Kamis, 21 Oktober 2010

Kodifikasi


 SEJARAH KODIFIKASI FIQH

A. LATAR BELAKANG
Dalam konteks kekinian, terdapat suatu fenomena yang sangat mengakar dilingkungan masyarakat khususnya masyarakat Madura, terkait dengan pola berfikir serta system berprilaku mereka dalam mengekspresikan faham keberagamaannya. Fenomena tersebut adalah kecenderungan yang kuat untuk menempatkan segala aktifitasnya dalam setiap aspek kehidupan, baik social, ekonomi, pendidikan, budaya, politik, bahkan keagamaannya di atas garis-garis yang telah ditentukan dalam literatur fiqh. Dengan kata lain bahwa kuatnya indoktrinasi fiqhiyah yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat, hampir menafikan kebenaran-kebenaran lain yang muncul bahkan dapat dinilai sudah mereduksi sedemikian rupa terhadap universalitas ajaran agama islam.
Kondisi di atas menggambarkan adanya sebuah fanatisme madzhab. Suatu sikap yang berlebihan dalam proses menjadikan salah satu paham keagamaan sebagai pijakan hidup. Sehingga perkembangan yang lambat pada diri masyarakat, khususnya masyarakat Madura, menjadi konsekuensi logis yang mesti diterima.
Padahal secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, cultural, dan realitas dalam kehidupan. Sebagai agama yang mengantar pemeluknya untuk memahami realitas kehidupan, Islam telah memberi gerak bagi upaya aktualisasi dalam perkembangan social melalui apa yang disebut sebagai “pembaruan”. Dan ranah aktualisasi dimaksud memang telah berkembang secara simultan sejak jaman Nabi, sahabat, tabi’in dan mencapai puncaknya pada era dinasti Abbasiyah.[1]
Salah satu gambaran dari kemandegan masyarakat Madura yang dapat direnungkan adalah ketertinggalannya dalam aspek pendidikan. Pada dasarnya, program pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Madura sudah dilaksanakan dengan berbagai macam bentuk. Akan tetapi, karena pola berfikir masyarakat Madura masih terikat paradigma normative fiqhiyah (itupun yang Syafi’iyah) maka, seperti penyusunan kurikulum pendidikan atau penyediaan sarana-sarana penunjang pembelajaran (computer, internet, alat-alat musik, alat-alat olah raga dll) masih menjadi pertimbangan yang sangat signifikan dengan bersandar pada pemahaman klasik yang diyakininya.
Padahal, apabila ditinjau dari aspek historis, munculnya pemahaman-pemahaman fiqh bahkan proses pembukuannya tidak lepas dari pergulatan ijtihad para ulama’, tentunya sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing mereka. Dalam artian bahwa formulasi ilmu fiqih yang mereka susun tidak berarti menjadi bahan baku yang tidak dapat diinterpretasi secara lebih terbuka oleh generasi muslim setelah mereka, tetapi justru dan semestinya dijadikan acuan perbandingan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin terjadi. Dengan demikian kita akan menganggap bahwa kitab-kitab fiqh karya para ulama’ tersebut sangat bersifat interpretable. Hal ini dapat dibuktikan dari lahirnya metode hokum yang juga mereka ciptakan, yang lebih dikenal dengan istilah ushul fiqh.
Demikianlah otoritas fiqh di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Madura, yang senantiasa mengekang gerak bebasnya untuk menjalankan perintah Allah dalam mengembangkan segenap kreatifitas sesuai kemampuan akal yang telah di anugerahkanNya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami berusaha mengungkap sejarah kodifikasi fiqh tersebut, serta pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’, dengan tujuan agar pembaca dapat memahami dan menyadari kembali bahwa rujukan utama dan yang pertama dalam proses pemecahan masalah social yang berkaitan dengan fiqh adalah al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan kitab—kitab fiqih karya para ulama’ itu adalah sebagai referensi ijtihadiyah yang bersifat inklusif.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang sebenarnya akan kami bahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Kapan dan bagaimana proses kodifikasi fiqh dalam sejarah Islam ?
  2. Bagaimana pengaruh kodifikasi fiqh terhadap perkembangan tasyri’ selanjutnya?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sejarah Kodifikasi Fiqh
  1. Pengertian Sejarah
Kata “sejarah” dalam bahasa Arab dikenal dengan “tarikh” dari akar kata arrakha yang berarti menulis atau mencatat dan catatan tentang waktu dan peristiwa.[2] Ada yang berpendapat bahwa kata “sejarah” dalam kosa kata bahasa Indonesia modern berasal dari bahasa Arab syajarah yang bermakna pohon atau silsilah. Kata ini masuk ke dalam bahasa Melayu sesudah abad ke 13 dan kemudian mengambil bentuk syajarah dan seterusnya menjadi sejarah.[3]
Berdasarkan makna etimologis sebagaimana terurai di atas dapat diketahui bahwa kata sejarah berkaitan erat dengan waktu dan peristiwa masa lampau. Karena itu, dalam ilmu sejarah, masalah waktu menjadi sangat urgen, terutama dalam upaya memahami suatu peristiwa, yang oleh para sejarawan digunakan untuk menentukan priodeisasi.
Sedangkan pengertian dari sisi terminologisnya, sejarah seringkali didefinisikan sebagai rekonstruksi dari peristiwa-peristiwa masa lampau umat menusia baik dalam bidang social, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, maupun agama. Karena itu, selain memuat catatan semua peristiwa masa lampau, sejarah juga merupakan interpretasi dari peristiwa-peristiwa tersebut.[4]
Disamping itu, R.M. Moh. Ali (1965) mengemukakan pengertian sejarah dengan mengacu pada tiga makna, yaitu ; (1). Sejumlah perubahan, kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita, (2). Serita tentang perubahan, kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut, (3). Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan, kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut.
  1. Pengertian Fiqh
Pengertian fiqh jika dilihat dari aspek kebahasaannya berarti paham atau mengerti tentang sesuatu. Sedangkan terminologinya adalah pengetahuan tentang hokum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci dengan menggunakan akal melalui proses penelaran (ijtihad) yang reflektif.[5]
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa fiqh adalah merupakan hasil pemahaman terhadap norma-norma hokum yang mendasar dalam Islam yang ditetapkan oleh Allah, dan wajib diikuti oleh umat Islam berdasarkan keimanan. Norma hokum tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
  1. Sejarah Kodifikasi Fiqh
Berbicara masalah fiqh tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tasyri’. Sebab pengertian tasyri’ adalah penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak Rosulullah diutus, dan berakhir hingga beliau wafat. Namun ulama’ memperluas pembahasan tasyri’, sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama’ sepanjang sejarah umat Islam. Dengan demikian fiqh dapat dianggap telah ada sejak tasyri’ muncul.
Oleh karena itu, maka Syekh Muhammad Khadari Bek dalam bukunya yang berjudul Tarikh Tasyri’ Islami, mengatakan bahwa periodesasi pembentukan fiqh berlangsung selama 6 periode, yaitu ;
1.      Periode awal, yakni sejak diutusnya Nabi sebagai Rosul
2.      Periode sahabat besar (Khulafa’ur Rosyidin)
3.      Periode sahabat kecil dan tabi’in
4.      Awal abad ke 2 H sampai dengan pertengahan abad 4 H.
5.      Berkembanganya madzhab dan munculnya taklid
6.      Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ke 7 H. sampai sekarang.[6]
Kemudian Mustofa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan bahwa, pembentukan fiqh pada masa Rosul itu berada ditangan beliau sendiri. Dengan kata lain bahwa setiap persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat selalu dipecahkan oleh Nabi sendiri dengan berlandaskan al-Qur’an, yang kemudian disebut Sunnah Rosul. Sedangkan pembentukan fiqh pada masa Kulafaur Rosyidin sampai pada pertengahan abad 1 H. para sahabat melakukan ijtihad dalam setiap akan memecahkan persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
Akan tetapi suatu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa istilah fiqh pada kedua periode tersebut masih belum ada, sehingga fiqh yang ada pada saat itu dikenal dengan istilah fiqh pragmatis (fiqhul Amaly).
Kemudian memasuki pertengahan abad 1 H sampai awal abad 2 H, muncullah istilah fiqh dan proses pembentukannya juga mulai dilaksanakan, yaitu sejak Khalifah Utsman bin Affan (576-657). Hal ini terbukti dengan adanya beberapa sahabat yang menyebar kebeberapa daerah yang berbeda kemudian membangun pemahaman-pemahaman fiqhiyah tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi social yang ada. Diantara sahabat-sahabat tersebut adalah Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit. Di samping itu mereka juga melakukan kaderisasi yang disebut tabi’in.
Sedangkan pada periode Ketiga, fiqh kemudian menjadi lebih teoritis (fiqh nadhari), dan diformulasikan sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian hokum Islam. Dari sini kemudian muncul madzhab-madzhab yang menurut Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-Uwani berjumlah tiga belas (13) madzhab. Dari ketiga belas madzhab tersebut hanya tinggal lima atau empat madzhab saja yang memperoleh legitimasi dari generasi berikutnya sebagai madzhab resmi setelah diseleksi melalui pertarungan pendapat yang sengit dan ketat. Hal ini terbukti bahwa undang-undang, hokum, dan hasil pemikiran secara umum tidak dianggap sebagai sesuatu yang abadi (eternal), melainkan merupakan refleksi kehidupan social. Ia akan tumbuh dan berubah sejalan dengan perubahan masyarakat dan zaman. Disinilah peran ro’yu semakin menguat dikalangan para tabi’in.
Kemudian pada abad ke 2 H sampai abad 4 dan awal abad 7 H, merupakan periode yang sangat gemilang karena proses pembentukan fiqh masih melalui perdebatan-perdebatan yang sangat panjang dan melahirkan karya-karya agung.
Sedangkan pada pertengahan abad 7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-Diniyah pada tahun 1286 H, semangat ijtihad tersebut mulai melemah. Dan sebaliknya, sikap taklid serta fanatisme madzhab mulai berkembang pesat dikalangan umat Islam. Dengan kata lain, penyelesaian masalah-masalah fiqh pada saat itu tidak lagi berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi dikembalikan kepada kitab-kitab fiqh karya ulama terdahulu.
Maka pada akhir abad 7 H, kemudian muncul upaya kodifikasi fiqh yang diambil dari madzhab-madzhab remi pemerintahan.
Dari gambaran periodesasi diatas, dapat dipahami bahwa titik tolak munculnya pembentukan fiqh dalam sejarah Islam adalah bermula sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah. Pada Dinasti Umayyah ini sebagaimana klasifikasi Prof. Moh. Daud Ali, SH, MH tentang periodesasi perkembangan tarikh tasyri’, termasuk periode Ketiga setelah priode Rosulullah dan Khalafa’ur Rasyidin, yaitu yang dikenal dengan periode Pembinaan dan Pertumbuhan yang terjadi sekitar tahun 40 sampai dengan 101 H, atau tahun 662 sampai dengan 720 M.[7]
Sebagaimana yang tercatat dalam literature sejarah peradaban Islam, pemerintahan Umayyah yang berkedudukan di Damaskus berlangsung selama kurang lebih 90 tahun dengan 14 orang khalifah yang berasal dari dua keturunan yaitu Harb bin Umayyah dan Abul Ash bin Umayyah. Dalam proses perjalanannya, dinasti Umayyah telah banyak menghasilkan prestasi yang sangat bernilai bagi dunia Islam, yang antara lain adalah ekspansi kekuasaan yang menurut Harun Nasution (1985) telah membuat Islam menjadi Negara besar pada zaman itu.[8]
Disamping itu, penyusunan ilmu pengetahuan secara lebih sistematis serta kajian ilmu yang lebih terbuka juga menjadi bagian yang membanggakan pada masa itu. Jarji Zaidan sebagaimana dikutip oleh A. Hasyimi (1975) membagi ilmu pengetahuan yang berkembang pada dinasti Umayyah menjadi dua katagori besar, yaitu Pertama, al-Adabul qadimah (ilmu-ilmu lama) yakni ilmu-ilmu yang telah berkembang sejak zaman Jahiliyah dan masa Khulafa’ur Rasyidin, seperti ilmu lughah, syair, khithbah dan amsal. Kedua, al-Adabul Haditsah (ilmu-ilmu baru) yang dibedakan menjadi dua, yaitu (a). al-ulum al-Islamiyah yang meliputi ilmu Qur’an, al-Hadits, teologi, sejarah termasuk didalamnya adalah ilmu fiqh. (b). al-ulum ad-Dakhiliyah yang meliputi ilmu kedokteran, filsafat, ilmu eksakta dan lain-lain yang ditransfer dari bahasa Persia dan Romawi.[9]
Dari deskripsi di atas menjadi jelas bahwa perluasan wilayah kekuasaan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan telah mewarnai sejarah peradaban Islam pada dinasti Umayyah, tak terkecuali perkembangan fiqh. Dalam bidang tersebut, pada Dinasti Umayyah telah berkembang dua madzhab, yaitu ; madzhab Kufah yang dikenal dengan “Madrasah Ahlur Ra’yi” dan madzhab Madinah yang dikenal dengan “Madrasah Ahlil Hadits”. Yang tersebut pertama dirintis oleh Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi, sedangkan yang kedua dikembangkan oleh Imam Malik bin Anas.[10]
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang fiqh tersebut justru semakin actual akibat pecahnya umat Islam pada saat itu menjadi tiga kelompok besar, yaitu Khowarij, Syi’ah dan Jumhur. Golongan khawarij adalah golongan yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju dengan keputusannya atas arbitrase Muawiyah. Sedangkan Syi’ah adalah golongan yang fanatis terhadap Ali bin Abi Thalib dan setuju dengan keputusan Ali untuk menerima Tahkim dengan Muawiyah. Dan adapun golongan Jumhur adalah golongan mayoritas umat Islam yang mencoba untuk netral tanpa memihak golongan manapun.
Ketiga kelompok di atas pada mulanya hanya merupakan kelompok teologi, dimana mereka hanya membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Tuhan, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya kelompok ini kemudian terseret pada dunia kepentingan dan politik yang menyebabkan konflik dan perseteruan dalam memecahkan masalah hokum dan istinbath hokum. Dari sini kemudian pembahasan-pembahasan fiqh semakin berkembang dan berlanjut sedemikian rupa sehingga perhatian ulama’ banyak difokuskan pada hal tersebut dan melakukan penulisan-penulisan resmi terhadap fiqh.
  1. Pengaruh Kodifikasi Fiqh Terhadap Perkembangan Tasyri’
Di tengah pesatnya perhatian ulama’ terhadap fiqh dan munculnya kajian-kajian di mana-mana, maka pada awal tahun 300-an H / 800-an Masehi, mulai terjadi pemasungan terhadap kebebasan berpendapat oleh pemerintahan Abbasiyah. Kholifah al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), dan al-Watsiq (842-847 M) berusaha memaksakan ideology Mu’tazilah kepada para ulama. Mereka secara terang-terangan mendukung Mu’tazilah, bahkan menjadikannya sebagai madzhab resmi Negara.[11]
 Kondisi di atas kemudian memicu timbulnya pembelaan terhadap madzhab fiqh tertentu yang sudah berkembang sehingga mnimbulkan sikap fanatisme madzhab dan menyebabkan terhentinya aktivitas ilmiah serta dinamika berfikir di kalangan umat islam.
Buruknya kondisi fiqh tersebut kemudian menjadi pertimbangan para fuqaha’ dan ulama untuk mengeluarkan fatwa pintu ijtihad tertutup. Fatwa tersebut sangat berdampak negative terhadap perkembangan tasyri’, karena semakin memperkuat semangat taklid para gerasi berikutnya, sehingga dalam memecahkan masalah social, mereka mengambil pendapat para imam madzhab secara penuh tanpa memverifikasi dan menyeleksi, meninjau dan memperhatikan perbedaan zaman dan kondisi masyarakat yang sudah berbeda. Dan sampai saat ini hal tersebut masih sangat dirasakan oleh umat Islam secara umum, terlebih lagi masyarakat Madura.


BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
  1. Kodifikasi fiqh mulai dilakukan pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa guru-gurunya karena hawatir lupa atau hilang. Penulisan tersebut berdasarkan ajaran-ajaran gurunya yang kemudian dijadikan satu karya besar dan diformulasikan menjadi suatu madzhab tertentu.
  2. Proses kodifikasi fiqh tersebut ternyata berdampak negative terhadap perkembangan tasyri sesudahnya. Karena mengakibatkan munculnya fanatisme yang kuat terhadap pendapat-pendapat para imam madzhab. Apalagi memang ditambah dengan situasi politik yang tidak stabil, yakni pemihakan pemerintah terhadap madzhab-madzhab tertentu.

B.     Saran-Saran
  1. Pintu ijtihad masih terbuka, jadi mari kita sebagai generasi muslim senantiasa terus melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran terkait dengan masalah-masalah social.


[1] Drs. H. Moh. As’ad Thoha, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Sidoarjo, Al-Maktabah, 2006)., Hal. 11
[2] Drs. H. Moh. As’ad Thoha, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Sidoarjo, Al-Maktabah, 2006)., Hal. 01
[3] Drs. H. Moh. As’ad Thoha, Ibid, hal, 01
[4] Drs. H. Moh. As’ad Thoha, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, (Sidoarjo, Al-Maktabah, 2006)., Hal. 01
[5] Drs, Moh. Subhan, dalam diktatnya yang berjudul Tarikh Tasyri’ Islami, (Pamekasan, 2007), Hal. 01
[6] Http:// www.cybermg.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html
[7] Drs. Moh. Subhan, Ibid, hal, 02
[8] Drs. H. Moh. As’ad Thoha, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Hal. 107
[9] Ibid, hal. 109
[10] Ibid, hal. 110-111
[11] Drs, Moh. Subhan, dalam diktatnya yang berjudul Tarikh Tasyri’ Islami, (Pamekasan, 2007), Hal. 75

Tidak ada komentar: