Jumat, 11 Juni 2010

Reinkarnasi

Reinkarnasi Menurut Islam
Oleh : Moh. Subhan
Pendahuluan
Kata “reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis. Kata Latin carnis berarti daging. Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi disebut sebagai reborn atau reembodiment.
Bagi agama-agama di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.

Bagaimana dengan reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5–4 seb. M, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana. Tujuan hidup dan Mati menurut ayat-ayat Al-Qur’an ke alam
Sebagai seorang muslim tentu saya akan menguraikan reinkarnasi ini berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Hadis. Dan, dalil-dalil ini tergolong ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat yang perlu dipahami maknanya dengan seksama. Oleh kalangan awam ayat-ayat ini biasanya dilepas begitu saja, dan tidak ada usaha memahaminya. Padahal, Alquran telah memerintahkan pembacanya untuk menggunakan akal atau pikiran untuk dapat mengerti makna yang tersembunyi dibalik makna literalnya. Marilah kita simak ayat QS al-Mulk (67) Alladzî khalaqa al-mawta wa al-hayâta li yabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalâ wa huwaal- ‘azîza l- ghafûr.
Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu, dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu Maha Perkasa dan Maha Melindungi.
Pertama, mati dan hidup itu diciptakan. Hal semacam ini sering luput dari pemahaman. Dikiranya, yang diciptakan Tuhan itu hanya hidup. Mati ada di dalam wilayah ciptaan Tuhan. Demikian pula hidup. Tentu saja yang dimaksud di sini bukanlah “hidup sejati”. Tapi, hidup di dalam jasad. Jadi, hidup di dalam jasad, dan mati jasad itu ciptaan.

Jasad atau raga hanyalah pakaian bagi “jiwa”, soul. Jika raga tidak bisa dipakai alias tidak berfungsi, maka jiwa akan meninggalkannya. Tetapi, jika jiwa hanya sekadar meninggalkan jasad, belum tentu jasad mengalami kematian. Dalam peristiwa OOBE (Out Of the Body Experience), jiwa dapat keluar tubuh dan kembali lagi. Tidur nyenyak pun dapat membuat jiwa ke luar dari tubuh untuk beranjang sana-sini. Hal semacam ini dijelaskan dalam QS al-Zumar [39]:42, sebagai berikut.
Allah yang memegang jiwa manusia ketika matinya dan di waktu tidur bagi yang belum mati. Dan, ditahan-Nya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya, sedangkan yang belum mati dilepaskan hingga masa ajal tiba. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang yang berpikir.
Selama garis kematian belum tiba, jiwa dapat bepergian kesana-kemari. Menurut mistik Timur, jiwa dan raga ini ada tali pengikat yang disebut benang perak atau silver cord. Selama benang ini tidak putus, maka orang yang mengalami OOBE tidak akan tertimpa kematian.
Bila dilihat dari sudut energi, orang yang mengalami mati itu telah kehilangan energi prana, elan vital, atau premananya (Jawa). Baik benang perak atau premana tidak perlu dipertentangkan. Keduanya merupakan elemen kehidupan. Jika salah satunya rusak, orangnya akan mati. Artinya, bilamana elemen-elemen yang membangun hidup itu rusak alias tidak berfungsi, jiwa tak akan dapat beroperasi lagi. Jiwa akan meninggalkan tubuh yang demikian itu.
Kedua, penciptaan mati dan hidup itu dimaksudkan untuk mendidik dan melatih manusia agar manusia dapat beramal kebajikan. Jadi, jelas sekali bahwa proses mati-hidup-mati-hidup di dunia ini dimaksudkan untuk melatih manusia. Dunia ini sekolahan. Dunia adalah ladang bagi kehidupan berikutnya (Hadis). Siapa yang menanam, ia pula yang mengetam. Dan, dalam QS 51:56 disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia itu adalah ma’rifat Allah, mengenal Allah. Untuk apa? Agar manusia dapat kembali ke asalnya, yaitu kembali kepada Allah.
Seringkali balasan amal itu dipahami sebagai balasan atau imbalan yang akan diberikan kepada manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di alam akhirat setelah hancur-leburnya bumi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan tentang cepatnya perhitungan Tuhan terhadap para hamban-Nya. Lebih dari 10 ayat yang menyatakan bahwa hisab Tuhan atau perhitungan amal baik dan buruk manusia itu amat cepat. Kalau hukuman itu ditangguhkan hingga hari kiamat atau setelah hancurnya alam semesta, maka ada orang yang sudah jutaan tahun dalam masa menunggu, dan bagi yang hidup menjelang hancurnya alam semesta malah akan menerimanya lebih cepat. Tentu, hal ini akan bertentangan dengan kasih sayang Tuhan, sekaligus bertentangan dengan keadilan-Nya
Balasan dan imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu amat cepat alias segera. Dan, perhitungan itu tidak sperti nilai rapor. Apabila nilai rapor sudah diperhitungkan nilai plus-minusnya, sehingga seseorang tinggal terima jadi, apakah ia naik kelas atau tinggal kelas; tidak demikian dengan perhitungan Tuhan. Dalam QS al-Zalzalah [99]:7–8
Disebutkan sebagai berikut: Faman ya‘mal mitsqâla dzarrah khayran yarâh Waman ya‘mal mitsqâla dzarrah syarranyarâh.
Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya.Dan, barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itupun akan dilihatnya.
Jadi, tidak ada perhitungan dengan sistem yang dapat mencapai angka 6 atau lebih akan naik kelas atau akan tinggal di surga, dan yang tidak dapat angka indeks prestasi itu akan tinggal di neraka. Tidak. Tidak demikian! Bahkan bagi yang beramal keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula balasan Tuhan itu amat cepat.
Dalam bahasa Arab disebut sarî‘ al-hisâb. Balasan yang cepat artinya suatu balasan yang dapat diamati di dunia ini. Dan, sistem perhitungannya pun sebagaimana dikemukakan pada ayat-ayat di Surah al-Zalzalah tersebut. Itu artinya balasan atau imbalan itu berlangsung di dunia ini. Caranya melalui kelahiran kembali. Hal ini disebut dalam QS 6:94, bahwa manusia datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya. Dan, mengenai penciptaan pada kali yang lain ini akan jelas sekali diterangkan dalam QS 29: 19–21sebagaiberikut.Dan, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan mengulanginya.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.Katakanlah: “Berjalanlah di bumi, maka gunakan nalarmu untuk mema-hami bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.Allah mengazab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang menghendakinya. Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.
Perhatikan dengan seksama ayat tersebut. Pada ayat yang pertama, isi perintah-Nya adalah memperhatikan cara Allah menciptakan manusia. Ya, yang perlu diperhatikan adalah cara Allah menciptakan manusia pada mulanya. Bagaimana? Ternyata, caranya melalui pertemuan sel telur pada wanita dan sel sperma dari pria. Kemudian, keduanya bersatu, membelah diri, dan akhirnya tumbuh menjadi janin di dalam perut ibu. Lalu, lahir ke bumi sesuai dengan garis nasibnya. Ada yang dilahirkan di tengah orang berada, dan ada yang dilahirkan melalui keluarga papa.
Setelah paham tentang penciptaan pada pertamanya, maka kita diminta memperhatikan caranya Allah mengulangi penciptaan itu. Kita diperintah untuk memperhatikan pada penciptaan ulangan, agar kita ngeh, kita paham benar-benar bagaimana proses penciptaan manusia.
Ayat yang kedua, memerintah kita untuk menjelajah bumi ini. Kita diperintah untuk melakukan study tour, atau widya wisata. Untuk apa? Untuk mengerti tentang bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali lainnya. Coba renungkan dalam-dalam! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah dunia ini hancur lebur, ya akan menjadi perintah yang salah. Mengapa? Karena penyelidikan penciptaan itu cukup di bumi ini, baik penciptaan pada mulanya maupun pada kali yang lain. Itu artinya kebangkitan itu di bumi ini. Yaitu, berupa kelahiran kembali. Ya, lahir kembali adalah penciptaan pada kali yang lain. Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang itu.
Nah, pada penciptaan kali yang lain itulah seorang manusia yang dilahirkan menerima azab atau mendapat rahmat. Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya. Dalam QS 3:117 disebutkan bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri mereka sendiri. Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia sendiri yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
Jelas sudah, bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia. Allah hanyalah menjalankan roda hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Sedangkan manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Karena hukum alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu atas Kehendak-Nya. Sayang sekali, dalam berbagai terjemahan, kata man yasyâ’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Allah menghendaki. Tentu saja terjemahan demikian melanggar pernyataan Allah bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun.

Apabila kita memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikit pun, lalu siapa yang membuat ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk? Lalu, mengapa ada orang yang mulus hidupnya dan ada yang tidak luput dari bencana? Apa ada garis tangan seseorang?

Jawabnya, semua itu akibat ulah dan perbuatan orang yang tertimpa bencana itu sendiri. Kalau seseorang bernasib baik maka itu akibat amal kebajikan orang itu sendiri. Amalan kapan? Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan yang lampau. Jadi, takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh seseorang pada masa lampaunya. Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman azali, maka itu artinya Tuhan telah berbuat zalim bagi sebagian hamba-Nya. Jika sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal, Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia. Maka, jelas Tuhan tidak menetapkan takdir sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam hingga sekarang ini. Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta. Tapi, kita sekarang ini adalah manusia yang telah lahir beberapa kali, bahkanratusanataubahkanribuankali.

Mengenai petaka atau bencana yang menimpa manusia di bumi ini, dapat dirujuk pada ayat-ayat berikut. Perhatikan dengan seksama dua ayat di bawah ini.
Dan, musibah apa pun yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh tindakanmu sendiri, danAllahmengampunisebagianbesarkesalahanmu.

Dan, kalian tidak dapat melepaskan diri dari bumi ini. Bagimu, tiada pelindung dan penolongselainAllah(QS42:30-31)

Apa saja jenis musibah atau bencana yang menimpa seseorang, ternyata itu akibat perbuatan tangannya sendiri. Bukan oleh orang lain. Bukan oleh Tuhan. Bukan oleh setan dan jin. Ternyata semua itu disebabkan oleh ulah yang tertimpa musibah itu. Termasuk kalau ada bayi yang dilahirkan cacat. Itu disebabkan oleh perbuatan jiwa si bayi tersebut.
Banyak orang yang tidak memahami tentang kelahiran kembali. Atau, reinkarnasi. Sehingga, kalau ada bayi cacat maka itu dianggap oleh kondisi kesehatan orangtuanya. Misalnya, ada kerusakan genetis. Penyakit dalam kandungan. Oleh sebab-sebab lain. Atau, karena dalam peperangan si bayi terkena peluru nyasar sehingga meski terselamatkan ia kehilangan anggota badannya. Umumnya orang tidak mengerti bahwa itu disebabkan oleh hutang-piutang karma atau perbuatan.
Memang, ada proses karma. Pertama si orangtua mempunyai karma negatif, atau karma buruk. Sehingga ketika dia mengandung, janin yang dikandungnya itu cacat. Jadi, yang cacat itu raga si bayi. Sedangkan raga itu sendiri ya tidak ada maknanya. Nah, ketika raga bayi itu cacat, maka jiwa yang dimasukkan ke dalam raga yang cacat itu adalah jiwa yang hutang karma. Jiwa yang pada kehidupan masa lalunya banyak berbuat keburukan. Dus, bayi yang dilahirkan cacat itu merupakan kaitan karma orangtua dan bayi tersebut. Sama-sama punya karma buruk pada kehidupan masa lalunya. Meskipun hal ini tidak berarti ada kaitan karma buruk antara orangtua dan si bayi pada kehidupan lalunya.

Kembali kepada ayat di atas. Disebutkan bahwa Tuhan mengampuni sebagian besar kesalahan manusia. Apa kaitannya dengan reinkarnasi? Jika Tuhan tidak mengampuni sebagian besar kesalahan manusia, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dalam hidupnya. Bayangkan, jika hutang seratus unit harus dibayar 100 unit; apa yang terjadi? Tak ada perubahan di dalam kehidupan manusia. Tuhan itu Maha Pemaaf. Sehingga, Tuhan tak akan mewujudkan balasan lebih daripada keburukan yang pernah dibuat hamba-Nya. Tuhan bukanlah tukang balas. Namun, kita pun harus paham bahwa mekanismesebab-akibat itu merupakan ketetapan-Nya.
Dalam bahasa agama, cara kerja alam raya dalam kaitannya dengan sebab dan akibat disebut pemberian pahala untuk kebaikan dan pembalasan atau azab bagi kejahatan. Karena rahman dan rahim-Nya, kebaikan akan mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tapi keburukan hanya mengakibat-kan keburukan yang setara atau kurang. Dalam bahasa psikologis alam raya itu bersifat memaafkan. Hal semacam inilah yang disebut dalam Alquran sebagai kebajikan Tuhan. Dia memaafkan sebagian besar kesalahan yang pernah dilakukan manusia.
Pada QS 42: 31, terdapat peringatan dari Tuhan. Apa isinya? Secara normal, manusia tidak akan dapat meninggalkan bumi ini. Salah satu unsur pembentuk fisik manusia adalah bumi. Maka, secara alami manusia tertarik oleh keindahan bumi. Dan, gaya tarik bumi terhadap unsur-unsur fisik manusia, yaitu bumi, air, api dan udara, sangat kuat. Sehingga manusia cenderung untuk kembali hidup di bumi. Hal semacam ini dikabarkan dalam QS 7:25, bahwa manusia dihidupkan oleh Tuhan di bumi, dimatikan di bumi dan dibangkitkan di bumijuga. Dus, jikalau manusia hanya mengikuti hukum alam, tidak ada aksi dari manusianya sendiri untuk melepaskan diri dari bumi, maka selamanya ia akan tinggal di bumi. Sehingga, kenikmatan surga pun sebatas kenikmatan yang tersedia di bumi ini. Maka, pada penutup ayat 31 disebutkan bahwa bagi manusia tak ada pelindung dan penolongnya selain Allah. Dengan kata lain, pelindung dan penolong manusia itu hanyalah Allah.
Kata “Allah” dalam Alquran adalah sebutan bagi Tuhan semesta alam. Maka, bagi yang bukan orang Islam tidak perlu rancu terhadap sebeutan Tuhan. Bahkan di Alquran sendiri Tuhan dapat disebut berdasarkan Nama-nama baik-Nya (QS 17: 110). Bagi khazanah “New Age”, Tuhan disebut sebagai “Sang Maha Diri”, the Absolute Reality atau Absolute Self. Sedang-kan diri manusia ya “sang diri” atau diri sejati saja. Maka, tujuan hidup manusia adalah kembalinya “sang diri” kepada “Sang Maha Diri”.

Perjalanan sang diri kepada Tuhannya dalam hitungan waktu fisik amatlah panjang. Manusia yang sudah terkungkung oleh ruang-waktu, harus menempuhnya dalam hitungan jutaan tahun bumi. Jika satu generasi perlu hadir selama 50–100 tahun, maka perlu puluhan hingga ribuan kali manusia dapat menyempurnakan dirinya. Dengan kata lain, untuk dapat kembali ke alam kelanggengan atau paling tidak keluar dari bumi manusia perlu dilahir-kan berkali-kali. Manusia perlu mengikuti kala-cakra, atau putaran roda kehidupan di bumi.
Untuk kembali kepada-Nya, ya hanya dengan cara berlindung kepda-Nya semata. Jika kita masih berlindung kepada yang lain, kepada selain-Nya yang notabene hamba-Nya, maka kita pasti menderita di bumi ini. Makanya, semua agama yang ada memerintahkan manusia untuk berlindung dan mohon pertolongan kepada-Nya semata. Inilah yang disebut tauhid dalam agama Islam. Meng-Esa-kan Tuhan.
Musibah atau bencana di bumi sebenarnya merupakan pelajaran agar manusia dapat menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan. Namanya saja kembali kepada-Nya, maka jalan yang harus ditempuh pun jalan-Nya yang disebut shirâth al-mustaqîm, jalan lurus. Yaitu, jalan untuk hamemayu hayuning bawana dan tidak menghambakan diri kepada yang selain-Nya.
Perhatikan QS al-Rûm [30]: 41 – 45 sebagai berikut. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia. Allah bermaksud untuk membuat mereka itu merasakan sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka dapat kembali (kepada jalan-Nya).
Katakanlah: “Lakukan perjalanan di bumi dan perhatikan bagaimana akibat perbuatan orang-orang sebelummu. Sebagian besar mereka itu merupakan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Oleh karena itu, hadapkanlah dirimu kepada agama yang lurus sebelum datangnya hari dari Allah yang tidak dapat ditolak. Pada hari itu mereka terpisah-pisah.
Barangsiapa yang kafir maka ia sendiri yang menanggung kekafirannya, dan bagi yang beramal saleh maka buah kebaikannya untuk dirinya sendiri.
Allah melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang mengingkari-Nya.
Pertama, ketika ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan. Apalagi sekarang! Dan, dinyatakan dengan tegas bahwa kerusa-kan itu akibat perbuatan manusia. Bukan disebabkan oleh perilaku hewan. Artinya, potensi kerusakan itu berasal dari manusia. Ya, akibat ulah manusia rusaklah daratan dan laut. Ternyata, kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia (yang melakukan kerusakan itu) merasakan seba-gian dari akibat perbuatannya. Untuk apa? Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar. Ya, kembali kepada jalan-Nya.
Jadi, yang merasakan akibat perbuatannya itu ya yang pernah hidup pada masa lampau dan berbuat kerusakan. Bukan orang yang pertama kali dilahirkan di bumi ini. Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun? Tidak mungkin manusia yang tidak berbuat kesalahan dikenakan azab. Dan, karena kasih-sayang Tuhan pula manusia yang dihidupkan lagi itu merasakan sebagian saja dari akibat perbuatannya. Manusia tidak merasakan seluruh akibat perbuatan buruknya. Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.
Kedua, lagi-lagi kita diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi ini. Tapi, pada ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang yang hidup pada masa lalu. Apa kata ayat tersebut? Banyaknya kerusakan di darat dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang yang menyekutukan Tuhan. Dus, orang yang menyekutukan Tuhan itu adalah orang yang membuat kerusakan di bumi ini. Jelas kan, bahwa mereka bukanlah orang yang beribadah di depan patung?.
Jelas, bahwa kemusyrikan itu lebih terkait dengan amal perbuatan manusia. Jika amalan itu merusak bumi, maka itu tindakan syirik. Jika perusakan bumi itu merupakan perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang musyrik alias menyekutukan Tuhan. Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan manusia diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada agama, jalan hidup, yang lurus. Yaitu, jalan hidup yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “islam” (sebagai generik). Dalam kehidupan aktual, islam yang generik ini bisa disebut Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.

Ketiga, manusia harus berusaha berada di jalan yang lurus. Di tempat lain disebut sebagai orang yang bertakwa. Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”. Hari apa gerangan? Itulah hari kematian dan sekaligus kebangkitan seseorang. Karena dalam satu hari orang yang mati itu banyak, maka yang dibangkitkan pun banyak. Di mana dibangkitkan? Ya, di bumi ini! Lihat kembali QS 7:25.
Manusia dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya sendiri-sendiri. Dalam ayat mereka disebut menjadi terpisah-pisah. Dan, disebutkan pada ayat berikutnya bahwa mereka yang kafir ya akan menanggung perbuatan kekafirannya. Yaitu, dilahirkan sebagai manusia yang sengsara. Sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, ya akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.
Nah, sekarang perhatikan kata musyrik dan kafir. Identik kan? Kalau yang dirujuk itu sikap hidup, maka namanya musyrik. Tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya kafir. Jadi, kafir itu tak ada kaitannya dengan agama yang dipeluk. Agama apa saja yang dipeluknya, kalau ia mengingkari kebenaran atau melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!

Keempat, Allah tidak mencintai orang-orang yang ingkar. Perhatikan pernyataan “tidak mencintai”, lâ yuhibbu! Ini tidak dapat diterjemahkan menjadi tidak menyukai. Berbeda! Allah tidak terlibat dalam suka dan tidak suka. Allah juga tidak terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci. Allah itu bersifat mahabbah, mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak mencintainya.

Apa bedanya “tidak mencintainya” dengan “membenci”? Benci adalah perasaan tidak suka. Jadi, kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak suka. Ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang rahman dan rahim. Jelas, tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada dirinya. Sifat Tuhan adalah Cinta. Maka, karena itu para ahli tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri Cinta.

Cinta itu bukan suka! Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai. Jadi, kalau Tuhan mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan karunia dari-Nya. Misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan kenikmatan. Lha, kalau Tuhan “tidak mencintai” orang kafir, maka Dia membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.

Nah, apa yang diharapkan manusia? Tentu saja, rahmat-Nya. Kalau belum dapat melepaskan diri dari bumi ya perlindungan dan kenikmatan hidup di bumi. Dengan perlindungan-Nya itu seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.

Dalil-dalil Reinkarnasi
Umat Islam merasa bahwa reinkarnasi itu tidak diajarkan dalam Islam. Bahkan pandangan tentang reinkarnasi dianggap bid’ah. Atau, pandangan sesat. Hal ini dapat dimengerti, karena reinkarnasi tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Alquran. Untuk dapat memahaminya kita harus benar-benar serius dalam menelaah ayat-ayat Alquran maupun Hadis.
Mengapa reinkarnasi di dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit dalam satu topik tersendiri? Karena, Alquran diwahyukan kepada Nabi sesuai dengan budaya Arab yang ada pada waktu itu. Dalam budaya Arab, kehidupan di akhirat saja diangap aneh. Kalau toh ada orang-orang Quraisy yang menerima pandangan tentang akhirat, sebenarnya itu merupakan pengaruh agama Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Apa pandangan asli Arab tentang hidup sesudah mati? Tidak ada! Orang Arab pra-Islam berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali saja. Hal ini direkam di beberapa ayat Alquran. Marilah kita baca dengan seksama rekaman Alquran terhadap kepercayaan orang-orang Arab pra-Islam.
6:29 – Dan, tentu mereka akan mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”
23: 35-37 – “Apakah dia menjanjikan kepada kamu sekalian bahwa bila kamu telah mati, telah menjadi tanah dan tulang-belulang, kamu akan dikeluarkan? Jauh, jauh sekali (dari kebenaran), apa yang diancamkan kepadamu. Kehidupam kita itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi.”
34:7 – “Dan orang-orang kafir berkata: ‘Maukah kamu kami tunjukkan seorang lelaki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur, sesungguhnya kamu benar-benar akan dibangkitkan dalam ciptaan baru?’”
44:35 – “Tidak ada kematian selain kematian kami yang pertama. Dan kami sekali-kali tidak dibangkitkan.”Ayat-ayat tersebut sudah jelas menggambarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat Arab. Mereka itu tidak percaya bahwa kehidupan itu tidak berakhir dengan kematian. Mereka meyakini bahwa kehidupan ini sekali saja, dan kematian merupakan akhir bagi segalanya. Makanya, mereka itu hedonistis. Mereka itu hanya berusaha mencari kesenangan duniawi semata. Mereka tidak peduli bahwa kesenangan yang diusahakan itu merugikan orang lain atau tidak.
Mereka kaget luar biasa ketika Nabi Muhammad mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Baru dinyatakan ada kehidupan baru sebagai ciptaan baru setelah mati, mereka itu sudah menolak. Apalagi kalau mereka itu dijelaskan secara gamblang bahwa kehidupan itu bisa berlanjut berkali-kali, mungkin nggak percayanya itu kuadrat.

Reinkarnasi itu ayat mutasyabihat. Ya, kelahiran kembali itu diungkapkan dalam Alquran secara tersamar. Ayat-ayatnya harus dipikirkan dan direnungkan dalam-dalam. Kalau tidak dipikirkan masak-masak, pasti akan terjerumus pada penerjemahan atau penafsiran yang menyimpang. Ayatnya tidak disampaikan secara berurutan atau sering diselipkan di berbagai topik kehidupan. Makanya, kalau kita tidak jeli membacanya akan kecele.

16:70 – “Allah menciptakan kamu. Kemudian, Allah mewafatkan kamu (mengakhiri hidupmu di bumi ini), dan di antara kamu ada yang dikem-balikan pada umur yang paling lemah, agar dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesunggunya Allah Maha Menge-tahui dan Mahakuasa.”
16:77 – “Dan kepunyaan Allahlah segala yang gaib di langit maupun di bumi. Dan, tidaklah perintah kebangkitan itu selain sekejap mata atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
16:78 – “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan, Dia memberimu pendengaran, peng-lihatan dan fuad agar kamu dapat bersyukur.”
Pertama, pada umumnya orang yang hidup di bumi ini berakhir dengan kematian. Tentu saja, ada yang benar-benar telah wafat, alias telah sempurna hidupnya, sehingga tidak dilahirkan kembali di bumi ini. Tapi, kebanyakan manusia itu dilahirkan kembali. Dalam bahasa ayat di atas dinyatakan sebagai “dikembalikan pada umur yang paling lemah”. Umumnya, kalimat ardzal al-‘umur pada ayat tersebut diartikan “tua-renta”. Sedangkan kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun yang pernah diketahuinya” diartikan dengan “pikun” atau pelupa karena sudah tua sekali.
Penerjemah biasanya tidak memahami bahasa Indonesia dengan benar. Mereka tidak menyadari bahwa “tua-renta” itu belum tentu lemah. Banyak orang di Indonesia ini yang umurnya sudah 80 tahun masih tampak lebih segar daripada yang berumur 40 tahun. Beberapa negarawan kita sudah berumur lebih dari 80 tahun, tapi masih berbicara tentang politik dan situasi negara kita dewasa ini secara kritis. Maka, jelas kalimat “dikembalikan pada umur yang paling lemah” itu tidak berarti tua-renta atau lanjut usia.
Kedua, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun apa yang pernah dike-tahui sebelumnya” diartikan dengan “pikun”. Ini salah besar! Orang pikun itu pelupa. Mudah lupa terhadap apa yang diketahui atau dikerjakannya. Tapi, pikun itu masih ada yang diingat. Bukan tidak ingat sama sekali apa yang pernah diketahui, atau lost memory. Dan, pikun itu sifat yang ada pada orang tua yang telah lanjut usia di mana saja. Namun, tidak setiap orang yang lanjut usia itu pikun. Jadi, tidak mungkin bangsa Arab tidak punya khazanah untuk kata pikun. Dalam bahasa Arab, pikun itu mukharraf.
Jadi, kondisi tua-renta dan pikun itu tidak merupakan pemetaan satu-satu. Artinya, ada orang yang tua-renta tidak pikun, dan ada orang pikun yang masih muda usianya. Makanya, harus kita cari ayat-ayat yang menya-takan “tidak tahu sesuatu pun apa yang pernah diketahuinya” itu dalam kaitan yang lain. Ternyata, pada ayat 78 disebutkan bahwa kalimat tersebut terkait dengan pernyataan “dikeluarkan dari perut ibumu”. Artinya, “tidak tahu sesuatu pun” itu dimiliki oleh bayi yang baru dilahirkan. Dan, di ayat sebelumnya dijelaskan bahwa kondisi ini disebut kebangkitan! Dus, kebangkitan seseorang itu ada di bumi ini, yaitu keluar dari perut ibu.
Ya…, kebangkitan adalah kelahiran. Dan, ini cocok dengan makna bangkit itu sendiri. Yaitu, bangkit sebagai manusia kembali. Dengan adanya kebangkitan atau kelahiran itu, maka orang yang telah mati, dan tulang-belulangnya telah hancur, akan hidup kembali sebagai ciptaan yang baru yang disangkal oleh orang-orang Arab pra-Islam.

Maka, kiamat dalam pengertian kita selama ini sebenarnya kelahiran kembali. Inilah yang disebut reinkarnasi. Dan, kehidupan dunia yang kita alami saat ini adalah akhirat bagi kehidupan masa lalu. Siksa dan pahala yang dialami saat ini merupakan buah perbuatan pada kehidupan masa lalu. Namun Tuhan itu rahman dan rahim, sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya untuk kembali kepada-Nya.
Jika pada kedua ayat tersebut masih samar-samar dan memerlukan kejelian dalam membacanya, maka pada Surah Yâ Sîn [36]: 68 yang biasa dibaca oleh orang Islam pada berbagai kesempatan, hal reinkarnasi itu lebih jelas lagi. Bunyi terjemahan ayatnya, “Dan barangsiapa yang Kami panja-ngkan hidupnya niscaya Kami kembalikan pada kejadiannya. Apakah mereka itu tidak memikirkannya?”
Perhatikan! Pemanjangan hidupnya di bumi ini niscaya diikuti dengan kembalinya pada kejadiannya. Yaitu, dilahirkan sebagai bayi! Tapi, meski sudah terang-benderang maknanya, hampir penerjemah Alquran standar memberikan catatan kaki bahwa itu dikembalikan menjadi lemah dan kurang akal. Jelas, ini orang yang ngawur! Mana ada panjang umur selalu diikuti dengan lemah dan kurang akal? Sepikun-pikunnya atau kurang akalnya orang tua, masih lebih cerdas daripada bayi. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa orang yang telah lanjut usianya belum tentu pikun. Beberapa kepala negara malah masih aktif memimpin, meski umurnya sudah di atas 80 tahun. Tetapi, banyak orang yang baru berusia 60 tahun sudah menunjukkan gejala kepikunan.

Apa arti dikembalikan pada “kejadian”. Bukankah kejadian manusia itu berawal dari seorang bayi? Bagaimana mungkin mereka memahami kejadian sebagi lemah dan kurang akal? Rupanya, mereka itu perlu dididik biologi, agar mereka memahami arti kejadian manusia hingga wafatnya. Mereka perlu diajari membaca kamus dan struktur kalimat bahasa Indonesia. Untuk apa? Agar kalau ada kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” tidak diterjemahkan pikun. Bahasa untuk pikun itu ada di setiap bangsa. Karena, pikun merupakan fenomena yang menimpa orang tua atau lanjut usia.
Bahkan karena sesuatu gangguan, ada orang-orang yang kehilangan ingatan terhadap apa yang pernah diketahuinya. Mereka ini tidak terkait dengan batasan usia. Tapi, hal ini disebabkan oleh gangguan pada saraf otaknya. Ini kasus! Sehingga, hal semacam ini tidak dimasukkan dalam ayat. Maka, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” harus dicarikan kaitannya pada ayat yang lain. Ini yang namanya menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lainnya. Inilah penafsiran yang paling valid!
Kemudian, kalau kita melihat Surah Yâ Sîn di atas, ayat 68 itu ditutup dengan kalimat “apakah mereka tidak memikirkan”. Kalau kita dalam hidup sehari-hari ini menjumpai sesuatu yang lazim, maka kita tak perlu memikirkan maknanya. Kita baru memikirkan sesuatu jika kita ingin mengetahui makna di balik kejadian yang tampak itu.

Reinkarnasi dalam Hadis. Selain ayat-ayat Alquran, indikasi adanya reinkarnasi itu dapat kita temukan dalam beberapa Hadis. Di bawah ini saya cuplikkan beberapa Hadis yang ada kaitannya dengan reinkarnasi.
“Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggaman-Nya, seandainya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, niscaya ia tidak dapat masuk surga sebelum melunasi hutangnya.” (H.R. Nasai)

“Orang yang berhutang itu dibelenggu dalam kuburnya, tiada yang dapat melepaskannya selain ia membayar hutangnya.” (H.R. Dailami) “Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak dapat ditutupi oleh salat, puasa, haji dan umrah. Yang dapat menutupinya hanyalah duka-cita (kesulitan) dalam hidup mencari rezeki.” (H.R. Ibnu Asakir)

Pertama, meskipun gugur berkali-kali tapi bilamana belum melunasi hutangnya, ia tak akan masuk surga. Perhatikan, kata gugur berkali-kali dan hutang. Secara sederhana umat Islam menerjemahkan hutang itu dalam arti hutang harta-benda. Tidak sepenuhnya benar! Yang jelas, hutang harta-benda itu bagian dari hutang perbuatan (karma).

Dan lagi, pada kalimat di atas tidak dinyatakan “kecuali jika ada hutang, keluarganya melunasinya”. Kalimat ini tidak ada. Yang ada, justru menegaskan bahwa yang gugur itulah yang melunasinya. Jadi, hutang itu tidak dapat dilunasi orang lain. Seseorang tidak menanggung beban atau dosa orang lain. Setiap orang akan menanggung dosanya sendiri. Itulah yang dijelaskan di berbagai ayat Al-quran.
Kedua, hidup susah dalam mencari rezeki adalah cara untuk menutupi dosa-dosa. Coba, dosa darimana? Kalau hidup sekarang ini merupakan hidup yang pertama kali, maka tidak adil kiranya bila ada orang yang dilahirkan menderita di kolong jembatan. Padahal, Tuhan sudah menyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.

Bayak sekali di dunia ini orang yang hidupnya menderita semenjak dilahirkan di bumi ini. Menurut Hadis di atas, penderitaan itu sebenarnya untuk menutupi dosa-dosanya. Dan, dosa-dosa itu sendiri tidak dapat ditutupi oleh ibadah formal. Dosa yang tidak bisa dihapus dengan cara salat, puasa, umrah dan haji. Ini tentu saja dosa yang berat. Sehingga perbuatan ibadahnya pun tak bisa menghapusnya. Dosanya hanya hapus bila dia dilahirkan kembali di bumi ini sebagai orang yang hidup menderita!
Kiranya penjelasan saya tentang reinkarnasi pada hari ini saya sudahi sampai di sini. Penjelasan selanjutnya akan diberikan pada pertemuan di tempat yang sama minggu depan, tgl 31 Oktober 2004 tentang “Bentuk-bentuk Reinkarnasi dan Kesudahannya”.

Tidak ada komentar: