Kamis, 23 September 2010

Haji


Pembiayaan Pengurusan Haji Oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)

A.     PENDAHULUAN

Di antara lima pilar rukun Islam, menunaikan ibadah haji merupakan ibadah yang menempati posisi paling sulit dalam tingkat keikhlasan, karena dalam pelaksanaannya tidak sekadar meminta pengorbanan tenaga, melainkan juga biaya. Oleh karenanya, tidak semua orang Islam yang diseru untuk menunaikannya, kecuali bagi mereka yang mampu dan sanggup menunaikannya baik secara materi maupun bekal kemantapan hati sebagaimana tersurat dalam Q.S. Ali Imran: 97:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah".

Sanggup mengadakan perjalanan berarti menyangkut kesanggupan fisik, materi, maupun rohani. Ketiganya merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji. Bila syarat tersebut belum terpenuhi, maka gugurlah kewajiban untuk menunaikannya.
Yang menjadi persoalan mendasar adalah bila terdapat kasus seorang muslim misalnya sangat ingin melakukan ibadah haji namun biaya yang tersedia tidak mencukupi dan baru akan tercukupi sebelum waktu pemberangkatan, bolehkah ia meminjam dengan syarat tertentu? Atau misal ada sebuah lembaga keuangan yang menawarkan jasa untuk membantu mempermudah proses pemberangkatannya, bolehkah pihak peminjam mengambil upah sewa?
Untuk menjawab persoalan itulah makalah ini ditulis, dengan mencoba menganalisis keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang memberikan fatwa mengenai kebolehan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menyediakan jasa peminjaman bagi mereka dengan menggunakan prinsip al-qardh dan ijarah (sewa).

B.     PEMBAHASAN

1.     Sekilas tentang  Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok berilmu, melainkan ujuga sebagai penggerak dan motivator masyarakat. Kualitas keilmuan para ulama telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terumuskannya sistem ekonomi Islam secara konseptual, termasuk sistm perbankan syari'ah, adalah buah dari kerja keras para ulama.[1]
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syari'ah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syari'ah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syari'ah dan Dewan Syariah Nasional.
Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari'ah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syari'ah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Fungsi ulama yang diberi wewenang untuk menyusun garis panduan ini adalah Dewan Syariah Nasional. Jadi, di antara fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan inilah yang menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.[2]
Fungsi utama lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

2.     Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai berikut:
-          Dalam pengurusan haji bagi nasabah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI no. 9/DSN-MUI/IV/2000.
-          Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah.
-          Apabila diperlukan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.[3]
Keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
-          Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pengurusan haji dan talangan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
-          Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya.
-          Agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syari'ah, maka Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pengurusan dan pembiayaan haji oleh Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) untuk dijadikan pedoman.[4]
Berdasarkan pertimbangan di atas itulah, Dewan Syariah Nasional memberikan ketetapan hukum boleh melakukan ibadah haji dengan bantuan talangan dari pihak Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS), dengan syarat ia harus mampu melunasinya dalam waktu yang telah disepakati.
Bahkan pendapat yang paling ketat mensyaratkan pihak peminjam harus melunasinya sebelum pemberangkatan haji, sebab kalau tidak demikian berarti ia termasuk orang yang tidak diwajibkan menunaikannya karena belum cukup syarat (mampu). 

3.     Telaah terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah
Sistem keuangan dan perbankan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan yang dapat diterima secara religius kepada komunitas-komunitas muslim.[5] Dapat diterima secara religius artinya tujuan dari sirkulasi keuangan itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak mengandung unsur riba dan pemerasan. Jadi, aspek utama yang ditekankan di sini adalah kesejahteraan sosial yang dilihat dari apakah aktivitas tersebut menambahkegunaan (masalih) atau tidak (mafasid).[6]
Bila dikaitkan dengan jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) cukup jelas bahwa kegiatan tersebut sangatlah membantu kemudahan masyarakat yang ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yakni melakukan ibadah haji, meski biaya yang mereka butuhkan belum tersedia secara memadai. Menurut penyusun, faktor inilah yang menjadi pertimbangan Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan menalanginya bagi Lembaga Keuangan Masyarakat.
Bila ditelaah melalui perspektif ushul fiqh, sikap yang diambil oleh Dewan Syariah Nasional didasarkan para prinsip li al-maslahah al-mursalah. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa orang tersebut tetap berada dalam koridor istitha' (sanggup atau mampu) untuk melunasinya dalam waktu yang disepakati, karena bila ia hanya mengandalkan keinginan semata tanpa disertai kesanggupan untuk melunasi berarti ia telah memaksakan diri (bukan berdasar keikhlasan) padahal yang namanya ibadah harus dilaksanakan secara ikhlas dan sesuai kesanggupannya. 
Berkaitan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai hukum penalangan tersebut apakah masuk dalam hukum ijarah (menyewa) ataukah qardh (meminjam), maka di bawah ini perlu didefinisikan kembali kedua istilah tersebut.
a.      Al-ijarah (operational lease) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.[7]
b.      Al-Qardh (soft and benevolent loan) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategrikan dalam 'aqd tathawwu'i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[8]
Dari kedua definisi di atas dapat diketahui bahwa jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena dalam Islam, pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas jasa pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam Lembaga Keuangan Syari'ah pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila nasabah datang Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk keperluan naik haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam). Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas nama akad qardh untuk membantu menalangi pembiayaan haji, maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, LKS tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu, akad yang harus dilakukan di awal adalah akad ijarah (sewa), di mana LKS dapat mengambil keuntungan dari harga sewa atau harga produk yang disewakan tersebut. Akad seperti inilah yang diperbolehkan dalam Islam.
Untuk mengetahui pengertian dan karakteristik lebih jauh mengenai ijarah, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai ijarah sekaligus akan dijelaskan pula kaitannya dengan pembiayaan penalangan haji oleh LKS kepada nasabah melalui akad ijarah berikut mekanisme penalangannya:
a.      Definisi Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-'iwadhu (ganti). Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[9]
Dalam konteks perbankan syari'ah, ijarah adalah lease contract di mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan barang atau jasa kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge).[10]
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (ownesrship, milkiyyah). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka para ijarah obyek transaksinya adalah barang atau jasa.[11]
Berkaitan dengan pembiayaan penalangan haji oleh LKS kepada nasabah, maka LKS sebagai lembaga keuangan menyewakan jasanya kepada nasabah dengan cara meminjami uang untuk dimanfaatkan sebagai syarat pemberangkatan haji, dan dengan penyewaan jasa tersebut, LKS mengambil upah sebagai ganti sewa dari produk yang telah dimanfaatkan oleh pihak nasabah. Dengan demikian, jasa baik pihak LKS dalam membantu pembiayaan penalangan haji tersebut lebih tepat dilakukan dengan menggunakan prinsip ijarah bukan al-qardh.

b.      Jenis barang atau jasa yang boleh dijadikan obyek ijarah
Ada beberapa jenis barang/jasa yang dapat dijadikan obyek ijarah (disewakan)
1.       Barang modal: aset tetap, misalnya bangunan, gedung, kantor ruko, dan lain sebagainya.
2.       Barang produksi: mesin, alat-alat berat, dan lain sebagainya.
3.       Barang kendaraan transportasi: darat, laut, dan udara.
4.       Jasa untuk membayar ongkos:
a.      uang sekolah/kuliah
b.      tenaga kerja
c.      hotel
d.      angkut dan transportasi[12]
Berdasar keterangan mengenai jenis barang atau jasa yang boleh dijadikan obyek ijarah di atas, maka pembiayaan penalangan haji oleh LKS kepada nasabah lebih dekat pada poin ke-4, yakni pihak LKS menyediakan jasa peminjaman uang untuk keperluan syarat pemberangkatan haji. Dengan bahasa lain, idealnya pihak LKS lebih mengedepankan penyewaan jasa daripada penyewaan uang.
Sebenarnya para ulama salaf, termasuk di antaranya Imam al-Ghazali (w.1127) tidak setuju dengan kegiatan menjual atau menyewa uang dengan uang, karena menurutnya lebih dekat pada riba. Namun ada pernyataannya yang menarik ditegaskan di sini adalah 'menimbun uang merupakan perbuatan yang tidak adil, maka tidak boleh menjual uang untuk mendapatkan uang, kecuali kalau mengambil uang itu sendiri memang sebagai tujuannya.[13]
Dengan demikian, karena tujuan dari kegiatan LKS adalah untuk mengambil profit (uang), maka menyewakan uang oleh pihak LKS kepada nasabah melalui penalangan pembiayaan haji itu dibolehkan sejauh tidak mengandung unsur riba dan pemerasan.
Berkaitan dengan mekanisme pembiayaan penalangan haji oleh LKS kepada nasabah dapat jelaskan sebagai berikut:[14]
1.      Nasabah mengajukan pembiayaan ijarah (baca: peminjaman uang) ke Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS)
2.      LKS menyediakan jasa (berupa peminjaman uang) kepada nasabah
3.      Setelah dicapai kesepakatan antara nasabah dan bank mengenai tarif ijarah dan periodenya, maka akad pembiayaan ijarah ditandatangani yang diikuti dengan penyerahan jaminan oleh pihak nasabah sebagai bukti kepercayaan.
4.      LKS menyerahkan jasa (peminjaman uang) kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan obyek ijarah (uang) kepada bank dengan membayar tarif sewa yang telah disepakati sebelumnya.
5.      Setelah obyek ijarah tersebut diterima oleh pihak bank, maka obyek ijarah (uang) tersebut disimpan kembali sebagai asset yang dapat disewakan kembali kepada pihak lain.
Namun demikian, berkaitan dengan pengambilan upah sewa oleh pihak LKS kepada nasabah, Dewan Syari'ah Nasional (DSN) memberikan garis kebijakan bahwa pengambilan upah tersebut tidak boleh didasarkan pada besarnya jumlah talangan yang diberikan kepada nasabah. Kebijakan seperti ini dikeluarkan untuk mengantisipasi terjadinya unsur riba dalam mekanisme penalangan haji.

C.     KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara garis besar tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
-          Seorang muslim boleh menunaikan ibadah haji dengan bantuan pembiayaan penalangan haji oleh LKS, dengan syarat ia memiliki kesanggupan untuk melunasinya dalam waktu yang telah disepakati (sebelum pemberangkatan haji).
-          Pihak LKS diperbolehkan menyewakan jasanya (berupa peminjaman uang) kepada nasabah dan mengambil uang ganti sewa dengan syarat tidak didasarkan pada besarnya jumlah talangan yang diberikan.
Tulisan ini hanyalah sebuah penelitian sederhana yang tentu masih menyisakan banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan masukan sangat kami harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.



DAFTAR PUSTAKA
Algaoud, Latifa M.  & Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari'ah: Prinsip, Praktik, Prospek, terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
-----------, Bank Syari'ah: Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta: Tazkia Institute, 1999.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad al-, Ihya' Ulum ad-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th..
Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, diterbitkan oleh Dewan Syariah Nabional MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: The International Institute of Islamic Thought [IIIT], 2003.
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Penerbit EKONISIA UII, 2003.



[1] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 234.
[2] Ibid., hlm. 235.
[3] Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, diterbitkan oleh Dewan Syariah Nabional MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia
[4]Ibid.
[5] Latifa M. Algaoud & Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari'ah: Prinsip, Praktik, Prospek, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 134.
[6] Ibid., 135.
[7] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987), hlm. 183.
[8] Ibid., hlm. 163.
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: Penerbit EKONISIA UII, 2003), hlm. 66.
[10] Ibid.
[11] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought [IIIT], 2003), hlm. 105. Bandingkan dengan Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah: Wacana Ulama & Cendekiawan (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), hlm. 155.
[12] Adiwarman Karim, Bank Islam, hlm. 116.
[13] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya' Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), hlm. 22.
[14]Keterangan mengenai mekanisme ini merupakan modifikasi penulis setelah merujuk pada tulisan Adiwarman Karim, Bank Islam,hlm. 115

Tidak ada komentar: