REAKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Rekatualisasi hukum Islam ini mulai dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali , MA pada awal tahun 1985. Pada waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras.
Dua hal yang melatar belakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka sama-sama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah,ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.
Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa'ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari pada hak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia , baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau menjadi menteri agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Quran tersebut.
kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman. Kedua, dalam hal pembagian harta warisan, al-Quran surat al-Nisa' ayat 11, dengan jelas menyatakan bahwa hak laki-laki adalah dua kali lebih besar dari pada hak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia , baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan bahwa ia mengetahui setelah beliau menjadi menteri agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, , termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan al-Quran tersebut Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara waris diputus secara faraidh, ahli waris tidak mau melaksanakannya, tetapi mereka pergi ke Pengadilan Negerii untuk meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai dengan faraidh. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa yang enggan melaksanakan fatwa waris di Pengadilan Agama dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu telah membudaya pula penyimpangan tidak lansung dari ketentuan al-Quran tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan pre-emptive. Semasa hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anak, masing-masing mendapat pembagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagaii hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagii tinggal sedikit, bahkan hampir habis sama sekali. Dalam hal ini memang secara formal tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan al-Quran di atas. Tetapi apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul? Apakah tindakan-tindakan itu tidak termasuk kategori helah atau main-main dengan agama? Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir , kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan factor-faktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidh.3
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi hukum Islam.
B. Upaya pengaktualisasian hukum Islam di Indonesia
Atas ide reaktualisasi ajaran Islam ini, Munawir dianggap sebagai Ibnu Amatillah. , karena Ibnu Amatillah telah melontarkan ide ini jauh sebelum Munawir melontarkannya. Hal ini terjadi ketika BJ Boland, seorang sarjana Belanda yang dikenal simpati terhadap Islam, pernah terheran-heran ketika ia menemukan sebuah makalah pada tahun 1950 berjudul Analyse Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam. Penulis makalah itu bernama Ibnu Amatillah , seorang yang sama sekali tak dikenal karena tak pernah didengar dalam dunia tulis- menulis pada masa itu. Makalah yang terbit di Semarang itu tentu saja mengherankan Boland karena menurut penelitiannya, yang kemudian ia tuangkan dalam karya klasiknya The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), karya-karya tentang hubungan Islam dan negara yang ditulis oleh orang Islam di Indonesia pada masa itu berujung pada satu kesimpulan, yaknii pentingnya mendirikan negara Islam dan wajibnya kaum Muslim mendukung gagasan ini. Tetapi, karya Ibnu Amatillah itu merupakan pengecualian yang aneh. Aneh karena kesimpulan makalah itu mempertanyakan gagasan "negara Islam" yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh kaum Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Masyumi . Lebih aneh lagi, gagasan itu datang dari seorang yang memiliki nama santri. Perlu diketahui, pada tahun 1950-an sikap politik kaum Muslim di Indonesia secara umum bisa dibedakan antara mereka yang mendukung gagasan Negara Islam (atau negara berbasis Islam) dan mereka yang menolak gagasan tersebut. Umumnya, kelompok pertama diwakili oleh- meminjam kategorisasi Clifford Geertzkaum santri yang secara politik diwadahi oleh Partai Masyumi dan setelah tahun 1952 juga oleh Partai NU, sementara kelompok kedua diwakili oleh kaum abangan seperti Soekarno dan Soepomo.5
Sebagai umat Islam Indonesia , masalah yang harus di atasi adalah bagaimana memadukan antara semangat nasionalisme keindonesiaan degan spirit keberagamaan Islam. Di sinilah perlunya diteguhkan Islam Indonesia . Islam Indonesia ini merupakan semangat keberislaman yang berjalan secara harmonis dan padu dengan kultur Indonesia . Prinsip dasar Islam Indnesia adalah mengindonesiakan Islam dan bukan sebaliknya. Secara linguistic dan filosofis, prinsip ini mempunyai arti yang berbeda dengan prinsip mengislamkan Indonesia . Perbedaannya secara fundamental terletak pada aksentuasinya. Titik tekan prinsip mengindonesiakan Islam adalah pada aspek substansial Islam. Bahwa dengan semangat universalnya, Islam adalah sebuah ruh atau spirit yang tidak menafikan fakta lokalitas. Secara ideal islam adalah cita-cita universal, tetapi dalam tataran praktisnya ia adalah fakta partikular. Kenyataan ini tidak bisa dii bantah.
Sebaliknya, prinsip mengislamkan Indonesia lebih cenderung kerah formalisasi Islam. Pola ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa Islam adalah nilai ilahiyah yang kebenarannya mutlak. Sebaliknya nilai-nilai keindonesiaan dianggap sebagai budaya hasil kreatifitas manusia. Yang tingkat kebenarannya jauh lebih rendah dari nilai keislaman. Implikasi lebih jauh, pola semacam ini melahirkan sikap puritanistik. Islam harus dibersihkan dari tradisi-tradisi local.
Pola itu jelas keliru, sebab sebagai bagian dari agama di Indonesia , sudah seharusnya kalau aktualisasi Islam barjalan secara integral dengan budaya Indonesia . Menafikan aspek lokalitas budaya Indonesia , justru akan menjadikan Islam sebagai barang asing dalam masyarakat Indonesia . Islam tidak menjadi barang aneh dan gejala asing di Indonesia kalau ia mampu merealitas dalam bahasa dan kultur Indonesianis. Pola keberagamaan semacam itu harus dimulai dari kesadaran bahwa kita ini, seperti kata-kata budayawan muslim KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia .
Prinsip mengindonesiakan Islam secara implisit meniscayakan sinkretisme dan bukannya pritanisme. Semangat sinkretisme ini mengandung arti bahwa keislaman di sini tidak iukur dari sisi formalitas budaya melainkan dari sisi spirit dan semangat yang terkandung d dalam budaya itu. Ini akan berbeda dengan kelompok puritan, yang sekarang ini menjadi arus utama kelompok wahaby. Kelompok putitanistik ini menganggap bahwa budaya-budaya local dii Indonesia itu merupakan nilai-nilai bid’ah dan bahkan syirik yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Anggapan seperti ini menyebabkan hilangnya toleransi terhadap aktualisasi nilai-nilai lokaal particular. Nilai-nilai local itu bahkan harus dibrantas dan apabila ada prakatik keagamaan Islam yang masih tercampuri dengan budaya-budaya itu maka harus segeera dibersihkan (dipurifikasi). Pola dan praktik keislaman kaum modernis ini berakibat terjadinya penetrasi terhadap unsur-unsur Islam dari budaya tersebut, penetrasi ini merupakan wujud upaya kelompok Islam modernis untuk “mengislamkan” tradisi Indonesia .
Apa yang dilakukan oleh kelompok puritan tersebut merupakan pola keberagaman yang bertentangan dengan fitrah kehidupan. Itu merupakan implikasi dari gerakan modernisme di dunia Barat modern adalah obyektivisme. Demi sejumput obyektifisme itu, salah satu implikasinya adalah mensterilkan kehidupan manusia dari debu-debu sejarah, termasuk dari tradisi.
Tradisi, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah adalah sebuah keniscayaan eksistensialis manusia. Ia tidak mungkin untuk dipurifikasi secara total, tidak mungkin dipisahkan atau dilepaskan seratus persen dari kedidupan manusia. Mempurifikasi atau memaksa manusia untuk lepas dari tradisinya justru akan melairkan alienasi. Bentuk relasi nilai-nilai Islam universal dengan nilai-nilai keindonesiaan local particular lebih tepatnya bukanlah purifikasi melainkan sinkretisasi.
Nilai yang paling vital dalam spirit Islam Indonesia ini, dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah upaya untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia . Terbukti Islam Indonesia yang coraknya sinkretis itu mampu menupang keutuhan bangsa Indonesia , dalam sekop yang lebih sempit fakta ini terceermin dalam masyarakat.
Reaktualisasi hukum Islam sangat diperlukan dalam rangka mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia. "Reaktualisasi" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang dijadikan dasar "reaktualisasi" adalah kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan yang lepas dari nash , bukan kemaslahatan yang dimaksud oleh Imam Malik dengan konsep maslahah al- mursalah yang tidak terlepas dari nash . Sehingga kita mengetahui mana hukum-hukum yang benar dan akan diikuti untuk menentukan sikap kita menjuju sebuah kesempurnaan penghambaan kita kepada Allah. Karena satu-satunya tujuan hidup kita hanya ingin menempuh kehidupan yang baik, baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti. Dengan tujuan hidup yang jelas tentunya manusia akan berfikir dan melihat dengan jelas langkah yang benar dan berdasarkan al-qur’an hidup sentosa aman sejahtra akan di raihnya.
Nahdah al- 'Arabiyah, 1971).
Malik Ibn Anas Ibn Abd Allah al- Ashbahy, Muwaththa' al- Imam Malik , juz II, (Mesir :
Sjadzali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Temprint, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar