PONDOK PESANTREN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
Oleh : Moh Subhan
Pendahuluan
Istilah Globalisasi saat ini cukup familiar di masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Istilah ini memiliki arti yang cukup luas. Globalisasi bukanlah sekedar konsep sosiologi hubungan internasional dalam pengertian tradisional. Juga bukan hanya interdepedensi ekonomi atau konvergensi negara-negara bangsa menjadi suatu masyarakat industri. Globalisasi merupakan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga membuat interaksi yang rumit antara hal-hal yang lokal dan global. Globalisasi mempunyai rangkaian panjang yang saling terhubung dari berbagai aspek.
Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai tren kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kiblat bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thought (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan karena adanya perbedaan dan bahkan pertentangan.
Arus globalisasi yang kian deras berdampak cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Institusi pendidikan sebagai institusi yang selalu berkembang seiring dengan denyut nadi perkembangan zaman tampaknya tidak terlepas dari dampak globalisasi ini. Arus globalisasi juga melanda pondok pesantren yang merupakan institusi pendidikan tertua di Indonesia. Namun demikian, pondok pesantren terus berupaya mengikuti dan mengimbangi irama dan alur perkembangan globalisasi.
Bagaimana pondok pesantren mengimbangi perkembangan zaman dan arus globalisasi, dan apakah dengan mengimbangi perkembangan zaman ini ia tetap mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan non formal yang selalu menjunjung nilai-nilai moral. Tulisan singkat ini akan mencoba mengeksplorasi bagaimana eksistensi pondok pesantren di tengah-tengah arus globalisasi.
Globalisasi: antara Ancaman dan Tantangan
Globalisasi berasal dari kata globalisme, yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik. Proses tersebut tentunya penuh dengan dinamika yang menuntut setiap negara menata rumah tangganya seideal mungkin. Atas nama “tatanan dunia baru” itulah globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung oleh adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi, khususnya internet.
John Tom Linson dalam tulisannya, Cultural Globalization: Placing and Displacing the West, sebagaimana dikutip oleh Amer al-Roubaie, mengintisarikan globalisasi sebagai berikut:
“Proses hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas dunia, antarbudaya, institusi dan individual. Globalisasi merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.”
Globalisasi terjadi pada setiap negara, tidak ada satu organisai atau satu negara pun yang mampu mengendalikannya. Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan. Akbar S. Ahmed dan Hastings memberi batasan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Teori globalisasi yang menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.
Bahkan lebih dari sekedar proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah satu tempat milik bersama. Karena itu, globalisasi didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan pengaturan-pengaturan sosial dan budaya yang semakin surut.
Menurut Qodri Azizy, istilah ”globalisasi” dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi. Sebagai alat karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama sekali di bidang komunikasi. Sebagai alat, globalisasi sangat netral. Ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal posistif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal yang negatif. Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab kondisi ini berpotensi menimbulkan benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi globalisasi dan nilai-nilai agama, termasuk agama Islam. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan.
Pertama, sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kedua, tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi memberi pengaruh pada hal-hal, nilai dan praktik yang positif, maka seharusnya ia menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama.
Memang, globalisasi merupakan proses rumit yang melibatkan semua unsur kehidupan manusia seperti aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, bahasa dan teknologi. Hingga saat ini globalisasi tetap dianggap sebagai proses rumit bukan hanya karena definisinya yang tidak jelas, tetapi juga karena dampak yang ditimbulkannya. Seperti yang dikatakan Giddens, globalisasi merupakan proses rumit dan merupakan proses tunggal. Proses-proses rumit itu juga berlangsung dalam model berlainan dan berlawanan.
Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (culture imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Dalam sebuah makalah yang berjudul Herirtage, Culture and Globalization, Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di International Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) mencatat:
“Telah dipahami secara luas bahwa gelombang trend budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahn budaya (culture imperialism), penggusuran kultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat.”
Rekayasa informasi global terus berlangsung melalui media-media massa global. Masyarakat global mengalami ketidakberdayaan (disempowerment) menghadapi hegemoni informasi dalam berbagai hal. Memang benar adanya slogan “barang siapa yang mampu menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia.” Seperti ungkapan salah seorang tokoh globalisasi Amerika Serikat, “kalau perjanjian diperlukan, kami akan melakukannya. Jika penyerahan dibutuhkan, kami akan menyerahkannya, jika informasi dibutuhkan, kami akan memberikannya dan jika kekuatan dibutuhkan demi stabilitas keamanan kami, kekuatan akan kami gunakan.”
Pada dasarnya konsep globalisasi yang dirancang oleh Barat adalah upaya untuk mengonsolidasikan segala kekuatan; ekonomi, politik, militer dan pertahanan dalam satu sentral, yaitu Amerika, Eropa, Jepang dan Cina. Jika ditelusuri lebih dalam, konsep globalisasi ini sebenarnya telah dirancang dan berjalan cukup lama. Fenomena ini telah dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia II di mana telah terjadi suatu titik balik dalam masalah-masalah global. AS sebagai kekuatan yang dominan mempersiapkan dirinya untuk melangkah pada suatu sistem internasional yang bertujuan membawa bangsa-bangsa di dunia ke dalam suatu sistem dengan aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati bersama (collective scurity).
Berbagai kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, menjadikan betapa era sekarang merupakan era kesejagatan yang tak mengenal batas ruang. William Greider dalam bukunya yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism (1997), mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa di mana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi. Di samping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context. Segala bentuk perilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling memengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.
Richard Hibart mengatakan bahwa Globalisasi merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi negara-negara industri maju atas dunia ketiga, dan untuk beberapa kurun waktu kita menamainya dengan Imperialisme. Era ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks, yaitu proses homologisasi dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing of unity) di satu pihak namun di pihak lain juga terjadi penguatan perbedaan (increasing of diversity). Hal itu juga akan berdampak pada institusi pendidikan, termasuk pondok pesantren. Orientasi agama yang sebelumnya datang dari sumber yang sangat terbatas, orang tua, keluarga dan lingkungan saja. sekarang diakses dari beragam sumber yang tak terbatas. Dengan kecangihan sains dan teknologi, manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri yang bisa dipilih. Di samping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk-produk canggih yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semangat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang tidak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah adalah terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan, yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan harta dan kekuasaan.
Eksistensi Pondok Pesantren dalam Rekaman Sejarah
Pondok Pesantren merupakan lembaga studi Islam yang punya andil historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Maka wajarlah apabila banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal; dan meskipun ada hanya dapat diikuti oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena adanya tuntutan dari umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Menurut data Departemen Agama, pada tahun 1948-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Namun keterangan ini kurang meyakinkan, karena apabila ada pesantren Jan Tampes II maka ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Ada pula yang mencatat bahwa pondok pesantren muncul sejak munculnya masyaraka Islam di Nusantara pada abad XIII.
Seiring dengan perjalanan waktu, pendidikan pondok pesantren mengalami perkembangan. Lembaga ini semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "Politik Etis" pemerintah kolonial Belanda pada akahir abad XIX. Sikap non-koperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda inilah pondok pesantren mendapat tekanan yang cukup berat.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam, khusunya pesantren, karena berarti tidak ada lagi tekanan dari penjajah asing untuk menjalankan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Pada masa ini pesantren mulai menata diri dan memapankan posisinya sebagai lembaga pendidikan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid sebenarnya sejak tahun 1920-an Pondok Pesantren telah mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan pesantren sendiri. Kemudian pada tahun 1930-an, pondok pesantren sudah memperlihatkan kurikulum. Puncaknya kemapanan sekolah agama negeri di lingkungan pondok pesantren terjadi sekitar 1960-an meski saat itu juga terjadi percobaan isolasi di berbagai pondok pesantren, terutama menjelang G 30 S/PKI.
Memasuki era 1970-an pondok pesantren mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan dan perkembangan ini bisi dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan bahwa pada tahun 1977 jumlah pondok pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Kemudian pada tahun 1985 jumlah ini meningkat cukup drastis di mana jumlah pondok pesantren mencapai 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai 1.084.801 orang. Pada tahun 1997, jumlah ini melonjak menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.770.768 orang. Pada tahun 2001 jumlah pondok pesantren terus meningkat mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri 2.737.805 orang.
Perkembangan kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: pertama, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat, pondok pesantren yang hanya menjadi tempat melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, jelas bahwa pondok pesantren tidak hanya bisa bertahan, akan tetapi juga berkembang dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Dalam mengembangkan pola pendidikan dan mentransformasikan diri menjadi lembaga pendidikan modern, tampaknya pondok pesantren tidak tergesa-gesa dan cukup berhati-hati. Hal ini terlihat dari penerimaan dan penyesuaian pola pendidikan yang hanya dalam skala yang sangat terbatas pada hal-hal yang mendukung komunitas pesantren itu sendiri. Azyumardi Azra berpendapat bahwa pesantren pada mulanya hanya rural-based institution yang kemudian menjadi lembaga pendidikan urban, yaitu munculnya sejumlah pondok pesantren di kota-kota.
Ketika gerbang reformasi dibuka, peran dan kiprah pesantren semakin diperhitungkan dalam berbagai bidang. Dari bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga sosial. Dalam bidang politik misalnya, pesantren dilirik oleh kalangan elit politik sebagai aset yang dapat menjadi penunjang tujuan politik. Sentralitas kepemimpinan Kiai dan banyaknya massa sang Kiai membuat pondok pesantren sering didekati dan dimanfaatkan oleh kalangan elit politik.
Eksistensi Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Kelahiran pondok pesantren adalah karena adanya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Karena lahir dari tuntutan umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Harus diakui bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren sudah melekat dalam kehidupan di Indonesia serta merupakan kreasi budaya Indonesia. Pondok pesantren adalah aset pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini agak terabaikan. Selama ini, pondok pesantren cenderung dibiarkan berjalan sendiri, dan kurang begitu diakomodir dalam sistem pendidikan nasional, padahal sumbangan yang diberikan oleh pesantren terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangatlah besar. Karakter khas pondok pesantren yang merakyat, merupakan potensi yang seharusnya diperhatikan dan diberdayakan secara berkelanjutan dan terprogram.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini, ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dan berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Arus globalisasi yang kian hari semakin deras tidak menggoyahkan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan pokok bagi semua civitas dan warga pesantren. Bahkan tatanan moral yang dipegangi inilah yang membuat ia semakin eksis. Nilai-nilai moral tersebut menjadi pegangan dan acuan dalam segala aktifitas dan menjadi titik pokok sistem pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Pendidikan pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam banyak perspektif, pendidikan di pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa dibaca sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren mampu memberi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sini, pesantren mendidik santri kehidupan praktis di masyarakat tentang bagaimana mereka menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. selain itu sistem pendidikannya juga dapat dengan mudah menyesuaikan dengan sistem pendidikan formal dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengapdosian sistem pendidikan umum yang merupakan proses timbal balik antara pola pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan "umum" yang ada di luar pesantren. Meskipun menurut Nurcholish Madjid pesantren tidak mengenal istilah kurikulum, terutama pada masa prakemerdekaan, tapi pesantren telah memberikan materi pendidikan yang cukup terprogram dan bahkan memberikan materi keterampilan.
Memang harus diakui, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum, karena tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Namun demikian pesantren terbukti telah mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, sekarang merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya perlente, menulis menggunakan komputer, dan tidur di gedung-gedung yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota.” Bahkan, santri yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi mempunyai potensi intelektualitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan santri, khususnya yang telah berpendidikan tinggi, ikut aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan.
Berdasarkan catatan di atas, tidak mengherankan jika pesantren telah banyak melahirkan intelektual atau cendekiawan yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Nama-nama seperti Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Fakih Usman, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi lainnya adalah tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh ini menurut Dawam Rahardjo disebut sebagai kiai intelektual atau ulama cendekiawan.
Ketika wacana Islam liberal mengemuka, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam. Tidak jarang pemikiran-pemikiran yang progresif dan di luar pemikiran mainstream muncul dari pesantren. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang lebih berani dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan memperkaya literatur-literatur mereka dengan wacana Islam kontemporer seperti Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya.
Dampak negatif globalisasi sejatinya dapat diimbangi oleh pesantren dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses informasi yang ditawarkan untuk menunjang proses pembelajaran dan memperluas jaringan dakwah. Komputer, internet, dan alat-alat modern sudah dapat dijumpai di pondok-pondok pesantren. Para santri di beberapa pesantren juga telah mengikuti pelatihan teknologi informasi untuk menambah wawasan agar mereka tidak gagap teknologi. Pelatihan ini didukung penuh oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan harian umum Republika yang diluncurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kalangan pesantren yang bertajuk ‘Santri Indigo’. Kegiatan ini bertujuan agar para santri tidak gagap teknologi (gatek) internet. Kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan santri-santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahmi dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pendidikan pesantren modern tidak boleh mengesampingkan pendidikan teknologi. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental. Untuk itulah pendidikan semacam SMK didirikan di pesantren. Suatu usaha untuk mencetak tenaga profesional di bidang IT tetapi berakhlaq santri. Bahkan sudah ada pesantren yang menjadi mitra penyelenggara Program Pendidikan Jarak Jauh berbasis Internet dari sebuah institusi di Jakarta. Untuk menindaklanjuti program tersebut, diselengarakan workshop yang bertema “Workshop Needs Assessment for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren” yang dilanjutkan dengan “Curriculum Workshop for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren”. Arahnya memetakan kondisi di pesantren berkaitan dengan pelaksanaan program dan perancangan kurikulum untuk melaksanakan program-program tersebut.
Santri pesantren diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.
Penutup
Pondok pesantren selama ini selalu tampak dengan wajah yang terkesan tradisional, klasik dan apa adanya. Namun tidak dipungkiri, dengan citra wajah yang muncul seperti itulah, justru pesantren tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila, pesantren tetap mampu tampil memikat masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menjadi lembaga pendidikan alternatif yang paling diminati.
Arus globalisasi yang kian hari kian deras membawa kebudayaan asing merasuk hampir ke seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini. Derasnya arus globalisasi ini tidak menggoyahkan eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan non-formal. Pondok pesantren mampu mengikuti irama gerak laju zaman tanpa harus terbawa dan tenggelam di dalamnya. Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang dan tidak pernah tertinggal. Maka wajar apabila pesantren mampu mencetak banyak pemikir Islam.
Seluruh civitas akademika pondok pesantren, termasuk kiai yang menjadi “tuan” di dalamnya dituntut untuk berfikir dinamis dan kontekstual agar pondok pesantren dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan denyut nadi waktu yang terus mengalir. Hal ini dilakukan agar pesantren tidak tertinggal oleh kemajuan dunia modern. Pesantren harus dapat membuktikan diri bahwa ia bukanlah institusi pendidikan “kelas dua” yang terpinggirkan, kumuh, kolot dan anti kemajuan. Pesantren harus dapat memaksimalkan potensi yang telah dimilikinya; menambah wawasan dan berinteraksi secara maksimal dengan kemajuan zaman; berperan lebih aktif dalam ranah sosial masyarakat secara maksimal; dan mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun masyarakat intelektual yang shalih.
DAFTAR PUSTAKA
Mas'ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Abdurrahman, dalam Prolog Buku Pondok Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Innsani Press.
Azizy, Ahmad Qodi. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif: agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Rahardjo, Dawam. 1996. Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan.
Basri, Hasan. 2001. Pesantren: Karakteristik dan Unsur-unsur Kelembagaan, dalam Buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Habib, Hasan. 2003. Peta Politik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Konstelasi Perpolitikan Indonesia. Paper disampaikan dalam Munas Alim Ulama DPP PKB, 28 Mei 2003.
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo: Era Intermedia.
Jurnal Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005 (Jakarta: Institute for Study of Islamic Thought and Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan).
Jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999, (Yogyakarta: Kopertais, 1999).
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. 2002. Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Galang Press.
______. 2004. Wajah Baru Islam Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Pojman, Louis P. 2003. Global Political Philosophy. New York: McGraw Hill.
Mashhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mabda' Jurnal Studi Islam dan Budaya. 2006. Purwokerto: Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokwerto.
Ridwan, Mahfudz. 2005. Mendorong Pesantren Sebagai Agen Pendamping Perubahan Di Masyarakat. Digital Library Responsible Development International (RDI).
Sodik, Mochamad. 2000. Gejolak Santri Kota: Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
______. 1998. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Yandianto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit M2S.
Maulani, ZA. 2002. Dakwah dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan dalam ASEAN Youth Camp. Jakarta, 1 Oktober 2002.
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
PONDOK PESANTREN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
Oleh : Moh Subhan
Pendahuluan
Istilah Globalisasi saat ini cukup familiar di masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Istilah ini memiliki arti yang cukup luas. Globalisasi bukanlah sekedar konsep sosiologi hubungan internasional dalam pengertian tradisional. Juga bukan hanya interdepedensi ekonomi atau konvergensi negara-negara bangsa menjadi suatu masyarakat industri. Globalisasi merupakan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga membuat interaksi yang rumit antara hal-hal yang lokal dan global. Globalisasi mempunyai rangkaian panjang yang saling terhubung dari berbagai aspek.
Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai tren kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kiblat bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thought (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi “benturan-benturan” kebudayaan karena adanya perbedaan dan bahkan pertentangan.
Arus globalisasi yang kian deras berdampak cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Institusi pendidikan sebagai institusi yang selalu berkembang seiring dengan denyut nadi perkembangan zaman tampaknya tidak terlepas dari dampak globalisasi ini. Arus globalisasi juga melanda pondok pesantren yang merupakan institusi pendidikan tertua di Indonesia. Namun demikian, pondok pesantren terus berupaya mengikuti dan mengimbangi irama dan alur perkembangan globalisasi.
Bagaimana pondok pesantren mengimbangi perkembangan zaman dan arus globalisasi, dan apakah dengan mengimbangi perkembangan zaman ini ia tetap mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan non formal yang selalu menjunjung nilai-nilai moral. Tulisan singkat ini akan mencoba mengeksplorasi bagaimana eksistensi pondok pesantren di tengah-tengah arus globalisasi.
Globalisasi: antara Ancaman dan Tantangan
Globalisasi berasal dari kata globalisme, yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik. Proses tersebut tentunya penuh dengan dinamika yang menuntut setiap negara menata rumah tangganya seideal mungkin. Atas nama “tatanan dunia baru” itulah globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung oleh adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi, khususnya internet.
John Tom Linson dalam tulisannya, Cultural Globalization: Placing and Displacing the West, sebagaimana dikutip oleh Amer al-Roubaie, mengintisarikan globalisasi sebagai berikut:
“Proses hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas dunia, antarbudaya, institusi dan individual. Globalisasi merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.”
Globalisasi terjadi pada setiap negara, tidak ada satu organisai atau satu negara pun yang mampu mengendalikannya. Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan. Akbar S. Ahmed dan Hastings memberi batasan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Teori globalisasi yang menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.
Bahkan lebih dari sekedar proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah satu tempat milik bersama. Karena itu, globalisasi didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan pengaturan-pengaturan sosial dan budaya yang semakin surut.
Menurut Qodri Azizy, istilah ”globalisasi” dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi. Sebagai alat karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama sekali di bidang komunikasi. Sebagai alat, globalisasi sangat netral. Ia berarti dan sekaligus mengandung hal-hal posistif, ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam hal-hal yang negatif. Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab kondisi ini berpotensi menimbulkan benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi globalisasi dan nilai-nilai agama, termasuk agama Islam. Baik sebagai alat maupun sebagai ideologi, globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan.
Pertama, sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kedua, tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi memberi pengaruh pada hal-hal, nilai dan praktik yang positif, maka seharusnya ia menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama.
Memang, globalisasi merupakan proses rumit yang melibatkan semua unsur kehidupan manusia seperti aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, bahasa dan teknologi. Hingga saat ini globalisasi tetap dianggap sebagai proses rumit bukan hanya karena definisinya yang tidak jelas, tetapi juga karena dampak yang ditimbulkannya. Seperti yang dikatakan Giddens, globalisasi merupakan proses rumit dan merupakan proses tunggal. Proses-proses rumit itu juga berlangsung dalam model berlainan dan berlawanan.
Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (culture imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Dalam sebuah makalah yang berjudul Herirtage, Culture and Globalization, Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di International Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) mencatat:
“Telah dipahami secara luas bahwa gelombang trend budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahn budaya (culture imperialism), penggusuran kultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat.”
Rekayasa informasi global terus berlangsung melalui media-media massa global. Masyarakat global mengalami ketidakberdayaan (disempowerment) menghadapi hegemoni informasi dalam berbagai hal. Memang benar adanya slogan “barang siapa yang mampu menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia.” Seperti ungkapan salah seorang tokoh globalisasi Amerika Serikat, “kalau perjanjian diperlukan, kami akan melakukannya. Jika penyerahan dibutuhkan, kami akan menyerahkannya, jika informasi dibutuhkan, kami akan memberikannya dan jika kekuatan dibutuhkan demi stabilitas keamanan kami, kekuatan akan kami gunakan.”
Pada dasarnya konsep globalisasi yang dirancang oleh Barat adalah upaya untuk mengonsolidasikan segala kekuatan; ekonomi, politik, militer dan pertahanan dalam satu sentral, yaitu Amerika, Eropa, Jepang dan Cina. Jika ditelusuri lebih dalam, konsep globalisasi ini sebenarnya telah dirancang dan berjalan cukup lama. Fenomena ini telah dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia II di mana telah terjadi suatu titik balik dalam masalah-masalah global. AS sebagai kekuatan yang dominan mempersiapkan dirinya untuk melangkah pada suatu sistem internasional yang bertujuan membawa bangsa-bangsa di dunia ke dalam suatu sistem dengan aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati bersama (collective scurity).
Berbagai kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, menjadikan betapa era sekarang merupakan era kesejagatan yang tak mengenal batas ruang. William Greider dalam bukunya yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism (1997), mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa di mana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi. Di samping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context. Segala bentuk perilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling memengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.
Richard Hibart mengatakan bahwa Globalisasi merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi negara-negara industri maju atas dunia ketiga, dan untuk beberapa kurun waktu kita menamainya dengan Imperialisme. Era ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks, yaitu proses homologisasi dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing of unity) di satu pihak namun di pihak lain juga terjadi penguatan perbedaan (increasing of diversity). Hal itu juga akan berdampak pada institusi pendidikan, termasuk pondok pesantren. Orientasi agama yang sebelumnya datang dari sumber yang sangat terbatas, orang tua, keluarga dan lingkungan saja. sekarang diakses dari beragam sumber yang tak terbatas. Dengan kecangihan sains dan teknologi, manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri yang bisa dipilih. Di samping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk-produk canggih yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semangat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang tidak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah adalah terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan, yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan harta dan kekuasaan.
Eksistensi Pondok Pesantren dalam Rekaman Sejarah
Pondok Pesantren merupakan lembaga studi Islam yang punya andil historis terhadap gerakan sosial keagamaan. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Maka wajarlah apabila banyak kalangan yang menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal yang mengajarkan pendidikan agama.
Pondok pesantren lahir karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, karena pada zaman dahulu belum ada lembaga pendidikan formal; dan meskipun ada hanya dapat diikuti oleh kelompok-kelompok tertentu. Karena adanya tuntutan dari umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Menurut data Departemen Agama, pada tahun 1948-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Namun keterangan ini kurang meyakinkan, karena apabila ada pesantren Jan Tampes II maka ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Ada pula yang mencatat bahwa pondok pesantren muncul sejak munculnya masyaraka Islam di Nusantara pada abad XIII.
Seiring dengan perjalanan waktu, pendidikan pondok pesantren mengalami perkembangan. Lembaga ini semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "Politik Etis" pemerintah kolonial Belanda pada akahir abad XIX. Sikap non-koperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda inilah pondok pesantren mendapat tekanan yang cukup berat.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam, khusunya pesantren, karena berarti tidak ada lagi tekanan dari penjajah asing untuk menjalankan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Pada masa ini pesantren mulai menata diri dan memapankan posisinya sebagai lembaga pendidikan agama.
Menurut Abdurrahman Wahid sebenarnya sejak tahun 1920-an Pondok Pesantren telah mulai mengadakan eksperimentasi dengan mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan pesantren sendiri. Kemudian pada tahun 1930-an, pondok pesantren sudah memperlihatkan kurikulum. Puncaknya kemapanan sekolah agama negeri di lingkungan pondok pesantren terjadi sekitar 1960-an meski saat itu juga terjadi percobaan isolasi di berbagai pondok pesantren, terutama menjelang G 30 S/PKI.
Memasuki era 1970-an pondok pesantren mengalami perubahan sangat signifikan. Perubahan dan perkembangan ini bisi dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan bahwa pada tahun 1977 jumlah pondok pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Kemudian pada tahun 1985 jumlah ini meningkat cukup drastis di mana jumlah pondok pesantren mencapai 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai 1.084.801 orang. Pada tahun 1997, jumlah ini melonjak menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.770.768 orang. Pada tahun 2001 jumlah pondok pesantren terus meningkat mencapai 11.312 buah dengan jumlah santri 2.737.805 orang.
Perkembangan kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: pertama, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Kedua, pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat, pondok pesantren yang hanya menjadi tempat melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, jelas bahwa pondok pesantren tidak hanya bisa bertahan, akan tetapi juga berkembang dan menempati posisi penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Dalam mengembangkan pola pendidikan dan mentransformasikan diri menjadi lembaga pendidikan modern, tampaknya pondok pesantren tidak tergesa-gesa dan cukup berhati-hati. Hal ini terlihat dari penerimaan dan penyesuaian pola pendidikan yang hanya dalam skala yang sangat terbatas pada hal-hal yang mendukung komunitas pesantren itu sendiri. Azyumardi Azra berpendapat bahwa pesantren pada mulanya hanya rural-based institution yang kemudian menjadi lembaga pendidikan urban, yaitu munculnya sejumlah pondok pesantren di kota-kota.
Ketika gerbang reformasi dibuka, peran dan kiprah pesantren semakin diperhitungkan dalam berbagai bidang. Dari bidang pendidikan, ekonomi, politik hingga sosial. Dalam bidang politik misalnya, pesantren dilirik oleh kalangan elit politik sebagai aset yang dapat menjadi penunjang tujuan politik. Sentralitas kepemimpinan Kiai dan banyaknya massa sang Kiai membuat pondok pesantren sering didekati dan dimanfaatkan oleh kalangan elit politik.
Eksistensi Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Kelahiran pondok pesantren adalah karena adanya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Karena lahir dari tuntutan umat, maka pondok pesantren selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya juga mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitar.
Harus diakui bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia, karena pesantren sudah melekat dalam kehidupan di Indonesia serta merupakan kreasi budaya Indonesia. Pondok pesantren adalah aset pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini agak terabaikan. Selama ini, pondok pesantren cenderung dibiarkan berjalan sendiri, dan kurang begitu diakomodir dalam sistem pendidikan nasional, padahal sumbangan yang diberikan oleh pesantren terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sangatlah besar. Karakter khas pondok pesantren yang merakyat, merupakan potensi yang seharusnya diperhatikan dan diberdayakan secara berkelanjutan dan terprogram.
Meskipun pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan produk zaman klasik, namun di era modern seperti sekarang ini, ia tetap tegar dan eksis. Ini terjadi karena adaptasi terhadap lingkungan dan perkembangan zaman. Pondok pesantren terus menyesuaikan diri dan berkembang seiring dengan perputaran roda zaman.
Arus globalisasi yang kian hari semakin deras tidak menggoyahkan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan pokok bagi semua civitas dan warga pesantren. Bahkan tatanan moral yang dipegangi inilah yang membuat ia semakin eksis. Nilai-nilai moral tersebut menjadi pegangan dan acuan dalam segala aktifitas dan menjadi titik pokok sistem pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Pendidikan pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam banyak perspektif, pendidikan di pesantren selalu menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun demikian, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Karena itu, jika dilihat dengan teleskop antropologis, pesantren bisa dibaca dalam berbagai aspek. Sebagai lembaga pendidikan, namun di sisi lain pesantren juga bisa dibaca sebagai sebuah identitas masyarakat yang strategis.
Sebagai institusi pendidikan yang fungsional, pondok pesantren mampu memberi jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pondok pesantren memang bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Pesantren juga merupakan medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid, jarang sekali orang yang berpandangan demikian. Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan intelektual, akan tetapi juga, pendikan spiritual, pendidikan moral, dan sebagai lembaga pendidikan sosial kemsyarakatan. Di sini, pesantren mendidik santri kehidupan praktis di masyarakat tentang bagaimana mereka menjalankan peran sosial (social role) dalam masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan dan medium kebudayaan masyarakat, pondok pesantren dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal di atas membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah cukup antisipatif terhadap kebutuhan masyarakat. selain itu sistem pendidikannya juga dapat dengan mudah menyesuaikan dengan sistem pendidikan formal dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan pengapdosian sistem pendidikan umum yang merupakan proses timbal balik antara pola pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan "umum" yang ada di luar pesantren. Meskipun menurut Nurcholish Madjid pesantren tidak mengenal istilah kurikulum, terutama pada masa prakemerdekaan, tapi pesantren telah memberikan materi pendidikan yang cukup terprogram dan bahkan memberikan materi keterampilan.
Memang harus diakui, kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum, karena tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Namun demikian pesantren terbukti telah mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran umum yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang. Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, sekarang merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya perlente, menulis menggunakan komputer, dan tidur di gedung-gedung yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota.” Bahkan, santri yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi mempunyai potensi intelektualitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan santri, khususnya yang telah berpendidikan tinggi, ikut aktif dalam semua segi kehidupan nasional, termasuk pemerintahan.
Berdasarkan catatan di atas, tidak mengherankan jika pesantren telah banyak melahirkan intelektual atau cendekiawan yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Nama-nama seperti Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, Fakih Usman, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi lainnya adalah tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan pesantren. Tokoh-tokoh ini menurut Dawam Rahardjo disebut sebagai kiai intelektual atau ulama cendekiawan.
Ketika wacana Islam liberal mengemuka, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam. Tidak jarang pemikiran-pemikiran yang progresif dan di luar pemikiran mainstream muncul dari pesantren. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang lebih berani dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan memperkaya literatur-literatur mereka dengan wacana Islam kontemporer seperti Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya.
Dampak negatif globalisasi sejatinya dapat diimbangi oleh pesantren dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses informasi yang ditawarkan untuk menunjang proses pembelajaran dan memperluas jaringan dakwah. Komputer, internet, dan alat-alat modern sudah dapat dijumpai di pondok-pondok pesantren. Para santri di beberapa pesantren juga telah mengikuti pelatihan teknologi informasi untuk menambah wawasan agar mereka tidak gagap teknologi. Pelatihan ini didukung penuh oleh lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan harian umum Republika yang diluncurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk kalangan pesantren yang bertajuk ‘Santri Indigo’. Kegiatan ini bertujuan agar para santri tidak gagap teknologi (gatek) internet. Kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan santri-santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahmi dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pendidikan pesantren modern tidak boleh mengesampingkan pendidikan teknologi. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental. Untuk itulah pendidikan semacam SMK didirikan di pesantren. Suatu usaha untuk mencetak tenaga profesional di bidang IT tetapi berakhlaq santri. Bahkan sudah ada pesantren yang menjadi mitra penyelenggara Program Pendidikan Jarak Jauh berbasis Internet dari sebuah institusi di Jakarta. Untuk menindaklanjuti program tersebut, diselengarakan workshop yang bertema “Workshop Needs Assessment for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren” yang dilanjutkan dengan “Curriculum Workshop for Distance Learning for Islamic Transformation through Pesantren”. Arahnya memetakan kondisi di pesantren berkaitan dengan pelaksanaan program dan perancangan kurikulum untuk melaksanakan program-program tersebut.
Santri pesantren diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.
Penutup
Pondok pesantren selama ini selalu tampak dengan wajah yang terkesan tradisional, klasik dan apa adanya. Namun tidak dipungkiri, dengan citra wajah yang muncul seperti itulah, justru pesantren tidak lapuk dimakan zaman. Bahkan di tengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila, pesantren tetap mampu tampil memikat masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu. Bahkan menjadi lembaga pendidikan alternatif yang paling diminati.
Arus globalisasi yang kian hari kian deras membawa kebudayaan asing merasuk hampir ke seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini. Derasnya arus globalisasi ini tidak menggoyahkan eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan non-formal. Pondok pesantren mampu mengikuti irama gerak laju zaman tanpa harus terbawa dan tenggelam di dalamnya. Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang dan tidak pernah tertinggal. Maka wajar apabila pesantren mampu mencetak banyak pemikir Islam.
Seluruh civitas akademika pondok pesantren, termasuk kiai yang menjadi “tuan” di dalamnya dituntut untuk berfikir dinamis dan kontekstual agar pondok pesantren dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan denyut nadi waktu yang terus mengalir. Hal ini dilakukan agar pesantren tidak tertinggal oleh kemajuan dunia modern. Pesantren harus dapat membuktikan diri bahwa ia bukanlah institusi pendidikan “kelas dua” yang terpinggirkan, kumuh, kolot dan anti kemajuan. Pesantren harus dapat memaksimalkan potensi yang telah dimilikinya; menambah wawasan dan berinteraksi secara maksimal dengan kemajuan zaman; berperan lebih aktif dalam ranah sosial masyarakat secara maksimal; dan mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun masyarakat intelektual yang shalih.
DAFTAR PUSTAKA
Mas'ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Abdurrahman, dalam Prolog Buku Pondok Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Innsani Press.
Azizy, Ahmad Qodi. 2004. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2000. Islam Substantif: agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Rahardjo, Dawam. 1996. Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan.
Basri, Hasan. 2001. Pesantren: Karakteristik dan Unsur-unsur Kelembagaan, dalam Buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Habib, Hasan. 2003. Peta Politik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Konstelasi Perpolitikan Indonesia. Paper disampaikan dalam Munas Alim Ulama DPP PKB, 28 Mei 2003.
Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Jam'iah Al-Islah Al-Ijtima'i. 2002. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Solo: Era Intermedia.
Jurnal Islamiyah Tahun I No. 4/Januari-Maret 2005 (Jakarta: Institute for Study of Islamic Thought and Civilization [INSIST] dan Khoirul Bayan).
Jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999, (Yogyakarta: Kopertais, 1999).
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. 2002. Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Galang Press.
______. 2004. Wajah Baru Islam Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Pojman, Louis P. 2003. Global Political Philosophy. New York: McGraw Hill.
Mashhud, M. Sulthon, dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mabda' Jurnal Studi Islam dan Budaya. 2006. Purwokerto: Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokwerto.
Ridwan, Mahfudz. 2005. Mendorong Pesantren Sebagai Agen Pendamping Perubahan Di Masyarakat. Digital Library Responsible Development International (RDI).
Sodik, Mochamad. 2000. Gejolak Santri Kota: Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
______. 1998. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Yandianto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit M2S.
Maulani, ZA. 2002. Dakwah dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan dalam ASEAN Youth Camp. Jakarta, 1 Oktober 2002.
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar