Konsep Pembangunan Ekonomi Prespektif Ekonomi Islam Pendahuluan
Krisis ekonomi merupakan krisis yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya karena krisis ekonomi menyentuh langsung keperluan dasar mereka baik pada aspek biologis maupun sosiologis. Sebetulnya perencanaan pembangunan di Indonesia banyak diarahkan pada pembangunan ekonomi, namun hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Akibatnya lahir segelintir orang yang hidup dalam berkelimpahan. Sementara sebagian besar masyarakat lainnya hidup dalam keadaan memperihatinkan, mereka tidak mampu memenuhi hajat hidup sehari-hari. Target pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan persaingan perseorangan, bukan mewujudkan kesetiakawanan dan kerjasama sosial. Pembangunan ekonomi yang disertai dengan perubahan sosial budaya akan banyak menimbulkan masalah moral, oleh karena itu alternatif yang dapat dilakukan oleh ekonomi agar merespon aspek moral dengan cara mengkaitkan pembangunan ekonomi dengan agama.
Kajian bidang ekonomi pada prinsipnya membicarakan tingkah laku manusia sebagai konsumen, distributor dan produsen. Sementara obyek pembicaraan utama dalam bidang ekonomi ialah tingkah laku manusia, maka untuk memahami tingkah laku manusia langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia. Perjalanan panjang ekonomi konvensional ternyata hanya mengantarkan manusia pada keadaan yang sangat resah bukan pada keadaan hasanah yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan kemakmuran di dunia maupun di akhirat. Keadaan itu diakibatkan oleh karena sistem ekonomi barat mengabdi kepada kepentingan peribadi, bukan mengabdi kepada Allah SWT.
Keresahan akibat ketidakadilan tersebut mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik dan cenderung bersaing untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Sementara, ekonomi yang berdasarkan Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia tenang dan harmonis. Dari sini kemudian target pembangunan ekonomi Islam adalah an-nafs al-muthmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS. 89:27-30).
Namun bagaimana pertumbuhan ekonomi syari’ah itu dikonsepsikan oleh para penulis muslim? Dan bagaimana seharusnya ia berperan untuk menata ulang kehidupan manusia ini ? Tulisan ini akan memaparkan pendapat para teorikus ekonomi Islam tentang konsep pembangunan ekonomi.
Pengertian pembangunan ekonomi[1]
Pembangunan ekonomi menurut kebanyakan teorikus ekonomi Islam memiliki ciri-ciri komprehensi, tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi semata, akan tetapi seperti ditegaskan oleh Khursyid meliputi aspek moral dan sosial[2], material dan spritual. Di samping itu kata Khursyid pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari konsep keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu pada seluruh generasi, menghapus riba dan mewajibkan zakat. Pendapat lain menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan akidah dan membenarkan iman. Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara konsep pertumbuhan ekonomi menurut Islam dengan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi Islami -menurut pandangan Khursyid- berasaskan filsafat yang berhubungan dengan al-tauhid, al-rububiyah dan al-istikhlaf[3]. Namun menurut Al-Fasi perbedaan tersebut karena lebih disebabkan oleh sistem kapitalisme yang membolehkan riba dan sistem sosialisme yang cenderung tidak terikat dengan agama.[4]
Sebagian penulis seperti Yusuf berpendapat bahwa pemberlakuan al-‘urf untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dan tidak relevan dengan masyarakat muslim.[5] Ketidak sesuaian ini kata Abdul Mannan karena adanya persoalan-persoalan yang tidak populer yang tidak dapat dijadikan dasar bagi pembangunan ekonomi yang berlaku bagi masyarakat non muslim. Pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat muslim berdasarkan prinsip menggembirakan (at-targib) yang terdapat di dalam Al-Quran dan as-sunnah.[6]
Pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Islam -menurut Yusuf- untuk mewujudkan kehidupan yang baik (al-hayat at-taiyibah) sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran : “waman ya’mal sâlihan min zakarin awu unša falanuhyiyannhu hayâtan tayyibah.[7]
Mayoritas penulis tentang ekonomi Islam memahami konsep pertumbuhan ekonomi dari beberapa ayat Al-Qur’an seperti : “Huwallazî ansya’akum fi al-ard wasta’marakum fîha” (Q.S. Hud, 61). Ayat ini mengandung dua makna yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Pertama makna al-wujub atau kewajiban umat manusia untuk mengelola bumi sebagai lahan pertanian dan pembangunan.[8] Kedua, ayat tersebut mengandung perintah Tuhan kepad umat manusia untuk membangun jagad raya.[9] Perintah Allah tersebut bersifat wajib dan mutlak. Mayoritas penulis berpendapat kata al-‘imârah (memakmurkan) identik dengan kata at-tanmiyah al-iqtisadiyah (pembangunan ekonomi). Oleh karena itu, kata mereka Islam lebih awal menyatakan “kewajiban umat manusia” untuk membangun ekonomi dari pada sistem-sistem ekonomi yang lain.
Ayat lain yang juga relevan dengan pembangunan ekonomi adalah: “Wa ‘aiddû lahum mâ istata’tum min quwwatin wa min ribath al-khaîl”. Ayat ini disebutkan oleh Al-Qur’an dalam kontek persiapan jihad. Sebagaimana diketahui bahwa jihad tidak akan terlaksana tanpa dukungan ekonomi yang kuat. Satu-satunya jalan untuk mendukung keberhasilan jihad adalah dengan membangun ekonomi.[10] Jadi, perintah (wajib) melakukan jihad sekaligus dapat dipahami sebagai perintah membangun ekonomi.
Ayat lain tentang pembangunan ekonomi adalah firman Allah: “Yâ ayyuhallazîna âmanû anfiqû min tayyibâti mâ kasabtum” (Q.S. Al-Muluk 15). Ayat ini mengandung makna wujûb al-infâq (kewajiban mengeluarkan beaya) dan membangun fasilitas yang mendukung keberhasilan kewajiban tersebut. Hukum membangun fasilitas yang mendukung realisasi terhadap perintah yang bersifat wajib adalah wajib. Di dalam kaidah fiqhiyah disebutkan :”mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun”. Dengan demikian, bekerja (al-kasbu) adalah suatu kewajiban alami dan al-kasbu menurut sebagian penulis adalah nama lain dari al-intaj (produksi). Dari sini kemudian para penulis muslim memahami adanya konsep pembangunan ekonomi di dalam ajaran syari’ah.[11]
Dapat dipastikan bahwa para penulis teori ekonomi Islam menyimpulkan bahwa setiap ayat yang menyebutkan kata al-kasbu, as-sa’yu, al-infâq atau al-dharbu fi al-ard (berpetualang di muka bumi) menunjuk pada satu makna yaitu aktifitas perekonomian, sekaligus menajdi dalil hukum pembangunan ekonomi. Perintah membangun ekonomi merupakan konsep umum sehingga sulit dibatasi pada suatu aktifitas yang tingkat keberhasilannya dapat diukur. Pendapat ini muncul karena didorong oleh keinginan kuat kebanyakan penulis untuk menegaskan bahwa agama Islam mendahulukan segala sesuatu yang mengandung kebaikan bagi manusia dan menghindari hal yang dapat merugikan mereka.
Meskipun pernyataan ini banyak dimuat dalam karya-karya modern, namun kita temukan beberapa penulis melihat hal tersebut dari sudut pandang pembangunan ekonomi perspektif Islam dan mengkorelasikannya dengan moralitas modern. Yasri misalnya mengatakan :”Islam tidak menolak konsep obyektif apapun yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam”.[12] Dunya menambahkan “bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsep Islam dan konsep ekonomi konvensional tentang pembangunan ekonomi, hanya saja Islam mencakup keikhlasan beribadah kepada Allah”.[13] Adapun Affar mengisyaratkan bahwa pembangunan ekonomi perspektif Islam berkaitan dengan pertumbuhan produksi dan pertumbuhan kekayaan masyarakat [14] dan cara menggunakan sumber-sumber ekonomi yang ideal menurut Khursyid,[15] memenuhi kebutuhan yang layak (had al-kifayah) dan memerangi kemiskinan menurut Ajwah.[16] Tanpa rasa skeptis Quhaf juga mengemukakan pendapat :bahwa pembangunan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk merealisasikan kemajuan dalam bidang material akan tetapi kemajuan tersebut - menurutnya- tidak menetralisasi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan syari’ah.
Meskipun penting mempormulasikan konsep Islam tentang pembangunan ekonomi, namun agak mengherankan mengapa belum mendapat perhatian yang memadai dari para penulis, mereka hanya menjelaskan sistem pembangunan ekonomi islami secara sporadis dan tidak komprehensif.
Tujuan Pembangunan Ekonomi
Teori ekonomi konvensional setidaknya memperkenalkan dua hal fundamental berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi. Pertama memperbaiki tingkat pendapatan riil individu dan yang kedua, menegakkan keadilan distribusi pendapatan. Dua tujuan tersebut menjadi fokus pembicaraan di kalangan penulis muslim. Namun sebagian mereka menambahkan tujuan lain yang menjadi karakteristik masyarakat muslim. Quhaf misalnya, mengatakan tujuan pembangunan ekonomi untuk membentuk iklim yang kondusif bagi keagungan nilai-nilai Islam dalam suatu masyarakat yang sejahtera secara material.[17] Dengan demikian, pembangunan ekonomi yang memiliki karakteristik islami harus dapat meningkatkan komitmen umat Islam terhadap agamanya. Al-Rubi mengkorelasikan pembangunan ekonomi dengan kewajiban-kewajiban keagamaan. Menurutnya, tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sehingga setiap individu dapat melaksanakan dan komitmen terhadap ajaran agama mereka.[18]. Sedangkan menurut Yusuf, tujuan pembangunan ekonomi harus dapat merubah masyarakat dari keadaan yang tidak diridai Allah menjadi keadaan yang diridai-Nya.[19]
Di antara tujuan pembangunan ekonomi yang sering disebutkan dalam karya-karya kontemporer adalah untuk memenuhi kebutuhan secara memadai (al-had al-kifayah) bagi setiap masyarakat muslim. Asas yang mendasari ide al-had al-kifayah dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Abu Ubaid, As-Sarakhsi dan Al-Mawardi, dan kadang-kadang makna al-had al-kifayah tersebut secara inplisit terdapat dalam beberapa hadis Nabi tentang zakat. Al-Fanjari boleh dikatakan seorang penulis yang paling banyak menghubungkan konsep al-had al-kifayah dengan pembangunan ekonomi.[20] Namun sebagian besar penulis melihat perlu membedakan antara haddul al-kifayah dangan haddu al-kafaf karena Islam mewajibkan kita untuk memenuhi tingkat kebutuhan haddul al-kifayah. Berbeda dengan sistem ekonomi lain yang hanya memenuhi tingkat kebutuhan haddu al-kafaf. Sementara pengertian al-had al-kifayah sebagai target pembangunan ekonomi masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan al-had al-kifayah adalah memerangi kemiskinan.[21] Tetapi ada pula yang mengartikan al-had al-kifayah meliputi semua kebutuhan ”hidup sejahtera” termasuk perhiasan wanita, buku-buku dan kebutuhan perkawinan bagi pemuda muslim ….dst,[22] atau menurut Mansur meliputi berbagai sarana pembinaan dan pendidikan “mukmin yang berkualitas”(almu’min alqawi). Namun beberapa penulis menolak konsep al-had al-kifayah dan al-had al-kafaf. Mereka menegaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan kesejahteraan yang maksimal bagi setiap anggota masyarakat.[23] Walaupun demikian analisis mereka tentang tujuan pembangunan ekonomi bagi masyarakat muslim terdorong oleh niat untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan.
Secara umum dapat difahami bahwa menegakkan keadilan dalam distribusi pendapatan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi secara ideal dan fungsional dan meningkatkan kapasitas produksi dan sumber daya manusia sejalan dengan Islam. Quhaf menambahkan perlunya menselaraskan pembangunan ekonomi di berbagai daerah. Sedangkan Naqwa mengingatkan perlunya mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi.
Khursyid menambahkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan desentralisasi.[24] Sedangkan menurut Siddiqi tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan keseimbangan dan memperbaiki peradaban.
Beberapa penulis mengemukakan bahwa menetapkan batasan kebutuhan dalam kehidupan (al-had) merupakan suplemen dari tujuan pembangunan. Sedangkan pokok dari tujuan pembangunan ekonomi dalam Islam adalah merealisasikan independensi ekonomi bagi masyarakat muslim.
Sebagian penulis mendiskusikan kemungkinan terjadinya keranjauan anatara tujuan yang berkaitan dengan realisasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan distribusi pendapatan yang adil. Menurut Naqwa Islam tidak dapat menerima kalau keadilan dalam distribusi pendapatan tidak terwujud, walaupun dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Kalaulah, kata Naqwa hanya ada dua pilihan yaitu menegakkan keadilan distribusi dan merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang bagus maka lebih baik kita memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif kurang dengan keadilan distribusi yang merata.
Adapun Mansur menafikan adanya pertentangan antara keadilan distribusi dengan tingkat pertumbuhan. Hal ini menurutnya lebih bersifat illusif karena sampai saat ini jarang sekali hasil studi yang membuktikan validitas pendapat tersebut.
Hukum membangun Ekonomi
Untuk mengistimbatkan hukum syara’ tentang membangun ekonomi, para penulis muslim terlebih dahulu melakukan kategorisasi. Mereka mengatakan bahwa membangun ekonomi merupakan perbuatan terpuji karena di dalamnya terdapat maslahat bagi masyarakat. Oleh karena itu, lanjut mereka Islam mendorong penganutnya untuk membangun ekonomi dan menetapkanya sebagai suatu kewajiban pemerintah. Pendapat tersebut mengacu kepada tujuan syari’at Islam yaitu menarik maslahat dan menolak mafsadah “jalbu al-masalih wa dar’u al-mafasid” dan hal ini ada dalam membanguan ekonomi. Atas dasar ini kita menemukan pada sebagian karya-karya mereka menetapkan hukum membangun ekonomi menjadi perbuatan (al-wujub). Dunya misalnya, mengatakan bahwa membangun ekonomi merupakan kewajiban yang sakral “fardun muqaddas” dan bersifat keagamaan. Terdapat sejumlah ayat dan hadis yang mendasari pendapat ini antara lain perintah al-masyyu fi manakib al-ardh (berjalan di muka bumi untuk mencari rizki), al-ibtiga’ min fadhlillah (mencari rizki Tuhan, al-infaq (perintah mengeluarkan infaq), al-jihad fi sabilillah (jihad di jalan Allah), talab al-kasb (mencari pekerjaan.[25] Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Bakhit namun kewajiban itu tegasnya karena membanguan ekonomi lebih bersifat sarana untuk mensukseskan kewajiban yang lain. Di dalam Qo’idah Fiqhiyah disebutkan “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun”.[26]
Penulis lain berusaha mengistimbathkan hukum membangun ekonomi melalui sumber-sumber syari’ah. Al-Jundi, misalnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa al-kitab, al-sunnah, al-ijma’, al-qiyas, al-‘urf dan mazhabu as-sahabi, semuanya menunjukkan bahwa Islam mendorong dan menyerukan umatnya untuk membangun ekonomi.[27] Celaan terhadap kemiskinan merupakan celaan terhadap keterbelakangan, sekaligus seruan mewujudkan pembangunan dari berbagai aspek baik itu pertanian, industri dan perdagangan. Adapun ‘Affar menetapkan hukum membangun ekonomi menggunakan pendekatan al-maqasid syari’ah meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menurutnya pembangunan ekonomi diorientasikan untuk melindungi dan merealisasikan al-maqosid tersebut dan menjadi kewajiban masing-masing individu.[28]
Dari uraian di atas tampak bahwa mayoritas penulis berusaha mengemukakan ide pembangunan ekonomi dengan menjadikan istilah-istilah keagamaan sebagai titik tolak. Misalnya menjadikan pembangunan ekonomi menjadi bagian dari jihad fi sabilillah. Pengkategorisasian aktifitas pembangunan ekonomi sebagai jihad dapat saja diterima kalau memang mengharapkan keridaan Allah. Akan tetapi menjadikan ayat: æÂÎÑæä íÞÇÊáæä Ýí ÓÈíá Çááå ÝÇÞÑÃæÇ ãÇ ÊíÓÑ ãäå … sebagai asas legalitas pendapat tersebut sebagaimana dilakukan oleh Al-Misry[29] menurut hemat kami tidak relevan dan kurang cermat.
Tolok Ukur Pertumbuhan Ekonomi
Sistem ekonomi pada umunya memfokuskan tingkat pendapatan riil individu sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pada era modern terdapat indikator-indikator lain seperti keadilan dalam distribusi pendapatan, keberhasilan dalam mengatasi pengangguran atau membuka lapangan kerja dan lain-lain.
Terdapat kecenderungan para penulis untuk menolak tingkat pendapatan riil individu sebagai satu-satunya alat ukur pertumbuhan ekonomi. Menurut Khursyid “adalah keharusan bagi kita untuk meninggalkan semua model pertumbuhan global yang memfokuskan perhatiannya pada realisasi tingkat pendapatan rata-rata secara maksimal sebagai satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi.[30] Al-‘Audhi menambahkan “Sesungguhnya pembangunan ekonomi yang dimaksudkan secara Islami lebih luas dari pada sekadar meningkatkan pendapatan rata-rata bagi setiap individu.[31] Adapun Dunya menolak pendapatan rata-rata individu sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan memberikan solusi lain yang dinamainya al-miqyas al-Islami (alat ukur pertumbuhan ekonomi Islam). Alat ukur ini adalah kondisi riil masing-masing individu dalam masyarakat yang tercermin dalam pelayanan dan barang yang mungkin dapat diperoleh oleh mereka.[32]
Adapun ‘Affar menawarkan alat ukur lain yang lebih sederhana dan bersifat kualitatif yaitu sejauh mana komitmen seseorang dengan Islam sebagai aqidah dan syari’ah. Dalam hal ini mungkin dengan menggunakan indikator-indikator tertentu misalnya sejauh mana komitmen umat Islam untuk mengambil pokok ajaran agama dan prinsip-prinsip undang-undangnya dalam sistem negara dan sejauh mana upaya mereka untuk mendirikan lembaga-lembaga Islam, menyebarkan da’wah, menyediakan masjid-masjid dan sarana-sarana yang lain.[33] Akan tetapi sebagian penulis menolak alat ukur apa pun yang bertujuan untuk membandingkan masyarakat muslim dengan non muslim. Menurut Yasri: “Adalah tidak benar bagi masyarakat Islam apabila mereka sungguh-sungguh memajukan ekonomi untuk menyibukkan dirinya membandingkan tingkat kemajuan ekonomi mereka dengan masyarakat non muslim, karena masing-masing memiliki hukum yang berbeda-beda”. Ketertinggalan negara-negara Islam, lanjut Yasri merupakan bagian dari peringatan dan pendidikan Tuhan (at-ta’dib al-ilahi). Hal ini disebabkan oleh kejauhan mereka dari jalan yang benar[34]. Akan tetapi Yasri sendiri tidak memberikan alat ukur tertentu untuk membandingkan tingkat kemajuan masyarakat muslim itu sendiri.
Peran Nilai-Nilai Keislaman dalam Pembangunan Ekonomi
Manusia adalah unsur pelaku dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu nilai-nilai keagamaan yang menggerakkan setiap individu mejadi utama dalam mendukung keberhasilan proses ini. Sudah terdapat sejumlah studi yang mengkaji relevansi nilai-nilai keagamaan dengan pembangunan ekonomi terutama nilai keagamaan Protesten di Eropa.
Mayoritas penulis muslim yakin bahwa nilai-nilai Islam yang ditanamkan kepada generasi muslim melalui pendidikan memiliki peran dominan dalam mewujudkan pembangunan ekonomi. Orang pertama mengisyaratkan hal ini secara ilmiah dan sistematis adalah Malik Ben Nabi dalam karyanya “al-muslim fi ‘alam al-iqtisadi”.[35] Dalam karyanya ini Ben Nabi menekankan peranan manusia dalam masyarakat muslim sebagai batu fondasi pertama bagi proses pembangunan ekonomi. Pendapat tersebut sejalan dengan sejumlah pendapat penulis kontemporer. Menurut Yusuf Islam sarat dengan nilai-nilai yang relevan dengan pembangunan. Nilai-nilai tersebut antara lain tercermin dalam anjuran disiplin waktu, memelihara harta, nilai kerja dan perintah untuk selalu bersama jama’ah, meningkatkan produksi, menetapkan konsumsi dan juga sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan.[36] Dan Islam-dalam pandangan Dunya- mengedepankan akidah dan sistem politik, sosial masyarakat dan corak budaya yang sesuai dengan pembangunan[37]. Sedangkan Mannan berpendapat bahwa Islam sendiri merupakan salah satu unsur dalam pembangunan karena Islam itu sendiri memberikan kontribusi dalam mengadaptasikan prilaku manusia dengan pembangunan itu sendiri.[38] Namun Yasri dalam hal ini agak berbeda. Islam dalam pandangannya mendorong secara kuat setiap muslim untuk membangun ekonomi karena muslim dalam bekerja tidak bertujuan untuk memperoleh pendapatan melainkan karena bekerja itu menjadi bagian dari jihad di jalan Allah (fisabilillah). Itulah sebabnya nilai nominal pendapatan muslim tidak akan mempengaruhi kualitas kerja, karena prinsip kerelaan atas apa yang diberikan Allah kepada mereka akan selalu mendorong mereka memperbaiki kualitas kerja sehingga mereka akan selalu meningkatkan pelayanan dan kemampuan.[39]
Sebagaimana diketahui, sebagian orientalis berusaha mempopulerkan pemikiran bahwa nilai-nilai keislaman akan menjadi hambatan yang menghalangi dinamika pembangunan ekonomi dalam masyarakat muslim. Ostrdy misalnya berkata bahwa Islam tidak mampu menciptakan kelompok orang pengorganisir yang memiliki profil seperti yang dibicarakan oleh Shumpitr. Karena Islam mengandung makna al-istislam terhadap Tuhan. Itulah hambatan yang mengekang kebebasan mutlak manusia. Ditambah lagi dengan kepercayaan muslim terhadap qada’ dan qadar sehingga hambatan tersebut secara akumulatif bersifat sosiologis dan akan menghalangi pembangunan ekonomi.[40] Adapun Stocklaf memahami ayat Al-Qura’an : æãÇ ßÇä áãÄãä æãÄãäÉ ÅÐÇ ÞÖì Çááå æÑÓæáå ÃãÑÇ Ãä íßæä áåã ÇáÎíÑÉ ãä ÃãÑåã Ayat ini menurutnya menghilangkan kebebasan memilih (hurriyat al-ikhtiyar). Tidak adanya kebebasan menjadi halangan utama dalam mewujudkan pembangunan ekonomi.[41] Pendapat tersebut ditentang oleh dua penulis muslim. Al-Fasi mengembalikan seluruh klaim tersebut kepada mereka. Beliau mengatakan ajaran-ajaran Islam membentuk starting point dalam bidang pembangunan ekonomi. Komunikasi Eropa dengan umat Islam pada waktu kebangkitan peradaban muslim telah menyelamatkan mereka dari hegemoni gereja, monopoli-monopolinya tentang riba, dan resisten terhadap feodalisme sekutu gereja. Hal ini mengilhami mereka tentang nilai kerja dan berpetualang untuk bekerja sehingga mereka berhasil mewujudkan revolusi industri.[42]
Adapun Rajab mengatakan bahwa Islam yang dibicarakan oleh beberapa orientalis berbeda dengan Islam yang kita pahami dan yakini. Iman kepada qada’ dan qadar memotivasi setiap individu untuk bekerja dan membuat mereka untuk menerima apa yang terjadi pada diri mereka. Dan ini sudah barang tentu mengandung manfaat-manfaat sikologis. Adapun istislam lillah (berserah diri kepada Allah) tidak akan mematikan kebebasan individu karena puncak dari kebebasan itu adalah membebaskan individu dari cengkeraman penguasa agama dan politik atau sekelompok masyarakat yang lalim, tidak hanya itu, bahkan membebaskan manusia dari penghambaan terhadap ideologi-ideolgi ciptaan manusia atau tunduk pada hegemoni kepentingan kelas tertentu. Saya tidak maksudkan dengan ini -kata Rajab- bahwa Barat tidak memahami Islam seperti pendapat Mac Waber bahwa perkataan Nabi kepada salah satu sahabatnya bahwa Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada hamba-Nya “ sebagai bukti bahwa Islam adalah agama fiodal, menyerukan pemborosan, menampakkan sikap konsumtif dan mementingkan status sosial bagi individu, atau pendapat Stocklaf bahwa berjejalnya orang-orang yang antri di klinik dalam komunitas muslim adalah sebagai bukti lemahnya iman mereka terhadap qada’ qadar.[43]
Dana Pembangunan dan Peranan Zakat
Pokok diskusi para penulis dalam hal ini meliputi sumber dana pembangunan, sikap Islam terhadap sumber tersebut dan peran zakat dalam pembangunan ekonomi. Sehubungan dengan ini setidaknya ada tiga sumber pokok pembangunan yaitu tabungan lokal, bantuan luar negeri dan distribusi zakat.
1. Tabungan Lokal :
Tabungan lokal menjadi salah satu sumber utama bagi pembangunan ekonomi di berbagai negara. Sebagian besar penulis mengisyaratkan betapa pentingnya tabungan sebagai sumber dana pembangunan bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu negara Islam wajib mendorong setiap orang untuk meningkatkan jumlah tabungan atau simpanan mereka. Cara yang harus ditempuh dengan menyadarkan mereka akan tanggungjawab sosial. Di samping itu negara juga wajib menyediakan sarana yang selaras dengan mobilisasi menabung itu. Menurut Bakhit sarana untuk mendorong umat Islam agar menabung antara lain mengingatkan mereka bahwa “menabung adalah bagian dari ibadah kepada Allah”.[44] Abdul Mannan menambahkan bahwa rata-rata tingkat tabungan bagi masyarakat muslim tidak dipengaruhi oleh tingkat rata-rata suku bunga. Akan tetapi mengacu pada prisnsip tolong menolong sesama kaum muslim.[45] Sebagian besar penulis mengindikasikan peran prospektif bagi bank-bank Islam untuk meningkatkan jumlah nilai tabungan lokal.[46] Quhaf berpendapat bahwa betapa penting mengadakan sumber-sumber lokal yang mendanai proyek-proyek pembangunan lokal dengan cara menarik tabungan tanpa menggunakan bunga dalam bentuk giro. Keberhasilan mengumpulkan dana-dana itu –menurut pendapat Quhaf- karena semangat tolong menolang dan tanggungjawab sosial sesama umat Islam.
Berpegang pada kaidah-kaidah prilaku konsumen islami secara konsisten –menurut kebanyakan penulis- memiliki hubungan langsung dengan tingkat rata-rata tabungan lokal. Dengan demikian, menghindari pemborosan, mengarahkan dan rasionalisasi pembeayaan konsumtif, menghapus monopoli akan menjadi faktor yang mempengaruhi perbaikan jumlah nilai simpanan individu dalam masyarakat.[47] Abdul mannan menambahkan bahwa negara dapat melakukan campur tangan untuk membatasi beaya-beaya konsumeris yang tidak perlu sehingga akan mengangkat presentase jumlah simpanan.[48] Adapun Affar berpendapat bahwa menghapus bunga dalam ekonomi Islam dapat meningkatkan jumlah tabungan karena para penabung -menurut Affar- dapat memperolah keuntungan secara langsung.[49]
Sedangkan strategi untuk meningkatkan dana lokal melalui kewajiaban pajak terdapat perbedaan pendapat. Affar misalnya, berpendapat bahwa negara dapat menetapkan pajak kalau sumber-sumber dana yang lain tidak mencukupi. Namun hal ini sulit terjadi apabila sistem ekonomi islami diperaktikan secara komprehensip.[50] Pendapat ini disepakati oleh Mannan.[51] Sebagian penulis mengemukakan alasan jastifikasi terhadap kebijakan pajak untuk mendanai proyek pembangunan. Menurut Dunya di dalam harta terdapat kewajiban (hak) selain zakat. Oleh karena itu negara boleh menetapkan pajak.[52] Sedangkan menurut Bakhith apabila negara diperbolehkan menetapkan pajak untuk membeayai perjuangan melawan musuh yang lalim, maka negara juga harus diperbolehkan memungut pajak untuk membeayai pembangunan. Kebijakan ini tidak kurang penting dari pada mempertahankan negara.[53]
Selain Mannan[54] sebagian besar penulis berpendapat bahwa tidak boleh (kalau tidak mampu) membeayai pembangunan sehingga menyebabkan inflasi harga dan dari sini orang-orang akan saling melalimi.[55]
Sebagian besar penulis membedakan antara simpanan dengan pendapatan lokal dan konsumsi lokal. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa simpanan memiliki definisi yang berbeda dalam ekonomi Islam. Menurut Audhi bahwa infaq muslim (pengeluaran muslim) untuk saudara-saudaranya yang fakir miskin dalam sistem ekonomi konvensional dikelompokkan ke dalam unsur konsumsi. Sementara dalam sistem ekonomi Islam digolongkan sebagai unsur simpanan karena mencerminkan akumulasi modal (tarakuman ra’sulaliyan). Maka dari itu ia adalah investasi pada unsur manusia.[56] Quhaf menyatakan tidak ada perbedaan mencolok antara simpanan dengan investasi dalam ekonomi Islam, dan merupakan bagian dari karakteristik ekonomi kapitalis.[57] Adapun Dunya berpendapat bahwa pendanaan pembangunan dalam perspektif Islam mencakup pendanaan sumber-sumber ekonomi, demikian pula dengan sumber daya manusia karena setiap orang harus mampu secara jasmani, pikiran dan spritual untuk mengeluarkan sebagian dari kemampuannya tanpa kompensasi (imbalan) uang. Sumber ini –menurut Dunya- menjadi salah satu sarana pembeayaan pembangunan.[58]
2. Bantuan Luar Negeri:
Bantuan luar negeri adalah sumber pendanaan pembangunan yang penting pada masa sekarang terlebih bagi negara-negara ketiga. Sikap para penulis muslim berbeda-beda terhadap bantuan luar negeri ini, karena sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa kita tidak boleh bergantung pada pinjaman luar negeri yang menggunakan sistem bunga yang mengandung unsur riba yang diharamkan. Yasri misalnya membandingkan antara keadaan negara terbelakang yang simpanannya tidak cukup untuk mendanai pembangunan dengan keadaan seseorang dalam keadaan darurat yang membolehkan dia untuk melakukan sesuatu yang diharamkan, dan karena itu –menurut pendapatnya- permasalahan ini menjadi wilayah ijtihad.[59] Sebagian besar penulis cenderung membolehkan bantuan apa pun apabila tidak terkait dengan syarat tertentu. Nabi sendiri pernah meminta bantuan kepada Yahudi Khaibar.[60] Umar bin Khattab pernah meminta bantuan dari tenaga ahli asing ketika bertanya kepada Muqauqis tokoh senior Qibthi Mesir tentang asal muasal bangunan Mesir dan keruntuhannya.[61] Akan tetapi Affar berpendapat bahwa umat Islam lebih baik bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan tidak menerima bantuan atau hibah luar negeri karena dalam bantuan tersebut terdapat kehinaan dan kerendahan.[62] Mansur juga berpendapat perlunya percaya pada diri sendiri[63] untuk mendanai pembangunan.
Beberapa penulis menawarkan alternatif yang menggantikan posisi bantuan luar negeri seperti investasi[64] atau al-bai’ al-‘âjil dengan kompensasi keuntungan berdasarkan tenggang waktu tertentu[65]
Al-Jundi mendiskusikan bantuan ekonomi dari negara-negara Islam ke negara-negara non muslim. Menurutnya pemberian bantuan tersebut boleh-boleh saja karena sejarah telah mencatat bahwa boleh memberikan bantuan yang diambilkan dari bait al-mâl kepada ahl al-zimmah dan anjuran memberi (istihbab) sodaqoh kepada fakir miskin non muslim. Hanya saja ada seorang penulis tidak membenarkan pemberian itu kepada negara-negara komunis. Atau karena bantuan itu masih dibutuhkan oleh umat Islam.[66] Sebagian mereka menyarankan untuk mendirikan sunduq islami (kas atau dana islami) untuk mendanai pembangunan ekonomi. Thahawi merekomendasikan perlunya mendirikan yayasan yang dinamainya al-muasasasah al-maliyah li at-tanmiayh al-iqtisadiyah yaitu asosiasi bantuan (jam’iyah ta’awuniyah) di mana dana yang di dalamnya bersumber dari perorangan dan pemerintah di negara-negara Islam. Adapun tujuannya yang pokok adalah untuk mendanai proyek-proyek pembangunann ekonomi.[67]
3. Peranan Zakat untuk Membeayai Pembangunan
Zakat adalah lembaga keuangan yang paling penting bagi masyarakat muslim, dan memiliki peran pokok dalam merealisasikan kepedulian sosial dan redistribusi pendapatan antara umat Islam. Selain peran tersebut, zakat juga memiliki pengaruh penting dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu zakat dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber dana pembangunan. Menurut Dunya zakat memiliki peranan investasi karena mengarah langsung kepada penciptaan sumber daya produksi manusia yang baru dalam masyarakat.[68] Ditambahkan oleh Al-‘Audhi bahwa zakat adalah alat utama untuk mengumpulkan akumulasi modal masyarakat.[69] Sejumlah penulis meyakini bahwa zakat memiliki peran dalam meningkatkan jumlah nilai investasi agar pemilik harta tidak membiarkan harta mereka menjadi tidak produktif,[70]dan bahwa zakat akan menjadikan pengelola perusahaan selalu melanjutkan produksi sekalipun mereka rugi selama kerugian itu lebih kecil jumlahnya dari pada zakat yang diwajibkan atas pokok harta yang diinvestasikan.[71]
Agar dapat menunaikan fungsinya sebagai sumber dana pembangunan, maka masyarakat muslim harus mendirikan sunduq az-zakat (kas zakat) sebagai kewajiban keagamaan.[72] Sunduq Zakat tersebut dibawah Departemen Perencanaan Pembangunan Ekonomi sehingga menjadi lebih terarah dan fungsionil untuk memperbaiki kemampuan produksi kaum fakir miskin. Di samping itu juga untuk memperbaiki tarap hidup mereka.
Sebagian penulis mendiskusikan peranan zakat sebagai sumber dana melalui cara infaq. Affar antara lain berpendapat bahwa zakat mempunyai peranan untuk memberikan kepemilikan bagi fakir miskin berupa sarana produksi seperti memberikan mereka rumah untuk dijadikan tempat tinggal atau alat yang dipakai untuk bekerja atau modal usaha.[73] Dan selama boleh memperoleh zakat berupa barang modal maka boleh pula mendistribusikan zakat tersebut dalam bentuk barang modal dan ini akan menjadi alat produksi bagi fakir miskin.[74]
Peranan zakat tidak hanya terbatas untuk masyarakat lokal karena menurut Al-Jundi zakat itu boleh didistribusikan di berbagai tempat di negara-negara Islam apabila kebutuhan masyarakat miskin lokal sudah tercukupi.[75] Dunya menambahkan bahwa negara-negara yang memiliki sumber yang potensial sesuai dengan kemampuanya dapat membantu negara-negara yang lemah untuk menutupi kebutuhanya.[76]
Peranan Negara dalam Pembangunan dan Perencanaan Ekonomi
Negara memainkan peranan pokok dalam proses pembangunan ekonomi dalam sistem ekonomi-ekonomi yang terpusat pada suatu perencanaan. Sedangkan dalam sistem ekonomi liberal negara akan memainkan peranan yang relatif kurang penting. Adapun dalam Islam posisi negara adalah di tengah-tengah. Menurut Ishak: “Sesungguhnya peranan negara penting sekali dalam sistem Islam, akan tetapi tidak sampai pada batas menetapkan prioritas sosial dan menggantikan posisi individu dalam urusan kehidupan umum, bahkan negara bekerja untuk menolong anggota masyarakat dalam menunaikan kewajiban mereka.[77]
Tema-tema tentang campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi telah banyak didiskusikan. Secara umum diskusi yang dimuat di dalam berbagai karya memberi hak kepada negara untuk melakukan campur tangan untuk memenuhi tanggungjawab yang dibebankan kepadanya terhadap masyarakat secara umum. Namun demikian campur tangan negara harus tidak sampai pada batas yang dapat menghilangkan inisiatif individu. Dunya berpendapat bahwa hadis “ãä æáÇå Çááå ÔíÆÇ ãä ÃãÑ ÇáãÓáãíä æÇÍÊÌÈ Ïæä ÍÇÌÊåã æÎáÊåã æÝÞÑåã ÇÍÊÌÈ Çááå Ïæä ÍÇÌÊå æÎáÊå æÝÞÑå íæã ÇáÞíÇãÉ” Hadis tersebut mengandung makna bahwa Islam menolak ide negara sekuriti (daulah harisah) yang hanya melakukan fungsi-fungsi pertahanan dan menjaga keamanan tanpa disertai campur tangan dalam membangun ekonomi.[78]
Menurut Al-Fasi “bentuk liberal yang bersandar pada prinsip ‘biarkan atau tinggalkan dia bekerja’ tidak sejalan dengan maqasid dan prinsip-prinsip syari’ah. Campur tangan negara dalam ekonomi merupakan bagian penting dari prinsip-prinsip ekonomi Islam.[79] Al-Fanjari menambahkan: “Negara melakukan campur tangan dalam kehidupan umum yang bertujuan untuk merealisasikan pembangunan ekonomi melalui kepemilikan umum dan menyentuh sebagian aspek-aspek kegiatan perekonomian. Negara juga memiliki hak menasionalisasikan dan mencabut kepemilikan untuk mewujudkan kepentingan umum. Akan tetapi campur tangan itu merupakan prinsip yang kedua karena prinsip pertama adalah kebebasan.[80] Sejumlah penulis mengisyaratkan bahwa merealisasikan pembangunan ekonomi adalah bagian dari tanggung jawab negara. Syaikh al-Mubarak mengkategorikan bantuan pembangunan ekonomi dengan melakukan pelayanan umum menjadi bagian dari tugas negara.[81] Adapun Dunya berpendapat bahwa sistem politik Islam itu sendiri relevan dengan realisasi pembangunan, karena negara Islam bertujuan untuk menyebarkan kesejahteraan dan memenuhi keadilan, keduanya menjadi target pembangunan.[82] Adapun Yusuf mengindikasikan bahwa tidak harus terjadi pertentangan antara peran individu dengan peran negara dalam sistem Islam karena menurutnya prinsip kepemilikan dalam Islam adalah al-istikhlaf. Adapun pemilik terakhir atau pemilik yang sebenarnya (hakiki) atas harta individu dan harta negara adalah Allah S.W.T. Dengan demikian individu maupun negara sama-sama berjalan menuju satu tujuan.[83]
Akan tetapi apakah dasar legitimasi campur tangan negara dalam urusan pembangunan ekonomi? Siddiqi berpendapat bahwa tujuan-tujuan spritual dan moral dalam masyarakat barat adalah urusan pribadi bukan masyarakat, oleh karena itu perhatian negara terhadap spritual dan moral menjadi sangat kurang. Adapun negara dalam sistem politik Islam adalah bagian yang fungsional untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu melalui pendidikan dan pengundang-undangan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi suatu kehidupan yang terpuji. Tugas pokok negara dalam sistem Islam –menurut pandangan Dunya- untuk menegakkan keadilan termasuk realisasi terhadap pembangunan ekonomi karena keadilan menjadi suatu yang mutlak dalam memenuhi kebutuhan masyarakat baik yang materil maupun immaterial.[84] Maka dari itu campur tangan negara terkait erat dengan kewajiban untuk menegakkan keadilan. Jika masing-masing individu diperintahkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar maka negara –menut Al-Fasi- lebih utama untuk menegakkan al-ma’rufat dan mencegah al-munkarat baik langsung maupun tidak langsung.[85] Oleh karena itu negara boleh melakukan campur tangan dalam rangka merealisasikan kepentingan umum (al-masalih al-‘ammah). Tetapi al-Sadar berpendapat bahwa campur tangan negara karena suatu keharusan untuk mengisi apa yang disebutnya “mantiqatu al-farag”(wilayah kosong).[86] Inilah yang menuntut adanya pengundang-undangan yang tetap dalam masyarakat Islam dan menjadi bagian dari keharusan menerapkan hukum Islam.[87]
Barangkali bentuk campur tangan negara untuk merealisasikan pembangunan ekonomi tercermin dari rencana pembangunan ekonomi itu sendiri. Sehubungan dengan agenda perencanaan pembangunan ekonomi prespektif Islam, sebagian penulis mengatakan bahwa di dalam Islam perencanaan ekonomi memiliki sarana dan tujuan, berbeda dengan apa yang berlaku pada tradisi ekonomi konvensional. Al-Mubarak melihat bahwa di antara tujuan-tujuan perencanaan ekonomi dalam sistem Islam adalah percepatan dalam mengarahkan pembangunan ekonomi prespektif Islam sebelum sitem kapitalisme dan sosialisme mengakar kuat dalam masyarakat muslim.[88] Adapun ‘Affar berpendapat bahwa prinsip-prinsip Islam dalam perencanaan ekonomi menuntut realisasi terhadap tujuan syari’ah yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta dengan mengedepankan perioritas yang secara hirarkis meliputi al-hâji, al-tahsini dan al-takmili.[89] Adapun sarana perencanaan dalam sistem Islam-menurut Mannan- adalah persuasif bukan pembidikan. Lebih lanjut Mannan mengatakan perencanaan mengacu pada inisiatif individu.[90] Sebagian penulis menambahkan bahwa perencanaan ekonomi berdiri atas prinsip at-taradi (kerelaan) dan ta’awun (tolong menolong)….[91] An-Najjar menolak ide perencanaan ekonomi yang menyeluruh karena -menurutnya- bertentangan dengan ideologi Islam, tidak menyeimbangkan antara kemaslahatan khusus dengan kemaslahatan umum, melainkan memenangkan yang kedua atas yang pertama.[92]
Sejumlah penulis mengomentari betapa pentingnya arti surat Imam Ali bin Abi Talib yang dikirim ke Al-Asytar Al-Nakha’i ketika ditunjuk oleh beliau menjadi gubernur di Mesir sebagaimana terdapat di dalam kitab Nahju al-Balagah. Banyak memahami isi surat tersebut sebagai pernyataan bahwa mewujudkan pembangunan menjadi tanggung jawab negara secara langsung. Bunyi surat Ali tersebut antara lain “áíßä åãß ÈÚãÇÑÉ ÇáÃÑÖ ÃßËÑ ãä åãß ÈÇÓÊÎÑÇÌ ÎÑÇÌåÇ" (hendaklah semangat membangun bumi jauh lebih besar daripada mengeluarkan isinya.[93] Sebagian penulis mendiskusikan tipe pemerintah yang berhak melakukan campur tangan dalam membangun ekonomi. Menurut Siddiqi yaitu pemerintah yang mengendalikan urusan negara dengan persetujuan rakyat, menegakkan demokrasi dan menjamin kebebasan berpendapat dan mengawasi segala aturan yang terkait dengan ajaran Islam.[94]
Distribusi Pendapatan dan Pembangunan
Islam menghendaki adanya keadilan dalam distribusi pendapatan, dan ini tidak ada perbedaan di antara para penulis. Akan tetapi apakah keadilan dalam distribusi pendapatan merupakan tujuan atau sarana untuk meluluskan proses pembangunan ekonomi? Dan apakah yang dimaksud dengan keadilan distribusi itu? dan strategi apa yang efektif untuk merealisasikan keadilan itu?
Naqwa berpendapat bahwa keadilan distribusi itu sendiri adalah tujuan dari pada pembangunan sehingga harus konsisten dalam merealisasikanya sekalipun ia tidak bisa lepas dengan tingkat rata-rata pertumbuhan riil. Affar menambahkan bahwa kemajuan masyarakat tidak dianggap cukup dalam prespektif Islam selama kemajuan itu tidak disertai dengan keadilan distribusi.[95] Adapun al-Rubi berpendapat bahwa keadilan distribusi merupakan bagian dari iklim yang sesuai untuk merealisasikan pembangunan ekonomi.[96]
Keadilan distribusi menurut sebagian besar penulis tercermin pada adanya jaminan untuk memenuhi batas minimal pendapatan riil yaitu had al-kifayah bagi setiap orang.[97] Naqwa menambahkan bahwa keadilan tersebut meliputi pendistribusian antar generasi bukan untuk satu generasi saja. Sedangkan penulis lain berpendapat bahwa keadilan tersebut berkaitan dengan keadilan distribusi secara geografis dan tanpa desentralisasi pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat.
Sistem pendistribusian pendapatan secara berimbang (sama-sama) menurut pandangan Hasan bukan tujuan Islam.[98] Al-Fanjari berpendapat boleh saja terjadi selisih pendapatan dan kekayaan setelah terpenuhinya al-had al-kifayah. Akan tetapi perbedaan ini memenuhi ukuran kebutuhan yang dapat menggerakkan orang untuk bekerja.[99]
Sebagian penulis berpendapat bahwa distribusi pendapatan yang tidak adil tidak akan selalu tampak, dan karena itu koreksi akan dilakukan secara spontan apabila terdapat kesenjangan. Adapun sarana-sarana untuk mewujudkan keadilan distribusi antara lain lembaga zakat dan sistem pembagian harta waris. Beberapa penulis lain merekomendasikan sistem kepemilikan melihat perananya yang besar dalam merealisasikan keadilan distribusi kekayaan dan sumber-sumber produksi.[100] Affar mengisyaratkan wilayah takaful antara umat Islam menjadi salah satu sarana untuk menegakkan keadilan.[101] Sebagian penulis menambahkan pengharaman riba dan kebolehan campur tangan negara untuk menetapkan harga dan mengharamkan individu dalam memiliki sektor kepentingan umum. Adapun Siddiqi berpendapat di antara sarana untuk merealisasikan keadilan tersebut adalah memenuhi sektor umum (publik) bagi barang dan pelayanan konsumen dan intervensi terhadap pasar komoditi dan pasar bahan-bahan produksi dan kepemilikan pokok modal. Al-Fanjari menambahkan bahwa negara dalam keadaan tertentu yang tidak stabil diperbolehkan untuk melakukan campur tangan untuk mewujudkan keadilan distribusi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rsulullah ketika berhijrah ke Madinah. Pada waktu tersebut Rasul melarang kaum Ansar menyewakan tanah mereka sehingga memberikan kesempatan kepada kaum Muhajirin untuk bekerja pada sektor pertanian sebagai pemilik bukan sebagai penyewa, kemudian beliau membolehkan mereka untuk menyewakan tanah tersebut setelah keadaan dan perekonomian mereka relatif stabil dan baik.[102]
Siddiqi mengemukakan saran teknis untuk menjaminn batas minimal keadilan distribusi karena beliau berpendapat perlunya undang-undang negara Islam secara eksplisit dan tegas mewajibkan negara untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar setiap individu. Dengan adanya undang-undang itu setiap individu dapat mengadu ke pengadilan untuk menjamin hak-haknya.
Yasri mengaku bahwa membangun prinsip keadilan distribusi sebagai bagian dari strategi ekonomi. Hal ini kadang-kadang menyebabkan menurunnya jumlah rata-rata simpanan dalam masyarakat. Akan tetapi dampak atau pengaruh ini akan berubah dalam waktu yang relatif lama dengan pengaruh-pengaruh positif yang tercermin dalam komitmen, dan konsistensi masyarakat dan pertumbuhan konsumsi nasional.[103] Al-Rubi menambahkan bahwa pengaruh yang mungkin terjadi ini yaitu merealisasikan intensitas dalam ukuran besar bagi sumber-sumber islami melihat bahwa merealisasikan keadilan akan menyebabkan perluasan pasar.[104]
Catatan Akhir
Pada umumnya karya-karya yang berbicara tentang pembangunan ekonomi menggunakan metode kritik, tidak mengemukakan metode teoritis yang mungkin dianggap islami dalam bidang pembangunan ekonomi. Walaupun ini sesuatu yang alami pada masa persalinan bagi kelahiran ilmu apa pun, namun kita yakin bahwa kelahiran itu tidak mungkin sempurna kecuali setelah kita bebas dari teori-teoritis ekonomi konvensional terutama dalam bidang pembangunan ekonomi, dan memfokuskan segala usaha untuk mengemukakan konsep ilmiah bagi proses pembangunan ekonomi di dalam masyarakat yang komitmen dengan sistem Islam.
Karya-karya kontemporer juga belum memberikan jawaban ilmiah terhadap efek yang terjadi terhadap penerapan sistem Islam dalam proses pembangunan ekonomi, misalnya pengaruh pengharaman bunga bank terhadap pertumbuhan ekonomi? Apakah mungkin memodifikasi akad mudarabah (al-qiradh) untuk mendanai proyek-proyek vital ? apakah dampak yang mungkin terjadi kalau melibatkan zakat pada proses pertumbuhan ekonomi ? dan sejumlah pertanyaan lain.
Selain itu kita juga belum menemukan studi aplikasi yang meneliti prinsip-prinsip dasar dalam perencanaan ekonomi yang akan direalisasikan dalam islamisasi rencana pembangunan ekonomi yang diterapkan pada negara berkembang dan meneliti dampak yang mungkin terjadi bagi perencanaan tersebut terhadap struktur hubungan masyarakat. Apakah mungkin, misalanya mendesain rencana pembangunan yang akan merealisasikan tujuan-tujuan Islam dan dibangun atas perimbangan islami bagi kepentingan masyarakat?
Kita juga belum menemukan usaha serius untuk membentuk tolok ukur islami bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat diterapkan dalam perencanaan ekonomi dan dalam penilaian pelaksanaan pembangunan dalam masyarakat muslim, meskipun Muhammad Affar memasukkan tolok ukur yang serupa namun ini merupakan usaha perdana.
Studi-studi aplikasi yang meneliti pengaruh nilai-nilai keislaman dalam proses pembangunan ekonomi hampir tidak ada dalam karya-karya kontemporer. Tulisan-tulisan yang sering muncul di Barat mengungkapkan bahwa nilai-nilai Islam bertentangan dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya umat Islam dihadapkan pada pilihan yang sulit antara komitmen dengan nilai-nilai Islam dengan merealisasikan keberhasilan usaha pembangunan ekonomi. Apakah masyarakat yang merealisasikan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah merupakan masyarakat yang lebih kurang komitmenya terhadap nilai-nilai Islam ataukah sebaliknya?
Namun semua penulis sepakat atas peran positif bagi campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk mempersiapkan pergerakan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi kita belum menemukan analisis yang cermat terhadap strategi yang relevan dalam bidang ini melainkan hanya seruan keharusan menjamin kebutuhan minimal setiap anggota masyarakat dalam kehidupan. Juga tidak terdapat rekomendasi apapun dalam hal strategi umum yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Daftar Pustaka
Muhammad Ali Al-Qirô bin ‘Abid, 1412H/1992, Isti’râd li al-kitâbât al-mu’âsirah fi al-tanmiyah.
Ahmad, Khursyid, 1985, Al-Tanmiyah al-iqtisôdiyah fi ithorin islamiyin, tarjamah Rafiq Al-misri, Majalah Abhâs al-iqtisôd al-islâmi, nomor 2, bagian 2.
Al-Fâsi, al-Syaikh ‘Allâl, 1971, al-Islâm wa mutatollabât al-tanmiyah fi mujtama’ al-yaum,(Dahran: Multaqâ al-fikr al-islâmi).
Yusuf, Ibrahim, 1981, Istirâtijiyatu wa Tiknik al-Tanmiyah al-Iqtisôdiyah fi al-Islâm, (Kairo: Al-Ittihâd al-Dauli li al-Bunûk al-Islâmiyah)..
Abd al-Mannan, Muhammad, tt, Al-Iqtisâd al-Islâmi baina al-nazariyat wa al-tathbiq, (Al-Maktab al-ârabi al-hadis)
Al-Jassas, Ahmad Ibn Ali, 1335 H, Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Mathba’ah al-Auqôf al-Islamiyah).Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad, 1369 H, Al-Jâmi’ li - Ahkâm Al-Qur’an, (Dar al-Kutub al-Misriyah).
Dunya, Syauqi Ahmad, 1979, Al-Islâm wa al-tanmiyah al-iqtisôdiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘arabi).
Dunya, 1984, Tamwil al-tanmiyah fi al-iqtisôd al-islami, (Beirut: Muassasah al-risalah). Bakhit. Ali Khidar, 1404 H, Al-Tamwil al-dakhil li al-tanmiyah al-iqtisadiyah dalam al-Islam, (Jeddah: Al-Dar al-Su’udiyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’).
Ahmad, Abdurrahman Yasri, 1985, Al-‘Alaqât al-iqtisôdiyah baina al-buldân al-islâmiyah wa dauruha fi al-tanmiyah al-iqtisôdiyah, (Jeddah: Dirâsât fi al-iqtisôd al-islâmi, Markaz abhâs al-iqtisôd al-islami, Jami’ah al-malik Abdul Aziz).
Affar, Muhammad Abdul Mun’im, 1985, al-Takhtith wa al-Tanmiyah fi al-Islam, (Jeddah : Dar al-bayan al-Arabi).
Ajwah, Athif, 1983, Mafhum al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Fikr al-Iqtisodi al-Islami, dalam Majallah al-Iqtisod wa al-Idarah, (Jeddah: Markaz al-Buhus wa al-Tanmiyah, Jami’ah Malik Abdul Aziz), nomor 17, edisi Sya’ban 1403 H, Mei 1983.
Al-Rubi, Mahmud, 1984, Al-Minhaj al-Islami fi al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Ijtima’iyah dalam Majallat al-dirasat all-tijariyah wa al-islamiyah, (Markaz solih Abdullah Kamil li al-dirasat al-tijariyah wa al-islamiyah), nomor 3, tahun ke satu Juli 1984..
Al-Fanjari, Muhammad Syauqi, tt, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtisodiyah, (Maktabah al-Anglo al-Misriyah), hlm. 81, dan Al-Mazhab al-Iqtisodi fi al-Islam, (Jeddah: Buhus Mukhtarah min al-Mu’tamar al’alami al-awwal li al-iqtisod al-islami, (Jeddah: Markaz abhas al-iqtisod al-islami).
Al-Jundi, Muhammad Al-Syahat, 1985, Qowa’id al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah fi al-Qanun al-dauli wa al-fiqh al-islami, (Kairo: Dar al-nahdah al-Arabiyah).
Yasri, Ahmad Abdurrahman, tt, Al-Tanmiyah al-iqtisodiyah wa al-ijtima’iyah fi al-Islam, (Iskandariya: Muassasah Syabab al-jami’ah).
Malik Bin Nabi, 1974, Al-Muslim fi ‘alam al-Iqtisad, (Beirut: Dar Al-Syuruq).
[1] Wacana pembangunan ekonomi dalam karya-karya muslim klasik lazimnya dihubungkan dengan konsep‘imârah al-ard (memakmurkan bumi) yang dipahami dari Q.S. Hud ayat 61. Istilah "memakmurkan bumi“ yang dikaitkan dengan pembangunan ekonomi kita temukan dalam perkataan Ali bin Abi Talib ketika menyampaikan pesan kepada seorang gubenur yang akan ditugaskan di Mesir: Isi pesan tersebut "Hendaklah perhatian kamu terhadap pemakmuran bumi (tanah) lebih besar dari pada perhatian kamu terhadap pemungutan pajak, karena pajak sendiri hanya bisa dioptimalkan dengan memakmurkan bumi (membangun pertanian). Memungut pajak dengan tanpa memperhatikan pemakmuran bumi, dapat mengakibat negara menjadi hancur."
Hal yang sama juga dapat kita simpulkan dari pertanyaan yang diajukan Umar bin Khattab dalam salah satu instruksinya kepada seorang utusan beliau di suatu daerah: "Apa yang akan kamu kerjakan ketika ada pencuri? Utusan itu menjawab: Aku akan memotong tangannya. Umar bertanya lagi: Jadi jika ada di antara pencuri itu yang datang dalam keadaan lapar atau seorang pengangguran, apakah aku akan memotong tangannya? Sesungguhnya Allah SWT menjadikan kita sebagai khalifah-Nya agar kita dapat memberi makan, memberi pakaian, dan menjamin kebutuhan mereka. Jika kita memberikan mereka berbagai nikmat ini, baru kita menuntut munculnya rasa syukur mereka, yaitu: sesungguhnya Allah telah menjadikan tangan untuk bekerja. Jika kamu tidak menemukan tangan seseorang dipergunakan dalam ketaatan, maka pasti ia dipergunakan untuk kemaksiatan. Sibukkan dirimu dengan ketaatan sebelum kamu disibukkan oleh kemaksiatan."
[2] Ahmad, Khursyid, 1985, Al-Tanmiyah al-iqtisôdiyah fi ithorin islamiyin, tarjamah Rafiq Al-misri, Majalah Abhâs al-iqtisôd al-islâmi, nomor 2, bagian 2, hlm 45-46.
[3] Ibid.
[4] Al-Fâsi, al-Syaikh ‘Allâl, 1971, al-Islâm wa mutatollabât al-tanmiyah fi mujtama’ al-yaum,(Dahran: Multaqâ al-fikr al-islâmi), hlm. 29.
[5] Yusuf, Ibrahim, 1981, Istirâtijiyatu wa Tiknik al-Tanmiyah al-Iqtisôdiyah fi al-Islâm, (Kairo: Al-Ittihâd al-Dauli li al-Bunûk al-Islâmiyah), hlm. 221.
[6] Abd al-Mannan, Muhammad, tt, Al-Iqtisâd al-Islâmi baina al-nazariyat wa al-tathbiq, (Al-Maktab al-ârabi al-hadis), hlm. 27.
[7] Ibid. hlm. 221
[8] Al-Jassas, Ahmad Ibn Ali, 1335 H, Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Mathba’ah al-Auqôf al-Islamiyah), hlm 3/432.
[9] Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad, 1369 H, Al-Jâmi’ li - Ahkâm Al-Qur’an, (Dar al-Kutub al-Misriyah), hlm 9/648.
[10] Dunya, Syauqi Ahmad, 1979, Al-Islâm wa al-tanmiyah al-iqtisôdiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘arabi), hlm. 89.
[11] Dunya, 1984, Tamwil al-tanmiyah fi al-iqtisôd al-islami, (Beirut: Muassasah al-risalah), hlm.89. Lihat juga Bakhit. Ali Khidar, 1404 H, Al-Tamwil al-dakhil li al-tanmiyah al-iqtisadiyah dalam al-Islam, (Jeddah: Al-Dar al-Su’udiyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’), hlm. 43.
[12] Ahmad, Abdurrahman Yasri, 1985, Al-‘Alaqât al-iqtisôdiyah baina al-buldân al-islâmiyah wa dauruha fi al-tanmiyah al-iqtisôdiyah, (Jeddah: Dirâsât fi al-iqtisôd al-islâmi, Markaz abhâs al-iqtisôd al-islami, Jami’ah al-malik Abdul Aziz), hlm. 5.
[13] Khursyid, Tanmiyah. hlm. 87.
[14] Affar, Muhammad Abdul Mun’im, 1985, al-Takhtith wa al-Tanmiyah fi al-Islam, (Jeddah : Dar al-bayan al-Arabi), hlm.125.
[15] Khursyid, Tanmiyah, hlm. 56.
[16] Ajwah, Athif, 1983, Mafhum al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Fikr al-Iqtisodi al-Islami, dalam Majallah al-Iqtisod wa al-Idarah, (Jeddah: Markaz al-Buhus wa al-Tanmiyah, Jami’ah Malik Abdul Aziz), nomor 17, edisi Sya’ban 1403 H, Mei 1983, hlm. 1-5.
[17] al-Qiro, Isti’radh, hlm.356.
[18] Al-Rubi, Mahmud, 1984, Al-Minhaj al-Islami fi al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah wa al-Ijtima’iyah dalam Majallat al-dirasat all-tijariyah wa al-islamiyah, (Markaz solih Abdullah Kamil li al-dirasat al-tijariyah wa al-islamiyah), nomor 3, tahun ke satu Juli 1984, hlm. 31.
[19] Yusuf, Istirotijiyah, hlm. 221.
[20] Al-Fanjari, Muhammad Syauqi, tt, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtisodiyah, (Maktabah al-Anglo al-Misriyah), hlm. 81, dan Al-Mazhab al-Iqtisodi fi al-Islam, (Jeddah: Buhus Mukhtarah min al-Mu’tamar al’alami al-awwal li al-iqtisod al-islami, (Jeddah: Markaz abhas al-iqtisod al-islami), hlm. 100.
[21] Ajwah, Mafhum, hlm. 7.
[22] Yusuf, Istirotijiyah, hlm. 385.
[23] Al-Rubi, Minhaj, hlm. 31.
[24] Khursyid, Tanmiyah, hlm. 59.
[25] Ayat-ayat tersebut dikutip oleh Dunya dalam Al-Islam wa al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah, hlm. 88.
[26] Bakhit, Tamwil, hlm. 43.
[27] Al-Jundi, Muhammad Al-Syahat, 1985, Qowa’id al-Tanmiyah al-Iqtisodiyah fi al-Qanun al-dauli wa al-fiqh al-islami, (Kairo: Dar al-nahdah al-Arabiyah), hlm. 59-83.
[28] Affar, Takhtith, hlm 126, 134.
[29] Al-Misry, ‘Adalah, hlm. 22.
[30] Khursyid, Tanmiyah, hlm. 60.
[31] Al-‘Audhi, Minhaj, hlm. 162.
[32] Dunya, Islam, hlm 98.
[33] Affar, Takhtith, hlm. 32.
[34] Yasri, Ahmad Abdurrahman, tt, Al-Tanmiyah al-iqtisodiyah wa al-ijtima’iyah fi al-Islam, (Iskandariya: Muassasah Syabab al-Jami’ah), hlm. 12.
[35] Malik Bin Nabi, 1974, Al-Muslim fi ‘alam al-Iqtisad, (Beirut: Dar Al-Syuruq), hlm. 255.
[36] Yusuf, Istirotijiyah, hlm 269.
[37] Dunya, Islam, hlm. 123.
[38] Mannan, Iqtisad, hlm. 276.
[39] Yasri, Tanmiyah , hlm. 32.
[40] Al-Qirô, Isti’râd, hlm, 361.
[41] Ibid.
[42] Ini adalah point penting yang tidak banyak disebutkan dalam berbagai studi, dan menurut sebagian ahli sejarah bahwa al-intaj al-harafi atau hasil kerajinan yang bebas yang membentuk benih kapitalisme di Eropa dan yang merobohkan pilar sistem fiodalisme adalah sistem Islam yang diambil orang Eropa dari belahan timur dunia Arab setelah perang salib. Lihat juga Al-Fasi, Islam, hlm. 14.
[43] Al-Qiro, Isti’radh, hlm. 361.
[44] Bakhit, Tamwil, hlm. 81.
[45] Mannan, Iqtisad, hlm. 266.
[46] Al-Qiro, Isti’radh, hlm. 362.
[47] Lihat Al-Rubi, Minhaj, hlm. 38, Bakhit, Tamwil, hlm. 97, Affar, Takhtith, hlm. 159.
[48] Mannan, Iqtisad, hlm. 266.
[49] Affar, Takhtith, hlm. 181.
[50] Affar, Takhtith, hlm. 189.
[51] Mannan, Iqtisad, hlm. 267.
[52] Dunya, Islam, hlm. 218.
[53] Bakhithr, Tamwil, hlm. 88.
[54] Mannan, Iqtisad, hlm. 268.
[55] Yasri, Tanmiyah , hlm. 78, Affar, Takhtith, hlm. 189.
[56] Audhi, Rif’at Al-Sayyid, tt, Minhaj al-Iddikhar wa al-Istismar fi al-Iqtisad al-Islami, (Kairo: Al-Ittihad al-Dauli li al-Bunuk al-Islamiyah), hlm. 67.
[57] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 364.
[58] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 342.
[59] Yasri, Tanmiyah , hlm. 79.
[60] Dunya, Islam, hlm. 197.
[61] Al-Jundi, Qowa’id, hlm. 262.
[62] Affar, Takhtith, hlm. 191.
[63] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 374.
[64] Yasri, Tanmiyah , hlm. 80.
[65] Affar, Takhtith, hlm. 191.
[66]Al-Jundi, Qowa’id, hlm. 231-239.
[67]Al-Thohawi, Ibrahim, 1974, Al-Iqtisod al-Islami Mazhaban wa Nizaman, Dirasah muqoranah, juz II, (Kairo: Majma’ al-Buhus Al-Islamiyah),, hlm. 233-243.
[68] Dunya, Islam, hlm. 281.
[69] Al-‘Audhi, Minhaj, hlm. 85.
[70] Al-Qiro, Isti’rad, hlm, 364.
[71] Affar, Takhtith, hlm. 183.
[72] Dunya, Islam, hlm. 292.
[73] Affar, Takhtith, hlm. 184.
[74] Alk-Qiro, Isti’rad, hlm. 364.
[75] Al-Jundi, Qowa’id, hlm. 218.
[76] Dunya, Islam, hlm. 196.
[77] Ishaq, Kholid Muhammad, 1980, Al-Ru’yah al-Islamiyah li al-Nasyath al-Iqtisodi wa alTanmiyah, Majallah al-Muslim al-Mu’asir, no. 22 April, hlm. 83.
[78] Dunya, Islam, hlm. 230.
[79] Al-Fasi, Islam, hlm. 37.
[80] Al-Fanjari, Islam, hlm. 107.
[81] Al-Mubarak, Tadakh-khul, hlm. 210.
[82] Dunya, Islam, hlm. 117.
[83] Yusuf, Istirotijiyah, hlm. 324.
[84] Dunya, Islam, hlm. 114.
[85] Al-Fasi, Islam, hlm. 721.
[86] Wilayah kosong dalam sistem perundang-undangan (al-tasyri’) mengacu menurut pendapat Al-Sadar kepada hakikat bahwa Islam bukan hukum temporal dan karena itu ditinggalkannya wilayah kosong dalam perundang-undangan akan diisi oleh waliyul amri atau negara sehingga sistem Islam selalu dinamis sepanjang zaman.
[87] Al-Sodar, Muhammad Baqir, 1986, Iqtisoduna, (Beirut: (Beirut: Dar at-Ta’awun li al-mathbu’at), hlm. 721.
[88] Al-Mubarak, Tadakh-khul, hlm. 220.
[89] Affar, Takhtith, hlm. 284-287.
[90] Mannan, Iqtisad, hlm. 161.
[91] Affar, Takhtith, hlm. 283.
[92] Al-Najjar, Ibid, hlm. 90.
[93] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 367.
[94] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 3.
[95] Affar, Takhtith, hlm. 223.
[96] Al-Rubi, Minhaj, hlm. 35.
[97] Al-Qiro, Isti’rad, hlm. 367.
[98] Ibid.
[99] Al-Fanjari, Islam, hlm. 82.
[100] Al-Rubi, Minhaj, hlm. 36.
[101] Affar, Takhtith, hlm. 230.
[102] Al-Fanjari, Islam, hlm. 198.
[103] Yasri, ‘Alaqat, hlm. 63.
[104] Al-Rubi, Minhaj, hlm 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar