT.Gramedia, Jakarta, 1989
Zaini, Hisyam, dkk, Desain Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, Center for Teaching Staff Development (CTSD) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002
Zohar, Danar, dan Lan Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan.”, Rahmani Astuti,dkk. (terj.), Mizan, Bandung, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar