Kamis, 14 Oktober 2010

Hukum Islam


POTRET ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN ISLAM DAN KONSTRIBUSINYA BAGI KEBANGKITAN KEMBALI EROPA
Abstraksi
Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M. Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu oleh sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Di saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia Eropa malah sebaliknya mengalami kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di tempat-tempat orang Eropa. Akibatnya bila pola fikir tradisional yang berkembang di dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur, maka di tempat mereka di Eropa pola pemikiran rasionallah yang didasarkan pada filsafat Rasionalnya Ibn Rusyd yang memacu kebangkitan mereka melalui gerakan-gerakan kebangkitan. Hal ini merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam ke Eropa.
Pendahuluan
Makna Pendidikan Islam secara khusus tidak dapat secara keseluruhannya disamakan dengan makna pendidikan secara umum. Pendidikan Islam dikenal dan diyakini oleh penganut agama Islam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bersumber dari dogma ajaran Islam dengan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya yang senantiasa mempertimbangkan pengembangan fitrah manusia atau potensi-potensi yang dimiliki manusia selaku makhluk.1 Disebutkan pendidikan Islam bersumber dari ajaran Islam menggambarkan bahwa pendidikan Islam memiliki perbedaan yang sangat essensial dan pokok dengan model pendidikan lain yang cenderung bersifat pragmatis-sekularistik yang hanya terbatas pada sumber dan penyebaran nilai-nilai kemanusian secara universal tanpa pernah mengaitkannya sama sekali dengan nilai-nilai ketuhanan. Atau yang lazim dikenal dengan istilah Ilmu Pengetahuan tanpa Tuhan.
1 Lihat Mapangganro, Sistem dan Metode Pendidikan Islam dalam Upaya meningkatkan Kualitas Bangsa Indonesia menyongso IQRA’ 1 - Desember 2006 Juli - Desember 2006
 Dalam usaha mempelajari Pendidikan Islam seseorang peneliti tidak dapat mengabaikan dirinya dari mempelajari akar sejarah Pendidikan Islam yang merupakan bagian integral dari sejarah Islam itu sendiri. Dengan kata lain, sejarah pendidikan Islam bagian yang tidak terpisahkan dari
    Pendidikan Islam dan sejarah Pendidikan Islam tidak lain adalah sejarah Islam itu. Hal itu bisa terjadi karena tidak pernah ada tulisan sejarah yang ditulis pada masa-masa awal Islam yang khusus membicarakan secara panjang lebar tentang sejarah Pendidikan Islam. Sehingga mengambil saripati yang berkenaan dengan Pendidikan Islam dari Sejarah Islam adalah hal yang tidak terelakkan ketika mencoba mengeksplorasi sejarah Pendidikan Islam.
Para sejarahwan Islam, seperti Ahmad Syalabi juga mengeluhkan tentang sedikitnya informasi yang ada tentang Pendidikan Islam pada masa-masa awal Islam.2 Miskinnya informasi tentang peta pendidikan Islam pada masa awal Islam mencapai puncaknya pada masa kemunduran Islam (1250 M. s/d 1500 M.).3 Pembahasan-pembahasan yang ada kebanyakannya merupakan tulisan lepas yang kurang didukung akurasi data yang memadai dan ini lazimnya hanya merupakan analisa murni terhadap suatu peristiwa ketimbang membangun suatu bangunan sejaran Pendidikan Islam secara tepat dan utuh. Sejarah Pendidikan Islam sebagaimana dinyatakan oleh seorang pakar pendidikan Islam merupakan bidang yang paling gelap dalam pengetahuan tentang peradaban orang muslim.4
Kalau demikian jadi sebenarnya bahasan yang ada sekarang tentang pendidikan Islm adalah produk rekayasa peneliti sejarah Islam pada sebagaiannya, walapun masih terdapat pula yang berdata. Dan itu tidak berarti pengkajian lebih lanjut tidak bermanfaat sama sekali, tetap ada manfaatnya walaupun hal itu hanya akan menambah khazanah analisa yang kurang didukung otensitas data. Tulisan sederhana ini mencoba menggali dinamika Pendidikan Islam pada masa kemunduran umat Islam.
Kemunduran Pendidikan Intelektual
Jatuhnya kota Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1250 M. bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya supremasi Khilafah Abbasyiyah dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam yang dikenal sebagai titik awal kemunduran umat Islam di bidang Politik dan Peradaban Islam yang selama berabad-abad lamanya menjadi kebanggaan umat. Pada masa jayanya kota Baghdad dikenal secara luas adalah pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah Ilmu Pengetahuan dan filsafat yang telah berhasil mengguli kota-kota lain yang dikenal sebagai pusat peradaban manusia. Dengan dibumihanguskannya kota Baghdad berikut kekayaan intelektual yang ada didalamnya, maka berakhirlah kebesaran pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam wilayah kekuasaan maupun intelektual.

2 Pernyataan itu dapat dilihat dalam Ahmad Syalabiy, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954 M.), hal. 5.
3 Harun Nasution membagi tiga periode Sejarah Islam, (1) Periode Klasik, yang terdiri dari a. Masa Kemajuan Islam I (650 M. s/d. 1250 M.), b. Masa dis-integrasi (1000 M. s/d 1250 M.); Periode Pertengahan, terdiri dari a. Masa Kemunduran Islam I (1250 M. s/d. 1500 M.), b. Masa Tiga Kerajaan Besar (1500 M. s/d. 1800 M.); (3) Periode Modern (1800 M. s/d. sekarang). Penjelasan lebih lanjut lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985 M.), hal. 56-89.
4 A.L. Tibawi, Origin and Character of Madrasah, tulisan dalam Bulletin of School of Oriental and African Studien, Vol. 25, 1962, hal. 18
       Penghancuran pusat kebudayaan Islam itu juga berakibat hilangnya dan putusnya akar sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun pada masa awal-awal Islam . Adanya kekalahan politik itu berpengaruh besar pada cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang telah mulai mengalihkan pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham dinamis berubah menjadi berpaham fatalis. Berubahnya paradigma berpikir itu amat disayangkan oleh banyak penganjur pembaharuan pemikiran Islam yang datang pada masa-masa kemudian. Muhammad Iqbal misalnya pernah menulis kekecewaannya itu di dalam suatu buku “During the last five hundred years religious thought ini Islam has been practically stationary”(Hampir sepanjang lima ratus tahun lamanya pemikiran di dalam Islam praktis menjadi statis) 5
Kemunduran dan kehancuran Islam di Baghdad, di satu sisi menurut sebagian pemerhati sejarah Islam yang masih melihat adanya harapan, jika ingin jujur tidaklah dapat dikatakan sebagai kemunduran dan kehancuran Islam secara total. Sebab di belahan dunia lain, dengan tidak dapat dibantah adanya suatu kenyataan sejarah Islam yang lain karena telah berhasil menancapkan kemajuannya di daerah Spanyol di bawah pemerintahan Islam. Tetapi sesungguhnya kemajuan yang mereka banggakan itu sifatnya juga sangat kecil dan tidak sporadis, karena hanya terbatas pada wilayah Granada saja. Dan secara politik penguasa Islam di Granada yaitu Bani Ahmar (1332 M s/d 1492 M.) hanya berkuasa pada wilayah yang sangat kecil.6 Jadi Argumentasi jatuhnya Baghdad sebagai permulaan terjadinya kemunduran Islam argumentasi yang sangat dapat diterima.
Adanya kemandegan dan kemunduran dalam segala bidang secara praktis sangat mempengaruhi juga bidang kajian Pendidikan Islam. Kalau Pendidikan Islam di masa kemajuannya telah berhasil memberikan sumbangan dalam melahirkan sumber daya manusia unggulan melalui lembaga-lembaga pendidikan-nya yang belum pernah dikenal di masa itu, maka pada masa kemunduran Islam semua itu telah harus terhenti atau minimal beralih fungsi.
Pendidikan kuttab, masjid, dan madrasah merubah fungsinya dari yang dulunya dikenal sebagai lembaga penelitian dan riset yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir 7 kini beralih fungsi menjadi suatu lembaga yang terbatas kajiannya pada bidang-bidang keislaman dan pada tingkat pembinaan lebih banyak ditekankan pada kemahiran penghapalan siswa-siswanya daripada melatih mereka berpikir.
Beberapa narasi yang dapat dilihat sebagai bukti dan gambaran pengaruh warisan produk masa lalu mungkin perlu dikemukakan di sini. Muhammad Abduh, seorang tokoh modernis Mesir, pernah menolak kemauan ayahnya yang memaksanya untuk melanjutkan sekolahnya di Masjid Manawi. Dia menolak karena sistem pengajaran di situ melulu menggunakan sistem hapalan tanpa diperlukan pegertian dan pengetahuan yang lebih luas akan arti dan makna yang dihapalkannya.8 Muhammad Abduh adalah tokoh modernis yang sangat menjunjung tinggi kemampuan rasional.
 5 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religion Though in Islam (New Delhi: Kitab Bhaven, 1974), hal. 8.
6 Penjelasan lebih lanjut lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994 M.), hal. 99.
7 Penjelasan lebih rinci tentang system dan metode pengajaran di tiga lembaga tadi (Kuttab, Masjid dan Madrasah). Lihat misalnya Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994 M.), hal. 24-36.
8 Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993 M.), hal  
1
             Selain Muhammad Abduh, Thaha Husein juga mengalami kekecawaan yang sama ketika dikirim orang tuanya untuk belajar di Al-Azhar. Thaha Husein mendapati sistem pengajaran yang ada di al-Azhar sangat dogmatis dan sempit, serta materi pelajarannya sangat tradisional dan menjemukan. Sehingga dia menolak kemauan orang tuanya itu.9 Demikianlah gambaran umum yang ada mengenai warisan yang masih berlanjut sampai awal abad ke-20, warisan dari masa kemunduran Islam.
Perubahan sistem pengajaran dan materi pelajaran tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan formal sebagaimana yang telah disebutkan tadi, perubahan juga terjadi di lembaga-lembaga non-formal. Lembaga pendidikan non-formal, misalnya, Ribath dan Zawiyah, bila pada masa kemajuan Islam terjadi masih mengajarkan ilmu-ilmu alat lainnya di samping latihan-latihan tarekat,10 maka pada masa kemunduran Islam pelajaran telah dibatasi oleh para syaikh hanya menjadi suatu lembaga pendidikan yang dimaksudkan untuk hanya melahirkan dan mencetak seorang sufi yang menyakini segala fatwa sang Syaikh adalah suatu dogma.11 Selain itu, terdapat pula lembaga-lembag non-formal yang sudah tidak terdengar lagi, seperti bait al-Hikmah, observatorium, rumah sakit dan perpustakaan.
Tidak hanya lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang mengalami dis-orientasi pada masa kemunduran Islam ini, literature Islam juga mengalami hal yang sama. Literatur Islam sejak masa kemunduran ini sudah tidak lagi menonjolkan sisi orisinalitasnya, atau melahirkan sesuatu yang “baru”, tetapi lebih banyak menggambarkan pengulangan-pengulangan dari apa yang pernah ditulis pendahulunya.12 Tidak terbatas pada itu saja, dalam cara bersikap terhadap hasil dari tulisan-tulisan para ulama diyakini sekali sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat digugat oleh sembarang orang. Tulisan para ulama itu mereka pandang adalah sebagai fatwa yang baku dan mutlak. Di sini dijumpai bahwa pemikiran-pemikiran ulama terdahulu oleh para murid atau pengikutnya tidak lagi didudukkan sebagai produk ijtihad ulama (hasil pemikiran individu yang masih bersifat relatif) tetapi lebih diletakkan sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu lahirlah ungkapan dan beredar luas di kalangan umat Islam bahwa “Pintu Ijtihad telah tertutup” dan diterima oleh khalayak saat itu secara umum.13 Mengenai hal ini Fazlurrahman pernah mengatakan : “Penutupan pintu ijtihad selama abad ke-4 H./10 M. dan abad ke-5 H./11 M., telah membawa kepada kemacetan dalam Ilmu Hukum dan Ilmu Intelektual. Ilmu-ilmu Intelektual, yakni Ilmu Teologi dan Pemikiran Keagamaan sangat mengalami kemunduran, dan menjadi miskin. Kejadian itu karena pengucilan mereka yang sengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang terakhir ini, khususnya filsafat, dan pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.19 Syahrir Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994 H.), hal. 29
10 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: PT. Ramadhani, 1992 M.), hal. 133.
11 Pendapat semacam ini berlaku untuk semua bidang pengetahuan yang berkembang saat itu, lebih jelas dapat dilihat dalam Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995 M.) hal. 97.
12 Fazlurrahman, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hal. 38.
13 Harun Nasution, Islam ditinjau…, loc. cit.
14 Fazlurrahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hal. 185-186
         Keadaan seperti itu berlanjut sampai berakhirnya masa Kerajaan Turki Usmani. Tercatat bahwa penguasa Turki Usmani lebih cenderung untuk menegakkan suatu paham keagamaan saja dan menekan (pressure) kepada madzhab lain. Akibatnya dari itu semua adalah terjadinya kelesuan intelektual di bidang ilmu keagamaan dan mulai berkembang dan merajalelanya sikap fanatik yang berlebihan kepada satu madzhab atau syaikh, karena itu ijtihad hampir-hampir tidak dapat berkembang.15 Ulama hanya seanantia mencari usaha penyelematan dirinya dengan hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
Dalam pada itu juga pada masa ini berkembang pula istilah-istilah yang merusak arti sebenarnya yang diinginkan dari penerapan prinsip kebebasan berfikir. Istilah tersebut antara lain seperti istilah ijtihad fi al-madzhab (ijtihad hanya pada persoalan-persoalan di dalam madzhab) sebagai arti lain dari pengertian ijtihad atau ijtihad mutlak. Ijtihad mutlak sangat bertolak belakang dengan ijtihad fi al-Madzhab yang cenderung bersikap fanatis yang berlebihan ketika menonjolkan kelebihan madzhabnya.
Dalam mencari tahu sebab-sebab terjadinya kemunduran intelektualisme Islam, para pemikir dan peneliti masalah pendidikan Islam menuding bahwa Tasawuf dan sufisme lah akar sesungguhnya dari terjadinya kemunduran umat Islam. Mereka tidak mau melihat kemunduran Islam pada abad ke-13 merupakan suatu peristiwa yang kompleks yang antara satu sebab dengan sebab lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu adanya suatu kondisi sosial-politik yang kurang mendukung bagi kemajuan itu.
Adanya tudingan yang diarahkan kepada tasawuf dan sufisme bagi sebab adanya kemunduran membuat hampir seluruh aliran modern dalam Islam terkesan mengambil sikap ekstra hati-hati dalam menanggapinya, tetapi ada pula yang terang-terangan mengarahkan tembakannya pada mereka itu. M.M. Syarif termasuk ke dalam kategori cendikiawan Islam juga menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa di antara sebab kemunduran pemikiran Islam adalah tumbuh dan berkembangnya pemikiran sufistik. M.M. Syarif juga menambahkan bahwa pemikiran seperti itu dibawa dan dipengaruhi oleh pendapat-pendapat fatalis al-Ghazali vis-a vis pemikiran Ibn Rusyd yang bercorak rasionalitas yang dibawa dari dunia Islam ke Barat.16
Tudingan-tudingan terhadap tasauf dan sufisme yang diidentifikasikan sebagai sebab kemunduran menurut sebagian ulama lainnya sesungguhnya perlu diuji kebenarnnya. Karena bila diperhatikan sumber materi ajaran tasawuf yang notabene adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak berbicara tentang ajaran-ajaran yang mengandung dan mengarah kepada pembentukan pribadi yang suci. Selain itu juga Al-Qur’an dan hadis berbicara banyak tentang nilai-nilai kejujuran, menolong sesama, kesetiaan, dan kesetiakawanan sosial. Kesemua ajaran-ajaran tadi adalah titik tekan yang prinsipil bagi ajaran-ajan tasawuf. Disini yang terjadi adalah kebalikan dari yang ditundingkan tadi, karena yang terlihat adalah malah konstribusi ajaran-ajaran tasawuf bagi pendidikan Islam, yakni pembinaan akhlak yang merupakan salah satu tujuan Pendidikan Islam.
15 Badri Yatim, op. cit., hal. 137.
16 M.M. Syarif, Para Filosuf Muslim, alih
    Dari sudut Sejarah tudingan itu juga sangat tidak beralasan, karena sebagaimana yang ditulis oleh Harun Nasution perkembangan Islam pada masa kemunduran Islam sangatlah fantastik, ditengah kemunduran itu justru Islam masuk dan berkembang pesat di Indonesia dengan corak sufisme-nya.17 Ini terjadi pada saat terjadinya pula kemunduran umat Islam. Uka Tjandarasasmita mencatat bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui Daerah Istimewa Aceh pada sekitar abad ke-13 M., yaitu pada saat terjadinya kemunduran umat Islam.18 Oleh karena itu agak susah mencari akar bagi sebab terjadinya kemunduran umat Islam jika hanya menuding satu bagian saja kecuali dengan mengatakan bahwa kemunduran itu terjadi karena kelalalaian penguasa Islam pada saat itu dan kolektif umat Islam.
Di dalam Islam dikenal adanya dua pola pengembangan pemikiran Islam, yaitu pola pemikiran yang bersifat tradisional dan rasional. Kedua pola pemikiran itu senantiasa dalam sejarahnya dibawa pada suatu pola dikotomis-antagonistik, yang akan sangat sulit mencari titik temunya. Pola pemikiran tradisional memberikan tempat dan ruang yang sempit bagi peranan akal dan peluang yang luas diberikan pada wahyu, sedangkan pola pemikiran rasional bersifat kebalikanya memberikan tempat dan ruang yang luas bagi akal dan ruang yang sempit pada wahyu. Karenanya pemikiran tradisional yang mengabaikan peranan akal di dalamnya banyak dianut oleh kalangan sufi, maka adanya pendapat yang mengatakan mundurnya Pendidikan Islam yang sangat tergantung pada supremasi akal didalamnya dapat dibenarkan, yaitu kaum sufi lah yang menyebabkan berkembangnya sikap fatalis di dalam umat.19
Kalau fatalisme yang menjadi ukuran dalam menilai bagi sebab kemunduran Islam pada satu sisi dapat dibenarkan, tetapi pemikiran seperti ini dapat dimentahkan lagi dengan melihat kenyataan tersebarnya Islam ke daerah-daerah dan wilayah-wilayah lain justru terjadi pada masa kemunduran Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan sufi yang lebih menekan pada corak pendidikan akhlak dibandingkan pendidikan intelektual.20 Karena itu menurut Abd al-Salim untuk mengulang suksesnya peradaban Islam pada masa lalu adalah hanya dengan tidak mengadakan pemisahan hubungan di dalam pola pikir sehari-hari antara roh dan jasmani.21 Antara akal dan wahyu.
Peralihan Pusat Pendidikan Dari Dunia Islam Ke Eropa
Di kala dunia Islam-dari abad ke-7 M. s/d abad k eke-13 M. maka pada saat yang sama dunia di bagian Eropa ketika itu masih berada pada masa kegelapan. Sehingga tidak mengherankan jika saat itu orang-orang Eropa banyak yang datang ke dunia Islam untuk menuntut Ilmu Pengetahuan. Ilmu Pengetahuan dan teknologi pada saat itu dikuasai dan dimonopoli oleh Dunia Islam bahasa M. Fachruddin ( Bandung ; Diponegoro, t.th.), hal. 161-164.  
17 Harun Nasution, Islam Rasional, op. cit., hal. 152.
18 Uka Tjandrasasmita (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 M.), hal. 3.
19 Lihat Misalnya Zuhairani, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: t.tp., 1992 M.), hal. 109; Hasan Langgulung, Asas Pendidikan Islam ( Jakarta : Pustaka Alhusna, t.th.), hal. 125-126.
20 Harun Nasution, Islam ditinjau, loc. cit.
21 Abd Salim Mukri, Pemikiran Islam antara Wahyu dan Akal, terjemahan ( Jakarta : Mediyatma Sarana Perkasa, t.th.   
           Kedatangan Islam ke Eropa tidak saja berhasil mengadakan perbaikan-perbaikan dalam sistem ekonomi dan sosial masyarakat Eropa, tetapi Islam juga telah berhasil membebaskan bangsa Eropa dari tekanan-tekanan para kaum imperalis serta menggugah kesadaran mereka bahwa mereka pada saat yang sama telah tertinggal dalam kompetisi Ilmu Pengetahuan dengan dunia lainnya. Dengan masuknya Islam ke Eropa, Ilmu yang selama ini didominasi dan monopoli dunia Islam mulai bergerak pelan kearah masyarakat Eropa. Merekapun mulai belajar dan mengembangakan pengetahuan itu dengan giat. Kegiatan keilmuan yang sebagian besarnya mendapat stimulan dari kontak langsung dunia Eropa dengan dunia Islam ternyata melicinkan jalan bagi kebangkitan kembali (renaissance) bangsa Eropa, dan sekaligus mengantarkan Eropa barat secara khusus dan dunia secara umum kepada sejarah umat manusia yang sama sekali baru, yaitu abad modern.
Kontak Dunia Barat dengan Islam terjadi melalui tiga jalur pokok, yaitu :
1. Andalusia di Spanyol yang banyak mempunyai universitas-universitas yang banyak dikunjungi orang-orang Eropa untuk belajar. Kota Toledo mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal ini.
2. Sisilia yang pernah dikuasai Islam dari tahun 881 M s/d 1091 M.. Sebagaimana di Toledo Spanyol, kota Palermo merupakan tempat yang penting bagi kegiatan penterjemahan buku-buku ulama Islam ke dalam bahasa latin;
3. Perang Salib, tetapi dibandingkan dengan dua jalur tadi, peranan perang salib dalam memindahkan Ilmu Pengetahuan Islam ke Barat tidak sebesar dua kota tadi.22 Dengan terjadinya konflik Perang ini orang-orang Eropa mulai mengenal banyak barang-barang material yang telah ada didunia Islam tetapi mereka bangsa Eropa tidak pernah mengenalnya.
Dengan diterjemahkannya buku-buku ilmiah karangan ilmuwan-ilmuwan Muslim melalui pusat-pusat terjemah yang banyak tersebar di Eropa, orang-orang Eropa telah mulai dapat mengalihkan Ilmu Pengetahuan yang selama ini berada di dalam genggaman orang Muslim ke dunia mereka di Eropa. Pada waktu yang bersamaan berkembang pula di Eropa dan sangat digemari hasil pemikiran-pemikiran filosuf-filosuf Muslim terutama pemikiran Ibn Rusyd yang rasional yang selama ini pemikirannya banyak ditolak di dunia Islam.
Pengembangan pemikiran Ibn Rusyd dalam persoalan Ilmu Pengetahuan di Eropa tidaklah seperti pengembangan yang selama ini berada di dunia Islam yang cenderung tidak memisahkan persoalan agama dan ilmu pengetahuan. Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Eropa cenderung bersifat sekularistik-ateistik, karena itu mereka meninggalkan ajaran-ajaran Ibn Rusyd tentang hubungan agama dan filsafat yang keduanya bukanlah sesuatu yang terpisah tetapi merupakan satu bagian yang integral. Berkembangnya pemikiran Ibn rusyd di Eropa adalah setelah orang-orang yang terpengaruh ajarannya membentuk suatu orde yang disebut dengan Averroeisme. Akan tetapi terjadi penyimpangan dalam memahami pemikiran murni Ibn Rusyd, yakni dengan mengatakan adanya kebenaran ganda. Kebenaran yang dibawa agama benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar.
22 Harun Nasution, Islam Rasional, op. cit., hal. 302  
              Adapun mengenai peralihan lembaga-lembaga pendidikan ke Eropa, Zainal Abidin Ahmad menggambarkan, bahwa setelah para pelajar Eropa kembali ke negerinya, mereka mendirikan sekolah-sekolah baru dan universitas yang sama dengan lembaga tempat mereka belajar. Pada tahun 1231 M. saja, telah didirikan Universitas Paris sebagai Universitas pertama, dan diakhir zaman pertengahan di Eropa telah berdiri 18 Universitas.23 Di dalam Universitas-universitas tersebut mereka mempelajari materi-materi pelajaran seperti yang mereka dapati di waktu belajar di dunia Islam, seperti materi pelajaran kedokteran, filsafat, dan ilmu pasti.
Argumen sebab adanya kemajuan orang-orang Eropa, Harun Nasution mengatakan bahwa itu dapat terjadi akibat berkembangnya pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan. Keadaan itu membawa pengaruh yang besar pada kelanjutan sejarah eropa ke masa Renaissance dan perkembangan Ilmu Pengetahuan. Tentang adanya pengaruh Islam terhadap perkembangan pemikiran Eropa, Romlandau pernah mengatakan :
“Dari orang-orang Arab-lah Eropa belajar berpikir secara obyektif dan lurus, belajar berlapang dada dan berpandangan luas; inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing Renaissance dan menimbulkan kemajuan dan Peradaban Barat
Walaupun Islam akhirnya harus terusir dari negeri-negeri Eropa dengan cara yang kejam, tetapi tidak dapat dipungkiri Islam telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan ini dimulai dengan kebangkitan kembali kebudayaan Yunani Klasik (renaissance) pada abad ke-14 M., yang bermula di Italia, gerakan reformasi abad ke-16 M., gerakan Rasionalisme pada abad ke-17 M., dan puncaknya adalah gerakan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
Penutup
Kemunduran umat Islam dalam peradabannya, terutama dalam bidang Pendidikan Islam, tidak dapat dipungkiri berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted).
Di saat umat Islam mengalami kemunduran, Eropa malah sebaliknya mengalami kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di tempat-tempat orang Eropa. Akibatnya bila pola fikir tradisional yang berkembang di dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur, maka di tempat mereka di Eropa pola pemikiran rasionallah yang memacu kebangkitan mereka melalui gerakan-gerakan kebangkitan. Hal ini merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam ke Eropa.
23 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd ( Jakarta: Bulan Bintang, 1975 M.), hal. 148-149.  
       











                                  
Daftar Pustaka
1  Abd Salim Mukri, Pemikiran Islam antara Wahyu dan Akal, terjemahan ( Jakarta : Mediyatma Sarana          Perkasa, t.th.)
2  Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: PT. Ramadhani, 1992 M.)
3 Ahmad Syalabiy, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954 M.)
4  A.L. Tibawi, Origin and Character of Madrasah, tulisan dalam Bulletin of School of Oriental and    African Studien, Vol. 25, 1962 M.
4  Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993 M.)
6 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994 M.)
7  Fazlurrahman, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The    University of Chicago Press, 1984)
8 Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1984)
9   Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994 M.)
10 Hasan Langgulung, Asas Pendidikan Islam ( Jakarta : Pustaka Alhusna, t.th.)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985 M.).
Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995 M.)
11 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religion Though in Islam (New Delhi: Kitab Bhaven, 1974).
12  M.M. Syarif, Para Filosuf Muslim, alih bahasa M. Fachruddin ( Bandung ; Diponegoro, t.th.)
13  Syahrir Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994 H.)
13  Uka Tjandrasasmita (ed.), Sejarah Nasional Indonesia , Jilid III (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 M.)
15  Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd ( Jakarta: Bulan Bintang, 1975 M.)
16  Zuhairani, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: t.tp., 1992 M.)

Tidak ada komentar: